[AUDIO] Penghalang-Penghalang Menerima Al-Haq

by admin aluyeah
Penghalang-Penghalang Menerima Al-Haq
Al-Ustadz Muhammad As-Sewed hafizhahullah
Kajian bermula bulan Rajab 1436H
Masjid Al-Mujahidin, Slipi

Download ebook KITAB




Download Pertemuan 1 Sesi 1, Sesi 2, Sesi Tanya Jawab
Pertemuan 2 Sesi 1, Sesi 2, Sesi Tanya Jawab

Klik kanan link kemudian pilih "Save Link As". Semoga bermanfaat. Baarakallahu fiikum
alfawaaid.net

Ragam Sholat Tarawih Dan Qunut Witir Nabi

by admin aluyeah
Ragam Sholat Tarawih Dan Qunut Witir Nabi | al-uyeah.blogspot.com
Saya (Syaikh Al-Albani) telah menjelaskan perinciannya dalam kitab saya yang lain “Shalat Tarawih” (hal.101-105), kemudian saya disini hendak meringkasnya untuk mempermudah pembaca dan sebagai peringatan.

Cara Pertama
Shalat 13 rakaat yang dibuka dengan 2 rakaat yang ringan atau yang pendek, 2 rakaat itu menurut pendapat yang kuat adalah shalat sunnah ba’diyah Isya’. Atau 2 rakaat yang dikhususkan untuk membuka shalat malam, kemudian 2 rakaat panjang sekali, kemudian 2 rakaat kurang dari itu, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian witir 1 kali.

Cara Kedua
Shalat 13 rakaat diaantaranya 8 rakaat salam pada setiap 2 rakaat kemudian melakukan witir 5 rakaat tidak duduk dan salam kecuali pada rakaat kelima.

Cara Ketiga
Shalat 11 rakaat, salam pada setiap 2 rakaat dan witir 1 rakaat.

Cara Keempat
Shalat 11 rakaat, shalat 4 rakaat dengan 1 salam, kemudian 4 rakaat lagi seperti itu kemudian 3 rakaat. Lalu apakah duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat pada yang 4 dan 3 rakaat? Kami belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dalam masalah ini. Tapi duduk pada rakaat kedua dari yang tiga rakaat tidak disyariatkan !.

Cara Kelima
Shalat 11 rakaat diantaranya 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada yang kedelapan, (pada yang ke-8 ini –pent) bertsyahud dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam, kemudian berdiri lagi dan tidak salam, kemudian witir 1 rakaat, lalu salam, ini berjumlah 9 rakaat, kemudian shalat 2 rakaat lagi sambil duduk.

Cara Keenam
Shalat 9 rakaat, 6 rakaat pertama tidak diselingi duduk (tasyahud –pent) kecuali pada rakaat keenam dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam dan seterusnya sebagaimana tersebut dalam cara yang telah lau.

Inilah tata cara yang terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam secara jelas, dan dimungkinkan ditambah cara-cara yang lain yaitu dengan dikurangi pada setaip cara berapa rakaat yang dikehendaki walaupun tinggal 1 rakaat dalam rangka mengamalkan hadist Rasulullah Shallaalhu ‘alaihi wa sallam yang telah lalu (“…Barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 5 rakaat, barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 3 rakaat, barang siapa yang ingin,witirlah dengan 1 rakaat) 

[Faedah penting : Berkata Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih Ibni Khuzaimah” 2/194, setelah menyebutkan hadist Aisyah dan yang lainnya pada sebagian cara-cara tersebut, maka dibolehkan shalat dengan jumlah yang mana dari yang disukai dari yang telah diriwayatkan daari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya tida larangan bagi siapapun padanya, Saya katakan: Ini difahami sangat sesuai dengan apa yang kita pilih yang konsisten dengan jumlah yang shahih. Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menambahinya. Segala puji bagi Allah atas taufiq-Nya dan aku meminta Nya untuk menambahi keutamaan-Nya.].

Shalat 5 dan 3 rakaat ini, jika seseorang menghendaki untuk melakukannya dengan 1 kali duduk (tasyahud –pent) dan satu kali salam sebagaimana pada cara kedua, boleh. Dan jika ingin, bisa dengan salam pada setiap 2 rakaat seperti pada cara ketiga dan yang lain dan itu lebih baik. 

Adapun shalat yang 5 dan 3 rakaat denagn duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat tanpa salam, kita tidak mendapatinya terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wasallam, pada asalnya boleh, akan tetapi nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam ketika melarang untuk 3 rakaat dan memberikan alasannya dengan sabda beliau “Jangan serupakan dengan shalat mahgrib…” (diriwayatkan At-Thahawi dan Daruquthni dan selain keduanya lihat “Shalatut Tarawih” hal 99-110) .

Maka bagi yang ingin shalat witir 3 rakaat hendaknya keluar dari cara penyerupaan terhadap mahgrib dan itu dengan 2 cara :

1. Salam antara rakaat genap dan ganjil itu lebih utama.
2. Tidak duduk (tasyahud –pent) antara genap dan ganjil, (yakni pada rakaat kedua –pent).

(Dinukil dari terjemahan kitab “Qiyamu Ramadhan”, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Tata Cara Shalat Tarawih”
Hal : 60 – 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)

"Ringkasan ragam sholat Tarawih & qunut witir Rasulullah"
Salafy.or.id

Waktu Shalat Dhuha

by admin aluyeah
Waktu Shalat Dhuha | al-uyeah.blogspot.com
Shalat dhuha dikerjakan pada siang hari. Waktunya yang utama/afdhal disebutkan dalam hadits di bawah ini:

Zaid bin Arqam radiyallahu'anhum melihat orang-orang sedang shalat dhuha, maka ia berkata: Ketahuilah, orang-orang itu sungguh mengetahui bahwa shalat (dhuha) di selain waktu ini lebih utama. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

صَلاَةُ الْأَوَّابِيْنَ حِيْنَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ

Shalatnya awwabin adalah tatkala anak unta merasakan kakinya kepanasan karena terbakar panasnya pasir.” (HR. Muslim no. 1743)

Waktu yang demikian itu, kata Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah adalah ketika matahari telah tinggi dan panasnya terasa. (Subulus Salam, 3/50)

Al-Imam An Nawawi rahimahullah berkata, “Ar-Ramdha’ adalah pasir yang panasnya bertambah sangat karena terbakar matahari. Shalat awwabin adalah saat kaki-kaki anak unta yang masih kecil terbakar karena menapak/menginjak pasir yang sangat panas. 

Awwab adalah orang yang taat. Ada yang mengatakan awwab adalah orang yang kembali dengan melakukan ketaatan. 

Dalam hadits ini ada keutamaan shalat di waktu tersebut dan ia merupakan waktu yang paling utama untuk mengerjakan shalat dhuha, walaupun shalat dhuha boleh dikerjakan dari mulai terbitnya matahari sampai tergelincirnya.” (Al-Minhaj, 6/272)

Ucapan beliau rahimahullah bahwa waktu shalat dhuha yaitu mulai terbitnya matahari sampai zawal tentunya tidak persis saat terbitnya matahari, karena adanya larangan yang datang dalam hadits lain untuk mengerjakan shalat di waktu tersebut seperti hadits berikut ini:

Dari Ibnu Umar radiyallahu'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

وَلاَ تَحَرَّوْا بِصَلاَتِكُم طُلُوْعَ الشَّمْسِ وَلاَ غُرُوْبَهَا، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بِقَرْنَيْ شَيْطَانٍ

Janganlah kalian memilih untuk mengerjakan shalat kalian ketika terbit matahari dan tidak pula ketika tenggelam matahari, karena matahari terbit di antara dua tanduk setan.” (HR. Al-Bukhari no. 582, 3272 dan Muslim no. 1922)

Uqbah bin Amir radiyallahu'anhum berkata:

ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ النَّبِيُّ n يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ…

Ada tiga waktu di mana Nabi Shallallahu'alaihiwasalam melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi….” (HR. Muslim no. 1926)

Demikian pula hadits ‘Amr bin ‘Abasah radiyallahu'anhum yang menyebutkan sabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam kepadanya:

صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِيْنَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ….

Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari….” (HR. Muslim no. 1927)

Adapun hadits Abud Darda’ dan Abu Dzar radiyallahu'anhu yang mengabarkan dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, dari Allah Ta'ala, bahwasanya Dia berfirman:

ابْنَ آدَم، اِرْكَعْ لِي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ، أَكْفِكَ آخِرَهُ

Wahai anak Adam, ruku’lah (shalatlah) untuk-Ku empat rakaat dari awal siang niscaya Aku akan mencukupimu pada akhir siangmu.” (HR. At-Tirmidzi no. 475, ia berkata, “Hadits ini hasan gharib.” Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Maka yang dimaksud awal siang dalam hadits di atas bukan persis setelah shalat subuh, karena adanya hadits Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam:

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ

Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah menerangkan, “Ulama berbeda pendapat tentang waktu masuknya shalat dhuha. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Ar-Raudhah meriwayatkan dari para pengikut mazhab Asy-Syafi’i bahwa waktu dhuha mulai masuk dengan terbitnya matahari, akan tetapi disenangi mengakhirkannya sampai matahari tinggi. Sebagian dari mereka berpendapat, waktunya mulai masuk saat matahari tinggi. Pendapat ini yang ditetapkan oleh Ar-Rafi’i dan Ibnu Ar-Rif’ah.” (Nailul Authar, 2/329)

Dalam Zadil Mustaqni’ disebutkan, “Waktu dhuha mulai dari selesainya waktu larangan shalat sampai sesaat sebelum zawal.”

Kata pensyarahnya, “Yakni dari naiknya matahari seukuran tombak sampai masuknya waktu larangan shalat dengan matahari berada di tengah langit. Waktunya yang paling utama adalah apabila panas matahari terasa menyengat.” (Ar-Raudhul Murbi’, 1/176)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa ukuran satu tombak itu menurut penglihatan mata orang yang melihat dan ukurannya sekitar satu meter[1]. Kemudian beliau menyimpulkan bahwa waktu dhuha dimulai dari berakhirnya waktu larangan shalat di awal siang sampai datangnya waktu larangan di tengah siang (tengah hari). Mengerjakannya di akhir waktu lebih utama karena adanya hadits Nabi n tentang shalat awwabin. (Asy-Syarhul Mumti’, 4/88)

Nabi Shallallahu'alaihiwaslaam Mengerjakan Shalat Dhuha setelah Siang Meninggi

Dalam peristiwa Fathu Makkah, Ummu Hani radiyallahu'anha mengabarkan:

(artinya) “Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam datang pada hari Fathu Makkah setelah siang meninggi, lalu didatangkan kain untuk menutupi beliau yang hendak mandi. (Seselesainya dari mandi) beliau bangkit untuk mengerjakan shalat sebanyak delapan rakaat….” (HR. Muslim no. 1665)

"Waktu-wakktu Shalat Sunnah" ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
Asysyariah.com

Shalat Sunnah Rawatib

by admin aluyeah
Shalat Sunnah Rawatib | al-uyeah.blogspot.com
Shalat sunnah rawatib adalah shalat-shalat sunnah yang berkaitan dengan shalat-shalat wajib, baik dilakukan sebelum atau sesudah shalat wajib. Perlu diketahui bahwa shalat sunnah itu ada 2 macam :

1. Sunnah Muthlaqah (sunnah mutlak)

Yaitu shalat sunnah yang dilakukan tanpa terkait dengan waktu, shalat wajib maupun sebab tertentu. Shalat ini dilakukan 2 rakaat tanpa ada batas maksimal jumlah rakaatnya. Shalat ini dapat dilakukan di siang maupun malam hari.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya): “Shalat malam dan siang hari itu (dilakukan) 2 rakaat 2 rakaat.” [H.R Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Dishahihkan asy-Syaikh al-Albani].

Hanya saja shalat sunnah muthlaqah ini tidak boleh dilakukan di 3 waktu:

a. Setelah menunaikan shalat Subuh sampai matahari terlihat naik setinggi 1 atau 2 tombak (kira-kira 1 atau 2 meter) dari permukaan tanah. Matahari mulai berposisi demikian kira-kira 15 menit setelah terbitnya.

b. Ketika matahari tepat berada di tengah langit, sejenak sebelum masuk waktu Zhuhur. Posisi matahari yang demikian ini dapat diketahui dari tidak adanya bayangan dari sebuah benda yang berdiri tegak, bayangan lurus benda tersebut ke arah utara atau lurus ke arah selatan.

c. Setelah matahari berwarna kekuningan sampai terbenamnya.

2. Sunnah Muqayyadah (sunnah yang terkait)

Yaitu shalat sunnah yang terkait dengan waktu tertentu seperti shalat Dhuha (setelah matahari terlihat naik lebih dari 2 tombak sampai sebelum posisi matahari tepat di tengah langit) atau shalat witir (setelah menunaikan shalat ‘Isya’ sampai sebelum masuk waktu Subuh). 

Termasuk dari jenis sunnah muqayyadah ini adalah shalat sunnah yang terkait dengan sebab tertentu seperti shalat tahiyyatul masjid saat masuk masjid –menurut pendapat yang mengatakan sunnah-, shalat 2 rakaat setelah wudhu, shalat gerhana –menurut yang berpendapat sunnah-, dan shalat sunnah rawatib.

Faedah Menunaikan Shalat Sunnah

Shalat sunnah dan ibadah sunnah lainnya memiliki faedah besar yaitu menutupi kekurangan yang ada pada shalat atau ibadah wajib.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya): 

Sesungguhnya (amalan) yang pertama kali dihitung dari seorang muslim pada hari kiamat adalah shalat wajib. Apabila nilai shalat wajibnya sempurna maka sempurna pula balasannya. Namun apabila tidak sempurna maka dikatakan: Lihatlah! Apakah orang ini memiliki perhitungan shalat sunnah? Apabila ia memiliki perhitungan shalat sunnah maka kekurangan pada shalat wajibnya akan disempurnakan oleh shalat sunnahnya. Selanjutnya berlaku demikian pada seluruh amalan wajib lainnya.” [H.R Ibnu Majah. Lihat Abu Dawud, an Nasa’i, dan at-Tirmidzi. Hadits ini dishahihkan asy-Syaikh al-Albani].

Dengan demikian tidak sepantasnya kita meremehkan ibadah-ibadah sunnah setelah dapat menunaikan ibadah-ibadah wajib. Terlebih, sangat besar kemungkinan –kalau tidak dikatakan mesti- ibadah wajib kita masih jauh dari nilai sempurna baik secara lahir maupun batin.

Keutamaan Shalat Sunnah Rawatib

Keutamaan shalat sunnah rawatib bisa diperoleh dengan menunaikan seluruh shalat tersebut atau sebagiannya.

Terkait dengan seluruh shalat sunnah rawatib, disebutkan dalam hadits Ummu Habibah Ramlah bintu Abi Sufyan radhiyallahu ‘anha, berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya): 

Tidaklah seorang muslim yang mengerjakan shalat sunnah bukan wajib di setiap hari sebanyak 12 rakaat semata-mata karena Allah melainkan akan dibuatkan baginya sebuah rumah di surga (Al Jannah).” [H.R Muslim]

Disebutkan dalam hadits lain bahwa 12 rakaat tersebut adalah 4 rakaat sebelum Zhuhur dan 2 rakaat setelahnya, 2 rakaat setelah Maghrib, 2 rakaat setelah ‘Isya’ dan 2 rakaat sebelum Subuh. [Lihat an-Nasa’i, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah yang dishahihkan asy-Syaikh al-Albani].

Adapun terkait sebagian shalat sunnah rawatib, disebutkan dalam hadits Ummu Habibah juga, berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah bersabda (artinya): 

Barangsiapa menjaga 4 rakaat sebelum Zhuhur dan 4 rakaat setelahnya maka ia akan dijauhkan dari neraka (An-Naar).” [H.R Abu Dawud dan dishahihkan asy-Syaikh al-Albani].

Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, bersabda (artinya): 

2 rakaat (sebelum) Subuh itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” [H.R Muslim].

Atas dasar riwayat-riwayat yang telah disebutkan, maka jumlah rakaat shalat sunnah rawatib maksimalnya sebanyak 14 rakaat. Wallahu a’lam.

Namun bila seseorang memang tidak mampu untuk menunaikan shalat sunnah rawatib sebanyak 14 rakaat di setiap harinya, maka ia hendaknya menunaikan sebatas kemampuannya. Terutama 2 rakaat sebelum Subuh, maka jangan sampai ia tinggalkan. Beberapa hadits yang shahih menunjukkan bahwa 2 rakaat sebelum shalat Subuh adalah shalat sunnah rawatib yang paling ditekankan dibandingkan shalat-shalat sunnah rawatib yang lainnya.

Hukum-hukum Tentang Shalat Sunnah Rawatib

Beberapa hukum tentang shalat sunnah rawatib yang perlu kita ketahui adalah :

1. Shalat sunnah rawatib lebih utama (afdhal) untuk dikerjakan di rumah bukan di masjid.

Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu (artinya): “….maka hendaklah kalian menunaikan shalat di rumah-rumah kalian. Sesungguhnya sebaik-baik shalat seseorang adalah shalat di rumahnya, kecuali shalat wajib.” [H.R al-Bukhari dan Muslim].

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata: “(Keutamaan) yang demikian itu disebabkan kemanfaatan-kemanfaatan yang ditimbulkan darinya seperti: jauh dari riya’ dan merasa kagum terhadap shalatnya, menyembunyikan amalan dari pandangan manusia, dapat menyebabkan kesempurnaan khusyu’ dan ikhlas. Diantaranya pula untuk memakmurkan rumah dengan zikrullah dan shalat, sehingga turun rahmat Allah terhadap penghuni rumah tersebut sekaligus syaithan menjauh dari rumah tersebut …” [al-Mulakhash al-Fiqhi].

2. Apabila telah usai menunaikan shalat wajib maka jangan langsung menunaikan shalat sunnah rawatib tanpa disela dengan zikir setelah shalat wajib, pembicaraan tertentu atau beranjak ke tempat lain.

Disebutkan oleh seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah menunaikan shalat ‘Ashr. Lalu seseorang berdiri untuk (langsung) menunaikan shalat. Ternyata Umar melihat orang tersebut dan berkata: “Duduklah! Sesungguhnya celakanya Ahlul Kitab itu karena tidak adanya sela di antara shalat mereka.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya): “Ibnul Khaththab telah berbuat baik.” [ash-Shahihah 2549).

3. Apabila seseorang sedang menunaikan shalat sunnah rawatib kemudian mendengar suara iqamah maka hendaknya dia putuskan shalat sunnahnya tersebut. 

Hal ini berlandaskan hadits Abu Hurairah secara marfu’ (artinya): “Bila telah dikumandangkan iqamah maka tidak ada shalat kecuali shalat yang dikumandangkan iqamah untuknya.” [Al Irwa’ dan dishahihkan asy-Syaikh al-Albani].

4. Bila seseorang dalam keadaan sebagai musafir maka dirinya dituntunkan untuk tidak melakukan shalat sunnah rawatib. 

Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan al-Imam Muslim rahimahullah. Dikecualikan dari shalat sunnah rawatib tersebut adalah 2 rakaat sebelum shalat Subuh. Seorang musafir tetap ditekankan untuk menunaikan 2 rakaat sebelum Subuh. 

Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan al-Imam al-Bukhari rahimahullah. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Diantara bimbingan beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam ketika safar yaitu mencukupkan dengan menunaikan shalat wajib saja. Tidak teriwayatkan bahwa beliau menunaikan shalat sunnah baik sebelum maupun sesudah shalat wajib. Dikecualikan dari hal ini adalah shalat witir dan shalat sunnah sebelum Subuh.” [Zaadul Ma’ad yang dinukil dari al-Mulakhash al-Fiqhi].

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Tidak teriwayatkan sebuah dalil tentang ditinggalkannya shalat sunnah sepanjang yang kami ketahui kecuali shalat sunnah rawatib Zhuhur, Maghrib, dan ‘Isya’.” [Shifatul Hajj hal.13]

Wallahu a’lamu bish-Shawaab

assunnahmadiun.wordpress.com

Hukuman Yang Mendidik

by admin aluyeah
Hukuman Yang Mendidik | al-uyeah.blogspot.com
Acapkali seorang pendidik -baik orang tua maupun guru- harus menghadapi anak didiknya dengan menjatuhkan hukuman. Tentu saja disertai harapan, tindakannya ini bisa menghentikan kesalahan sang anak. Alangkah baiknya bila setiap pendidik memerhatikan metode pengajaran yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sekarang, kembali kita telaah nasihat asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah.

Ada bentuk-bentuk hukuman yang mendidik, yang bisa diharapkan keberhasilannya. Seyogianya setiap pendidik menerapkan hukuman seperti ini terhadap anak yang kurang beradab dalam mengikuti pelajaran atau memandang remeh gurunya. Ini merupakan metode pendidikan yang aman dari dampak negatif dan bisa diharap keberhasilannya—dengan kehendak Allah ‘azza wa jalla tentunya.

Nasihat dan Arahan

Ini adalah metode yang amat mendasar dalam pendidikan dan pengajaran. Kalaupun tanpa disertai metode lain, metode ini pun sudah cukup. Metode inilah yang diterapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap anak-anak dan orang dewasa.

Nasihat kepada anak-anak

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihatseorang anak yang tangannya berkeliling mengambil makanan. Beliau pun mengajarinya cara makan yang benar,

“Nak, ucapkanlah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat denganmu.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Jangan ada seorang pun yang menyatakan bahwa metode seperti ini hanya sedikit memberikan pengaruh terhadap anak-anak. Saya sendiri (asy-Syaikh bin Jamil Zainu –pen.) pernah mengalaminya berkali-kali. Ternyata metode seperti ini memberikan pengaruh yang paling baik.

Pernah ada seorang anak yang mencela agama temannya. Saya pun mendekatinya dan bertanya kepadanya, “Siapa namamu, nak? Kelas berapa dan dari sekolah mana?”

Setelah dia menjawab, saya pun bertanya, “Siapa yang menciptakanmu?”

“Allah,” jawabnya.

“Siapa yang memberimu pendengaran dan penglihatan? Siapa pula yang memberimu makanan berbagai buah-buahan dan sayur-sayuran?” tanya saya lagi.

“Allah,” jawabnya.

Saya tanya lagi, “Lalu apa kewajibanmu terhadap yang memberimu semua nikmat ini tadi?”

“Bersyukur kepada-Nya,” jawab anak itu lagi.

“Apa yang tadi baru saja kaukatakan kepada temanmu?” tanya saya.

Dia pun merasa malu. “Tadi temanku itu yang nakal kepadaku!”

Saya jelaskan kepadanya, “Memang, sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidak akan menerima perbuatan zalim, bahkan melarangnya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

‘… dan janganlah kalian berbuat melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat melampaui batas.’ (al-Baqarah: 190).”

“Tetapi, sebenarnya siapa yang membisiki temanmu itu hingga memukulmu?”

Dia menjawab, “Setan.”

“Kalau begitu, seharusnya kau mencela setannya!” kata saya.

Dia pun mengatakan kepada temannya, “Semoga setanmu itu dilaknat!”

Kemudian saya menasihatinya, “Sekarang kau harus bertobat kepada Allah dan memohon ampun pada-Nya, karena mencela agama itu perbuatan kufur.”

Dia segera mengatakan, “Saya memohon ampun kepada Allah Yang Mahaagung, dan aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang layak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah!”

Saya pun mengucapkan terima kasih kepadanya dan memintanya tidak mengulangi perbuatannya itu serta menasihati teman-temannya apabila ada di antara mereka yang mencela agama.

Suatu kali, saya sedang berjalan bersama seorang guru. Tiba-tiba kami melihat seorang anak kecil buang air kecil di tengah jalan. Guru itu pun berteriak, “Celaka kamu! Celaka kamu! Jangan kaulakukan!”

Anak kecil itu ketakutan. Dia segera memutus kencingnya dan lari.

Melihat itu, kukatakan kepada guru tadi, “Engkau telah menyia-nyiakan kesempatan kita untuk memberikan nasihat kepada anak itu.”

“Apa boleh kubiarkan anak itu kencing di tengah jalan di depan orang banyak?” katanya.

“Apakah engkau mau melakukan sesuatu yang tidak seperti apa yang kaulakukan tadi?” kata saya, “Biarkan anak itu sampai selesai buang air, lalu panggil dia kemari. Aku akan memperkenalkan diri, lalu akan kukatakan padanya, ‘Nak, jalanan ini tempat orang lalu lalang. Jadi, tidak boleh buang air kecil di sini. Di dekat sini ada tempat buang air. Jangan pernah kau ulangi lagi perbuatan seperti ini, supaya kau jadi anak yang baik. Semoga engkau mendapatkan petunjuk dan taufik’.”

Mendengar penjelasan itu, guru tadi menyatakan, “Ini metode yang bijaksana dan amat berfaedah.”

Kujelaskan padanya, “Ini metode pendidik seluruh manusia, Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu saya sebutkan kepadanya kisah seorang Arab gunung yang amat masyhur itu.

Nasihat kepada yang telah baligh

Contoh nasihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang teramat besar pengaruhnya bagi orang yang menerimanya adalah kisah A’rabi (Arab gunung) yang diceritakan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Suatu ketika, kami berada di masjid bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba datang seorang A’rabi, lalu buang air kecil sambil berdiri di masjid. Para sahabat pun berteriak menegur, “Jangan! Jangan!”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian putuskan dia! Biarkan dia!”

Para sahabat membiarkan orang itu hingga selesai buang air kecil. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil A’rabi itu dan menasihatinya, “Sesungguhnya masjid-masjid itu tidak sepantasnya untuk buang air kecil ataupun buang air besar. Masjid itu hanyalah untuk berzikir kepada Allah, shalat, dan membaca al- Qur’an.”

Beliau mengatakan kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya aku diutus sebagai pemberi kemudahan dan tidak diutus untuk memberi kesulitan. Guyurlah bekas air kencing itu dengan seember air!”

Mendengar ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, A’rabi itu berdoa, “Ya Allah, kasihilah diriku dan Muhammad, dan jangan Engkau kasihi seorang pun selain kami berdua!”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan, “Engkau telah menyempitkan yang luas.” (Muttafaqun ‘alaih)

Menunjukkan Wajah Masam

Kadangkala, bisa pula seorang pendidik menunjukkan muka masam terhadap muridnya saat mereka gaduh, untuk menjaga jalannya pelajaran dan menjaga wibawanya. Ini lebih baik daripada menggampangkan perbuatan mereka yang seperti itu, namun akhirnya langsung menghukum mereka.

Memberi Peringatan Keras

Banyak guru yang mengambil jalan dengan memberi peringatan keras terhadap muridnya yang banyak tanya untuk mengulur waktu pelajaran, bermaksud meremehkan gurunya, atau melakukan kesalahan lainnya. Ketika guru telah memberi peringatan keras dan bersuara lantang, murid itu pun akan terdiam dan duduk dengan santun.

Metode ini dilakukan oleh Rasulullah ketika melihat seseorang menggiring badanah[1]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur, “Tunggangi unta itu!” [1]

“Sesungguhnya unta ini badanah,” jawab orang itu.

Rasulullah menegur lagi, “Tunggangi!”

Akhirnya orang itu menunggangi badanahnya, berjalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara sandalnya dia letakkan di leher untanya. (HR. al-Bukhari)

Menyuruh Murid Menghentikan Perbuatannya

Ketika melihat ada murid-muridnya yang bercakap-cakap saat pelajaran berlangsung, guru bisa menyuruh mereka untuk diam dengan suara yang lantang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh seseorang yang bersendawa di hadapan beliau,

Tahanlah sendawamu di hadapan kami!” (Hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ no. 4367)

Berpaling

Bisa pula seorang pendidik berpaling dari anaknya atau muridnya jika melihatnya berkata bohong, memaksa meminta sesuatu yang tidak semestinya diberikan, atau kesalahankesalahan yang lain. Si anak akan merasakan sikap tidak peduli dari sang guru atau sang ayah, sehingga akan tersadar dari kesalahannya.

Hajr (Mendiamkan)

Seorang pendidik bisa mendiamkan anak atau muridnya jika mereka meninggalkan shalat, menonton film, atau melakukan perbuatan yang menyelisihi adab belajar. Hajr ini paling lama tiga hari, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (Sahih, lihat Shahihul Jami’ no. 753)

Tindakan hajr ini mengandung pendidikan adab, baik bagi anak maupun murid. Seorang penyair pernah mengatakan,

Wahai kalbu, bersabarlah dengan hajr dari orang yang kau cinta

jangan kau putus asa karenanya, karena pendidikan kesantunan ada padanya

Teguran Keras

Jika nasihat dan arahan tidak memberikan hasil, pendidik boleh menegur anak atau muridnya dengan keras ketika melakukan suatu kesalahan besar.

Duduk Qurfusha’

Apabila seorang guru kewalahan mengatasi murid yang malas, tebal muka, atau yang semisalnya, sang guru bisa memerintahnya untuk bangkit dari tempat duduknya dan menyuruhnya duduk qurfusha’ di depan kelas, di atas kedua telapak kakinya sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Ini bisa membuat lelah si murid dan menjadi hukuman baginya. Di samping itu, lebih utama daripada menghukumnya dengan tangan atau tongkat.

Hukuman dari Ayah

Apabila seorang murid terus menerus mengulangi kesalahannya, hendaknya guru menulis surat kepada wali murid tersebut dan menyerahkan hukumannya kepada sang wali terhadap si murid setelah menasihatinya. Dengan demikian, lengkaplah kerjasama antara sekolah dan rumah tangga dalam mendidik anak.

Menggantungkan Tongkat

Disenangi apabila seorang pendidik—baik guru maupun ayah— menggantungkan cambuk yang bisa digunakan untuk memukul dinding agar anak-anak bisa menyaksikannya dan merasa takut terhadap hukuman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Gantungkanlah cambuk di tempat yang bisa dilihat oleh anggota keluarga kalian, karena hal itu merupakan pendidikan adab bagi mereka.” (Dinyatakan hasan oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 4022)

Ucapan beliau, “bisa dilihat oleh anggota keluarga”, maksudnya agar menjadi rintangan bagi mereka melakukan berbagai kejelekan, karena takut tertimpa hukuman sebagai akibatnya.

Ucapan beliau, “karena hal itu merupakan pendidikan adab bagi mereka”, maksudnya bisa membuat mereka bersikap santun, berakhlak dengan akhlak yang mulia dan menyandang berbagai keutamaan yang sempurna. (Faidhul Qadir, al-Munawi, 4/325)

Pukulan Ringan

Seorang pendidik boleh memukul dengan ringan, jika segala cara di atas tidak memberi manfaat. Lebih-lebih lagi dalam hal penunaian shalat bagi seorang anak yang telah berusia sepuluh tahun, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Ajari anak-anak kalian shalat ketika telah berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat ketika telah berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Sahih, HR. al-Bazzar dan yang lainnya)

Tentu amat indah pengajaran apabila disertai metode yang sesuai syariat. Karena itu, bekal berharga seperti ini sudah semestinya dimiliki oleh seorang pendidik sejati.

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

(Dinukil dan diterjemahkan dengan sedikit perubahan dari kitab Nida’ ilal Murabbiyyin wal Murabbiyyat karya asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah oleh Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)

[1] Badanah adalah unta yang hendak dijadikan sebagai hadyu dalam ibadah haji.

AsySyariah.com

[AUDIO] Marhaban Ya Ramadhan

by admin aluyeah
Marhaban Ya Ramadhan | al-uyeah.blogspot.com
Semoga kita senantiasa mendapat Rahmat dan KaruniaNya. Download kajian dengan tema "Marhaban ya Ramadhan" oleh ustadz Abu Mu'awiyah Asykari. Semoga bisa menjadi bekal kita dalam menyambut puasa Ramadhan. 


Download Marhaban Ya Ramadhan
Klik kanan link kemudian pilih "Save Link As". Semoga bermanfaat. Baarakallahu fiikum

Persiapan Ramadhan Bersama Generasi As-Salafush Shalih

by admin aluyeah
Persiapan Ramadhan Bersama Generasi As-Salafush Shalih | al-uyeah.blogspot.com
Generasi as-salafush shalih mereka adalah orang-orang yang mengetahui betapa berharganya bulan yang penuh barakah ini, mereka melewati bulan tersebut dengan penuh keseriusan dan bersungguh-sungguh untuk melakukan amal shalih dengan mengharapkan ridha Allah dan mengharap ganjaran-Nya. 

Telah tetap bahwasanya mereka dahulu berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar Allah menyampaikan mereka kembali kepada Ramadhan kemudian mereka juga berdo’a kepada-Nya selama 6 bulan agar Dia menerima amalan-amalan mereka.

Abdul Aziz bin Abi Daud berkata : “Aku mendapati mereka bersungguh-sungguh dalam beramal shalih. Ketika mereka telah melakukannya, mereka pun ditimpa kekhawatiran, apakah amalan mereka diterima atau tidak.”

Maka kemarilah wahai saudaraku yang mulia! Kita lihat sebagian keadaan para salaf ketika bulan Ramadhan dan bagaimana semangat, keinginan yang kuat, dan kesungguhan mereka dalam beribadah agar kita bisa berupaya meneladaninya, dan agar kita termasuk orang yang mengerti kedudukan bulan Ramadhan ini sehingga kita pun mau serius beramal shalih padanya.

Pertama : ‘Ulama Salaf dan Membaca Al-Quran.

Ibnu Rajab bekata: Dalam hadits Fathimah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau mengabarkan kepadanya:

أنّ جبريل عليه السلام كان يعارضه القرآن كل عام مرةً وأنّه عارضه في عام وفاته مرتين

Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam menyimak Al-Qur’an yang dibacakan Nabi sekali pada setiap tahunnya, dan pada tahun wafatnya Nabi, Jibril menyimaknya dua kali. (Muttafaqun ‘Alaihi)

Dan dalam hadits Ibnu Abbas:

أنّ المدارسة بينه وبين جبريل كانت ليلاً

Bahwasanya pengkajian terhadap Al-Qur’an antara beliau dengan Jibril terjadi pada malam bulan Ramadhan. (Muttafaqun ‘Alaihi).

Hadits ini menunjukkan disunnahkannya memperbanyak membaca Al-Quran pada malam bulan Ramadhan, karena waktu malam terputus segala kesibukan, terkumpul pada malam itu berbagai harapan, hati dan lisan pada malam bisa berpadau untuk bertaddabur, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْءاً وَأَقْوَمُ قِيلاً

Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. (Al-Muzammil: 6)

Bulan Ramadhan mempunyai kekhususan tersendiri dengan (diturunkannya) Al-Qur’an, sebagaimana Allah ta’ala berfirman

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (Al-Baqarah: 185) Latha’iful Ma’arif hal. 315.

Oleh kerena itulah para ‘ulama salaf rahimahumullah sangat bersemangat untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, sebagaimana yang dijelaskan dalam Siyar A’lamin Nubala’, di antaranya:

1. Dahulu Al-Aswad bin Yazid mengkhatamkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan setiap dua malam, beliau tidur antara Magrib dan Isya’. Sedangkan pada selain bulan Ramadhan beliau mengkhatamkan Al Qur’an selama 6 hari.

2. Al-Imam Malik bin Anas jika memasuki bulan Ramadhan beliau meninggalkan pelajaran hadits dan majelis ahlul ilmi, dan beliau mengkonsentrasikan kepada membaca Al Qur’an dari mushaf.

3. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri jika datang bulan Ramadhan beliau meninggalkan manusia dan mengkonsentrasikan diri untuk membaca Al Qur’an.

4. Said bin Zubair mangkhatamkan Al-Qur’an pada setiap 2 malam.

5. Zabid Al-Yami jika datang bulan Ramadhan beliau menghadirkan mushaf dan murid-muridnya berkumpul di sekitarnya.

6. Al-Walid bin Abdil Malik mengkhatamkan Al-Qur’an setiap 3 malam sekali, dan mengkhatamkannya sebanyak 17 kali selama bulan Ramadhan.

7. Abu ‘Awanah berkata : Aku menyaksikan Qatadah mempelajari Al-Qur’an pada bulan Ramadhan.

8. Qatadah mengkhatamkan Al-Qur’an pada hari-hari biasa selama 7 hari, jika datang bulan Ramadhan beliau mengkhatamkannya selama 3 hari, dan pada 10 terakhir Ramadhan beliau mengkhatamkannya pada setiap malam.

9. Rabi’ bin Sulaiman berkata: Dahulu Al-Imam Syafi’i mengkhatamkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan sebanyak 60 kali, dan pada setiap bulannya (selain Ramadhan) sebanyak 30 kali.

10. Waki’ bin Al-Jarrah membaca Al-Quran pada malam bulan Ramadhan serta mengkhatamkannya ketika itu juga dan ditambah sepertiga dari Al Qur’an, shalat 12 rakaat pada waktu dhuha, dan shalat sunnah sejak ba’da zhuhur  hingga ashar.

11. Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mengkhatamkan Al Qur’an pada siang bulan Ramadhan setiap harinya dan setelah melakukan shalat tarawih beliau mengkhatamkannya setiap 3 malam sekali.

12. Al-Qasim bin ‘Ali berkata menceritakan ayahnya Ibnu ‘Asakir (pengarang kitab Tarikh Dimasyqi): Beliau adalah seorang yang sangat rajin melakukan shalat berjama’ah dan rajin membaca Al-Qur’an, beliau mengkhatamkannya setiap Jum’at, dan mengkhatamkannya setiap hari pada bulan Ramadhan serta beri’tikaf di menara timur.

Faidah

Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata: Bahwasanya larangan mengkhatamkan Al-Quran kurang dari tiga hari itu adalah apabila dilakukan secara terus menerus. Adapun pada waktu-waktu yang terdapat keutamaan padanya seperti bulan Ramadhan terutama pada malam-malam yang dicari/diburu padanya lailatul qadr atau pada tempat-tempat yang memiliki keutamaan seperti Makkah bagi siapa saja yang memasukinya selain penduduk negeri itu, maka disukainya untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an, dalam rangka memanfaatkan (keutamaan) waktu dan tempat tersebut. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, dan selainnya dari kalangan ulama’ . (Latha’iful Ma’arif).

Kedua : ‘Ulama Salaf dan shalat malam (tarawih)

Shalat tarawih ini merupakan kebiasaan orang-orang shalih, perniagaan kaum mu’minin, dan amalannya orang-orang yang meraih kemenangan. Pada waktu malam orang-orang yang beriman menyendiri dengan Rabbnya, menghadap kepada Penciptanya, mengadukan keadaan mereka seraya memohon kepada-Nya keutamaan-Nya. 

Jiwa-jiwa mereka berada di antara kedua tangan Pencitanya, beri’tikaf untuk bermunajat kepada Penciptanya. Mereka berupaya mendapat percikan cahaya dari ibadah tersebut, berharap dan bersimpuh diri atas adanya berbagai pemberian dan karunia (dari Rabbnya).

1. Al-Hasan Al-Bashri berkata : Aku tidak mendapati suatu ibadah pun yang lebih besar nilainya daripada shalat pada pertengahan malam.

2. Abu ‘Utsman An-Nahdi berkata: Aku bertamu kepada Abu Hurairah selama 7 hari, maka beliau, istri dan pembantunya membagi malam menjadi 3 bagian, yang satu shalat ini kemudian membangunkan yang lainnya.

3. Dahulu Syaddad bin Aus jika beranjak untuk beristirahat di ranjangnya, kondisinya bagaikan biji yang berada di atas penggorengan (yakni tidak tenang) kemudian berdoa : Ya Allah! Sesungguhnya Jahannam (terus mengancam)! Jangan Engkau biarkan aku tidur. Maka beliau pun bangun dan langsung menuju tempat shalatnya.

4. Dahulu Thawus melompat dari atas tempat tidurnya kemudian langsung bersuci dan menghadap qiblat (melakukan shalat) hingga datang waktu shubuh dan berkata : Mengingat Jahannam akan menghentikan tidurnya para ahli ibadah.

5. Dari As-Saib bin Yazid dia berkata: Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari radhiyallahu ‘anhuma mengimami manusia pada malam Ramadhan (dalam shalat tarawih). Kemudian sang imam membaca 200 ayat, hingga kami bersandar kepada tongkat-tongkat karena lamanya berdiri, tidaklah kami selesai dari shalat kecuali telah mendekati waktu shubuh. (HR. Al-Baihaqi).

6. Dari Malik bin ‘Abdillah bin Abi Bakr, dia bekata : Aku mendengar ayahku berkata: Dahulu kami selesai dari shalat malam pada bulan Ramadhan, kami pun bersegera mempersiapkan makan karena takut datangnya waktu shubuh. (HR. Malik dalam Al Muwaththa’).

7. Dari Dawud bin Al-Hushain, dari ‘Abdurrahman bin Hurmuz, dia berkata: Para qari’ (para imam tarawih) dahulu membaca surat Al-Baqarah dalam delapan raka’at. Maka ketika para qari’ (para imam tarawih) membacanya dalam 12 raka’at, orang-orang melihat bahwa para imam tersebut telah meringankan bacaan untuk mereka. (HR. Al Baihaqi)

8. Nafi’ berkata: Dahulu Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma tinggal di rumahnya pada bulan Ramadhan. Ketika orang-orang telah pergi dari masjid, beliau mengambil sebuah wadah yang berisi air kemudian keluar menuju masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau tidak keluar dari masjid sampai tiba waktu shalat shubuh di masjid tersebut. (HR. Al Baihaqi)

9. Dari Nafi’ bin ‘Umar bin Abdillah, dia berkata: aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah berkata: Dahulu aku pernah mengimami manusia pada bulan Ramadhan, aku membaca pada suatu raka’at surat Alhamdulillahi Fathir (surat Fathir) dan yang semisalnya. Tidak sampai kepadaku bahwa ada seorang pun yang merasa keberatan dengannya. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

10. Dari ‘Imran bin Hudair, dia berkata: Dahulu Abu Mijlaz tinggal di sebuah perkampungan, pada bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tujuh hari. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

11. Dari Abdush Shamad, dia berkata: Abul Asyhab telah memberitakan kepadaku, dia berkata: Dahulu Abu Raja’ mengkhatamkan Al Qur’an ketika mengimami kami pada sholat malam bulan Ramadhan setiap sepuluh hari.

Sebab-sebab bathiniyah untuk seseorang bisa bangun malam ada empat perkara

Pertama: Selamatnya hati dari hasad terhadap kaum muslimin, selamatnya hati dari kebid’ahan dan sesuatu yang tidak bermanfaat dari perkara duniawi.

Kedua: Senantiasa hatinya terbiasa takut disertai dengan pendek angan-angan.

Ketiga: Mengetahui keutamaan shalat malam.

Keempat: Ini adalah faktor pendorong yang paling mulia, yaitu cinta karena Allah dan kuatnya iman bahwasanya dalam shalatnya tersebut tidaklah dia berucap dengan satu huruf pun melainkan dia sedang bermunajat kepada Rabbnya.

Ketiga : ‘Ulama Salaf dan sifat pemurah dan dermawan ketika menyambut bulan Ramadhan

1. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس بالخير، وكان أجود ما يكون في شهر رمضان، إنّ جبريل عليه السلام كان يلقاه في كل سنة في رمضان حتى ينسلخ فيعرض عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم القرآن، فإذا لقيه جبريل كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود بالخير من الريح المرسلة.

Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling pemurah dalam memberikan kebaikan, dan sifat pemurah beliau yang paling besar adalah ketika Ramadhan. Sesungguhnya Jibril biasa berjumpa dengan beliau, dan Jibril ‘alaihis salam senantiasa menjumpai beliau setiap malam bulan Ramadhan sampai selesai (habis bulan Ramadhan), Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan padanya Al Qur’an. Ketika berjumpa dengan Jibril’ alaihissalam, beliau sangat dermawan kepada kebaikan daripada angin yang berhembus. (Muttafaqun ‘Alaihi)

Al-Muhallab berkata: “Dalam hadits tersebut menunjukkan barakahnya beramal kebajikan dan sebagian amalan kebajikan itu akan membuka dan membantu untuk dikerjakannya bentuk amalan kebajikan yang lain. Tidakkah kamu tahu bahwa barakahnya puasa, perjumpaan (Nabi) dengan Jibril, dan dibacakannya Al-Qur’an kepadanya akan menambah kesungguhan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beribadah dan bershadaqah sampai-sampai digambarkan lebih cepat daripada angin yang berhembus.”

Az-Zain bin Al-Munayyir berkata: Yakni semua bentuk kebaikan beliau, baik tatkala dalam kondisi fakir dan butuh maupun dalam kondisi kaya dan berkecukupan merata lebih daripada meratanya air hujan menimpa bumi yang dihembuskan angin.

Ibnu Rajab berkata : Asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata: Yang paling dicintai bagi seseorang adalah semakin bertambah kedermawanannya pada bulan Ramadhan dalam rangka meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan karena kebutuhan manusia agar tercukupi keperluan-keperluan mereka, serta agar mereka tersibukkan dengan ibadah puasa dan shalat dari pekerjaan mereka.”

2. Adalah Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berpuasa dan tidak berbuka kecuali bersama orang-orang miskin, namun jika keluarganya menghalangi mereka darinya, maka ia tidak makan pada malam itu. Jika ada seorang peminta datang kepada beliau dalam keadaan beliau sedang makan, beliau mengambil bagiannya dan memberikan kepada si peminta tersebut, beliau pun kembali dan keluarganya telah memakan apa yang tersisa di mangkuk tempat makanan. Maka beliau berpuasa pada pagi harinya dan tidak memakan sesuatu apapun.

3. Yunus bin Yazid berkata: Dahulu Al-Imam Ibnu Syihab rahimahullah jika memasuki bulan Ramadhan, beliau isi bulan tersebut dengan membaca Al-Quran dan memberi makan.

4. Adalah Hammad bin Abi Salamah rahimahullah memberi jamuan berbuka pada bulan Ramadhan kepada 500 orang dan setelah ‘idul fithri beliau memberi masing-masing mereka dengan 500 dirham.

Keempat : Sedikit makan

1. Ibrahim bin Abi Ayyub berkata : Dahulu Muhammad bin ‘Amr Al-Ghazy pada bulan Ramadhan makan hanya dua kali.

2. Abul ‘Abbas Hasyim bin Al-Qasim berkata : Dahulu aku pernah di sisi Al-Muhtadi (salah satu khalifah Bani ‘Abbas) pada sore hari di bulan Ramadhan, kemudian aku berdiri untuk pergi, maka dia (Al Muhtadi) berkata: duduklah. Maka aku pun duduk, kemudian dia mengimami shalat. Setelah itu dia meminta untuk dihidangkan makanan, maka dihidangkanlah kepada dia satu nampan yang di dalamnya terdapat roti dan tempat yang yang berisi garam, minyak, dan cuka. Kemudian dia mengundangku untuk makan, maka aku pun makan layaknya orang yang menunggu hidangan makanan yang lain. Dia berkata: bukankah besok engkau masih berpuasa? Aku katakan: tentu. Dia berkata: makanlah dan cukupkan makanmu karena tidak ada makanan yang lain selain apa yang kamu lihat ini.

Kelima : Menjaga lisan, sedikit bicara, menjaga diri dari dusta

1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجةٌ في أن يدع طعامه وشرابه

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan yang haram dan melakukan perbuatan haram, maka Allah tidak butuh kepada jerih payahnya meninggalkan makan dan minumnya. (HR. Al-Bukhari)

Al-Muhallab berkata: Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa hukum puasa itu adalah menahan diri dari perbuatan keji dan perkataan dusta sebagaimana dia menahan diri dari makan dan minum. Barangsiapa yang tidak menahan dirinya dari perkara-perkara tersebut, maka sungguh hal itu akan mengurangi nilai puasanya, menyebabkan murka Allah dan tidak diterimanya puasa dia.

2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إذا أصبح أحدكم يوماً صائماً فلا يرفث ولا يجهل فإن امرؤٌ شاتمه أو قاتله فليقل: إني صائمٌ إني صائمٌ

Jika pada suatu hari salah seorang dari kalian berpuasa, maka janganlah berbuat keji ataupun bertindak jahil, jika ada seseorang yang mencelanya atau memusuhinya, maka katakanlah: aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa. (HR. Muslim)

Al-Maziri berkata -menjelaskan kalimat ‘aku sedang berpuasa’-: mungkin juga yang dimaksud dengannya adalah dia mengajak bicara kepada dirinya sendiri dalam rangka memperingatkan dari perbuatan mencela ataupun bermusuhan.

3. ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata :

ليس الصيام من الطعام والشراب وحده ولكنه من الكذب والباطل واللغو والحلف

Bukanlah puasa itu sebatas menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi puasa itu menahan diri dari perkataan dusta, perbuatan bathil, sia-sia, dan sumpah yang tidak ada gunanya. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

4. Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :

إنّ الصيام ليس من الطعام والشراب ولكن من الكذب والباطل واللغو

Sesungguhnya puasa itu tidaklah sebatas menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi puasa itu menahan diri dari perkataan dusta, perbuatan batil dan sia-sia. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

5. Dari Thalq bin Qais, dia berkata: Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu berkata :

إذا صمت فتحفظ ما استطعت

Jika kamu berpuasa, maka jagalah dirimu semaksimal kemampuanmu.

Adalah Thalq ketika berpuasa, dia masuk rumahnya dan tidak pernah keluar kecuali untuk mengerjakan shalat. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

6. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Jika kamu berpuasa, maka jagalah pendengaran, penglihatan, dan lisanmu dari berdusta dan jagalah dirimu dari perbuatan dosa, jangan menyakiti pembantu, wajib atas kamu untuk bersikap tenang, (terlebih) pada saat kamu berpuasa, jangan kamu jadikan hari berbukamu (tidak puasa) dengan hari berpuasamu sama. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab Ash-Shiyam Bab ‘Perkara yang diperintahkan kepada orang yang berpuasa berupa sedikit bicara dan menjaga diri dari berdusta’, II/422)

7. Dan dari ‘Atha’, dia berkata: Aku mendengar Abu Hurairah berkata: Jika kamu berpuasa, maka janganlah bertindak jahil, dan jangan mencaci maki. Jika kamu diperlakukan jahil, maka katakanlah: aku sedang berpuasa. (HR. Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf)

8. Dan dari Mujahid, dia berkata: ada dua perangai yang barangsiapa menjaga diri darinya, puasanya akan selamat, yakni (1) ghibah, dan (2) berdusta. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

9. Dan dari Abul ‘Aliyah, dia berkata: Puasa itu akan bernilai ibadah selama pelakunya tidak berbuat ghibah. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Keadaan Salaf terkait dengan waktu

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata : Wahai anak Adam! Sesungguhnya kamu itu adalah seperti hari-hari, jika satu hari telah pergi, maka telah hilanglah sebagian dari dirimu.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah juga berkata : Wahai anak Adam! Waktu siangmu adalah tamumu, maka berbuat baiklah kepadanya, karena sesungguhnya jika kamu berbuat baik kepadanya, dia akan pergi dengan memujimu, dan jika kamu bersikap jelek padanya, maka dia akan pergi dalam keadaan mencelamu, demikian juga waktu malammu.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah juga berkata : Dunia itu ada tiga hari: (1) Adapun kemarin, maka dia telah pergi dengan amalan-amalan yang kamu lakukan padanya, (2) adapun besok, mungkin saja kamu tidak akan menjumpainya lagi, (3) dan adapun hari ini, maka ini untukmu, maka beramallah pada saat itu juga.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: Tidaklah aku menyesal terhadap sesuatu sebagaimana menyesalku ketika pada hari yang matahari telah tenggelam sementara umurku berkurang padahal amalanku tidak bertambah pada hari itu.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Menyia-nyiakan waktu itu lebih buruk daripada kematian, karena menyia-nyiakan waktu itu memutuskan kamu dari Allah dan negeri akhirat, sementara kematian itu memutuskan kamu dari dunia dan penghuninya.

As-Suri bin Al-Muflis rahimahullah berkata: Jika kamu merasa sedih karena hartamu berkurang, maka menangislah karena berkurangnya umurmu.

Penutup

Kita memohon kepada Allah agar menyampaikan kita kapada Ramadhan, dan agar Allah menerima amalan-amaln kita, puasa kita, shalat malam kita, dan mudah-mudahan Allah membebaskan kita dari An Nar. Allahumma Amin.

darussalaf.or.id

Tidak Ada Pertentangan di Antara Ayat Al-Qur’an

by admin aluyeah
Tidak Ada Pertentangan di Antara Ayat Al-Qur’an | al-uyeah.blogspot.com
Allah ‘azza wa jalla berfirman,

Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka hal itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahan kalian.” (asy-Syura: 30)

Dia juga berfirman,

Katakanlah, “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami….” (at-Taubah: 51)

Apa makna kedua ayat ini? Bagaimana menggabungkan keduanya, karena seakan-akan bertentangan?

Jawab:

Tidak ada pertentangan di antara dua ayat ini, wahai saudaraku. Allah ‘azza wa jalla menerangkan kepada kita bahwa musibah yang menimpa kita karena sebab perbuatan kita dan Dia menerangkan pula bahwa apa yang terjadi itu adalah dengan ketetapan dan takdir-Nya.

Katakanlah, “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami….” (at-Taubah: 51)

Ilmu Allah, ketetapan, dan kitabah-Nya (penulisan takdir di Lauh Mahfuzh sebagaimana yang diperintahkan kepada qalam/pena) telah mendahului segala sesuatu. Namun Allah ‘azza wa jalla mengaitkan perkara yang memudaratkan kita karena sebab maksiat-maksiat yang kita lakukan, walaupun semua itu juga sudah tertulis dan sudah ditakdirkan. Sebab, kita memiliki upaya, kita yang berbuat, dan kita sendiri yang memilih.

Segala sesuatu terjadi dengan takdir-Nya, sama saja apakah berupa ketaatan ataupun kemaksiatan. Namun, maksiat yang terjadi pada kita itu adalah usaha kita dan amalan kita, karenanya kita akan dihukum. Kita memiliki akal, keinginan, kemampuan, dan amalan. Karena itulah, Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka hal itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahan kalian.” (asy-Syura: 30)

Dalam ayat yang lain,

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari kesalahan/ulah dirimu sendiri.” (an-Nisa: 79)

Takdir dan amal usaha tidaklah saling bertentangan. Takdir itu telah terdahulu dan Allah ‘azza wa jalla memiliki hikmah yang tinggi dalam apa yang ditetapkan-Nya. Perbuatan yang terjadi adalah amal usaha kita, seperti maksiat berupa zina, minum khamr, meninggalkan shalat, berbuat durhaka, dan memutus hubungan rahim. Semuanya kita yang berbuat, bukan siapa-siapa, sehingga kita pantas mendapatkan hukuman karena sikap kita yang meremehkan. Kita sadar bahwa kita bisa memilih tanpa paksaan dalam berbuat, sehingga perbuatan yang ada pantas bila disandarkan kepada kita walaupun memang ilmu Allah ‘azza wa jalla, penulisan, dan ketetapan-Nya telah jauh mendahului.

Takdir tidak boleh menjadi alasan atas perbuatan tercela dan kemungkaran yang dilakukan seorang hamba. Allah ‘azza wa jalla memiliki hikmah yang tinggi dalam apa yang telah lewat pada takdir-Nya, ilmu, dan kitabah-Nya. Kita akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan kita dan sikap kita yang menggampangkan berbuat dosa. Kita bisa disiksa karena perbuatan tersebut terkecuali bila Allah ‘azza wa jalla mengampuni.

Dengan demikian, Anda sekarang telah mengetahui tidak adanya pertentangan antara kedua ayat yang ditanyakan. Yang satu menunjukkan bahwa amalan itu merupakan hasil usaha kita, sehingga kita pantas mendapatkan hukuman bila perbuatan yang dilakukan bukan amalan yang salih. Semua itu adalah amalan kita dengan pilihan kita sendiri.

Ayat yang lain menunjukkan musibah yang terjadi itu telah terdahulu dalam ilmu Allah ‘azza wa jalla, kitabah, dan takdir-Nya. Ada hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bunyinya,

Sungguh, Allah ‘azza wa jalla telah menetapkan takdir-takdir makhluk sebelum Dia menciptakan langit-langit dan bumi 50 ribu tahun dan arsy-Nya di atas air.” (HR. Muslim dalam Shahihnya)

Allah Yang Maha Memiliki hikmah lagi Maha Mengetahui, Dia mengetahui segala sesuatu, ilmu-Nya telah mendahului segala sesuatu, dan Dia telah mencatat segala sesuatu. Dalam satu ayat, Allah ‘azza wa jalla berfirman,

Tidak ada satu bencana pun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (al-Hadid: 22)

Penulisan takdir Allah ‘azza wa jalla telah terdahulu, ilmu-Nya pun telah terdahulu, demikian pula ketetapan-Nya. Amal kita dihitung untuk kita, disandarkan kepada kita, dicatat untuk kita, karena amal tersebut adalah hasil usaha kita, yang kita lakukan dengan pilihan kita, tanpa ada pemaksaan. Karena itu, perbuatan kita yang baik, berupa ketaatan, macam-macam kebaikan dan zikir, dibalas dengan balasan yang baik pula. Sebaliknya kita pantas mendapatkan hukuman atas amalan buruk yang kita lakukan, apakah berupa kedurhakaan, zina, mencuri, seluruh maksiat, dan perbuatan penyelisihan. Wallahul musta’an. (hlm. 128-130)

*Semua fatwa yang dibawakan kali ini diambil dari kitab Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, Masalah Akidah, dari jawaban Samahatusy Syaikh al-Imam Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah.

Sebab Penyimpangan

by admin aluyeah
Sebab Penyimpangan | al-uyeah.blogspot.com
Al-Imam Ibnu Baththah rahimahullah mengatakan,

“Ketahuilah, wahai saudara-saudaraku, saya telah merenungkan sebab yang mengeluarkan sekelompok orang dari as-Sunnah dan al-Jamaah, memaksa mereka menuju kebid’ahan dan keburukan, membuka pintu bencana yang menimpa hati mereka, dan menutupi cahaya kebenaran dari pandangan mereka.

Saya temukan sebabnya dari dua sisi:

Mencari-cari, berdalam-dalam, dan banyak bertanya yang tidak perlu (tentang masalah tertentu), yang tidak membahayakan seorang muslim kalau ia tidak tahu, serta tidak pula bermanfaat bagi seorang mukmin seandainya ia tahu.

Duduk bersama dan bergaul dengan orang yang tidak dirasa aman dari kejelekannya, yang berteman dengannya akan merusak kalbu.”

(al-Ibanah, karya Ibnu Baththah rahimahullah, 1/390)
AsySyariah.com

Allah ‘azza wa jalla Menghalangi Antara Seseorang & Kalbunya

by admin aluyeah
Allah ‘azza wa jalla Menghalangi Antara Seseorang & Kalbunya | al-uyeah.blogspot.com
Apa makna firman Allah ‘azza wa jalla,

“Dan ketahuilah sesungguhnya Allah menghalangi antara seseorang dan kalbunya.” (al-Anfal: 24)

Jawab:

Makna ayat ini sesuai dengan zahirnya. Allah ‘azza wa jalla berbuat apa saja terhadap hamba-hamba-Nya. Ada yang diberi taufik dan dilapangkan kalbunya untuk menerima keimanan dan diberi hidayah kepada Islam. Terkadang ada yang Allah ‘azza wa jalla jadikan rasa berat dalam kalbunya dan sulit menerima agama Allah ‘azza wa jalla, yang jelas menjadi penghalang baginya untuk menerima Islam.

Allah ‘azza wa jalla memang menghalangi antara seseorang dan kalbunya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Barang siapa yang Allah kehendaki untuk diberikan petunjuk niscaya Dia melapangkan dadanya kepada Islam. Dan siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit.” (al-An’am: 125)

Allah ‘azza wa jalla lah yang berbuat sekehendaknya terhadap hamba-hamba- Nya sebagaimana yang diinginkan-Nya. Ada yang dilapangkan kalbunya menerima iman dan petunjuk. Ada pula yang tidak mendapatkan taufik. (hlm. 131)

*Semua fatwa yang dibawakan kali ini diambil dari kitab Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, Masalah Akidah, dari jawaban Samahatusy Syaikh al-Imam Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah.

AsySyariah.com

Dicari! Suami Ideal

by admin aluyeah
Dicari! Suami Ideal | al-uyeah.blogspot.com
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Banyak suami yang merasa telah berperan besar dengan mencari nafkah, lalu merasa mendapat pembenaran untuk tidak mau tahu dengan urusan rumah. Mengurus anak, pekerjaan rumah tangga, hingga hal-hal yang lebih kecil dari itu, seperti “wajib” dibebankan pada istri semata.

Itulah salah satu “egoisme” suami yang banyak kita jumpai dalam kehidupan rumah tangga saat ini. Terlihat sepele, namun sejatinya cukup menggerogoti harmonisasi dalam keluarga. Apalagi bara egoisme itu terus disulut dengan sikap suami yang lebih senang menuruti kesenangan pribadi: menonton sepak bola, memancing, main game, internetan, nongkrong bersama teman-temannya, atau malah terlampau asyik dengan pekerjaan kantornya. Alih-alih bicara kepedulian, waktu pun  seperti tiada untuk keluarga.

Patut disadari, suami dengan segala karakternya, jelas dominan memberi warna dalam rumah tangganya, karena ia adalah kepala rumah tangga. Pada dirinya kepemimpinan itu berada, pada dirinya keteladanan harus ditampakkan, dan di pundaknya tugas mencari nafkah itu dibebankan. Dengan sederet tanggung jawab yang besar itu, rumah tangga jelas membutuhkan karakter suami yang bisa memimpin, membimbing, tegas, cepat dan tepat dalam mengambil keputusan, bisa memberi teladan, tidak pantang menyerah, ulet dalam bekerja dan mencari nafkah, dan sebagainya. Sudahkah ini semua dimiliki seorang suami?

Pada kenyataannya, kita justru menjumpai yang sebaliknya. Banyak suami yang tidak punya visi dalam berumah tangga, hingga terkesan nekat ketika memasuki gerbang pernikahan. Usaha/pekerjaan apa yang akan ditekuni, akan tinggal di mana setelah berumah tangga, seperti  jauh  dari rencana. Ada suami yang masih tinggal jadi satu dengan orang tua dalam keadaan belum punya pekerjaan, justru merasa nyaman-nyaman saja padahal segala kebutuhan rumah tangganya  masih di-support orang tuanya. Galibnya, sebagai kepala rumah tangga, ia dituntut untuk menafkahi  keluarganya, tidak berlindung di balik kata tawakal untuk menutupi kemalasan dan  keputusasaannya.

Parahnya, dalam keadaan yang serba kekurangan ini banyak suami yang justru emosional. Menuruti emosi, ancaman cerai sedikit-sedikit ditebar. Seolah-olah cerai itu adalah perkara remeh yang tidak punya konsekuensi apa pun. Seakan-akan dengan ancaman cerai dia telah menjadi  laki-laki sejati, superior, dan membuat wanita tak berdaya. Bahkan, ada yang menjadi ringan tangan  demi menutupi “kegagalannya”.

Ada pula yang sebaliknya. Suami dikaruniai rezeki yang luas, namun dia justru pelit memberi nafkah kepada keluarganya. Bahkan, dia menyalahgunakan kepercayaan istri untuk bermaksiat di luar rumah, berfoya-foya hingga selingkuh. Ada juga tipe suami yang tertutup, tidak mau terbuka kepada istrinya, dari soal pekerjaan atau penghasilannya, lebih-lebih uangnya ke mana saja dibelanjakan.

Padahal istri butuh tipe suami yang terbuka, mau mendengarkan dan mengajaknya bermusyawarah, perhatian, tidak otoriter, dan tidak selalu merasa benar sendiri. Akan tetapi, alih-alih penuh pengertian, sabar, dan pemaaf, banyak suami yang justru tidak mau menganggap, bahkan tidak mau mengingat jasa istri sama sekali.

Itu baru soal karakter. Pertengkaran rumah tangga yang bisa berujung perceraian juga tidak jarang dipicu dari kebiasaan sepele. Seperti suami yang jorok, kurang memerhatikan penampilan, kerapian rambut atau pakaian, dsb.

Sederet sifat atau kebiasaan jelek suami bisa jadi akan panjang dibeberkan di sini. Intinya, sebisa mungkin kita menghindari hal-hal yang bisa menyuntikkan kebencian dalam rumah tangga.  Menjadi ideal tidak berarti menjadi pribadi yang sempurna, tetapi ini tetap bisa diupayakan selama  kita mau berusaha, insya Allah.

Wa‘alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh.

Asysyariah.com