Namun Itu Baik Bagimu

by admin aluyeah
Namun Itu Baik Bagimu | al-uyeah.blogspot.com
Mungkin diantara kita ada yang merasa ditimpa kesusahan, kesumpekan, musibah, sakit, atau hal-hal lain yang kita tidak menyukai hal itu. Namun, banyak diantara perkara yang tidak menyenangkan itu, asal tidak berhubungan dengan urusan agama, adalah hal yang baik untuk kita. Karena Allah Maha Mengetahui sedangkan kita tidak mengetahui. 

Bisa jadi kita diberi rizki yang menurut banyak orang adalah kekurangan, mungkin itu yang baik untuk kita, bisa jadi jika kita kaya, hal itu akan melalaikan. Bisa jadi kita dikaruniai penyakit, namun mungkin penyakit itu sebagai jalan Allah menghapus dosa kita dan mengangkat derajat kita. Mungkin kita mendapatkan musibah, bisa jadi musibah itu adalah hasil dari dosa yang kita perbuat, sehingga karena musibah itu kita kembali kepada jalan yang Allah ridhoi. Bisa jadi kita dijauhkan dari hal-hal yang menyenangkan hati kita, namun, mungkin saja hal-hal itu akan menjadi fitnah kita kelak di hadapan Allah 'Azza wa Jalla. Perhatikan nasihat berikut mamen, Read men!

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)

Dalam ayat ini ada beberapa hikmah dan rahasia serta maslahat untuk seorang hamba. Karena sesungguhnya jika seorang hamba tahu bahwa sesuatu yang dibenci itu terkadang membawa sesuatu yang disukai, sebagaimana yang disukai terkadang membawa sesuatu yang dibenci, iapun tidak akan merasa aman untuk tertimpa sesuatu yang mencelakakan menyertai sesuatu yang menyenangkan. Dan iapun tidak akan putus asa untuk mendapatkan sesuatu yang menyenangkan menyertai sesuatu yang mencelakakan. 

Ia tidak tahu akibat suatu perkara, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh hamba. Dan ini menumbuhkan pada diri hamba beberapa hal:

1. Bahwa tidak ada yang lebih bermanfaat bagi hamba daripada melakukan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, walaupun di awalnya terasa berat. Karena seluruh akibatnya adalah kebaikan dan menyenangkan, serta kenikmatan-kenikmatan dan kebahagiaan. Walaupun jiwanya benci, akan tetapi hal itu akan lebih baik dan bermanfaat. Demikian pula, tidak ada yang lebih mencelakakan dia daripada melakukan larangan, walaupun jiwanya cenderung dan condong kepadanya. Karena semua akibatnya adalah penderitaan, kesedihan, kejelekan, dan berbagai musibah.

Ciri khas orang yang berakal sehat, ia akan bersabar dengan penderitaan sesaat, yang akan berbuah kenikmatan yang besar dan kebaikan yang banyak. Dan ia akan menahan diri dari kenikmatan sesaat yang mengakibatkan kepedihan yang besar dan penderitaan yang berlarut-larut.

2. Di antara rahasia ayat ini bahwa ayat ini menghendaki seorang hamba untuk menyerahkan urusan kepada Dzat yang mengetahui akibat segala perkara serta ridha dengan apa yang Ia pilihkan dan takdirkan untuknya, karena dia mengharapkan dari-Nya akibat-akibat yang baik.

3. Bahwa seorang hamba tidak boleh memiliki suatu pandangan yang mendahului keputusan Allah Subhanahu wa Ta'ala, atau memilih sesuatu yang tidak Allah Subhanahu wa Ta'ala pilih serta memohon-Nya sesuatu yang ia tidak mengetahuinya. Karena barangkali di situlah kecelakaan dan kebinasaannya, sementara ia tidak mengetahuinya. Sehingga janganlah ia memilih sesuatu mendahului pilihan-Nya. Bahkan semestinya ia memohon kepada-Nya pilihan-Nya yang baik untuk dirinya serta memohon-Nya agar menjadikan dirinya ridha dengan pilihan-Nya. Karena tidak ada yang lebih bermanfaat untuknya daripada hal ini.

4. Bahwa bila seorang hamba menyerahkan urusan kepada Rabbnya serta ridha dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala pilihkan untuk dirinya, Allah Subhanahu wa Ta'ala pun akan mengirimkan bantuan-Nya kepadanya untuk melakukan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala pilihkan, berupa kekuatan dan tekad serta kesabaran. Juga, Allah Subhanahu wa Ta'ala akan palingkan darinya segala yang memalingkannya darinya, di mana hal itu menjadi penghalang pilihan hamba tersebut untuk dirinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala pun akan memperlihatkan kepadanya akibat-akibat baik pilihan-Nya untuk dirinya, yang ia tidak akan mampu mencapainya walaupun sebagian dari apa yang dia lihat pada pilihannya untuk dirinya.

5. Di antara hikmah ayat ini, bahwa ayat ini membuat lega hamba dari berbagai pikiran yang meletihkan pada berbagai macam pilihan. Juga melegakan kalbunya dari perhitungan-perhitungan dan rencana-rencananya, yang ia terus-menerus naik turun pada tebing-tebingnya. Namun demikian, iapun tidak mampu keluar atau lepas dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala telah taqdirkan. Seandainya ia ridha dengan pilihan Allah Subhanahu wa Ta'ala maka takdir akan menghampirinya dalam keadaan ia terpuji dan tersyukuri serta terkasihi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bila tidak, maka taqdir tetap akan berjalan padanya dalam keadaan ia tercela dan tidak mendapatkan kasih sayang-Nya karena ia bersama pilihannya sendiri. Dan ketika seorang hamba tepat dalam menyerahkan urusan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan ridhanya kepada-Nya, ia akan diapit oleh kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya dalam menjalani taqdir ini. Sehingga ia berada di antara kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya. Kasih sayang-Nya melindunginya dari apa yang ia khawatirkan, dan kelembutan-Nya membuatnya merasa ringan dalam menjalani taqdir-Nya.

Bila taqdir itu terlaksana pada seorang hamba, maka di antara sebab kuatnya tekanan taqdir itu pada dirinya adalah usahanya untuk menolaknya. Sehingga bila demikian, tiada yang lebih bermanfaat baginya daripada berserah diri dan melemparkan dirinya di hadapan taqdir dalam keadaan terkapar, seolah sebuah mayat. Dan sesungguhnya binatang buas itu tidak akan rela memakan mayat.

Seberapa besar kesusahan di dunia, kita masih bisa tersenyum. Seberapa lama kesusahan di dunia, hanya sampai 60-70 tahun. Berbeda dengan kesengsaraan di akhirat. Semangat mamen!

(Diterjemahkan oleh Qomar ZA dari buku Al-Fawa`id hal. 153-155) 
Penulis : Al-Ustadz Qomar Sua’idi ZA, Lc
Judul Asli : "Bisa Jadi Kamu Membenci Sesuatu Namun Itu Baik Buatmu"
Darussalaf.or.id

Berhiaslah Para Suami

by admin aluyeah
Berhiaslah Para Suami | al-uyeah.blogspot.com
Banyak fakta tak terbantahkan bahwa hak-hak istri sering kali diabaikan oleh para suami.  Padahal jika kita runut, percikan konflik dalam rumah tangga berakar dari diabaikannya hak-hak istri/suami oleh pasangan mereka.

Dalam kitab mulia yang tidak dapat disusupi kebatilan sedikit pun, Allah Ta'ala berfirman:

“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi rahimahullah menyatakan dalam tafsir ayat di atas bahwa para istri memiliki hak terhadap suaminya sebagaimana suami memiliki hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/Tafsir Al-Qurthubi, 3/82)

Karena itulah Ibnu ‘Abbas radiyallahu'anhum berkata, “Aku senang berhias untuk istriku sebagaimana aku senang bila ia berdandan untukku, karena Allah yang Maha Tinggi sebutan-Nya berfirman:

“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.”

Adh-Dhahhak rahimahullah berkata menafsirkan ayat di atas, “Apabila para istri menaati Allah Ta'ala dan menaati suami-suami mereka, maka wajib bagi suami untuk membaguskan pergaulannya dengan istrinya, menahan dari memberikan gangguan/menyakiti istrinya, dan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya.” (Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir Ath-Thabari, 2/466)

Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Para istri memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh suami-suami mereka seimbang dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap suami-suami mereka, baik itu yang wajib maupun yang mustahab. Dan masalah pemenuhan hak suami istri ini kembalinya kepada yang ma’ruf (yang dikenali), yaitu kebiasaan yang berlangsung di negeri masing-masing (tempat suami istri tinggal) dan sesuai dengan zaman.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 102)

Hakim bin Mu’awiyah meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya, Mu’awiyah bin Haidah radiyallahu'anhu. Ayahnya ini berkata kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam:

“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam menjawab:

“Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan menjelekkannya(1), dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)

Ketika haji Wada’, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam menyampaikan khutbah di hadapan manusia. Di antara isi khutbah beliau adalah:

“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Dari ayat di atas berikut beberapa penafsirannya serta dari hadits Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam di atas, kita memahami bahwa dalam Islam, kedudukan seorang istri dimuliakan dan diberi hak-hak yang harus dipenuhi oleh pasangan hidupnya. Hal ini termasuk kebaikan agama ini yang memang datang dengan keadilan, di mana wanita tidak hanya dituntut untuk memenuhi kewajibannya namun juga diberikan hak-hak yang seimbang.

1 Maksudnya: mengucapkan kepada istri ucapan yang buruk, mencaci makinya, atau mengatakan padanya, “Semoga Allah menjelekkanmu”, atau yang semisalnya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Haqqil Mar`ah ‘ala Zaujiha)

dikutip dari "Hak Istri dalam Islam"
ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
AsySyariah.com

Dakwah Para Rosul

by admin aluyeah
Tauhid | al-uyeah.blogspot.com
Dakwah merupakan ibadah yang agung. Sayangnya, dakwah telah banyak disalahgunakan untuk membungkus kampanye politik dalam rangka mencari pengikut, merekrut simpatisan dan kader partai, atau sekedar mencari dunia. Di sisi lain, ada da’i yang mengkhususkan pada persoalan- persoalan politik hingga melupakan hal-hal mendasar dalam Islam. Lalu bagaimanakah sesungguhnya dakwah Rasulullah itu?

Terlalu banyak seruan atau ‘dakwah’ ilallah (menuju Allah) yang kita jumpai di sekeliling kita. Masyarakat pun dengan mudahnya mengatakan bahwa ‘dakwah itu semuanya sama’. Benarkah? Lalu manakah seruan yang benar yang akan mendekatkan kepada Allah?

Beragamnya seruan itu sendiri telah menjadi sunnatullah. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari shahabat Abdullah bin Mas’ud, bahwasanya Abdullah bin Mas’ud bercerita di mana Rasulullah membuat satu garis lurus dan mengatakan: “Ini adalah jalan Allah yang lurus.” Lalu beliau membuat garis-garis yang banyak dari arah kanan dan arah kiri dan beliau mengatakan: “Ini adalah jalan-jalan dan tidak ada satupun dari jalan tersebut melainkan syaitan menyeru di atasnya.” Kemudian beliau membacakan firman Allah: “Dan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka tempuhlah ia dan jangan kalian menempuh jalan yang banyak tersebut yang pada akhirnya akan memecah diri-diri kalian dari jalan-Nya.”

As Sa’dy menjelaskan apa yang dimaksud dengan jalan yang lurus tersebut di dalam kitab tafsirnya: “Adalah jalan yang sangat jelas yang akan menyampaikan kita kepada Allah dan kepada surga-Nya. Jalan yang lurus itu adalah mengenal yang hak dan mengamalkannya.

Rasulullah juga telah menjelaskan akan munculnya para da’i yang menyeru di atas jurang neraka. Dalam hadits Hudzaifah bin Yaman yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Hudzaifah mengatakan: “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan dan aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan yang khawatir akan menimpaku

Lalu aku berkata: “Ya Rasulullah, tatkala kami berada dalam kehidupan jahiliyah Allah mendatangkan kebaikan ini (Islam). Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan? Rasulullah menjawab: “Ya.” 

Aku berkata lagi: “Apakah setelah kejelekan ini ada kebaikan?” Rasulullah menjawab: “ Ya, akan tetapi ada asapnya.” Aku mengatakan: “Apakah asapnya wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Kaum yang mengambil petunjuk selain petunjukku kamu kenal dan kamu ingkari.” 

Aku berkata: “Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Rasulullah menjawab: “Ya, yaitu para da’i yang berada di pintu neraka dan barangsiapa yang memenuhi seruannya, maka akan mencampakkannya ke jurang neraka tersebut.”

Kedua hadits di atas menjelaskan tentang adanya sunnatullah munculnya berbagai seruan yang semuanya mengangkat panji Islam dan mengatasnamakan Islam. Akan tetapi seruan yang benar adalah satu dan jalan yang benar adalah satu dan tidak berbilang. Allah berfirman:

Tidaklah setelah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)

Hadits tadi juga menjelaskan bahwa jalan yang tidak benar itu lebih banyak daripada jalan yang benar. Demikian juga dengan da’i yang menyeru kepada kesesatan, lebih banyak dibanding dengan para penyeru kebenaran.

Kedudukan Tauhid

Tidak ada keraguan lagi bahwa tauhid memiliki kedudukan yang tinggi bahkan yang paling tinggi di dalam agama. Tauhid merupakan hak Allah yang paling besar atas hamba-hamba-Nya, sebagaimana dalam hadits Mu’adz bin Jabal. Rasulullah berkata kepadanya: “Hai Mu’adz, tahukah kamu hak Allah atas hamba-Nya dan hak hamba atas Allah? Ia menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau mengatakan: “Hak Allah atas hamba-Nya adalah mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.” ( HR. Bukhari dan Muslim)

1. Tauhid merupakan dasar dibangunnya segala amalan yang ada di dalam agama ini. Rasulullah bersabda:
Islam dibangun di atas lima dasar, bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan puasa pada bulan Ramadhan.” (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah Ibnu Umar)

2. Tauhid merupakan perintah pertama kali yang kita temukan di dalam Al Qur’an sebagaimana lawannya (yaitu syirik) yang merupakan larangan paling besar dan pertama kali kita temukan di dalam Al Qur’an, sebagaimana firman Allah:

Hai sekalian manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa. Yang telah menjadikan bumi terhampar dan langit sebagai bangunan dan menurunkan air dari langit, lalu Allah mengeluarkan dengannya buah-buahan sebagai rizki bagi kalian. Maka janganlah kalian menjadikan tandingan- tandingan bagi Allah”. (Al-Baqarah: 21-22)

Dalil yang menunjukkan hal tadi dalam ayat ini adalah perintah Allah “sembahlah Rabb kalian” dan “janganlah kalian menjadikan tandingan bagi Allah”.

3. Tauhid merupakan poros dakwah seluruh para Rasul, sejak Rasul yang pertama hingga penutup para Rasul yaitu Muhammad . Allah berfirman:

Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang Rasul (yang menyeru) agar kalian menyembah Allah dan menjauhi thagut.” (An-Nahl: 36)

4. Tauhid merupakan perintah Allah yang paling besar dari semua perintah. Sementara lawannya, yaitu syirik, merupakan larangan paling besar dari semua larangan. Allah berfirman:

Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kalian jangan menyembah kecuali kepada-Nya dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (Al-Isra: 23)

Dan sembahlah oleh kalian Allah dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. ” (An-Nisa: 36)

5. Tauhid merupakan syarat masuknya seseorang ke dalam surga dan terlindungi dari neraka Allah, sebagaimana syirik merupakan sebab utama yang akan menjerumuskan seseorang ke dalam neraka dan diharamkan dari surga Allah. Allah berfirman:

Sesungguhnya barangsiapa yang menyekutukan Allah maka Allah akan mengharamkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka dan tidak ada bagi orang-orang dzalim seorang penolongpun.” (Al-Maidah: 72)

Rasulullah bersabda:
Barang siapa yang mati dan dia mengetahui bahwasanya tidak ada ilah yang benar kecuali Allah, dia akan masuk ke dalam surga.” (Shahih, HR Muslim No.26 dari Utsman bin Affan)

Rasulullah bersabda:
Barangsiapa yang kamu jumpai di belakang tembok ini bersaksi terhadap Lailaha illallah dan dalam keadaan yakin hatinya, maka berilah dia kabar gembira dengan surga.” (Shahih, HR Muslim No.31 dari Abu Hurairah)

6. Tauhid merupakan syarat diterimanya amal seseorang dan akan bernilai di hadapan Allah. Allah berfirman:
Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah Allah dan mengikhlaskan bagi-Nya agama. ” (Al-Bayinah: 5)

Tauhid Poros Dakwah Para Rasul

Menggali dakwah seluruh para rasul dan sepak terjang mereka dalam memikul amanat dakwah ini, niscaya akan kita temukan keanehan di atas keanehan yang seandainya kita yang memikulnya, sunggguh kita tidak akan sanggup.

Dakwah membutuhkan keikhlasan agar bisa bernilai di sisi Allah dan untuk mengikat diri kita dengan pemilik dakwah itu, yaitu Allah, serta mendapatkan segala apa yang dipersiapkan di negeri akhirat. Dakwah membutuhkan keberanian untuk tidak gentar, takut, dan lari ketika menghadapi segala tantangan. Dakwah membutuhkan kesabaran terhadap segala ujian dan tantangan di atasnya. Dakwah membutuhkan istiqamah untuk selalu bersemangat di atas dakwah meskipun kebanyakan orang tidak menerimanya. Dakwah membutuhkan iman yang kuat dan yakin terhadap pertolongan pemilik dakwah ini yaitu Allah. Dakwah membutuhkan tawakal, kelembutan, dan segala bentuk akhlak yang mulia.

Allah telah menjelaskan di dalam Al Qur’an bahwa yang menjadi poros dakwah para rasul adalah seruan untuk mentauhidkan Allah sebagaimana firman Allah:

Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat itu seorang rasul (yang menyeru) agar kalian menyembah Allah dan menjauhi thagut. ” (An-Nahl: 36)

Dari ayat ini Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab mengambil beberapa faidah di dalam kitabnya At Tauhid, di antaranya: Hikmah dari diutusnya seluruh para rasul, bahwa risalah itu mencakup seluruh umat, dan agama para nabi itu adalah satu.

Dari semua faidah ini, sangat jelas bahwa risalah para Rasul adalah satu yaitu risalah tauhid. Tugas dan tujuan mereka adalah satu yaitu mengembalikan hak-hak Allah agar umat ini menyembah hanya kepada-Nya. Atau dengan kata lain, memerdekakan manusia dari penyembahan kepada manusia menuju penyembahan kepada Rabbnya manusia.

Tauhid, Wahai Para Da’i!

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany mengatakan dalam risalahnya Tauhid Awwalan Ya Du’atal Islam: “Melihat jeleknya situasi yang menimpa saudara kita se-Islam, maka kita mengatakan situasi yang jelek ini tidak lebih jelek dibanding dengan kejahatan situasi jahiliah dulu ketika Allah mengutus Rasulullah…”

Berdasarkan hal itu, maka obatnya adalah obat yang disebarkan oleh Rasulullah di masa jahiliah. Maka dari itu, bagi setiap da’i agar tampil mengobati jeleknya pemahaman umat terhadap kalimat La ilaha illallah dan mengobati keadaan itu dengan obat tersebut. Yang demikian itu sangat jelas jika kita mencoba untuk merenungi apa yang difirmankan oleh Allah:

Sungguh telah nampak bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi siapa yang mengharapkan Allah dan hari akhir, dan bagi orang yang mengingat Allah. ” (Al-Ahdzab: 21)

Kemudian beliau (Syaikh Albany) mengatakan: “Maka Rasul kita Muhammad adalah suri teladan yang baik dalam mengobati segala problem yang menimpa kaum muslimin di masa kita sekarang ini, bahkan dalam setiap waktu dan keadaan. Yang demikian itu menuntut kita agar seharusnya memulai sebagaimana Rasulullah memulai yaitu pertama kali memperbaiki akidah kaum muslimin yang sudah rusak, yang kedua ibadah mereka, dan yang ketiga akhlak. Saya bukan berarti ingin memisahkan antara yang pertama dari yang paling penting menuju yang penting kemudian yang di bawahnya lagi. Akan tetapi yang saya maksudkan adalah agar setiap orang Islam terlebih khusus da’inya untuk memberikan perhatian yang besar (terhadap akidah, red).”

Kenyataan yang menimpa umat secara menyeluruh dan kaum muslimin secara khusus adalah kerusakan hubungan mereka dengan Allah. Bahkan sampai kepada puncak menyekutukan Allah dalam peribadatan dan mengangkat tandingan-tandingan bagi Allah, baik itu dalam wujud manusia atau benda-benda yang tidak bisa bergerak dan berbuat apa-apa.

Penyakit ini telah mendarah daging seperti pohon yang telah menancap akarnya. Bahkan telah menjadi penyakit kanker yang setiap saat merenggut nyawa manusia. Oleh karena itu, sungguh sangat dibutuhkan obat yang tepat dan dokter yang telaten untuk mengawali perombakan akar- akar pohon tersebut dan mengobati penyakit-penyakit kanker tersebut. Ketahuilah, dokter umat ini adalah mereka-mereka yang mengikuti langkah Rasulullah dalam berdakwah yang memulai dari tauhid yang merupakan dasar bangunan Islam ini sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Dan memberikan obat yang sesuai dengan kebutuhan mereka yaitu Tauhidullah.

Wahai para da’i, mulailah darimana Allah dan Rasul-Nya memulai dan persiapkan dirimu untuk menghadapi segala kemungkinan gangguan dan cobaan yang dahsyat yang terkadang harus mengalami kegagalan di tengah jalan. Mulailah wahai para da’i dari tauhidullah!

Judul asli : Tauhid Wahai Para Da'i 
Penulis: Al-Ustadz Abdurrahman Abu Usamah bin Rawiyah an Nawawi

Sesajen Mengantar Syirik

by admin aluyeah
Sesajen Mengantar Kesyirikan | al-uyeah.blogspot.com
Pendem adalah nama sebuah desa di Kecamatan Sumberlawang, Sragen, Jawa Tengah. Di desa inilah letak sebuah bukit yang khalayak ramai menyebutnya Gunung Kemukus. Malam Jumat Pon adalah malam keramaian. Manusia berdatangan ke Gunung Kemukus dalam rangka menjalani laku tirakat ngalap berkah di makam yang ada di tempat itu.

Makam di perbukitan yang berada di tengah Waduk Kedungombo ini, konon merupakan makam Pangeran Samodra dan Nyai Ontrowulan. Ritual ngalap berkah di Gunung Kemukus diawali dengan prosesi penyucian di Sendang Ontrowulan.

Setelah itu, dengan dipandu juru kunci, para peziarah dibimbing guna melakukan ritual sajen. Yaitu, menyerahkan uborampe (perlengkapan sajen) dalam bentuk sebungkus kembang telon, dupa ratus atau kemenyan, dan uang wajib. Dengan uborampe inilah juru kunci akan memohon kepada yang mbaurekso di Gunung Kemukus. (Sajen dan Ritual Orang Jawa, Wahyana Giri MC, hlm. 94—96)

Berbeda dengan yang terjadi di Yogyakarta. Perilaku mistik sebagian orang Yogyakarta bisa ditemukan pada upacara Labuhan. Asal kata labuhan yaitu labuh, artinya membuang. Upacara Labuhan adalah sesaji ritual bertujuan melestarikan hubungan yang telah lama terjalin antara beberapa pihak dan penguasa laut selatan yaitu Kanjeng Ratu Kidul. Upacara Labuhan lainnya juga dilakukan di Gunung Merapi, dan Gunung Lawu (Karanganyar, Jawa Tengah).

Sesaji untuk penguasa laut selatan diadakan di Parangkusumo. Sesaji diletakkan pada satu tempat yang disebut petilasan, yaitu tempat terjadinya pertemuan antara Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul yang memiliki patih bernama Nyai Rara Kidul. Antara Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul terjalin perjanjian di mana Kanjeng Ratu Kidul berjanji melindungi Panembahan Senopati beserta seluruh keturunannya.

Pelaksanaan doa dilakukan di tempat tersebut dan sesaji pun ditaruh di tempat itu. Juru kunci Parangkusumo mengucapkan, “Perkenankanlah saya, Kanjeng Ratu Kidul untuk menyampaikan sesaji Labuhan kepada Paduka, … untuk keselamatan hidup, kehormatan kerajaan, dan keselamatan rakyat serta negeri Ngayogyakarta Hadiningrat.”

Setelah mengucapkan mantra, sesaji itu pun dibawa ke laut. Beberapa sesaji diempaskan ombak kembali ke pantai dan diperebutkan oleh masyarakat. Mereka berkeyakinan bahwa sesaji tersebut memiliki daya untuk memberikan keselamatan, kesehatan, dan kehidupan yang lebih baik bagi mereka yang mendapatkannya.

Ritual Labuhan lainnya dilaksanakan setiap tanggal 30 Rejeb (penanggalan Jawa). Upacara ritual ini banyak dikunjungi oleh orang guna ngalap berkah. Sesaji ditujukan kepada Eyang Kanjeng Pangeran Sapujagad, Pangeran Anom Suryangalam, Eyang Kyai Udononggo, Nyai Udononggo, dan Kyai Jurutaman.

Tempat tinggal mereka ada di beberapa tempat di Merapi, seperti di Turgo, Plawangan, dan Wukir Rinenggo di dekat Selo. Upacara doa dilakukan di Kinahrejo, dipimpin oleh abdi dalem kraton, Mas Ngabehi Suraksohargo alias Mbah Maridjan. Sesaji diletakkan di satu tempat bernama Kendit, letaknya di lereng selatan Gunung Merapi. Uborampe (perlengkapan sesaji) terdiri dari kain, setagen, minyak wangi, kemenyan, dan lain-lain.

Ritual Labuhan lainnya dilakukan di Desa Nano, letaknya di lereng Gunung Lawu. Sesaji dikirim ke desa tersebut lalu dibawa oleh delapan orang penduduk asli daerah tersebut. Dipilihnya delapan orang dari penduduk asli daerah itu karena mereka memiliki hubungan spiritual dengan yang mbaurekso (penguasa) Gunung Lawu. (Upacara Tradisional Jawa Menggali Untaian Kearifan Lokal, Dr. Purwadi M. Hum, hlm. 75—78)

Upacara ritual semacam yang dipaparkan di atas terjadi di mana-mana. Sebut saja upacara ritual Yudnya Kasada yang dilakukan masyarakat Tengger di kawasan Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Upacara ini dilakukan pada setiap purnama bulan Kasada. Upacara dilakukan menjelang fajar. Saat itulah, masyarakat Tengger (terkhusus yang menganut agama Hindu) mengangkut ongkek (wadah) berisi sesajen yang akan dilarung ke kawah Bromo. Uborampe sesajen ini berisi pisang, labu, cabai, jagung, dan hasil pertanian lainnya.

Di Pelabuhan Lorens Say, Maumere, masyarakat Nasrani di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, mengadakan upacara Parehoba, yaitu menyuguhkan sesajen berupa telur, arak, dan beras kepada penguasa laut dan roh leluhur. Mereka meminta keselamatan kepada penguasa laut dan roh leluhurnya.

Upacara sejenis terjadi di Kabupaten Subang, Jawa Barat, tepatnya di Muara Belanakan. Masyarakat nelayan di daerah ini melakukan ruwatan atau sedekah laut. Bentuknya dengan menyuguhkan sajen berupa kepala kerbau dan darahnya, serta makanan lainnya.

Di Flores Tengah, kalangan Suku Lio juga mengadakan ritual semacam ini. Sesajen atau kuwiroe (menurut istilah masyarakat Suku Lio) adalah sebentuk ritual yang ditujukan kepada para dewa, roh, atau arwah nenek moyang. Tujuannya tentu saja dengan sebuah keyakinan bahwa dengan kuwiroe tersebut diharapkan arwah-arwah leluhur bisa memberi perlindungan hidup kepada mereka.

Semoga Allah Ta'ala memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada pemerintah untuk menghilangkan segala tradisi yang mengandung kesyirikan.

Sajen, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah makanan (bunga-bungaan dan sebagainya) yang disajikan untuk makhluk halus. Sajen adalah satu bentuk laku spiritual. Sebagaimana diketahui, seseorang tidak ingin mendapatkan gangguan apa pun dalam kehidupannya. Seseorang selalu ingin hidup yang diwarnai oleh harmoni. Dalam tujuan menggapai harmoni inilah sebagian manusia lantas melakukan laku spiritual sajen.

Dengan laku spiritual tersebut, diharapkan yang mbaurekso (menguasai) tempat tertentu tidak mengganggu mereka, menimpakan malapetakan dan bencana. Dengan demikian, akan tercipta kehidupan yang penuh harmoni.

Itulah filosofi orang-orang yang melakukan laku spiritual dalam bentuk sajen. Filosofi ini tentu berakar pada kepercayaan animisme, yaitu sebuah paham yang mendasarkan keyakinan pada peranan makhluk halus atau roh-roh (anima).

Makhluk halus atau roh-roh inilah yang sering dibahasakan dengan sebutan yang mbaurekso: Kanjeng Ratu Kidul, Nyai Roro Kidul, dan sebagainya. Sering dibahasakan pula dengan istilah ‘penunggu’. Apabila di satu tempat keadaannya angker dan mistis, orang-orang di sekitar tempat itu mengatakan bahwa tempat tersebut ada penunggunya.

Pada zaman Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, ada berhala yang bernama al-‘Uzza. Ini disebutkan dalam Al-Qur’an:

“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata, al-‘Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?” (an-Najm: 19—20)

Al-‘Uzza adalah berhala yang disembah masyarakat Arab musyrikin. Berhala ini merupakan pohon as-Salam yang terletak di Lembah Nakhlah, antara Makkah dan Thaif. Berhala ini diselimuti kain dan memiliki juru kunci. Bahkan, di situ didiami pula oleh jin (yang mbaurekso/penunggu). Orang-orang yang jahil (tidak paham agama) akan beranggapan bahwa pohon tersebut bisa berbicara. Berhala ini adalah sesembahan orang-orang Quraisy dan penduduk Makkah yang musyrik serta orang-orang sekitar kota Makkah.

Saat terjadi Fathu Makkah, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mengutus Khalid ibnul Walid radiyallahu'anhu ke Lembah Nakhlah guna menghancurkan berhala al-‘Uzza. Khalid ibnul Walid radiyallahu'anhu pun menebang habis pohon tersebut. Setelahnya, ia kembali ke Makkah untuk melaporkan apa yang diperbuatnya kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam.

Namun, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam menyuruhnya kembali ke tempat berhala al-‘Uzza, karena tugas yang diberikan kepadanya belum tuntas dia tunaikan. Khalid ibnul Walid radiyallahu'anhu pun kembali ke tempat berhala al-‘Uzza dan memburu yang mbaurekso tempat itu untuk membunuhnya. Akhirnya, Khalid ibnul Walid radiyallahu'anhu berhasil melibas habis yang mbaurekso, yang senyatanya adalah jinniyah (jin wanita). (Syarh al-Qawa’id al-Arba’, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, hlm. 35—36)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan bahwa apa yang dipertuhankan oleh manusia sangat beragam. 

Ada di antara mereka yang menyembah para malaikat. Allah Ta'ala berfirman:

“Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan.” (Ali Imran: 80)

Ada di antara mereka yang menyembah para nabi. Allah Ta'ala berfirman:

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah’?” Isa menjawab, “Mahasuci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara-perkara yang gaib.” (al-Maidah: 116)

Ada juga di antara mereka yang menyembah orang-orang saleh. Allah Ta'ala berfirman:

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Rabbmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (al-Isra: 57)

Di antara manusia ada pula yang menyembah matahari dan bulan. Allah Ta'ala berfirman:

“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (Fushshilat: 37)

Ada pula di antara manusia yang menyembah pohon dan batu. Allah Ta'ala berfirman:

“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata, al-‘Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?” (an-Najm: 19—20)

Bahkan, manusia yang menyembah jin pun ada. Allah Ta'ala berfirman:

“Bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.” (Saba: 41)

“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (al-Jin: 6)

Terhadap segala bentuk penyembahan walau yang disembah berbeda satu dengan yang lain, Nabi Shallallahu'alaihiwasalam tidak membedakannya. Nabi Shallallahu'alaihiwasalam memerangi segala bentuk kesyirikan. Firman-Nya:

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (al-Anfal: 39)

Menurut Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, yang dimaksud fitnah dalam ayat ini adalah kesyirikan. Dengan demikian, maksud ayat tersebut:

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah….”

adalah sampai tidak ada lagi perbuatan syirik kepada Allah Ta'ala, dan menjadikan agama itu semata-mata hanya bagi Allah Ta'ala. (Lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, hlm. 21)

Sungguh tingkat kesyirikan yang diperbuat oleh orang-orang pada masa ini lebih rusak dan dahsyat. 

Kesyirikan yang dilakukan oleh orang-orang zaman sekarang lebih berat dibandingkan dengan kesyirikan musyrikin Quraisy dahulu. Orang-orang musyrik pada masa dahulu melakukan perbuatan syirik ketika dalam keadaan lapang dan tidak ditimpa oleh kesusahan.

Adapun jika ditimpa oleh kesusahan, mereka mengikhlaskan peribadahan (doa) hanya kepada Allah Ta'ala. Berbeda halnya dengan orang-orang musyrik masa kini. Mereka berbuat syirik, beribadah, berdoa kepada selain Allah Ta'ala kala ditimpa oleh kesulitan ataupun dalam keadaan lapang, tidak ada kesusahan yang menimpanya.

Allah Ta'ala berfirman:

“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (al-Ankabut: 65) (Lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, hlm. 41)

Bagaimana pula dengan orang-orang yang melakukan kesyirikan sekaligus melakukan pula zina, yang termasuk dosa-dosa yang paling besar? Lihat, kasus kesyirikan yang berpadu dengan kabair (dosa-dosa besar) sebagaimana terjadi di Gunung Kemukus, Sragen. Sungguh, keadaan orang-orang musyrikin sekarang lebih parah dan lebih rusak daripada musyrikin zaman dahulu. Allahul musta’an.

Dari tradisi sesajen, nyata terlihat betapa prosesi ritual sesajen telah menyelisihi sendi-sendi tauhid. Penyembelihan hewan yang disajikan kepada yang mbaurekso tempat tertentu adalah tindakan yang menyelisihi tauhid. Allah Ta'ala berfirman:

Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (al-An’am: 162—163)

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah.” (al-Kautsar: 2)

Dari Ali bin Abi Thalib radiyallahu'anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berbicara kepadaku tentang empat hal:

Allah Ta'ala melaknat orang yang menyembelih karena selain Allah Ta'ala, Allah Ta'ala melaknat orang yang memberi perlindungan kepada pelaku kriminal, Allah Ta'ala melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, dan Allah Ta'ala melaknat orang yang mengubah batas tanah.” (HR. Muslim, 3/1567)

Umat pun melakukan tabarruk yang menyelisihi syariat. 

Dari Abi Waqid al-Laitsi radiyallahu'anhu, dia menyatakan, “Kami keluar (pergi) bersama Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam ke Hunain. Kami berbincang-bincang (tentang keadaan kami) semasa masih kafir (karena baru masuk Islam). Orang-orang musyrik memiliki pohon sidr (bidara) yang mereka biasa menetap dan menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Pohon tersebut disebut sebagai Dzatu Anwath (yang memiliki gantungan). 

Tatkala kami melewati pohon sidr itu, kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkan bagi kami dzatu anwath sebagaimana orang-orang musyrik memilikinya.’ Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam pun bersabda, ‘Allahu akbar. Itulah tradisi (orang-orang sebelum kalian). Kalian telah mengatakan—demi Dzat yang diriku ada di tangan-Nya—sebagaimana Bani Israil telah mengatakan kepada Musa, ‘Buatkan untuk kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan.’ Lantas Musa berkata, ‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang tidak mengerti.’ (al-A’raf: 138) Sungguh kalian akan mengikuti jejak orang-orang sebelum kalian’.” (HR. at-Tirmidzi, 6/343)

Tujuan menggantungkan senjata-senjata tersebut adalah untuk tabarruk (mencari keberkahan) dari pohon tersebut. Nabi Shallallahu'alaihiwasalam pun mengingkari apa yang mereka inginkan. (al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hlm. 130)

Lalu, bagaimana pula dengan orang-orang yang berniat ngalap berkah ke tempat-tempat yang dianggap sakral? Sungguh, ini adalah tipudaya setan yang menggiring orang jahil (tidak mengerti al-haq) ke tempat yang nista.

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersikap keras terhadap orang-orang yang melakukan ibadah yang disyariatkan seperti shalat, sedekah, dan sebagainya, di seputar kuburan orang-orang saleh. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah radiyallahu'anha:

“Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai tempat-tempat ibadah (masjid).” (HR. al-Bukhari 1/155 dan Muslim 1/375)

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang datang ke kuburan bukan orang saleh dan di sana ia melakukan kemaksiatan, menebar sesajen, melakukan perzinaan, atau kemaksiatan lainnya dengan keyakinan hal itu bisa mendatangkan keberuntungan? Sungguh, ini adalah tindakan yang paling dungu dan teramat dungu.

Melakukan ibadah yang disyariatkan, tetapi di seputar kuburan orang yang saleh saja mendapat laknat, apatah lagi bagi orang yang melakukan maksiat di seputar kuburan bukan orang saleh. Hanya orang-orang yang berakal yang akan mengambil pelajaran ini.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

"SAJEN, Tradisi Sesaji Menyelisihi Syar’i"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
AsySyariah.com

Udah... Tauhid Dulu Aja

by admin aluyeah
Udah Tauhid Aja Dulu | al-uyeah.blogspot.com
"Dan sesungguhnya telah Kami utus seorang rasul pada setiap ummat agar mereka menyeru, Beribadahlah kalian semua kepada Allah dan jauhilah thaghut". (An-Nahl : 36).

"Dan tidaklah Kami utus seorang rasul sebelum kamu (Muhammad), kecuali telah Kami wahyukan kepadanya bahwa sesungguhnya tiada ilah (sesembahan yang benar) kecuali Aku, maka sembahlah Aku." (Al-Anbiya : 25).

Telah lewat jaman para Rasul, dan telah turun syariat mereka untuk kaum-kaum mereka. Begitu pula telah ditetapkan inti ajaran dan dakwah dari Rasul kita, yaitu Muhammad Shallallahu 'alaihi wasalam.

Para rasul adalah orang-orang yang terpilih untuk menyampaikan risalah yang agung ini. Tidaklah Allah Ta'ala mengutus dan memberikan amanah ini kepada seseorang kecuali pasti dan pasti Allah Ta'ala mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Allah 'Azza wa Jalla juga tidak akan menciptakan manusia begitu saja, ditelantarkan dan dibiarkan hidup tanpa tujuan. 

Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala : "Apakah manusia mengira bahwa mereka ditelantarkan dan didiamkan saja " (Al-Qiyamah : 36). Imam Syafi'i menafsirkan ayat ini, "Tidak dilarang dan tidak diperintah " (Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid Muhammad Abdul Wahhab, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh)

Akan tetapi Allah berfirman : "Dan tidaklah kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (Adz-Dzariyat : 56)

Setelah kita dapat mengetahui tujuan Allah menciptakan kita, maka akan jelaslah apa tujuan dakwah para rasul bagi setiap umatnya, karena yang menjadi tujuan Allah pastilah juga menjadi tujuan para utusan-Nya. Tujuan dakwah para rasul tidak lain adalah makna dari ayat yang telah tertulis di awal risalah ini (An-Nahl : 36).

Adapun makna dari ayat tersebut, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata, "Sesungguhnya Dia telah mengutus seorang rasul kepada setiap kelompok manusia dengan kalimat yang tinggi, "Beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut", yang artinya adalah beribadahlah kalian hanya kepada Allah semata dan tinggalkan peribadatan kepada selain-Nya."

Adapun makna Thaghut, Ibnul Qayyim berkata, "Thaghut adalah suatu keadaan yang melebihi batasan-batasan seorang hamba, seperti diibadahi, diikuti atau ditaaati (dalam hal yang melanggar syariat)."

Maka Ibnul Qayyim membagi macam-macam thaghut pada setiap kaum, yaitu :

1. Orang yag berhukum selain dari hukum Allah dan rasul-Nya (al-Qur'an dan as-Sunnah).
2. Orang yang diibadahi selain Allah dan dia ridlo.
3. Orang yang diikuti, tetapi dia tidak berada di atas bashirah (ilmu) dari Allah dan diapun ridlo.
4. Orang yang ditaati dalam perkara-perkara yang dalam perkara-perkara tersebut hanya Allah-lah yang pantas untuk ditaati dan diapun dalam keadaan ridlo. (Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid)

Sungguh para rasul yang telah diutus sangat memperhatikan ilmu tauhid ini. Dapat dilihat dari sejarah Nabi kita, Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam, beliau selama tigabelas tahun mendakwahkan tauhid dan aqidah di Makkah, baru kemudian ilmu yang lainnya di Madinah.

Perjalanan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam ini menunjukkan betapa besarnya perkara tauhid ini. Dalam hal ini Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab berkata, "Dan perkara yang paling agung, yang Allah perintahkan adalah Tauhid yang artinya mengesakan Allah dalam beribadah, sedangkan larangan yang paling besar adalah Syirik yang artinya beribadah kepada Allah tetapi disertai juga beribadah kepada selain-Nya." (Syarh Tsalatsatul Ushul Muhammad at-Tamimi, Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin).

Allah Ta'ala berfirman dalam kitab-Nya : "Beribadahlah hanya kepada Allah dan jangan kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun." (An-Nisa : 36)

Ibnul Qayyim pun berkata, "Barangsiapa yang ingin meninggikan bangunannya, maka wajib bagi dia untuk memperkuat pondasinya, karena tingginya bangunan itu ditentukan oleh kekuatan pondasinya. Amal shalih merupakan cermin dari bangunan dan keimananlah (tauhid) sebagai pondasinya. Tentu seorang yang bijaksana akan memperhatikan secara khusus pada pondasinya dan berusaha untuk memantapkannya, akan tetapi orang yang bodoh akan berusaha untuk meninggikan bangunannya, maka tidak berapa lama bangunannya pasti akan runtuh." (Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar : 13, Syaikh Abdul Malik Ahmad Ar-Ramadhany)

Perkataan Ibnul Qayyim ini merupakan perkataan yang sangat indah. Perkataan yang menggambarkan betapa pentingnya tauhid untuk mendapatkan keutamaan di sisi Allah jalla jalaluh. Dengan tauhid maka akan menimbulkan keyakinan di hati seorang hamba dan akan melaksanakan syariat ini dengan sungguh-sungguh, dia tidak akan goyah dari hembusan- hembusan orang disekitarnya yang akan melencengkan dia dari jalan yang lurus. Jika ada suatu hal yang mencocoki syariat, maka akan dipegang erat-erat, jika tidak, maka akan dijauhi sejauh- jauhnya. Itulah hasil yang didapat dari pondasi yang kuat atau tauhid yang mantap.

Akan tetapi sungguh telah banyak manusia yang melalaikannya, bahkan dari orang-orang yang ditokohkan banyak yang mengatakan, "Untuk memajukan umat ini kita harus memperhatikan permasalahan ekonomi, teknologi, dan sosial serta politik agar tidak tertinggal dari peradaban barat yang sangat maju, dan hanya permasalahan inilah yang menjadi titik tumpu bagi kemajuan bangsa-bangsa barat".

Subhanallah !!! Maka tidak heran jika mereka, yaitu orang-orang yang ditokohkan, berbicara di atas panggung, maka mereka akan mengambil tema "Teknologi Islam", "Ekonomi Islam", dan mengenyampingkan permasalahan tauhid.

Jika ada yang mengambil tema "Tauhid yang benar", "Aqidah yang lurus", "Keutamaan Tauhid", maka ini semua dianggap kuno dan ketinggalan jaman, padahal untuk mendapatkan yang mereka idamkan diperlukan kekokohan pondasi yaitu kekuatan tauhid dengan pengamalannya yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah, jika tidak, maka, demi Allah, hancurlah bangunan mereka.

Allah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia : "Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang beriman lagi beramal shalih diantara kalian untuk menjadikan mereka pemimpin-pemimpin di bumi ini, sebagaimana Allah telah jadikan pendahulu kalian sebagai pemimpin, dan sungguh Allah akan menetapkan agama yang diridloi-Nya untuk mereka, dan sungguh Allah akan menggantikan rasa takut menjadi rasa aman bagi mereka. Yang demikian itu akan didapatkan manakala kalian menyembah-Ku dan tidak berbuat syirik dengan sesuatu apapun. Dan barangsiapa yang kufur setelah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq." (An-Nur : 55). 

Ayat di atas menjelaskan kepada kita, bahwa akan tercapainya kepemimpinan di muka bumi, ketetapan agama dan ketenangan hidup adalah hanya dengan mengamalkan tauhid, yaitu hanya beribadah kepada-Nya, dan meninggalkan syirik, yaitu tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dalam beribadah kepada-Nya. Ini adalah janji Allah, yang Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya. Akan tetapi jika kita mengingkari hal tersebut, melaksanakan tauhid dan meninggalkan syirik, maka Allah Ta'ala akan memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang fasiq.

Dengan semua penjelasan-penjelasan di atas, lalu bagaimanakah kita ? Apa yang akan kita utamakan setelah ini, tauhid atau yang lainnya ? Dengan apakah kita akan mendapatkan kejayaan, dengan tauhid atau dengan yang lain ? Sungguh jawabannya hanya berkisar pada satu titik, yaitu inti dari dakwah para rasul, yaitu mengetahui dan mengamalkan tauhid dan meninggalkan syirik. Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan muwahhidin (orang- orang yang bertauhid) dan bukan musyrikin, Amiin ya Rabbal 'Alamin. Wallahu A"lamu Bishshawab.

Judul Asli : Tauhid, Inti Dakwah Para Rasul
Penulis: Ust. Abu Hamzah (Kitab Tauhid)
Salafy.or.id

Puas Dengan Bid'ah, Tidak Akan Pernah Merasa Perlu Dengan Sunnah

by admin aluyeah
Puas Dengan Bid'ah | al-uyeah.blogspot.com
Marilah kita senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta'ala. Yaitu dengan mempelajari dan mengamalkan serta berpegang teguh di atas syariat-Nya. Karena di dalamnya ada cahaya dan petunjuk yang demikian mencukupi untuk membimbing dan mengatur seluruh sisi kehidupan kita. Mulai dari urusan rumah tangga hingga ketatanegaraan.

Sehingga selama seseorang itu mengikuti petunjuk dan aturan-Nya pasti dia akan selamat di dunia dan akhirat. Karena Allah Ta'ala telah berjanji bagi orang yang mengikuti petunjuk-Nya di dalam firman-Nya:

“Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya ia tidak akan tersesat dan tidak akan celaka.” (Thaha: 123)

Maka barangsiapa yang tidak merasa cukup dengan petunjuk Allah Ta'ala sehingga menyelisihinya, pasti dia akan rugi dan celaka. 

Meskipun orang melihatnya hidup dengan penuh kemewahan dan serba ada. Namun sesungguhnya dia tidak merasakan kelapangan dan ketenangan di dalam jiwanya. Karena Allah Ta'ala telah mengancam bagi orang-orang yang menyelisihi petunjuk-Nya di dalam firman-Nya:

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Thaha: 124)

Seorang muslim yang hakiki tidak akan ridha untuk meninggalkan petunjuk Allah Ta'ala. Meskipun ditawarkan kepadanya dunia seisinya. Dia akan tetap berpegang teguh di atas syariat-Nya meskipun cobaan dan ujian menimpa dirinya.

Karena dia mengetahui bahwa kehidupan yang sesungguhnya bukanlah di dunia dan apa yang dimilikinya berupa kenikmatan dunia baik berupa harta, kedudukan, dan yang semisalnya, pasti akan sirna. Sehingga yang senantiasa diinginkan oleh dirinya adalah meraih kecintaan Allah Ta'ala dan diampuni seluruh dosanya serta mendapatkan hidayah dan curahan rahmat-Nya.

Oleh karena itu, dia berusaha untuk mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, yaitu dengan menaatinya dan tidak menyelisihinya. Karena itulah satu-satunya jalan yang harus ditempuh agar dirinya dicintai dan dirahmati serta diberi hidayah oleh Yang Maha Kuasa. Hal ini sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir’.” (Ali ‘Imran: 31-32)

Maka di dalam ayat tersebut Allah Ta'ala menjelaskan bahwa menaati Rasul-Nya adalah konsekuensi dan bukti dari cintanya kepada Allah Ta'ala, sementara menyelisihinya adalah tanda kekufuran dirinya kepada Allah Ta'ala.

Dan Allah Ta'ala juga memberitakan di dalam Al-Qur`an bahwa barangsiapa menaati Rasul-Nya akan memperoleh hidayah-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya:

“Dan jika kalian menaatinya, niscaya kalian akan mendapat hidayah/petunjuk.” (An-Nur: 54)

Begitupula Allah Ta'ala beritakan bahwa taat kepada Rasul adalah sebab yang akan mengantarkan kita untuk mendapatkan rahmat-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya:

“Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kalian diberi rahmat.” (Ali ‘Imran: 132)

Oleh karena itu, seorang muslim akan mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan akan meninggalkan seluruh ajaran yang menyimpang dari ajarannya Shallallahu'alaihiwasalam. 

Dia tidak akan terburu-buru dalam meyakini dan mengamalkan suatu ajaran dalam beribadah kepada Allah Ta'ala, baik yang berupa ucapan maupun amalan anggota badan.

Akan tetapi dia akan menimbang terlebih dahulu seluruh ucapan dan amalan ibadahnya dengan amalan dan ucapan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Apabila sesuai maka diterima, namun apabila bertentangan maka dia akan menolak, dari manapun datangnya. Karena beliau Shallallahu'alaihiwasalm bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak ada syariatnya dari kami maka amalan tersebut ditolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:

“Para ulama telah sepakat bahwasanya barangsiapa yang telah jelas baginya jalan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, tidak boleh baginya untuk meninggalkannya karena ucapan siapapun.”

Ketahuilah bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam telah mengingatkan umatnya agar jangan sampai terjatuh pada perbuatan bid’ah, yaitu mengada-adakan amalan ibadah baru yang tidak ada syariatnya. Hal ini sebagaimana tersebut di dalam sabdanya Shallallahu'alaihiwasalam:

“Hati-hatilah kalian dari terjatuh kepada amalan-amalan ibadah baru yang diada-adakan, karena setiap amalan tersebut adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)

Bahkan beliau Shallallahu'alaihiwasalam menyebutkan bahwa perbuatan mengada-adakan amalan ibadah baru yang tidak ada syariatnya adalah sejelek-jelek amalan. Sebagaimana tersebut dalam haditsnya:

وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا

“Dan sejelek-jelek amalan adalah amalan ibadah yang diada-adakan (yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin).” (HR. Muslim)

Para ulama telah menjelaskan di dalam kitab-kitab mereka tentang maksud dari amalan bid’ah. Di antaranya disebutkan bahwa bid’ah adalah aturan yang diada-adakan dalam beragama yang menandingi syariat dan dimaksudkan dengan mengikuti aturan tersebut untuk beribadah kepada Allah Ta'ala.

Dan bid’ah itu bermacam-macam jenisnya. Ada yang berupa amalan ibadah baru yang sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin.

Seperti mengadakan acara perayaaan dan peringatan hari kelahiran atau hari kematian seseorang. Ataupun dengan mengubah tata cara ibadah yang telah disyariatkan. Seperti berdzikir secara berjamaah dengan dipimpin oleh seorang imam setelah selesai dari shalat berjamaah.

Seluruh jenis bid’ah dengan berbagai macamnya adalah sesat, sebagaimana tersebut dalam sabda Nabi Shallallahu'alaihiwasalam:

وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan Al-Albani rahimahullah)

Begitu pula dikatakan oleh Abdullah ibnu ‘Umar radiyallahu'anhum:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah sesat meskipun orang-orang menganggapnya baik.”

Maka tidak benar kalau dikatakan ada bid’ah yang baik atau hasanah. 

Akan tetapi yang ada adalah sunnah yang hasanah, bukan bid’ah hasanah. Yaitu melakukan amal ibadah yang disyariatkan dan kemudian dicontoh serta diikuti oleh yang lainnya.

Adapun mendekatkan diri kepada Allah l dengan amal ibadah yang dibuat sendiri atau dibuat oleh gurunya, hal tersebut adalah amalan bid’ah dan tidak ada baiknya sama sekali. Karena seluruh amalan bid’ah adalah keluar dari petunjuk Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Meskipun kadar kesesatannya dan kejelekannya berbeda-beda.

Akhirnya, marilah kita senantiasa mengikuti wasiat Nabi Shallallahu'alaihiwasalam untuk berpegang teguh di atas jalannya. Begitupula wasiat beliau n untuk berhati-hati terhadap kerusakan yang sangat berbahaya, yaitu bid’ah serta orang-orang yang mengajaknya. Karena hal itu akan menjauhkan kita dari agama yang mulia.

Marilah kita berusaha untuk selalu menjaga diri-diri kita dari adzab Allah Ta'ala dengan bertakwa kepada-Nya. Yaitu dengan senantiasa mengikuti ajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya Shallallahu'alaihiwasalm dan tidak menyelisihinya. Karena Allah Ta'ala telah mengancam orang-orang yang menyelisihi jalan rasul-Nya dengan ancaman yang keras. Sebagaimana hal ini tersebut di dalam firman-Nya:

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 50)

Ketahuilah bahwa bid’ah adalah bentuk penyelisihan paling besar dari jalan Rasulullah Shallallahu'alaihwiasalam setelah perbuatan syirik.

Hal ini karena perbuatan bid’ah akan memecah-belah kaum muslimin serta menyeret pelakunya pada kerusakan agama dan hatinya.

Perbuatan bid’ah akan menjadikan hati pelakunya menjadi benci kepada As-Sunnah. Karena, hati tidak akan menerima Sunnah Rasul jika sudah ditempati oleh bid’ah. Oleh karena itu, kita dapati orang yang melakukan atau bergelut dengan bid’ah serta menghidupkannya adalah orang yang jauh dari Sunnah Nabi Shallallahu'alaihiwasalam.

Setan akan menghiasi amalan bid’ah sehingga akan menjadi sangat mudah bagi orang yang tertipu untuk mengamalkannya meskipun harus mengeluarkan banyak biaya dan menyita sebagian besar waktunya. Dan bid’ah akan menyeret pelakunya menjadi orang yang sombong untuk menerima kebenaran. Hal itu karena setiap pelaku bid’ah akan membanggakan dirinya dan menganggap cara serta amalannya adalah yang paling baik.

Ketahuilah, bahwa termasuk dari amalan bid’ah yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin adalah mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban atau yang dikenal dengan istilah Nishfu Sya’ban dengan shalat malam secara berjamaah.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Majmu’: “Shalat yang dikenal dengan istilah shalat Ar-Ragha`ib yaitu shalat 12 rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan ‘Isya pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab dan shalat pada malam Nishfu Sya’ban sebanyak seratus rakaat, keduanya adalah amalan bid’ah dan mungkar.

Janganlah tertipu karena disebutkannya dua jenis shalat ini dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya` ‘Ulumuddin. Dan jangan pula tertipu dengan hadits-hadits yang tersebut di dalam dua kitab tadi. Karena sesungguhnya semua itu batil.”

Berkata pula Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah: “Hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits yang dha’if. Tidak boleh dijadikan sebagai pegangan. Sementara hadits-hadits yang menyebutkan tentang keutamaan shalat pada malam Nishfu Sya’ban semuanya adalah hadits palsu, sebagaimana telah diingatkan oleh banyak ulama.”

Maka tidak boleh bagi kaum muslimin untuk mengkhususkan serta mengistimewakan pertengahan bulan ini daripada hari-hari lainnya di bulan tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin tidak pernah melakukannya.

Begitu pula tidak boleh bagi kaum muslimin untuk mendukung dan membantu pelaksanaannya. Karena hal itu sama saja dengan menghancurkan agama saudaranya. Bukan berarti tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk shalat malam pada hari tersebut. Akan tetapi mengistimewakan hari dan malam tersebut dari hari-hari lainnya di bulan Sya’ban untuk shalat atau ibadah lainnya bukanlah ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam.

Akhirnya marilah kita senantiasa berhati-hati dari jalan-jalan yang menyimpang dari jalan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalm. Karena jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan orang-orang yang terbaik di umat ini baik dari kalangan sahabat, tabi’in, dan yang mengikuti mereka adalah satu-satunya jalan yang benar.

"Mengikuti Sunnah Rasulullah dan Menjahui Bid’ah"
AsySyariah.com

Ghibah Adalah Dosa Besar

by admin aluyeah
Ghibah Adalah Dosa Besar | al-uyeah.blogspot.com
Ghibah atau menggunjing atau membicarakan aib orang lain (bisa juga diistilahkan dengan ngerumpi) adalah aktivitas yang ‘mengasyikkan’. Tak sedikit orang, yang secara sadar atau tidak, terjatuh dalam perbuatan ini. Karena memang setan telah menghiasi perbuatan ini sehingga tampak indah dan menyenangkan. Tahukah Anda bahwa Allah Ta'ala mengibaratkan ghibah dengan perbuatan memakan daging saudara kita yang telah mati?

Bani Adam adalah makhluk yang lemah, serba kekurangan, dan menjadi tempat kesalahan. Demikianlah fakta yang akan dijumpai bila setiap orang jujur akan hakikat dirinya. Ia lemah dari segala sisi: tubuhnya, semangatnya, keinginannya, imannya, dan lemah kesabarannya. Dengan keadaan seperti ini, Allah Ta'ala dengan kemahabijaksanaan-Nya memberikan beban syariat sesuai dengan kesanggupannya. Demikian yang dikatakan asy-Syaikh Sa’di  rahimahullah dalam Tafsir-nya.

Terkadang kelemahan ini menyebabkan seseorang terjatuh ke dalam perbuatan dosa dan maksiat. Menzalimi diri sendiri, orang lain, bahkan menzalimi Allah Ta'ala. Keadaan demikian banyak terjadi pada manusia khususnya yang tidak mendapat hidayah dan rahmat dari Allah Ta'ala. Allah Ta'ala berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)

Banyak sekali faktor yang mendorong manusia untuk berbuat kesalahan atau kemaksiatan. Terkadang dorongan itu datang dari dalam diri sendiri dan terkadang dari luar. Berbahagialah orang yang mengerti kelemahan dirinya.

Abu ad-Darda radiyallahu'anhu berkata, “Termasuk wujud ilmunya seorang hamba adalah dia mengetahui imannya bertambah atau berkurang, dan termasuk dari berkah ilmunya seorang hamba adalah dia mengetahui dari mana setan akan menggelincirkannya.” (Asbab Ziyadatil Iman, hlm. 10)

Salah satu bagian tubuh yang paling mudah menjerumuskan manusia ke dalam kemaksiatan adalah lisan. Sungguh betapa ringan lisan ini digerakkan untuk bermaksiat kepada Allah Ta'ala. Serta betapa berat untuk diajak berzikir kepada Allah Ta'ala.

Demikan hakikat lisan sebagaimana ucapan Abu Hatim rahimahullah, “Lisan memiliki peraba tersendiri yang tidak hanya digunakan untuk mengetahui asin atau tidaknya makanan dan minuman, panas dan dingin, atau manis dan pahit. Lisan sangat tanggap apabila telinga mendengar sebuah berita, baik atau buruk, benar atau salah. Sangat tanggap pula bila mata melihat suatu kejadian, baik atau buruk. Lisan dengan mudahnya bercerita dengan mengumbar apa saja yang menyentuhnya. Ingatlah, lidah itu tak bertulang.”

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah radiyallahu'anhu)

Namun bukan berarti engkau diam dari suatu kemungkaran dan diam untuk mengucapkan kebenaran. “Setan bisu”, itulah gelar dan panggilan seseorang yang diam dari kemungkaran dan tidak mau menyuarakan kebenaran.

Makna Ghibah

Tidak ada penafsiran terbaik tentang makna ghibah selain penafsiran Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam hadits beliau. Bila ada penafsiran para ulama tentang ghibah maka tidak akan terlepas dari penafsiran beliau meski dengan ungkapan yang berbeda. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam menjelaskan makna ghibah ini dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radiyallahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda,

Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan ghibah?” Mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda: “Kamu menceritakan tentang saudaramu apa yang tidak dia sukai.” Dikatakan kepada beliau, “Bagaimana pendapatmu bila apa yang aku katakan ada pada saudaraku itu?” Beliau menjawab, “Jika apa yang kamu katakan ada pada saudaramu maka kamu telah mengghibahinya, dan jika apa yang kamu katakan tidak ada pada dirinya, maka kamu telah berdusta.” (Sahih, HR. Muslim no. 2589, Abu Dawud no. 4874, dan at-Tirmidzi no. 1435)

Ghibah adalah Dosa Besar

Dari keterangan di atas, diambil kesimpulan bahwa makna ghibah adalah menceritakan seseorang kepada orang lain dan orang yang dijadikan obyek pembicaraan tidak menyukai apa yang dibicarakan. Bila apa yang diceritakan tidak ada pada orang tersebut, ini merupakan dusta atas namanya dan tentu saja dosanya lebih besar dari yang pertama.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ghibah adalah haram secara ijma’ dan tidak dikecualikan (boleh dilakukan) melainkan (dalam hal yang) maslahatnya lebih kuat, seperti dalam jarh dan ta’dil (menerangkan perawi hadits) dan nasihat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam ketika seseorang yang jahat meminta izin kepada beliau untuk bertemu beliau, maka beliau berkata, ‘Izinkan dia, sesungguhnya dia adalah orang yang paling jelek di kaumnya.’ Juga seperti sabda beliau kepada Fathimah binti Qais saat dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm. (Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mengabarkan) bahwa Mu’awiyah adalah orang yang sangat miskin dan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/215)

Ghibah jelas perbuatan terlarang, bahkan termasuk perbuatan dosa besar. Allah Ta'ala berfirman:

Janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (al-Hujurat: 12)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah haram seperti haramnya hari kalian ini, bulan kalian ini, dan negeri kalian ini.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Bakrah radiyallahu'anhu)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

“Ketika aku dibawa naik, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga yang dengannya mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka. Aku bertanya, ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah kaum yang telah memakan daging orang lain dan menginjak-injak kehormatan mereka’.” (HR. Abu Dawud no. 4878 dari sahabat Anas bin Malik radiyallahu'anhu dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 4082 dan dalam ash-Shahihah no. 533)

Masih banyak dalil yang menjelaskan tentang keharaman ghibah dan bahwa ghibah termasuk dosa besar.

Kapan Boleh Mengghibah?

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Ghibah dibolehkan dengan tujuan syariat yang tidak mungkin mencapai tujuan tersebut melainkan dengannya.”
Dibolehkan ghibah pada enam perkara:
1.    Ketika terzalimi.
2.    Meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran.
3.    Meminta fatwa.
4.    Memperingatkan kaum muslimin dari sebuah kejahatan atau untuk menasihati mereka.
5.    Ketika seseorang menampakkan kefasikannya.
6.    Memanggil seseorang yang dia terkenal dengan nama itu.
(Riyadhus Shalihin, bab “Apa-apa yang Diperbolehkan untuk Ghibah”)

Cara Bertaubat dari Ghibah

Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, orang yang telah berbuat ghibah tidak harus mengumumkan taubatnya. Cukup baginya memintakan ampun bagi orang yang dighibahi dan menyebutkan segala kebaikannya di tempat-tempat mana dia mengghibahinya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ummu Abdillah al-Wadi’iyyah dalam kitabnya Nashihati lin Nisa’ (hlm. 31).

Haruskah Meminta Maaf kepada Orang yang Dighibahi?

Dalam permasalahan ini, perlu dirinci:

Pertama, bila orang tersebut mendengar ghibahnya, maka dia harus datang kepada orang tersebut meminta kehalalannya (minta maaf).

Kedua, jika orang tersebut tidak mendengar ghibahnya maka cukup baginya menyebutkan kebaikan-kebaikannya dan mencabut diri darinya di tempat ia berbuat ghibah.

Al-Qahthani rahimahullah dalam kitab Nuniyyah beliau (hlm. 39) menasihati kita, “Janganlah kamu sibuk dengan aib saudaramu dan lalai dari aib dirimu, sesungguhnya yang demikian itu adalah dua keaiban.”

Wallahu a’lam.

"Kekejian Berupa Memakan Bangkai Saudara Sendiri"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah
AsySyariah.com

Allah Mengetahui Sedangkan Engkau Tidak Mengetahui

by admin aluyeah
Allah Mengetahui Sedangkan Engkau Tidak Mengetahui | al-uyeah.blogspot.com
Allah ta’ala berfirman: (yang artinya)
Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”  (QS. Al-Baqarah : 216)

Berkata ibnul qoyim rohimahulloh:
Didalam ayat ini terdapat beberapa hikmah, rahasia-rahasia, dan kemaslahatan bagi seorang hamba. Sesungguhnya hamba tatkala mengetahui bahwa sesuatu yang dibenci kadang datang berbarengan dengan hal-hal yang dicintai, dan hal-hal yang dicintai kadang datang dengan hal-hal yang di benci. 

Dengan hal ini seseorang Tidak aman tatkala mendapatkan kesenangan akan selalu diiringi dengan sesuatu bahaya, dan sesuatu yang bahaya akan diiringi dengan hal-hal yang kebahagiaan kerena tidak ada seorangpun yang mengetahui hari esok, sesungguhnya Allah maha mengetahui dan kalian tidak mengetahui. 

Sehingga mewajibkan bagi seorang hamba mempunyai beberapa perkara, yaitu:
1. Tidak ada yang hal mendatangkan manfaat, kebahagiaan kecuali ia harus melakukannya walaupun ia anggap itu berat dan menyakitkan. Karena pada akhirnya ia akan mendapatkan kebaikan, kebahagiaan, kelezatan, dan kegembiraan, walaupun jiwanya sangat membenci hal itu tetapi hal itu lebih baik baginya,

sebaliknya tidak ada hal yang sangat membahayakan kecuali tatkala ia melanggar larangan-larangan Allah walaupun hawa nafsunya sangat cinta, dan selalu mendorong kepada hal itu. Karena pada akhirnya akan membuahkan kesakitan, kepedihan, kesedihan, keburukan, mushibah. 

Sedangkan tugas akal ini adalah mengemban hal-hal yang ringan untuk mendapatkan kelezatan yang sangat besar, kebaikan yang banyak dan menghindari kesenangan yang semu karena pada akhirnya akan mendatangkan kesengsaraan yang lama dan keburukan yang panjang.

Orang yang bodoh hanya melihat sesuatu itu pada permulaannya saja, seakan-akan perkaranya selalu susah, sengsara dari awalnya sampai akhir. 

Sedangkan orang yang yang pintar berakal melihat sesuatu perkara pada tujuan akhirnya. Dia melihat akhir semua perkara dan kemaslahatan dari perkara itu. Bahwa dibalik itu semua ada kebaikan yang besar bagi dirinya.

Dia melihat larangan-larangan Allah ibarat makanan yang lezat yang terdapat racun yang membahayakan. Setiap kali ia ingin memakannya maka ia tahan karena terdapat racun didalamnya.

Sebaliknya tatkala ia melihat perintah-perintah Allah ibarat obat yang pahit yang membawa kesembuhan dan kesehatan, setiapkali ia menghindari dari obat tersebut hatinya selalu mendorongnya untuk meminum obat tersebut karena terdapat kesembuhan dan kesehatan didalamnya. 

Akan tetapi didalam hal ini seseorang harus mempunyai bekal ilmu pengetahuan yang sangat mendalam dari permulaanya, disertai dengan kesabaran yang sangat kuat didalam menjalani terapi yang sangat pahit dan berat ini, hingga ia mendapatkan hasil yang memuaskan, dan kesembuhan yang sempurna. 

Apabila keyakinan dan kesabaran hilang darinya akan luput pula kesembuhan tersebut. Dan apabila keyakinan dan kesabarannya menguat akan semakin ringan bebannya didalam mencari kebaikan yang abadi dan kelezatan yang kekal selamanya.

2. Diantara rahasia dari ayat ini adalah, mewajibkan bagi seorang hamba untuk selalu menyerahkan perkaranya kepada Yang Maha Mengetahui hal-hal yang ghoib, mengetahui perkara yang akan datang, serta ridho terh -adap keputusan-Nya, serta menjalankan ketentuan yang Allah pilih baginya diiringi dengan mengharapkan pahala dan kebaikan dari Allah azza wajalla.

3. Dalam hal ini ia tidak boleh mencela, membantah ketentuan Allah azza wajalla. Tidak boleh mengatakan “Allah tidak adil didalam hal ini” , “kenapa Allah berbuat kepadaku seperti ini”, dan lain sebaginya dari kata-kata membantah terhadap ketentuan Allah azza wajalla. Karena bisa jadi kehancuran dan kebinasaannya itu dari apa yang ia senangi tetapi ia tidak mengetahui. Tetapi ia harus meminta dan terus meminta kebaikan kepada Alla azza wajalla terhadap musibah yang menimpanya. Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat selain daripada itu.

4. Apabila ia telah menyerahkan semuanya kepada Allah, dan telah ridha dari ketentuan yang Allah pilih baginya, maka Allah akan menolongnya dengan kekuatan dan kesabaran, akan Allah palingkan baginya segala mushibah dan malapetaka dari dirinya. Dan Allah tampakan padanya kebaikan yang banyak yang sebelumnya belum pernah terjadi padanya.

5. Allah perlihatkan bagi diri hamba tersebut keburukan-keburukan setelahnya pada setiap keinginannya. Sehingga ia bisa konsentrasi menerima taqdir dan ketentuan dari-Nya dan mentadaburi ketentuan Allah yang kadang ia sadar terkadang juga tidak menyadarinya. Akan tetapi iapun tidak bisa keluar dari takdir Allah azza wajalla. Kalu seandainya ia ridho menerima ketentuan Allah terhadap dirinya maka ia akan menjadi hamba yang bersyukur dan terpuji dan kalau tidak, maka ia tetap dalam ketentuan Allah, tidak bisa keluar darinya dan diapun menjadi tercela dan celaka karena ia memilih ketentuannya sendiri. Selama ia menyerahkan semuanya kepada Allah serta ridho kepada-Nya maka Allah akan meringankan terhadap musibahnya.

Lihat al fawaid ibnul qoyim hal 167. Sumber : darussalaf.or.id

Mereka Yang Terpilih

by admin aluyeah
Mereka Yang Terpilih | al-uyeah.blogspot.com
Ketika Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mendakwahkan ajaran Islam, hanya segelintir orang yang mau mengikuti ajakan beliau. Sebagian besar manusia justru menentang beliau dengan permusuhan yang demikian keras.

Orang-orang yang mau menerima ajakan Nabi Shallallahu'alaihiwasalam itulah para shahabat. Mereka adalah umat yang memiliki keimanan yang paling tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya.

Namun sayang, kini kaum muslimin banyak melupakan dan tidak mau berteladan kepada mereka. Padahal mereka adalah umat yang banyak mendapat pujian dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu'alaihiwasalam, karena memiliki banyak keutamaan yang tidak dimiliki oleh umat lainnya.

Di masa sekarang, shahabat Nabi Shallallahu'alaihiwasalam telah menjadi sekelompok orang yang asing. 

Keberadaan mereka sebagai “perantara” agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam kepada umat berikutnya telah banyak dilupakan orang.

Ketika seseorang atau sekelompok orang mencoba memahami agama ini, sebagian besar tidak lagi menjadikan para shahabat sebagai rujukan. Tokoh-tokoh yang muncul belakangan atau pimpinan kelompoknya lebih mereka sukai untuk dijadikan sebagai teladan. Sementara para shahabat sebagai orang-orang yang paling baik pemahamannya terhadap agama malah mereka jauhi.

Kalau ada sebagian kaum muslimin teringat kepada para shahabat Nabi Shallallahu'alaihiwasalam, biasanya mereka tidak lebih menjadikan kisah hidup para shahabat itu sebagai bahan cerita untuk anak-anak. Namun bagaimana pemahaman dan pengamalan mereka terhadap agama ini, hanya sedikit kaum muslimin yang mau menggali dan mengikuti mereka.

Yang lebih ironis, ada orang-orang yang mengaku sebagai kaum muslimin namun memiliki kebencian demikian besar kepada para shahabat Nabi Shallallahu'alaihiwasalam. Mereka berani melakukan celaan terhadap seorang shahabat atau beberapa shahabat Nabi Shallallahu'alaihiwasalam, sementara di sisi lain Allah dan Rasul-Nya Shallallahu'alaihiwasalam justru memuji mereka.

Para shahabat Nabi Shallallahu'alaihiwasalam adalah orang-orang yang memiliki banyak keutamaan. 

Mereka adalah generasi terbaik dari umat Islam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Nabi Shallallahu'alaihiwasalam. Lebih dari itu, mereka adalah orang-orang yang telah diridhai oleh Allah, dan banyak di antara mereka ketika masih hidup sudah mendapatkan kabar gembira yaitu akan dimasukkan ke dalam jannah (surga). Tidak ada keutamaan yang demikian tinggi seperti ini didapatkan oleh umat manapun, terlebih umat setelah mereka.

Abdullah bin Mas’ud radiyallahu'anhu ketika menggambarkan tentang para shahabat Rasulullah radiyallahu'anhum berkata:

“Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba, maka Allah melihat hati Muhammad Shallallahu'alaihiwasalam adalah sebaik-baik hati para hamba, maka dipilih untuk diri-Nya dan Dia utus membawa risalah-Nya.

Kemudian Allah melihat hati-hati para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu'alaihiwasalam, maka Allah melihat hati-hati para shahabatnya adalah sebaik-baik hati para hamba, maka Allah jadikan mereka sebagai pendukung-pendukungnya, berperang membela agamanya.

Maka apa yang dilihat oleh kaum muslimin itu sebagai kebaikan, maka di sisi Allah adalah baik. Dan apa yang dilihat oleh mereka sebagai kejelekan maka di sisi Allah adalah jelek pula.” (Asy-Syaikh Al-Albani berkata: Hadits ini shahih secara mauquf, diriwayatkan oleh Ath-Thayalisi, Ahmad dan lain-lainnya dengan sanad yang hasan. Dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)

Dengan gambaran di atas, kita mengetahui bahwa para shahabat adalah orang-orang yang istimewa yang memang sengaja Allah Ta'ala pilih untuk mendukung Rasul-Nya Shallallahu'alaihiwasalam dalam mendakwahkan Islam. 

Tidak hanya itu, mereka bahkan banyak berperang membela Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan membela agamanya. Tentunya Ibnu Mas’ud radiyallahu'anhu tidak berkata berdasar hawa nafsunya atau disebabkan sifat ta’ashub (fanatisme) karena beliau sendiri adalah seorang shahabat. Tetapi beliau menyatakan demikian karena bukti-bukti yang jelas dari ucapan Allah Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu'alaihiwasalam.

Allah Ta'ala berfirman:

“Muhammad itu adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersama dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. (di antara tafsirnya adalah kekhusyukan dan tawadhu’, ed.) 

Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati para penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29)

Kalimat  (“dan orang-orang yang bersamanya”) di dalam ayat ini tentunya yang langsung dipahami secara teksnya adalah para shahabat, walaupun tidak menutup kemungkinan masuknya selain shahabat karena kalimat ma’ahu juga bermakna bersama Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam agamanya. Sehingga Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya menyatakan bahwa ini adalah keutamaan umat Islam khususnya para shahabat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. (Lihat Tafsirul Qur’anil ‘Azhim, juz IV, hal. 215)

Sehingga para ulama menyatakan bahwa ayat ini adalah dalil yang sangat kuat tentang keutamaan para shahabat dan sekaligus haramnya mencerca dan menjatuhkan kedudukan mereka. Al-Imam Malik rahimahullah berdalil dengan firman Allah: (“Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir”) bahwa orang-orang Syi’ah Rafidhah yang membenci para shahabat adalah kafir. Ibnu Katsir berkata: “Sekelompok ulama menyepakati ucapan Al-Imam Malik tersebut.” (Lihat Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, juz IV, hal. 216)

Oleh karena itu Allah Ta'ala dengan tegas menyatakan bahwa keridhaan-Nya adalah untuk orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka.

Hal ini bermakna perintah untuk seluruh kaum muslimin agar mengikuti para shahabat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam menerapkan Al Qur`an dan As Sunnah.

Allah Ta'ala berfirman:

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Makna kalimat  “(dan orang-orang yang mengikuti mereka”) adalah orang-orang yang mengikuti generasi pertama dari kalangan Muhajirin dan Anshar yaitu orang-orang yang datang belakangan, baik dari kalangan para shahabat (yakni yang datang setelah Fathu Makkah), maupun yang setelah mereka sampai hari kiamat.” (Fathul Qadir, juz 2 hal. 398 melalui nukilan Asy-Syaikh Abdus Salam Hasan bin Qasim dalam Irsyadul Bariyyah, hal. 25)

Allah Pisahkan Munafiqin dari Para Shahabat

Di antara syubhat kaum Syi’ah dan kaum mutasyayyi’in (kaum yang terpengaruh syubhat Syi’ah) adalah ucapan: “Shahabat Nabi itu tidak semuanya mukmin, ada pula di antara mereka yang munafiq atau fasik,” “Masalah iman itu kan masalah hati, bisa jadi pada lahirnya mereka seperti mukmin akan tetapi hatinya kafir,” atau ucapan: “Siapa tahu Abu Bakar dan Umar ternyata munafiq.”

Ucapan-ucapan syubhat dan tasykik (membuat ragu) ini sering mereka ucapkan untuk meragukan kemuliaan dan keimanan para shahabat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, dan pada akhirnya menjatuhkan kedudukan mereka.

Sesungguhnya, jika pertanyaan mereka (kaum Syi’ah) adalah: “Siapa yang tahu hati mereka?” Maka jawabannya sangat jelas. Allahlah Yang Maha Mengetahui hati mereka, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

“Dan sungguh Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang  beriman, dan sungguh Dia mengetahui orang-orang yang munafiq.” (Al-Ankabut: 11)

Allah berjanji akan memberitahu ciri-ciri mereka secara detail. Bahkan dalam beberapa kejadian Allah Ta'ala telah memisahkan siapa munafiqin dan siapa mukmin yaitu para shahabat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam  yang mulia. Allah Ta'ala berfirman:

“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kalian sekarang ini, hingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin)…” (Ali ‘Imran: 179)

Tentang ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “…yaitu pasti Allah akan berikan suatu cobaan yang akan menampakkan wali-wali-Nya dan mempermalukan musuh-musuh-Nya, dan akan diketahui siapa mukmin yang sabar dan siapa munafik yang jahat…” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/468)

Juga Allah Ta'ala mengancam orang-orang munafiq untuk membongkar kedok mereka dalam ayat-Nya:

“Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka ? Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatanmu.” (Muhammad: 29-30)

Para Shahabat adalah Orang-orang yang Telah Lulus Ujian

Allah memiliki hikmah dalam taqdir-Nya ketika menguji setiap orang yang mengaku beriman dengan berbagai macam ujian, sehingga terlihat siapa di antara mereka yang benar-benar beriman dan siapa yang berdusta (munafiq).

“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan  (saja)  berkata: ‘Kami telah beriman’, sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-’Ankabut: 1-3)

Ujian pertama yang dihadapi oleh orang-orang yang beriman dari kalangan para shahabat Nabi radiyallahu'anhum adalah gangguan dan penyiksaan dari kaumnya di Makkah. Sebagian mereka disiksa dengan api, sebagian lainnya diusir, dicela dan dicaci-maki dengan berbagai macam tuduhan yang keji.

Dengan demikian semua orang paham bahwa para shahabat yang masuk Islam di Makkah sebelum hijrah adalah orang-orang yang terbukti keimanannya dan terbebas dari tuduhan munafiq, karena tidak mungkin ada seorang yang berpura-pura masuk Islam ketika itu dicaci-maki dan disiksa.

Ujian berikutnya adalah perintah hijrah yaitu meninggalkan negerinya, tanah tumpah darahnya serta meninggalkan sanak saudaranya yang masih kafir untuk menaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Maka Allah Ta'ala katakan tentang mereka:

“(Juga) bagi orang faqir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hasyr: 8)

Dalam ayat ini Allah memuji para Muhajirin dengan kalimat Ash-Shadiqin (orang-orang yang jujur dan benar imannya).

Demikian pula orang-orang yang beriman di Madinah, mereka menyambut dan mempersiapkan tempat bagi para Muhajirin, bahkan mereka lebih mementingkan tamu-tamunya tersebut melebihi diri dan keluarganya. Maka Allah pun memuji para shahabat dari kalangan Anshar tersebut.

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)

Dalam ayat ini Allah menjuluki kaum Anshar dengan kalimat Al-Muflihun (orang-orang yang akan mendapatkan kemenangan dan kemuliaan).  Merekalah yang disebut As-Sabiqunal Awwalun yaitu Muhajirin dan Anshar, sebagaimana disebutkan dalam Surat At-Taubah ayat 100 di atas.

Jihad sebagai Tolok Ukur

Ketika kaum muslimin mulai kuat dan di Madinah bertambah banyak , muncullah orang-orang yang berpura-pura mengaku sebagai muslim, pengikut Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Hal ini mereka lakukan agar terlindung dirinya dan hartanya, yakni karena takut dibunuh dan dirampas hartanya sebagai pampasan perang.

Tentu saja mereka itu adalah kaum yang paling tidak suka terhadap sesuatu yang akan mengorbankan diri dan hartanya. Sehingga ketika turun perintah untuk berjihad, terlihatlah yang paling pertama menolak dan menghindarinya -dengan alasan yang dibuat-buat-, adalah para munafiqin. Dengan perintah untuk berjihad ini terpisahlah dengan jelas antara dua golongan yaitu mereka yang lulus (mukmin) dan yang gagal (munafiq).

“Dan sesungguhnya Kami benar-benar  akan menguji kalian agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kalian, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) keadaan kalian.” (Muhammad: 31)

Tentang yang lulus pada ujian ini, Allah Ta'ala katakan:

“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rizki (nikmat) yang mulia.” (Al-Anfal: 74)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat: 15)

Dalam ayat di atas, Allah Ta'ala kembali memuji mereka dan menggelari mereka sebagai Ash-Shadiqun yaitu orang-orang yang jujur dan benar keimanannya, bukan munafiqin.

Adapun orang-orang yang tidak jujur alias pendusta, berpura-pura masuk Islam, tetapi memendam kekafiran dan penentangan dalam hatinya, mereka telah gagal dalam menghadapi ujian yang berat ini.

Allah Ta'ala tampakkan kemunafiqan mereka dalam beberapa peristiwa.

Setiap kali mereka berupaya untuk menghindari jihad dengan berbagai kedustaan dan sumpah palsu, Allah Ta'ala menurunkan ayat-Nya yang menceritakan alasan-alasan mereka itu. Allah Ta'ala katakan dalam ayat-ayat tersebut dengan kalimat: “Berkata munafiqin…” atau kalimat “Berkata dengan mulutnya yang tidak ada dalam hatinya…”

Sehingga Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan para shahabatnya mengerti tentang siapa orang-orang munafiqin. Bahkan kaum muslimin pun mengetahuinya.

Allah Ta'ala berfirman:

“Supaya diketahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan: “Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu).” Mereka berkata: “Sekiranya kami mengetahui peperangan, tentulah kami mengikutimu.” Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.” (Ali ‘Imran: 167)

“Apakah kalian tidak memperhatikan orang-orang munafiq yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: “Sesungguhnya jika kalian diusir niscaya kamipun akan keluar bersama kalian; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kalian, dan jika kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian.” Dan Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.” (Al-Hasyr: 11)

“(Ingatlah), ketika orang-orang munafiq dan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya berkata: “Mereka itu (orang-orang mukmin) ditipu oleh agamanya”. (Allah berfirman): “Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Anfal: 49)

“Allah berfirman: Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata:”Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.” (Al-Ahzab: 12)

Selain dengan kalimat-kalimat tersebut di atas, Allah Ta'ala juga jelaskan tentang mereka dengan kalimat yang semakna dan senada seperti Al-Mukhallafuun yakni orang-orang yang menghindar dari jihad, “yang tidak jujur”, atau “yang di hatinya ada penyakit” dan lain-lainnya.

Allah Ta'ala berfirman:

“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: “Janganlah kalian berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini”. Katakanlah: “Api jahannam itu lebih sangat panas(nya)”, jika mereka mengetahui.” (At-Taubah: 81)

“Orang-orang Badui yang  tertinggal  (tidak  turut  ke  Hudaibiyah)  akan mengatakan:  “Harta  dan keluarga kami telah  merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami,” mereka mengucapkan dengan lidahnya  apa yang  tidak  ada  dalam  hatinya. Katakanlah: “Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi  kehendak  Allah  jika  Dia  menghendaki kemudharatan bagimu atau jika  Dia  menghendaki  manfaat  bagimu? Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Fath: 11)

“Dan orang-orang yang beriman berkata: ‘Mengapa tiada diturunkan suatu surat?’ Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka.” (Muhammad: 20)

Demikianlah, dengan adanya perintah jihad, terpisahlah antara orang-orang yang beriman dengan orang-orang munafiq. Dan para shahabat adalah orang-orang yang telah terbukti keimanan mereka, sehingga mereka sama sekali bukan kaum munafiq. Dengan keimanan yang jujur itulah Allah Ta'ala memberi kemuliaan yang demikian banyak kepada mereka.

"Sahabat Rasulullah adalah Orang-orang Pilihan"
ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
AsySyariah.com