Satu kebohongan jika mereka mengklaim sebagai pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah adalah Imam Ahlus Sunnah yang teguh dan kokoh di dalam berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Penulis Mukhalafatus Shufiyah lil Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Kebanyakan orang yang menisbatkan dirinya kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah tidaklah mengambil dari beliau kecuali dalam perkara fiqih dan ibadah yang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Namun mereka tidak mengikuti jalan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam masalah akidah.” (Mukhalafatush Shufiyah hal. 19)
Kami akan sebutkan beberapa penyelisihan Shufiyah terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam masalah akidah.
Penyelisihan Shufiyah terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam masalah rububiyah
Banyak sekali keyakinan shufiyah dalam masalah rububiyah yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah serta menyimpang dari pemahaman Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. Di antaranya:
1. Shufiyah mengaku wali mereka tahu ilmu ghaib
Ilmu ghaib adalah perkara yang Allah Ta'ala sajalah yang mengetahuinya. Allah Ta'ala berfirman:
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.” (Al-An’am: 59)
Allah Ta'ala juga berfirman:
Katakanlah: “Tidak ada satu pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bilamana mereka akan dibangkitkan. (An-Naml: 65)
Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
“Lima kunci perkara ghaib tak ada yang mengetahuinya kecuali Allah: Tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi esok hari kecuali Allah, tidak ada yang mengetahui apa yang ada di dalam rahim kecuali Allah, tidak ada jiwa yang mengetahui apa yang akan diperbuatnya esok hari dan tidak pula tahu di mana jiwa itu akan mati kecuali Allah, tidak ada yang mengetahui kapan datangnya hujan kecuali Allah, dan tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat kecuali Allah.” (HR. Al-Bukhari hal. 4697)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Telah ditutup ilmu tentang kapan hari kiamat dari Nabi-Nya. Sedangkan selain malaikat yang didekatkan dan nabi-nabi yang terpilih, ilmunya lebih sedikit dari mereka ….” (Al-Umm) [Lihat Mukhalafatush Shufiyah hal. 96-100]
2. Shufiyah meyakini wali-wali mereka bisa mencipta dan mengatur alam
Penciptaan adalah khusus bagi Allah Ta'ala. Allah Ta'ala berfirman:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam.” (Al-A’raf: 54)
Namun Jufri Al-Khadrami, seorang tokoh ekstrem shufi saat ini, menyatakan bahwa seorang wali punya kemampuan menciptakan anak di rahim seorang ibu tanpa ada bapak. Inna lillahi wainna ilaihi rajiun.
Bahkan dia berani menyatakan bahwa wali-walinya punya kemampuan menghilangkan musibah orang yang ber-istighatsah (meminta tolong dihilangkan musibah) kepadanya. Dengan lancang ia bahkan berkata: “Pengaturan yang dilakukan wali bahkan sampai di surga dan neraka.” (Lihat Mukhalafatush Shufiyah hal. 32-33)
Penyelisihan shufiyah terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i t dalam masalah asma’ dan sifat Allah Ta'ala
Di antara masalah asma’ dan sifat Allah l yang shufiyah menyelisihi Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah adalah:
1. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menetapkan semua sifat yang terdapat dalam nash/dalil
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, seperti para imam Ahlus Sunnah yang lainnya, menetapkan sifat-sifat Allah Ta'ala yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Beliau rahimahullah berkata: “Allah Ta'ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat sebagaimana disebutkan dalam kitab-Nya dan telah dikabarkan oleh Nabi-Nya Shallallahu'alaihiwasalam kepada umatnya. Dia Maha mendengar dan Maha melihat, memiliki dua tangan seperti dalam firman-Nya:
“Bahkan kedua tangan Allah terbuka.” (Al-Maidah: 64)
Allah Ta'ala memiliki tangan kanan sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (Az-Zumar: 67)
Allah Ta'ala juga memiliki wajah sebagaimana firman-Nya:
“Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah.” (Al-Qashash: 88)
“Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 27)
Allah Ta'ala tidak buta sebelah, sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu'alaihiwasalam ketika menjelaskan keadaan Dajjal:
إِنَّهُ أَعْوَرُ وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَرَ
“Sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah, dan Rabb kalian tidaklah buta sebelah.”
Allah Ta'ala tertawa terhadap hamba-Nya yang beriman. Nabi Shallallahu'alaihiwasalam menyebutkan tentang seseorang yang terbunuh di medan perang, dia berjumpa dengan Allah Ta'ala dalam keadaan Allah Ta'ala tertawa kepadanya.(1)
Bagaimana dengan shufiyah?
Shufiyah telah menyelisihi Al-Imam Asy-Syafi’i dan salafus shalih. Mereka melakukan tahrif (penyelewengan makna) dan takwil. Mereka tidaklah menetapkan sifat Allah Ta'ala kecuali tujuh saja. (Mukhalafatush Shufiyah hal. 37-38 secara ringkas)
Shufiyah mengingkari Allah Ta'ala ada di atas
Di antara keyakinan Ahlus Sunah wal Jamaah adalah meyakini Allah Ta'ala ada di atas arsy-Nya. Allah Ta'ala berfirman:
“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia naik di atas ‘Arsy.” (Al-A’raf: 54)
Dalam hadits Muawiyah bin Hakam As-Sulami radiyallahu'anhu, ketika dia hendak membebaskan budaknya, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam menguji hamba sahaya tersebut dengan menanyakan: “Di mana Allah?” Hamba sahaya tadi menjawab: “Allah di atas.” Beliau Shallallahu'alaihiwasalam berkata: “Siapa aku?” Budak tadi berkata: “Engkau utusan Allah.” Rasulullah n berkata: “Bebaskanlah, karena dia adalah seorang wanita mukminah.” (HR. Muslim)
Pemahaman Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah:
Ibnul Qayim rahimahullah meriwayatkan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i dengan sanadnya bahwa beliau rahimahullah berkata, “Pernyataan tentang akidah yang aku berada di atasnya dan aku lihat para sahabatku dari ahlul hadits di atasnya, yang aku telah mengambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan dan Malik serta keduanya adalah: Berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah Ta'ala dan Muhammad Shallallahu'alaihiwasalam adalah utusan-Nya. Bahwasanya Allah Ta'ala ada di atas Arsy-Nya, dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya, dan Allah Ta'ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” (Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah)
Lebih jelas dari itu adalah ketika beliau meriwayatkan dalam bab membebaskan budak mukminah dalam zhihar(2). Beliau rahimahullah berkata: “Yang lebih aku senangi, tidaklah dibebaskan kecuali yang telah baligh dan beriman, jika dia wanita ‘ajam yang telah disifati dengan keislaman maka cukup. Malik telah mengabarkan kepadaku dari Hilal bin Usamah, dari Atha bin Yasar, dari Umar bin Al-Hakam, beliau berkata: Aku pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Aku katakan: ‘Wahai Rasulullah, saya punya seorang budak perempuan yang menggembala kambing. Ketika saya mendatanginya, ternyata seekor kambing telah hilang. Ketika saya bertanya kepadanya, dia menjawab bahwa kambing itu dimakan serigala. Saya pun marah kepadanya. Saya adalah seorang bani Adam (yang bisa berbuat khilaf, red.) sehingga saya menempeleng wajahnya. Saya punya kewajiban membebaskan budak. Apakah saya boleh membebaskannya?” Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berkata kepada budak tersebut: “Di mana Allah?” Dia menjawab: “Di atas.” Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berkata: “Siapa aku?” Budak tadi menjawab: “Engkau Rasulullah.” Maka Rasulullah berkata: “Bebaskanlah dia.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Nama sahabat tadi (sebenarnya) Mu’awiyah bin Al-Hakam (bukan Umar bin Al-Hakam sebagaimana dalam riwayat, red.), demikianlah diriwayatkan oleh Az-Zuhri dan Yahya bin Abi Katsir.”
Lihatlah! Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mensyaratkan dalam membebaskan budak harus yang mukmin. Beliau rahimahullah menganggap pengakuan hamba sahaya tadi bahwa Allah Ta'ala ada di atas sebagai tanda keimanan.
Bagaimana dengan shufiyah?
Mereka telah meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam masalah ini dan juga meninggalkan akidah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah.
Sebagian mereka menyatakan Allah Ta'ala di mana-mana. Sebagian mereka bahkan ada yang mengingkari pertanyaan: di mana Allah Ta'ala? Padahal Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, makhluk yang terbaik, telah menguji keimanan seorang hamba sahaya dengan pertanyaan semacam ini. (Lihat pembahasan lebih detail pada Mukhalafatush Shufiyah hal. 41-53)
Penyelisihan Shufiyah terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam masalah Uluhiyah
1. Shufiyah menyeru kepada kesyirikan
Allah Ta'ala menciptakan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya, Allah Ta'ala berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Ibnul Qayyim rahimahullah meriwayatkan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dengan sanadnya, beliau berkata: “Pernyataan tentang akidah yang aku berada di atasnya, dan aku lihat para sahabatku dari ahlul hadits di atasnya, yang aku telah mengambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan dan Malik serta keduanya, adalah: Berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah Ta'ala dan Muhammad Shallallahu'alaihiwasalam adalah utusan-Nya.Bahwasanya Allah Ta'ala ada di atas Arsy-Nya, dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya, dan Allah Ta'ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” (Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah)
Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu berkata: “Orang-orang shufiyah berdoa kepada selain Allah Ta'ala. Mereka berdoa kepada nabi. Juga kepada wali mereka yang masih hidup ataupun yang telah mati. Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, hilangkanlah musibah yang menimpa kami. Tolonglah kami. Engkaulah tempat menyandarkan diri.’ Padahal Allah Ta'ala telah melarang berdoa kepada selain-Nya dan menganggapnya sebagai sebuah kesyirikan. Allah Ta'ala berfirman:
“Dan janganlah kamu menyembah sesuatu selain Allah yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu. Sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (Yunus:106)
Rasulullah n menyatakan:
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa adalah ibadah.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Doa adalah ibadah seperti halnya shalat. Tidak boleh ditujukan kepada selain Allah Ta'ala, walaupun kepada rasul atau wali. Berdoa kepada selain Allah Ta'ala adalah syirik besar yang menggugurkan amal dan mengekalkan pelakunya di neraka. (Shufiyah fi Mizanil Kitab was Sunnah)
2. Shufiyah mengajarkan sihir
Sihir adalah satu perbuatan yang diharamkan dalam agama Islam. Allah Ta'ala berfirman:
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), akan tetapi setan-setanlah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak bisa memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada mereka dan tidak memberi manfaat. Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (Al-Baqarah: 102)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Jika ada seseorang belajar sihir, kami katakan kepadanya: ‘Terangkan bagaimana cara sihirmu.’ Jika dia menceritakan cara yang menyebabkan kekufuran seperti yang diyakini penduduk Babil yang mendekatkan diri mereka kepada bintang yang tujuh, yakni meyakini bahwa bintang-bintang bisa berbuat apa yang dimintai darinya, maka dia kafir. Jika cara itu menyebabkan kafir dan dia meyakini kebolehan melakukannya, maka kafir juga.” (dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir)
Bagaimana dengan shufiyah?
Mereka bukan hanya pelaku, bahkan sumber dan penyebar sihir di umat ini. Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam menyebutkan di antara sebab-sebab tersebarnya sihir adalah:
1. Menyebarnya kebodohan
2. Permusuhan di antara kaum muslimin dan selain mereka
3. Berkuasanya orang-orang kafir atas kaum muslimin
4. Menyebarnya kelompok sesat dan merusak.
Beliau juga menegaskan, shufiyah termasuk sumber sihir. Beliau terangkan bahwa sumber sihir di alam ini adalah:
1. Yahudi
2. Rafidhah dan Batiniyah
3. Shufiyah
4. Ahlul Kalam (Filsafat)
5. Buku-buku yang ditulis tentang masalah sihir
Di antara bukti yang menunjukkan shufiyah adalah orang-orang yang banyak andil dalam penyebaran sihir, adalah buku-buku sihir yang ditulis oleh tokoh-tokoh shufiyah. Di antaranya:
1. Buku Syamsul Ma’arif Al-Kubra
Penulisnya adalah Ahmad Al-Buni. Di akhir bukunya, dia menerangkan sanad-sanad ilmu sihirnya yang dinisbatkan kepada banyak tokoh shufi ekstrem.
2. Buku Rahmah fi Thibb wal Hikmah
Penulis buku ini, Mahdi bin Ibrahim Ash-Shabiri, adalah seorang tokoh shufi ekstrem.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Di antara khurafat yang paling hina dalam buku ini adalah yang disebutkan penulisnya dalam judul masalah obat kebutaan: diambil darah haid wanita yang belum pernah didatangi pria (masih gadis, red.), lalu dicampur dengan mani, digunakan sebagai celak mata, ini akan menghilangkan gangguan pada mata.”
Asy-Syaikh Muhamad bin Al-Imam berkata: “Tidak ada yang melakukan hal ini kecuali orang yang dungu dan hilang akalnya.”
Asy-Syaikh juga berkata: “Buku-buku shufi ekstrem dipenuhi sihir dan tanjim (astrologi, red.).” (Lihat Irsyadun Nazhir ila Ma’rifati Alamatis Sihri hal. 54-67)
3. Shufiyah membangun kuburan
Membangun kuburan adalah perkara yang diharamkan dalam Islam. Dari Jabir bin Abdillah radiyallahu'anhu: “Nabi Shallallahu'alaihiwasalam melarang mengapur (mengecat) kuburan, duduk di atas kuburan, juga melarang membangun sesuatu di atas kuburan.” (HR. Muslim no. 970)
Membangun masjid di atas kuburan adalah perbuatan ahlul kitab. Rasulullah Shallallahu'alaihiwaslaam pernah berkata:
أُولَئِكِ إِذَا مَاتَ مِنْهُمُ الرَّجُلٌ الصَّالِحٌ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا
“Mereka itu jika mati dari mereka seorang yang shalih, mereka bangun di atas kuburannya sebuah masjid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah menerangkan: “Ketahuilah bahwa kaum muslimin yang dahulu dan akan datang, yang awal dan akhir, sejak zaman sahabat sampai waktu kita ini, telah bersepakat bahwa meninggikan kuburan dan membangun di atasnya termasuk perkara bid’ah, yang telah ada larangan dan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam atas para pelakunya.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku menginginkan kuburan itu tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat), karena perbuatan seperti itu menyerupai hiasan atau kesombongan, sedangkan kematian bukanlah tempat salah satu di antara dua hal tersebut. Aku tidak pernah melihat kuburan Muhajirin dan Anshar dicat. Perawi berkata dari Thawus: ‘Nabi Shallallahu'alaihiwasalam melarang kuburan dibangun atau dicat’.”
Beliau rahimahullah juga berkata: “Aku membenci dibangunnya masjid di atas kuburan.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata pula: “Aku membenci ini berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan atsar…”
Asy-Syaikh Sulaiman Alu Syaikh rahimahullah berkata: “Al-Imam Nawawi rahimahullah menegaskan dalam Syarh Al-Muhadzdzab akan haramnya membangun kuburan secara mutlak. Juga beliau sebutkan semisalnya dalam Syarh Shahih Muslim.”
Bagaimana dengan shufiyah?!
Tidak samar lagi, kaum shufiyah adalah orang-orang yang paling getol membangun dan menyeru untuk membangun kuburan. Membangun kubah-kubah di atas kuburan, terutama kuburan orang yang mereka anggap sebagai wali.
1 Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari (no. 2826) dan Muslim (no. 1890) dari Abu Hurairah radiyallahu'anhu.
2 Zhihar yaitu menyerupakan istri dengan ibu kandung, seperti ucapan: “Engkau bagiku seperti punggung ibuku.”
"Sufi Menyelisihi Akidah Al-Imam Assafi’i"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak
AsySyariah.com