Dzikir Setelah Sholat Wajib

by admin aluyeah
Dzikir Setelah Sholat Wajib | al-uyeah.blogspot.com
Para pembaca semoga Allah menanamkan dalam hati kita kecintaan kepada kebaikan dan kebenaran. Diantara kebaikan yang mudah untuk kita amalkan adalah berdzikir setelah melaksanakan shalat wajib yang lima waktu. Dzikir (wirid) ini sangat penting karena diantara fungsinya adalah sebagai penyempurna dari kekurangan dalam shalat kita. Bahkan dzikir setelah shalat fardhu merupakan perintah langsung dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, walaupun dalam keadaan genting sekalipun seperti dalam keadaan perang. Sebagaimana firman-Nya:

Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.” (An-Nisa’: 103)

Ayat tersebut terkait dengan kondisi perang, maka dalam kondisi aman tentu lebih memungkinkan untuk melaksanakan dzikir.

Para pembaca rahimakumullah, seorang muslim yang berdzikir setelah shalat hendaknya mencukupkan dengan dzikir-dzikir yang telah disyari’atkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bukan dengan dzikir yang tidak  dicontohkan oleh beliau, yang tidak disyari’atkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Dzikir-dzikir yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam berdasarkan hadits-hadits yang shahih adalah sebagai berikut:

1. Mengucapkan istighfar 3 kali:

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ

Artinya: “Saya mohon ampun kepada Allah.”

Lalu mengucapkan:

اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ

Artinya: “Ya Allah Engkaulah As-Salam (Dzat yang selamat dari segala kekurangan) dan dari-Mu (diharapkan) keselamatan, Maha Suci Engkau Dzat Yang mempunyai keagungan dan kemuliaan.” (HR. Muslim no. 591)

2. Mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهْوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ ، وَلاَ مُعْطِىَ لِمَا مَنَعْتَ ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.

Ya Allah tidak ada yang mampu mencegah terhadap apa yang Engkau berikan, dan ada yang mampu memberi terhadap apa telah Engkau mencegahnya, serta tidak bermanfaat disisi-Mu kekayaan orang yang kaya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.

Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan kekuatan Allah, Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah dan kami tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Milik-Nya segala nikmat, keutamaan dan pujian yang baik. Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah dengan memurnikan agama hanya untuk-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya.” (HR. Muslim no. 594)

4. Mengucapkan Tasbih, Tahmid dan Takbir:

سُبحان الله

(Maha suci Allah) 33 kali,

الحمد لله

(Segala puji hanya milik Allah) 33 kali,

الله أكبر

(Allah Maha besar) 33 kali,

dan digenapkan menjadi seratus dengan mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Tentang keutamaannya Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda:

« مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ فَتِلْكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ ».

Barangsiapa    bertasbih   (mengucapkan سُبحان الله) 33 kali, bertahmid (mengucapkan الحمد لله) 33 kali, dan bertakbir (mengucapkan الله أكبر) 33 kali, itu semua berjumlah 99, kemudian sempurnanya 100 dengan mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

(Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu),

Niscaya akan diampuni dosa-dosanya, walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR.Muslim no. 597)

Catatan: Cara menghitung Tasbih, Tahmid dan Takbir yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam adalah dengan jari-jemari. Sebagaimana telah dijelaskan oleh shahabat Yasiirah a. (Lihat Sunan Abu Daud no. 1501 dan Sunan At-Tirmidzi no. 3486)

5. Mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala puji, (Dialah Dzat) Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i)

Dibaca 10 kali setelah Shalat Maghrib dan Shubuh.

Tentang keutamaannya Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda:
Barangsiapa yang mengucapkan usai shalat Shubuh dalam keadaan melipat kedua kakinya sebelum berbicara

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ


10 kali, maka dituliskan baginya 10 kebajikan, dihapus darinya 10 keburukan, dan diangkat baginya 10 derajat,serta harinya itu berada dalam lindungan dari semua yang tidak disenangi dan dijaga dari setan, juga dosa tidak akan mencapai (timbangan)nya pada hari itu selain dosa menyekutukan Allah (berbuat kesyirikan -red).” (HR. At-Tirmidzi no. 3474 dan Ahmad no. 16583/16699)

6. Membaca Ayat Kursi:

Artinya: “Allah, tidak ada ilah (sesembahan yang haq (benar) diibadahi) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? (Allah) mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Baqarah: 255)

Tentang keutamaannya Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda:

من قرأ آية الكرسي في دبر كل صلاة مكتوبة لم يمنعه من دخول الجنة الا ان يموت نوع آخر في دبر الصلوات

Barangsiapa membaca Ayat Kursi setiap selesai menunaikan shalat lima waktu, maka tidaklah ada yang menghalanginya untuk masuk ke dalam Al-Jannah (Surga) kecuali kematian.” (HR. An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra no. 9928)

7. Membaca surat Al-Ikhlash, Al-Falaq dan An-Naas:

Artinya: “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlash: 1-4)

Artinya: “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai subuh. Dari kejahatan makhluk-Nya. Dan dari kejahatan malam apabila Telah gelap gulita.Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” (Al-Falaq: 1-5)

Artinya: “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Ilah (sesembahan) manusia. Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.” (An-Naas: 1-6)

Catatan: Tiga surat tersebut dibaca 3 kali setelah shalat Maghrib dan Shubuh dan dibaca 1 kali setelah shalat Zhuhur, ‘Ashar dan ‘Isya`.

Keutamaannya adalah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam: “Tiga surat tersebut cukup bagimu (sebagai permohonan perlindungan) dari segala kejelekan.” (Lihat Sunan Abu Daud no. 5094)
Wallahu a’lam bisshowab.

Darussalaf.or.id

Golongan Selamat

by admin aluyeah
Golongan Selamat | al-uyeah.blogspot.com
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah adalah seorang alim Ahlus Sunnah yang tidak asing bagi kaum muslimin. Beliau adalah seorang alim yang sangat menginginkan kebaikan bagi kaum muslimin. Di antara buktinya adalah surat-surat yang beliau kirim kepada tokoh-tokoh penguasa di pelbagai negeri, sebagaimana bisa kita lihat di dalam Majmu’ Fatawa beliau. 

Di antara yang menunjukkan semangat beliau untuk kebaikan muslimin adalah nasihat, arahan, dan fatwa-fatwa beliau dalam menjawab pertanyaan kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia. Dalam tulisan ini, kami ingin membawakan beberapa fatwa beliau yang terkait dengan akidah. Semoga bisa menjadi jawaban pertanyaan kita selama ini dan membimbing kita beramal.

Pertanyaan: Banyak golongan dan kelompok yang mengaku sebagai aththaifah al-manshurah sehingga masalah ini menjadi samar bagi manusia. Apa yang mesti kami lakukan, terkhusus di sana ada banyak kelompok Islam, seperti Sufi, salafiyah, dan kelompok lainnya, bagaimana kami membedakannya?

Jawaban: Telah ada hadits dari Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata, “Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, semuanya masuk neraka kecuali kelompok yang mengikuti Nabi Musa ‘Alahissalam. Nasrani juga terpecah menjadi 72 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu, yaitu mereka yang mengikuti Nabi Isa ‘Alaihissalam. Umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu.” 

Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, “Siapakah firqatun najiyah (golongan yang selamat)?” Beliau menjawab, “Al-Jamaah.” Dalam lafadz lain, “Orang-orang yang menempuh jalanku dan jalan para sahabatku.” 

Inilah al-firqah an-najiyah, golongan yang selamat. Mereka adalah orang orang yang bersatu di atas kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah n. Mereka istiqamah di atasnya, berjalan mengikuti manhaj Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sahabatnya. Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, ahlul hadits yang mulia, salafiyun yang mengikuti salafus shalih serta berjalan dengan beramal berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Semua kelompok yang menyelisihi mereka diancam dengan neraka.

Maka dari itu, wajib atas Anda—wahai penanya— untuk meneliti setiap kelompok yang mengaku sebagai al-firqah an-najiyah. Anda lihat amalannya, kalau sesuai dengan syariat, merekalah kelompok yang selamat. 

Maksudnya, yang dijadikan mizan (timbangan/tolok ukur) untuk menilai setiap kelompok adalah al-Qur’anul ‘Azhim dan as-Sunnah yang suci. Barang siapa amalannya di atas kitabullah dan sunnah Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam, dia termasuk alfirqah an-najiyah. 

Barang siapa tidak demikian, seperti Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhah, Murjiah, dan selainnya, juga mayoritas kelompok sufi—yang mengadaadakan dalam agama sesuatu yang tidak diizinkan Allah Subhanahu wata’ala—semua termasuk dalam kelompok yang diancam oleh Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan neraka, sampai mereka bertobat dari penyelisihan terhadap syariat. Semua kelompok yang terjatuh pada penyelisihan syariat yang suci wajib bertobat dari penyelisihannya dan kembali kepada kebenaran yang dibawa oleh Nabi kita Muhammad  Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, dia selamat dari ancaman.

Adapun jika mereka terus berada dalam kebid’ahan dalam agama yang mereka ada-adakan dan tidak istiqamah di atas jalan Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam, dia termasuk dalam kelompok yang diancam dengan neraka. Tidak semuanya kafir, namun semua terancam dengan neraka. Ada yang kafir karena melakukan satu kekufuran. Ada juga yang tidak kafir, namun terancam neraka karena perbuatan bid’ahnya dalam agama dan menetapkan sesuatu yang tidak diizinkan Allah Subhanahu wata’ala dalam syariat. (Nurun ‘ala Darb)

"Banyaknya Kelompok yang Mengaku sebagai Thaifah Manshurah"
Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak, AsySyariah.com

Tangan Kanan-Nya

by admin aluyeah
Tangan Kanan-Nya | al-uyeah.blogspot.com
Keimanan terhadap penetapan adanya Tangan bagi Allah merupakan keyakinan Ahlus Sunnah wal jama’ah, sebagaimana telah kami jelaskan pada edisi lalu. Keyakinan ini makin jelas dan tegas karena Al-Qur’an dan as-Sunnah telah menyebutkan adanya sifat Tangan bagi Allah secara terperinci dan disebutkan dengan kanan.

Kedua Tangan Allah itu kanan

Allah Ta'ala berfirman:
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Rabb dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (az-Zumar: 67)

Demikian pula dalam firmanNya:
Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia dengan tangan kanan. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. (al-Haaqqah: 44-46)

Pada kedua ayat di atas Allah Ta'ala menyebutkan tangan dengan tangan kanan. Pada surat Az-Zumar Allah berfirman : “Dan langit digulung dengan Tangan Kanan-Nya”. Sedangkan dalam surat al-Haqqah dikatakan: “Aku ambil dengan dengan tangan kanan”.

Dalam tafsir ayat az-Zumar ayat 67 ini, disebutkan hadits yang shahih dari Abu Hurairah radiyallahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
Allah Tabaraka wa ta’ala menggenggam bumi pada hari kiamat dan melipat langit dengan tangan kanannya, kemudian berkata “Aku adalah Raja, mana raja-raja dunia? (HR. Bukhari-Muslim).

Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Umar radiallahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
Allah Azza wa Jalla menggulung langit pada hari kiamat dan menggenggam-nya dengan tangan kanan-Nya seraya berkata: “Aku adalah Raja, mana orang-orang yang sombong?” Kemudian menggulung bumi-bumi dan menggenggamnya dengan tangannya yang lain seraya berkata: “Aku adalah Raja, mana raja-raja dunia, mana orang-orang yang sombong?” (HR. Bukhari Muslim)

Perlu diketahui, dalam hadits yang kedua ini disebutkan “tangan yang lain”, ini yang lebih shahih, sedangkan dalam lafadh lainnya disebutkan “dengan tangan kirinya”. Berkata Baihaqi dalam Asma’ wa Sifat: “Demikianlah diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Bakar ibnu Abi Syaibah, sedangkan sebutan “tangan kiri” disebutkan secara menyendiri oleh Umar Ibnu Hamzah dari Salim. Padahal telah diriwayatkan hadits yang sama oleh Nafi’ dan Ubaidullah Ibnu Muqsim dari Ibnu Umar, keduanya tidak menyebutkan kalimat “kiri”. Demikian pula telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan lain-lainnya dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam, semuanya tidak ada yang menyebutkan “tangan kiri”. (Lihat Asma’ wa Sifat, Baihaqi, hal. 139-140)

Apalagi telah diriwayatkan dengan shahih bahwa kedua tangan Allah adalah kanan, sebagaimana dalam sabdanya:
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil di sisi Allah (mereka berada) di atas mimbar dari cahaya dari sisi kanan Allah Azza wa Jalla. Dan Kedua Tangan Allah adalah Kanan … (HR. Muslim)

Yang demikian karena tangan Allah keduanya Maha Sempurna, tidak sama dengan tangan mahlukNya. Sedangkan istilah kiri mengandung makna kekurangan dan kelemahan pada mahluk, maka tidak layak disebutkan untuk tangan Allah yang Maha Sempurna.

Jari-jemari Allah

Diriwayatkan dari ‘Amr bin Ash, bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
Sesungguhnya hati Bani Adam seluruhnya berada di antara dua jari dari jari ar-Rahman (Allah) seperti hati yang satu. Allah memalingkannya sekehendaknya. (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam membenarkan perkataan seorang Rahib Yahudi ketika menyebutkan jari-jemari bagi Allah, seperti dalam riwayat dari Abdullah bin Mas’ud radiallahu'anhu, ia berkata:

Seorang pendeta datang berjumpa Nabi Shallallahu'alaihiwasalam lalu berkata: Wahai Muhammad atau Wahai Abu al-Qasim! Pada Hari Kiamat Allah Ta'ala  memegang langit, bumi, gunung-gunung, pohon-pohon, air, tanah dan semua makhluk dengan jari-jemariNya. Kemudian Dia menggoyangkannya sambil berfirman: “Akulah Raja, Akulah Raja”. Lalu Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam tertawa karena kagum mendengar kata-kata pendeta tersebut sambil membenarkannya. Kemudian beliau membaca ayat : Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Rabb dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (HR. Bukhari Muslim)

Dan dalam riwayat lain:
Datang seorang rahib dari Yahudi dan berkata: “Allah meletakkan langit-langit di jari-Nya pada hari kiamat”, maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam pun terkagum-kagum membenarkan berita tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim)

Telapak tangan Allah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
Tidaklah seseorang bershadaqah dengan shadaqah yang baik –dan Allah tidak menerima kecuali yang baik—kecuali Allah yang Maha Rahman akan mengambilnya dengan Tangan kanan-Nya, walaupun sebuah kurma, Allah akan membesarkannya di Telapak Tangan Allah yang Maha Rahman hingga menjadi lebih besar dari gunung sebagaimana salah seorang kalian membesarkan anak kambing atau anak unta. (HR. Bukhari dan Muslim)

Lengan Allah

Didalam riwayat yang agak panjang, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
Apakah unta-unta kaummu yang lahir dalam keadaan sehat dan utuh telinga-telinganya kemudian kamu dengan sengaja mengambil pisau dan memotong telinga-telinganya dan kamu katakan unta-unta ini merdeka?!. Dan kamu robek telinga-telinganya atau kamu cacati kulit-kulitnya, kemudian kamu katakan unta-unta ini haram? Kemudian kamu haramkan untuk dirimu dan keluargamu?! Dia menjawab: “Ya”. Maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda: “Sungguh seluruh apa yang diberikan Allah kepadamu (dari binatang ternak itu) adalah halal. Ingat Lengan Allah lebih kuat dari lenganmu dan Pisau Allah lebih tajam dari pisaumu.” (HR. Ahmad, Hakim, Abu Dawud, Baihaqi, Thabrani dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata: “Hadits Hasan Shahih). Lihat Tahqiq Kitab Asma’ wa Sifat oleh Al-Baihaqi, hal. 170).

Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Riwayat-riwayat diatas

Berkata Sufyan Ibnu Uyainah:
Setiap apa yang Allah sifati diri-Nya dalam kitab-Nya maka tafsirnya adalah membacanya dan diam. (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 248)

Berkata Ibnu Syihab Az-Zuhri:
Allah yang menerangkan, rasul yang menyampaikan dan atas kita untuk menerima. (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 249)

Berkata Wahb bin Munabbih ketika ditanya oleh seorang tokoh sesat Ja’d bin Dirham tentang asma’ wa sifat:
Celaka engkau wahai Ja’d karena permasalahan ini. Sungguh aku menduga engkau akan binasa. Wahai Ja’d, kalau saja Allah tidak mengkabarkan dalam kitab-Nya bahwa dia memiliki tangan, mata atau wajah, tentu kamipun tidak akan mengatakannya.Bertakwalah engkau kepada Allah!” (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 190)

Berkata al-Walid ibnu Muslim: “Aku telah bertanya kepada AlAuza’I, Sufyan Ats-tsauri, Malik bin Anas tentang hadits-hadits sifat dan ru’yah (tentang dilihatnya Allah pada hari kiamat), mereka semua menjawab:
Langsungkanlah, sebagaimana adanya tanpa mempertanyakan seperti apa”. (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 249)

Berkata Imam Malik bin Anas: “Berhati-hatilah kalian terhadap kebid’ahan.” Beliau ditanya: “Apakah bid’ah itu”. Beliau menjawab: “Ahlul bid’ah adalah mereka yang membicarakan tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, kalam Allah, Ilmu Allah dan kekuasan-Nya tanpa ilmu. Mereka tidak mau diam sebagaimana diamnya para shahabat dan tabi’in terhadap masalah tersebut”. (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 244)

Berkata Imam Al-Barbahari: “Tidak boleh berbicara tentang Allah kecuali dengan apa Allah sifatkan diriNya dengannya dalam al-Qur’an dan apa yang diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam kepada para shahabatnya”.
Ia juga berkata: “Tidak berbicara tentang sifat-sifat Rabb dengan pertanyaan: “Bagaimana?” atau “mengapa?”, kecuali orang yang ragu terhadap Allah tabaraka wa ta’ala”. (Syarhus Sunnah, hal. 70)

Salafy.or.id

Rosulullah Dulu Pernah Tahlilan?

by admin aluyeah
Rosulullah Dulu Pernah Tahlilan? - al-uyeah.blogspot.com
Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata’ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.

Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.

Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.

Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.

Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.

Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah berfirman (artinya):

Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)

Historis Upacara Tahlilan

Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya? dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?

Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.

Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.

Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam

Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:
Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.

Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.

Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.

1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?

Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)

Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)

Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)

Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):

Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)

Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak.

Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)

Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)

Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:

فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ

Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”

Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.

Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).

2. Penyajian hidangan makanan.

Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)

Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)

Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).

Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?

Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:

اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ

Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)

Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.

"Tahlilan Dalam Timbangan Islam"
Darussalaf.or.id

Jalan Salaf Jaminan Kebenaran

by admin aluyeah

Jalan Salaf Jaminan Kebenaran | a;-uyeah.blogspot.com
“Kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah” telah menjadi slogan umum. Namun memahami keduanya dan mengamalkan kandungannya, agar sesuai dengan yang dimaukan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, merupakan persoalan tersendiri. Kepada siapa kita harus merujuk?

Pada edisi sebelumnya telah dijelaskan, siapa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dan manhaj (jalan/metode) yang mereka tempuh. Mereka bukanlah manusia khusus yang diciptakan Allah Ta'ala untuk membawa amanat syariat-Nya. Juga bukan malaikat yang diutus Allah Ta'ala untuk mengajarkan manusia tentang agama-Nya. Mereka adalah kaum muslimin itu sendiri yang memahami agamanya dengan benar berdasarkan Al-Qur‘an dan As-Sunnah di atas pemahaman as-salafush shalih (pendahulu yang shalih).

Mereka (para shahabat radiyallahuanhum) adalah umat terbaik yang diciptakan untuk mendakwahkan kebenaran agama ini kepada seluruh umat. Mereka adalah generasi terbaik umat ini dari kalangan shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, serta orang-orang yang mengikuti mereka di atas kebenaran. Mereka adalah as-salafush shalih, al-firqatun najiyah (orang-orang yang selamat), ath-tha`ifah al-manshurah (orang-orang yang selalu ditolong), ahlul hadits, ahlul atsar, dan mereka adalah salafiyyun.
Mereka adalah pilihan Allah Ta'ala dari seluruh hamba-Nya yang akan menyuarakan kebenaran di mana dan kapan saja, bagaimanapun besar tantangan dan rintangan yang dihadapi. Slogan mereka adalah firman Allah Ta'ala:

Kebenaran itu datang dari Rabbmu, maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147)

Juga sabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam : “Katakan yang benar walaupun pahit dan jangan kamu gentar cercaan orang yang mencerca.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari shahabat Abu Dzar z. Lihat Al-Misykat, 3/1365)

Dari sinilah nama as-salafush shalih diabadikan oleh sejarah. Ditulis dengan tinta emas, terus dikenang, serta menjadi rujukan generasi sesudahnya. Bukankah ini merupakan satu kemuliaan dari Allah Ta'ala karena apa yang telah mereka berikan untuk agama-Nya? Dan karena apa yang mereka tempuh ketika Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam masih hidup dan setelah wafat beliau?

Jawabannya adalah ya. Mereka mendapatkan yang demikian ini karena mereka berjalan di atas jalan Rasul-Nya. Abu Bakar radiyallahu'anhu, khalifah pertama yang menggantikan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sebagai pemimpin umat ini, telah mendapatkan jaminan masuk jannah (surga), padahal ketika itu beliau masih hidup. Bukankah ini kemuliaan bagi beliau? Apakah manhaj Abu Bakar radiyallahu'anhu sesuai manhaj Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam? Jawabannya tentu ya.

Begitu juga ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan para shahabat yang lain yang telah mendapatkan jaminan dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam untuk masuk jannah, padahal kaki-kaki mereka masih menapaki kehidupan. Merekalah yang juga disebutkan Allah Ta'ala di dalam Al-Qur`an:

Merekalah orang-orang yang telah diberikan nikmat oleh Allah dari kalangan para nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih.” (An-Nisa`: 69)

Siapa lagi yang dimaksud dalam ayat ini setelah para nabi, kalau bukan orang-orang yang mengikuti mereka di atas manhaj Allah Ta'ala dari kalangan shahabat?

Mereka adalah generasi yang berusaha untuk mendapatkan dan mengambil warisan terbanyak dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Duduk dan keluar dari majelis Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam keadaan membawa kemurnian agama Islam yang malamnya seperti siangnya. Dan tidak ada seorangpun dari mereka yang menyimpang, melainkan akan binasa seumur hidup jika tidak segera bertaubat kepada Allah Ta'ala.

Manhaj salaf cerminan kemurnian Islam. Rentang waktu yang panjang sangat memungkinkan menyebabkan jauhnya umat dari kemurnian ajaran Islam. Apalagi, umat ini terus berganti generasi demi generasi. Hal ini telah dirasakan dan disaksikan oleh orang-orang yang diberikan bashirah (ilmu) oleh Allah Ta'ala. Banyak kita jumpai penampilan Islam yang berwarna-warni, baik dari amalan, ucapan, dan keyakinan.

Warna-warni” inilah yang sering menimbulkan friksi di antara sesama muslim hingga berujung pada pudarnya persatuan dan kesatuan umat Islam. Walhasil, umat ini menjadi sangat lemah dan siap menjadi santapan musuh-musuhnya.

Munculnya kelompok-kelompok di dalam Islam, merupakan bukti konkrit adanya perbedaan yang besar dan warna-warninya penampilan Islam itu. Yang satu berpakaian serba merah dan mengangkat Islam sebagai simbol. Yang lain dengan warna hijau, hitam, kuning, putih, dan sebagainya. Masing-masing memiliki konsep, prinsip, jalan, dan tujuan yang berbeda dengan yang lainnya. Bahkan, karena perbedaan mendasar itu, ada yang siap menumpahkan darah yang lainnya. Apakah demikian Islam itu? Lalu manakah yang benar? Dan manakah yang harus diikuti?

Yang demikian ini, setelah berlalunya masa risalah (masa kenabian) dan pergantian generasi demi generasi, sangat terasa. Ironisnya, Islam dalam pandangan kaum muslimin saat ini hanya sebatas “yang penting Islam”, apapun alirannya, ajarannya, warnanya, jalannya, baunya, dan sebagainya. Padahal justru dengan sebab ini, hilanglah kemuliaan, kewibawaan, kejayaan, dan kekuatan umat Islam, serta menjadikan musuh-musuh Islam berani dan memiliki kewibawaan di mata kaum muslimin.

Kemurnian dan kesempurnaan Islam itu pun kian jauh panggang dari api. Yang satu ingin menambah dan yang lain ingin mengurangi, bahkan mempretelinya. Hanya dengan mencari sumber kemurniannya kepada orang yang telah dinobatkan oleh Allah Ta'ala sebagai penelusur jejak Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam -para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in- saja, niscaya kemurnian Islam itu akan diperoleh.

Manhaj salaf adalah ridha, cinta, dan ampunan Allah Ta'ala. Selain sebagai cermin kemurnian Islam, manhaj salaf juga merupakan perwujudan ridha Allah Ta'ala, cinta, dan ampunan-Nya. Allah Ta'ala berfirman tentang mereka yang berjalan di atas manhaj salaf ini:

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)

Asy-Syaikh As-Sa’di1 rahimahullah dalam tafsir ayat ini mengatakan, mereka adalah orang-orang yang lebih dahulu masuk Islam dan yang terlebih dahulu dalam keimanan, hijrah, jihad, dan memperjuangkan agama Allah Ta'ala. Kaum Muhajirin adalah orang-orang yang dikeluarkan dari negeri mereka dan dipisahkan dari harta benda mereka, semata-mata hanya mencari keutamaan dari Allah Ta'ala dan keridhaan-Nya. Mereka membela agama Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, dan mereka adalah orang-orang yang jujur.

Sementara kaum Anshar adalah orang-orang yang menetap di kota Madinah, mencintai orang-orang yang berhijrah. Mereka tidak dihinggapi perasaan berat hati atas apa-apa yang mereka infakkan kepada kaum Muhajirin, serta lebih mengutamakan kaum Muhajirin meskipun mereka membutuhkannya.

Merekalah kaum yang mendapatkan keselamatan dari cercaan dan mendapatkan pujian dan keutamaan dari Allah Ta'ala. Allah Ta'ala meridhai mereka dan mereka ridha kepada Allah Ta'ala. Allah Ta'ala mempersiapkan bagi mereka jannah yang mengalir sungai-sungai di bawahnya dan kekal di dalamnya.
Allah Ta'ala di dalam Al Qur`an berfirman:

Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: “Ayat ini merupakan tolok ukur cinta seseorang kepada Allah Ta'ala dengan sebenar-benarnya cinta atau hanya pura-pura mengaku cinta. Tanda cinta kepada Allah Ta'ala adalah ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, yang Allah Ta'ala telah menjadikan sikap ini (ittiba’) dan segala apa yang diserukan sebagai jalan untuk mendapatkan cinta dan ridha Allah Ta'ala.

Dan tidak akan didapati kecintaan dari Allah Ta'ala, ridha dan pahala-Nya, melainkan dengan cara membenarkan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sebagaimana yang ada di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, dengan cara melaksanakan apa yang dikandung keduanya dan menjauhi apa yang dilarangnya. Maka barangsiapa melakukan hal ini, sungguh ia telah dicintai oleh Allah Ta'ala, dia dibalas sebagaimana balasan terhadap kekasih Allah Ta'ala, diampuni dosanya, dan ditutupi segala aibnya. Maka (ayat ini) seakan-akan (menjelaskan) bagaimana hakekat mengikuti Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan bagaimana sifatnya.”

Simbol kemenangan dan kejayaan umat. Meskipun Islam semakin kabur, namun pewaris kemurnian Islam akan tetap ada sepanjang kehidupan manusia ini sampai hari kiamat. Mereka telah dipersiapkan Allah Ta'ala untuk meneruskan perjuangan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan generasi beliau yang terbaik. Merekalah yang akan terus menyuarakan kemurnian Islam. Dan bersama merekalah kemenangan dan kejayaannya. Itulah janji Allah Ta'ala yang tidak bisa dipungkiri.

Merekalah yang disebut Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sebagai generasi pejuang yang telah mengambil pedang perjuangan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam yang diwariskan setelah wafatnya, untuk membabat gerakan-gerakan penjegalan terhadap syariat Allah Ta'ala. Dan mereka pulalah yang dipersiapkan Allah Ta'ala sebagai perisai dan benteng terhadap kebenaran dalam pertarungan antara yang hak dan batil. Allah Ta'ala menjelaskan di dalam Al Qur`an:

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin di dalam kitab Syarah Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 25) mengatakan, “Akan tetapi semua pujian bagi Allah Ta'ala semata. Tiadalah seseorang melakukan kebid’ahan, melainkan Allah Ta'ala membangkitkan –dengan nikmat dan karunia-Nya– orang-orang yang akan menjelaskan kebid’ahan tersebut dan yang akan melumatkannya dengan kebenaran. Dan ini termasuk makna yang terkandung dalam firman Allah Ta'ala (Al-Hijr: 9). Dan ini merupakan wujud nyata penjagaan Allah Ta'ala terhadap Adz-Dzikr (maksudnya Al-Qur`an, red.) dan ini juga merupakan konsekuensi hikmah Allah Ta'ala.”

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari shahabat Mua’wiyah dan Mughirah bin Syu’bah radiyallahu'anhu, dan diriwayatkan Al-Imam Muslim dari shahabat Tsauban, Jabir bin Samurah, Jabir bin Abdillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radiyallahu'anhum:

Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang memperjuangkan kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang berusaha menghinakan mereka sampai datang keputusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan yang demikian itu.” (Shahih, HR. Muslim dengan lafadznya)

Siapakah yang dimaksud Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dengan “satu kelompok dari umatnya itu yang selalu memperjuangkan kebenaran dan selalu mendapatkan kemenangan”?

Al-Imam Ahmad mengatakan: “ Kalau bukan ahli hadits yang dimaksud, maka saya tidak mengetahui (lagi) siapa mereka.”

‘Umar bin Hafsh bin Ghiyats mengatakan: “Aku telah mendengar ayahku ketika ditanyakan kepadanya: ‘Tidakkah kamu melihat ahlul hadits dan apa-apa yang mereka berada di atasnya?’ Dia menjawab: ‘Mereka adalah sebaik-baik penduduk dunia’.”

Abu Bakar bin ‘Ayyash mengatakan, “Aku berharap bahwa ahlul hadits adalah sebaik-baik manusia.” (Lihat kitab Makanatu Ahlil Hadits, hal. 53-54)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda: “Tidak ada seorangpun dari nabi yang diutus sebelumku kepada suatu umat melainkan ada pada umatnya hawariyyun (para pembela) dan shahabatnya yang memegang sunnahnya dan yang mengikuti perintahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abdullah bin Mas’ud radiyallahu'anhu)

Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah akan membangkitkan pada setiap awal seratus tahun orang-orang yang akan mengadakan pembaharuan terhadap agama umat ini.” (Shahih, HR. Abu Dawud dari shahabat Abu Hurairah radiyallahu'anhu dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 3656 dan di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 599 dan di dalam Shahih Jami’ush Shaghir no. 1874)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, sebagaimana dinukil Al-Imam Adz-Dzahabi dalam kitab As-Siyar (10/46): “Sesungguhnya Allah Ta'ala akan membangkitkan pada umat, di awal setiap seratus tahun, orang-orang yang akan mengajarkan mereka As Sunnah dan membungkam setiap kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Maka tatkala kami melihat dan memeriksa, ternyata pada awal seratus tahun pertama muncul ‘Umar bin Abdul ‘Aziz dan pada seratus tahun kedua Al-Imam Asy-Syafi’i.” (Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 2/148)

Manhaj salaf manhaj yang benar. Manhaj inilah yang mendapatkan pujian kebaikan dari lisan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berikut dengan orang-orang yang berjalan di atasnya, sebagaimana sabda beliau:

Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang setelah mereka, dan kemudian orang-orang setelah mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat ‘Imran bin Hushain dan Abdullah bin Mas’ud radiyallahu'anhu)

Maka, para pengikut manhaj ini adalah generasi terbaik yang diridhai Allah Ta'ala. Di dalam kitab Manhajus Salaf Fit Ta’amul Ma’a Kutubi Ahlil Bida’i (hal. 3) karya Abu Ibrahim Muhammad bin Muhammad bin Abdillah bin Mani’ dikatakan: “Pujian kebaikan menunjukkan kebenaran akidah, mengikuti Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dengan benar. Maka para shahabat adalah orang yang paling baik keyakinannya, paling dekat dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, paling jauh dari kesyirikan, kebid’ahan, dan perpecahan. Para shahabat adalah orang yang paling baik dari sisi pemahaman dan ilmu. Maka barangsiapa yang tidak merasa cukup dengan para shahabat, maka Allah Ta'ala tidak akan mencukupkan mereka.”  Wallahu a’lam.

Sumber Bacaan:
1.    Al-Qur`an
2.     Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi
3.    Taisir Al-Karimir Rahman, Asy-Syaikh As-Sa’di
4.    Syarah Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
5.    Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, Asy-Syaikh Al-Albani
6.    Makanatu Ahlil Hadits, Asy-Syaikh Dr. Rabi’
7.    Manhajus Salaf Fitta’amul Ma’a Kutubi Ahlil Bida’, Asy-Syaikh Muhammad bin Mani’

Catatn Kaki:

1 Nama beliau adalah Abu Abdillah Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah bin Nashir dari keluarga As-Sa’di dari suku Tamim. Beliau adalah ahli ilmu Al Qur`an dan tafsir pada pertengahan abad 14 H. Dilahirkan di ‘Unaizah, Arab Saudi, 12 Muharram 1307 H. Setelah 69 tahun mengorbankan umurnya untuk mengabdi kepada ilmu, beliau wafat tahun 1376 H di kota kelahirannya.

"Jalan Salaf Jaminan Kebenaran"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah
AsySyariah.com