Doa Adalah Senjata

by admin aluyeah
Doa Adalah Senjata | al-uyeah.blogspot.com
Kaum muslimin hamba-hamba Allah yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala, merupakan perkara yang telah diketahui oleh kaum muslimin, bahkan tidak samar lagi bagi seorang mukmin yang benar-benar beriman kepada Allah dan rasul-Nya, bahwa do’a adalah ibadah dari sekian ibadah-ibadah yang Allah perintahkan kepada hanba-hamba-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Berdo’alah kepadaKu pasti Aku kabulkan bagi kalian.” (Al-Mu’min: 60)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang shahih:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

Do’a itu adalah ibadah.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Al-Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa do’a-do’a dan ta’awwudz-ta’awwudz (do’a-do’a dalam rangka memohon perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala) kedudukannya seperti sebuah senjata. 

Dan tentunya sebuah senjata tidak semata-mata hanya mengandalkan ketajaman saja. Akan tetapi juga meliputi kelengkapan-kelengkapan lainnya, seperti gagang/pegangan senjata tersebut, dan lain-lainnya. Maka ketika senjata tersebut adalah senjata yang sempurna dan tidak ada kekurangan padanya, pemegangnya adalah orang yang ahli, serta tidak ada penghalang lain untuk mengenai sasaran, maka ia akan mampu menghancurkan musuh. 

Akan tetapi sebaliknya, jika hilang kesempurnaan senjata tersebut atau ada padanya kekurangan, maka kurang atau bahkan hilang pengaruhnya terhadap musuh (tidak bisa menghancurkan musuh).

Beliau juga menjelaskan bahwa do’a merupakan obat yang sangat mujarrab (terbukti) dan sebagai pelindung dari bala`/musibah, mencegah dan mengobatinya, serta meringankan bila musibah telah menimpa. Peran do’a terhadap musibah ada tiga keadaan:

1. Keberadaan do’a terhadap bala` lebih kuat daripada bala` sehingga bisa mengangkat/menghilangkan bala` atau musibah tersebut.

2. Keberadaan do’a terhadap bala` lebih lemah daripada bala`, maka bala` tersebut akan menimpa hamba (yang berdo’a). Akan tetapi terkadang do’a yang lemah tadi bisa meringankan bala` yang menimpa.

3. Keberadaan do’a terhadap bala` berimbang atau sama kuat, sehingga saling mencegah satu dengan yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يُغنِي حَذْرٌ مِنْ قَدَرٍ ، وَالدُّعَاءُ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ ، وَمِمَّا لَمْ يَنْزِلْ ، وَإِنَّ البَلاَءَ لَيَنْزِلُ فَيَتَلَقَّاهُ الدُّعَاءُ فَيَعْتَلِجَانِ إِلىَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Tidaklah bermanfaat kehati-hatian dari takdir dan do’a bermanfaat terhadap apa-apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi. Sesungguhnya bala`/musibah pasti terjadi kemudian bertemu dengan do’a, maka keduanya saling berperang sampai datangnya hari kiamat.” (Hadits diriwayatkan oleh Al-Hakim dari shahabiyah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah. Lihat Ad-Da’ wa Ad-Dawa’)

Demikianlah do’a, memiliki peran yang luar biasa pengaruhnya dalam melindungi diri. Oleh karenanya, penting bagi seseorang yang berdo’a untuk mengetahui syarat-syarat dan adab-adab dalam berdo’a, serta hal-hal yang bisa menghalangi terkabulnya do’a, sehingga do’a tersebut benar-benar akan berfungsi sebagai sebuah senjata yang ampuh. Diantara syarat dan adab dalam berdo’a adalah:

1. Ikhlash, hadirnya hati, dan mengharap do’anya dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Berdo’alah kalian kepada Allah dalam keadaan kalian yakin akan dikabulkan. Sesungguhnya Allah tidak menerima do’a dari hati yang lalai lagi main-main (tidak bersungguh-sungguh).” (HR. At-Tirmidzi)

2. Tidak terburu-buru

Sikap sabar dan tidak terburu-buru dalam berdo’a merupakan syarat dan adab dikabulkannya sebuah do’a. Sebaliknya, terburu-buru dan tidak sabar dalam berdo’a merupakan penghalang dikabulkannya do’a. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan hal ini dalam sabdanya:

Akan dikabulkan do’a salah seorang diantara kalian selama ia tidak terburu-buru (dalam do’anya) dan berkata: “Saya telah berdo’a, tapi belum juga dikabulkan!” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu). 

Dalam riwayat Muslim dengan lafazh: “Senantiasa dikabulkan do’a seorang hamba selama ia tidak berdo’a dalam perkara dosa atau dalam rangka memutus hubungan silaturrahim, serta tidak terburu-buru.” Maka ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apa maksudnya terburu-buru (dalam do’a)?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Yaitu orang yang berdo’a tersebut berkata: ‘Saya sudah berdo’a dan berdo’a, tapi belum juga dikabulkan.’ Kemudian ia jenuh/bosan untuk berdo’a dan akhirnya meninggalkan do’a (tidak lagi berdo’a).”

Makna terburu-buru dalam berdo’a disini yaitu sebagaimana dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits, yakni terburu-buru untuk melihat hasil do’anya. Dan bukan maknanya, terburu-buru dalam melafazhkan do’a, walaupun yang demikian ini mengurangi adab dalam berdo’a.

3. Menjauhi perkara yang haram

Diantara penghalang terkabulnya do’a adalah makan, minum, berpakaian dari apa-apa yang diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan Allah telah memerintahkan kaum mukminin dengan apa-apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah berfirman: “Wahai para rasul, Makanlah dari yang baik-baik dan beramal sholehlah. Sesungguhnya Aku (Allah) mengetahui apa-apa yang kalian lakukan.

Dan juga firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang Kami rizkikan kepada kalian.”

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan tentang seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh dalam keadaan rambutnya acak-acakan dan penuh debu, kemudian ia (laki-laki tersebut) mengangkat tangannya ke langit (seraya berdo’a), “Ya Rabbi, ya Rabbi,” akan tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan dari yang haram. Maka bagaimanakah do’anya akan dikabulkan?” (HR. Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan kita selaku umatnya dari hal-hal yang haram, baik makanan, minuman, pakaian, serta hasil usaha yang haram yang mana itu semua merupakan penghalang terbesar dikabulkannya do’a.

4. Mengangkat tangan ketika berdo’a

Sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.

5. Memilih waktu-waktu dikabulkan do’a

Memperhatikan waktu-waktu yang mustajab (waktu-waktu do’a dikabulkan) merupakan hal penting bagi seorang yang berdo’a. Yang mana pada waktu-waktu tersebut sangat besar kemungkinan do’a dikabulkan, maka diantara waktu-waktu mustajab yang disebutkan oleh ulama berdasarkan dalil dari Al-Qur`an maupun hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih adalah: Sepertiga malam akhir, antara adzan dan iqamah, akhir waktu Ashar hari Jum’at, ketika sujud, ketika safar, ketika berpuasa, akhir dari shalat lima waktu (yakni ketika sebelum salam).

Jika terpenuhi pada sebuah do’a syarat dan adabnya, serta tidak adanya penghalang, dan dilakukan pada waktu-waktu yang mustajab, maka hampir-hampir do’a tersebut tidak ditolak oleh Allah subhanahu wa ta’ala, serta do’a tersebut benar-benar berfungsi seperti sebuah senjata ampuh yang memberikan manfaat bagi pemiliknya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Buletin Islam AL ILMU Edisi: 15/IV/VIII/1431

Tawakkal Dengan Mengambil Sebab

by admin aluyeah
Tawakkal Dengan Mengambil Sebab | al-uyeah.blogspot.com
Bismillah, mamen. Bagaimana sebenarnya tawakkal itu? Apakah hanya berdiam menunggu pertolongan Allah? Atau berusaha mati-matian dalam mencapai sesuatu? Read men!

Tawakkal adalah bagian dari ibadah, dalil yang menunjukkan hal ini di antaranya firman Allah subhanahu wata’ala di atas dalam Al Qur’an surat Al Maaidah ayat 23. Sisi pendalilan dari ayat itu: pertama, Allah memerintahkan kita agar bertawakkal di mana ini menunjukkan bahwa ia sebagai ibadah. Kedua: Allah menjadikan tawakkal dalam ayat itu sebagai syarat dari keimanan.

Kemudian dalil lainnya, firman Allah, “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).” (QS AthThalaq: 3). Pada ayat ini Allah menjanjikan atas siapa saja yang bertawakkal padanya dengan diberikan balasan berupa kecukupan, balasan yang besar ini tentu tidak akan tercapai kecuali dengan ibadah yang besar pula, pendek kata tawakkal adalah ibadah yang agung, yang dengannya seorang hamba mendekatkan diri kepada sang Penciptanya.

Hal yang mendorong seorang hamba untuk bertawakkal kepada Allah, menyandarkan hati padaNya ialah hendaknya mengetahui bahwa bukanlah hak makhluk memberikan kemanfaatan dan kemudharatan, hidayah dan kesesatan, meninggikan dan merendahkan, serta memuliakan dan menghinakan. Tetapi Dialah Rabbnya yang telah menciptakannya, memberi rizkinya, memberi petunjuk padanya, serta menganugerahkan segala nikmat untuknya.

Manusia dalam hal bertawakkal kepada Allah terbagi tiga golongan, 

Pertama : orang-orang yang meniadakan sebab / usaha dalam rangka menjaga keutuhan tawakkal, mereka mengira bahwa tawakkal tidak akan sempurna kecuali dengan meninggalkan sebab. 

Kedua : orang-orang yang meninggalkan tawakkal dan bertumpu pada sebab / usaha. 

Ketiga : orang-orang yang mengetahui bahwa tawakkal tidak akan sempurna kecuali dengan melakukan sebab. 

Golongan ketiga inilah yang benar sedangkan yang sebelumnya mereka berada di atas kebodohan dan kesesatan. Mengambil sebab yang disyariatkan adalah dalil akan kebenaran tawakkal dan kejujuran orang yang bertawakkal, ingatlah tatkala Nabi Musa ‘alaihis salam meminta air untuk kaumnya, maka Allah memerintahkan agar memukul batu dengan tongkatnya. 

Dan ingatlah ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, ‘Pukullah batu itu dengan tongkatmu.’ Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air…” (QS Al Baqarah: 60). Juga Allah berfirman kepada Maryam, “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS Maryam: 25).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Meninggalkan sebab berarti celaan terhadap syariat dan akal, sedangkan bersandar pada sebab (tanpa tawakkal, -pent.) adalah kesyirikan.”(Majmu’ul Fatawa: 8/175-176). 

Berkata Ibnul Qoyyim, “Telah menjadi kesepakatan bahwa tawakkal tidaklah menafikan untuk mendatangkan sebab/ usaha. Tidak sah tawakkal kecuali dengan itu, jika tidak maka hal itu adalah kebatilan dan tawakkal yang rusak. Suhail bin Abdillah berkata, ‘Barangsiapa mencela usaha / sebab, berarti ia telah mencela sunnah, barangsiapa mencela tawakkal berarti ia telah mencela iman, maka bertawakkal adalah keadaan nabi sedangkan usaha adalah sunnahnya. Siapasaja yang beramal dengan keadaannya, janganlah meninggalkan sunnahnya.’” (Lihat Madaarijus Saalikin: 2/116).

Jadi pelanggaran yang terbesar terhadap syariat ialah meninggalkan sebab karena beranggapan bahwa hal itu sebagai kesempurnaan tauhid, Allah berfirman, “Siapa yang tidak diberikan cahaya oleh Allah, maka ia tidak mempunyai cahaya.

Jika tawakkal sebagai ibadah, maka tidak boleh memalingkannya kepada selain Allah -dalam perkara yang tidak dimampui kecuali olehNya-sebab hal itu adalah bentuk kesyirikan, karenanya Allah berfirman, “Dan bertawakkallah kepada yang hidup yang tidak akan mati.” Begitu pula dalam hal mengambil sebab, tidak dibolehkan mengambil sebab, kecuali yang diperkenankan menurut syariat.

Sumber: Buletin Al Wala’ wal Bara’ Edisi ke-31 Tahun ke-1 / 18 Juli 2003 M / 18 Jumadil Ula 1424 H. 

Kuburan Menjadi Masjid

by admin aluyeah
Kuburan Menjadi Masjid | al-uyeah.blogspot.com
Bagaimana hukum shalat di masjid yang di sekitarnya (depan, belakang, kanan atau kiri) ada kuburan walaupun hanya satu kuburan. Jadi masjid tersebut tidak dibangun di atas kuburan (kuburan berada di luar dinding masjid dengan jarak  ±2 atau 3 meter) atau kuburan tersebut tidak berada di luar masjid?

Jawab (Oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad) :
Berkaitan dengan permasalahan ini maka perlu dibahas dari dua sisi:
1. Shalat di area pekuburan.
2. Shalat menghadap ke kuburan.

Masalah shalat di atas area pekuburan, hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Iqtidha Shirathal Mustaqim (hal. 467): “Para fuqaha telah berbeda pendapat mengenai shalat di area pekuburan, (hukumnya) haram atau makruh? Jika dikatakan haram maka apakah shalatnya tetap sah (meskipun pelakunya berdosa) atau tidak? Yang masyhur di kalangan kami(1) bahwa hukumnya haram dan shalatnya tidak sah (batal).”

Syaikhul Islam rahimahullah juga berkata di dalam kitab yang sama pada hal . 460 berkenaan dengan masjid yang di bangun di atas kuburan(2): “Aku tidak mengetahui adanya khilaf (perselisihan pendapat) tentang dibencinya shalat di masjid tersebut dan menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab kami shalat (tersebut) tidak sah (batal) karena adanya larangan dan laknat dari Rasulullah  terhadap perkara itu.”

Jadi shalat di area pekuburan (tanpa masjid) begitu pula di masjid yang dibangun di atas kuburan hukumnya haram menurut pendapat yang masyhur di kalangan Hanabilah mengikuti pendapat Al-Imam Ahmad sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hazm darinya dan dibenarkan (dirajihkan) oleh Ibnu Hazm. (Lihat Ahkamul Janaiz karya Al-Albani hala. 273-274). Dan pendapat ini dirajihkan (dipilih) pula oleh Syaikhul Islam sebagaimana dalam Al-Ikhtiyarat Al-’Ilmiyyah hal. 25, Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (2/134), Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/232-236) dan Syarh Bulughul Maram (kaset).(3) Begitu pula Ibnul Qayyim menegaskan batalnya shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan dalam Zadul Ma’ad (3/572) dan Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ijabatus Sail hal. 200.

Para ulama rahimahumullah mengatakan haram dan shalatnya batal berdasarkan 3 dalil:
1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri z yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, Syaikhul Islam dalam Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim hal. 462-463, Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 270, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (1/277-278), bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

Bumi itu semuanya merupakan masjid (tempat shalat) kecuali kuburan dan kamar mandi.”

2. Hadits ‘Aisyah radiyallahu'anha, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam  bersabda:

Allah melaknat Yahudi dan Nashara dikarenakan mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.” (HR. Al-Bukhari no. 435 dan Muslim no. 529).

Syaikhul Islam rahimahullah dalam Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim hal. 462 berkata: “Termasuk di antaranya shalat di pekuburan meskipun tidak ada bangunan masjid di sana, karena hal itu juga masuk dalam kategori menjadikan kuburan sebagai masjid sebagaimana kata ‘Aisyah radiyallahu'anha(4): “Kalau bukan karena hal itu maka sungguh kuburan Rasulullah akan ditampakkan(5), akan tetapi beliau khawatir (takut) kuburannya akan dijadikan  masjid.”

Dan bukanlah maksud ‘Aisyah radiyallahu'anha pembangunan masjid semata, karena para shahabat radiyallahu'anhum tidak akan melakukan pembangunan masjid di sisi  kuburan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Jadi maksud Aisyah radiyallahu'anha adalah kekhawatiran bahwa orang-orang akan melakukan shalat di sisi kuburan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam.

Setiap tempat yang dimaksudkan untuk shalat padanya berarti telah dijadikan masjid. Bahkan setiap tempat shalat maka itu dinamakan masjid meskipun tidak ada bangunan masjidnya, sebagaimana kata Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam(6):

Telah dijadikan bumi bagiku sebagai masjid (tempat shalat) dan alat untuk bersuci (dengan tayammum).”

3. Alasan bahwa shalat di area pekuburan dimungkinkan sebagai wasilah yang menyeret kepada penyembahan kuburan atau tasyabbuh (menyerupai) para penyembah kubur.

Kemudian perlu diketahui bahwa tidak ada perbedaan antara area pekuburan yang penghuni (kuburan)nya baru satu, atau dua, dan seterusnya. Yang jelas kalau suatu area tanah tertentu telah disediakan untuk pekuburan maka jika telah ada satu mayat yang dikuburkan berarti telah menjadi pekuburan. Ini menurut pendapat yang kuat (rajih) yang dipilih oleh Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (2/134), Syaikhul Islam dalam Al-Iqtidha (hal. 460) dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/235)7. Dan hukum ini berlaku sama saja selama dia shalat di area pekuburan, baik kuburannya di hadapan orang yang shalat, di sampingnya atau di belakangnya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Ikhtiyarat hal. 25 dan Syarh Bulughul Maram (kaset).

Begitu pula halnya dengan shalat di masjid yang dibangun di atas satu kuburan atau lebih, sama saja baik kuburannya di depan orang yang shalat atau tidak. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarh Bulughul Maram (kaset) berkata: “Demikian pula hukumnya kalau suatu masjid dibangun di atas suatu kuburan karena masjid itu masuk dalam kategori area pekuburan, mengingat bahwa ketika kuburannya dalam masjid maka berarti masjid itu telah menjadi tempat pekuburan.

Adapun jika suatu mayat dikuburkan dalam masjid (yang telah dibangun lebih dulu) maka wajib hukumnya untuk membongkar kuburan tersebut kemudian dipindahkan ke pekuburan kaum muslimin dan tidak boleh dibiarkan tetap dalam masjid. Namun shalat di dalam masjid tersebut tetap sah selama kuburannya bukan di depan orang yang shalat, karena jika demikian (kuburannya di depan orang yang shalat –red) maka shalatnya batal.”

Apa yang ditegaskan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin di atas bahwa shalat menghadap ke kuburan(8 ) tidak sah merupakan pendapat Ibnu Qudamah dalam Al-Mugni (2/50), Syaikhul Islam dalam Al-Ikhtiyarat hal. 25, Ibnu Hazm dan ini merupakan pendapat Al-Imam Ahmad sebagaimana diriwayatkan darinya oleh Ibnu Hazm sebagaimana dalam Ahkamul Janaiz hal. 273-274.

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/247) setelah beliau menegaskan haramnya shalat menghadap ke pekuburan dan pendapat yang mengatakan makruh adalah marjuh (lemah), kemudian beliau berkata: “Kalau dikatakan bahwa shalatnya tidak sah maka sungguh sisi kebenarannya kuat, karena Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam telah bersabda dalam hadits Abi Martsad Al-Ghanawi radiyallahu'anhu:

Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya.” (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan haramnya shalat menghadap ke area pekuburan atau ke kuburan-kuburan atau ke satu kuburan (sekalipun). Dan juga karena alasan dilarangnya shalat di area pekuburan terdapat pula pada shalat menghadap ke kuburan. Maka selama seseorang masuk dalam kategori shalat menghadap ke kuburan atau ke area pekuburan berarti dia telah masuk dalam larangan. Jika demikian maka shalatnya tidak sah berdasarkan hadits (di atas): “Janganlah kalian shalat menghadap ke kuburan.” Jadi larangan menghadap ke kuburan khusus ketika shalat, maka barangsiapa shalat menghadap ke kuburan berarti terkumpul pada amalannya antara ketaatan dan maksiat, dan tidak mungkin seseorang mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan cara demikian.

Jika ditanyakan apa yang dianggap batas pemisah antara dia dengan kuburan? Kami katakan: Dinding merupakan pemisah, kecuali jika itu dinding pekuburan maka ada sedikit keraguan dengannya. Namun jika ada dinding lain yang memisahkan antara kamu dan pekuburan maka tidak ada keraguan lagi bahwa itu tidak masuk dalam larangan.

Demikian pula jika antara kamu dan pekuburan ada jalan, atau antara kamu dan pekuburan ada jarak pemisah, yang sebagian ulama menyatakan seperti jaraknya pembatas shalat. Berdasarkan ini berarti jaraknya dekat. Namun ini tetap menyisakan keraguan, karena seseorang yang melihat engkau shalat sementara di depanmu ada pekuburan sejarak 3 hasta tanpa dinding pemisah, dia akan menyangka engkau shalat menghadap ke kuburan. Jika demikian berarti butuh jarak yang cukup, yang dengannya diketahui bahwa engkau shalat tidak menghadap ke kuburan.”

Jika demikian maka apabila ada masjid yang dikelilingi oleh kuburan dari luar dinding masjid (termasuk di depannya) maka shalat di dalamnya sah, dan hal ini telah ditegaskan oleh Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ijabatus Sail hal. 200. Sementara itu sebagian ulama Hanabilah dan dinukilkan dari Al-Imam Ahmad (berpendapat) bahwa tidak boleh shalat di masjid yang di depannya ada kuburan hingga ada dinding lain selain dinding masjid sebagai pemisah (lihat Al-Ikhtiyarat hal. 20). Dengan demikian, sebaiknya menghindari shalat di masjid tersebut jika ada masjid lain, meskipun shalat di situ tetap sah sebagaimana kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Asy-Syaikh Muqbil rahimahumullah.
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Maksudnya kalangan fuqaha Hanabilah (pengikut madzhab Al-Imam Ahmad).
2  Dalam arti kuburannya di dalam masjid.
3 Syarah hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang akan disebutkan nanti.
4 Setelah Aisyah x meriwayatkan hadits di atas: “Allah melaknat …. dst.”
5 Artinya beliau akan dikuburkan di luar rumah, di pekuburan Baqi’ misalnya, bersama para shahabat g. Lihat Al-Qaulul Mufid syarah Kitabut Tauhid (1/347) karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin t.
6 HR. Al-Bukhari no. 330 dan Muslim no. 520 dari Jabir z.
7  Karena ada sebagian ulama menganggap bahwa yang dilarang adalah bila sudah ada 3 kuburan atau lebih.
8 Dalam arti dia di luar area pekuburan.

"Shalat di Masjid yang Ada Kuburannya"
AsySyariah.com

Larangan Berdebat

by admin aluyeah
Larangan Berdebat | al-uyeah.blogspot.com
Abul Harits berkata, saya mendengar Imam Ahmad (Abu Abdillah) berkata :
“Apabila kamu lihat seseorang suka berdebat maka jauhilah dia.”

Dan diceritakan kepadaku tentang Abu Imran Al Ashbahani ia berkata, saya mendengar Imam Ahmad berkata : “Jangan duduk dengan orang yang suka berdebat meskipun untuk membela As Sunnah sebab sesungguhnya yang demikian tidak akan berubah menuju kebaikan.”

Maka jika ada yang berkata : “Anda telah memperingatkan kami agar menjauhi perbantahan, percekcokan, debat dan berdiskusi dan kami tahu ini adalah kebenaran dan merupakan jalannya ulama dan para shahabat serta orang-orang yang berakal dari kaum Mukminin dan ulama yang berpandangan tajam (memiliki bashirah). 

Seandainya seseorang mendatangi saya dan menanyakan suatu perkara dari ahwa ini yang telah nyata dan tentang madzhab-madzhab rusak yang telah tersebar dan ia mengajak dialog dengan sesuatu yang menuntut jawaban dari saya sedangkan saya termasuk orang yang dianugerahi Allah Yang Maha Mulia ilmu dan bashirah untuk menjawab dan membongkar syubhatnya itu.

Apakah saya harus tinggalkan dia mengatakan apa yang dia inginkan dan tidak dijawab dan saya biarkan dia dengan hawa nafsunya serta bid’ahnya itu dan saya tidak membantah ucapannya yang rusak tersebut?”

Maka saya katakan di sini : “Ketahuilah saudaraku –semoga Allah merahmatimu–. Sesungguhnya ujian yang kamu hadapi dari orang yang seperti ini tidak terlepas dari salah satu dalam tiga hal :

Bisa jadi ia seorang yang Anda kenal baik jalannya, madzhabnya, dan kecintaannya kepada keselamatan dan keinginannya untuk menuju sikap istiqamah hanya saja ia biarkan telinganya mendengar ucapan orang-orang yang hati mereka dihuni oleh para syaithan dan berbicara dengan berbagai ucapan kekafiran lewat lisan mereka dan ia tidak mengetahui jalan keluar dari bencana yang menimpanya itu maka bisa jadi pertanyaannya adalah pertanyaan yang menginginkan bimbingan lalu ia mencari jalan keluar dari apa yang dialaminya dan mencari obat untuk mengobati sakitnya dan bisa jadi Anda rasakan ketaatannya dan aman dari penentangannya maka orang yang seperti inilah yang wajib bagimu menghentikannya dan membimbingnya menjauhi jaring-jaring tipu daya para syaithan dan hendaknya bekalmu membimbing dan menyelamatkannya itu bersumber dari Al Quran dan As Sunnah dan atsar yang shahih dari ulama ummat ini dari kalangan shahabat dan tabi’in yang tentunya semua itu harus dilakukan dengan Al Hikmah dan mau’izhah (nasihat) yang baik.

Jauhilah olehmu sikap takalluf (memberat-beratkan) terhadap perkara yang tidak kamu kenal lalu kamu bawakan pendapatmu (ra’yu) dan berbelit-belit dalam pembahasan. Jika kamu lakukan maka perbuatanmu ini adalah bid’ah meskipun kamu dengan perkataanmu itu ingin (membela) As Sunnah.

Karena keinginanmu menuju Al Haq akan tetapi tidak melalui jalan yang Haq merupakan kebathilan. Sedangkan ucapanmu tentang As Sunnah tapi tidak dengan tuntunan As Sunnah adalah bid’ah maka janganlah kamu carikan obat untuk shahabatmu dengan sakitnya jiwamu dan jangan harapkan keselamatannya dengan kerusakan dirimu. Maka sesungguhnya tidak dinasihati manusia itu oleh orang yang menipu dirinya sendiri.

Barangsiapa yang tidak memiliki kebaikan untuk dirinya sendiri maka ia tidak akan dapat memberikan kebaikan kepada orang lain. Siapa yang Allah kehendaki menjadi baik maka Allah berikan ia taufiq dan Allah luruskan dia dan siapa yang bertaqwa maka Allah akan menolong dan memenangkannya.” (Al Ibanah 2/540-541 nomor 679)

Dari Abu Aly Hanbal bin Ishaq bin Hanbal ia berkata, seseorang menyurati Imam Ahmad minta izin untuk menulis kitab menerangkan bantahan terhadap ahli bid’ah dan berdialog dengan mereka untuk membantah mereka maka Imam Ahmad membalasnya :

“Semoga Allah memperbaiki akhir hidupmu, menghindarkanmu dari hal yang tidak disenangi dan dihindari. Sebagaimana yang kita dengar dan kita dapatkan dari para Ahli Ilmu bahwa sesungguhnya mereka tidak suka berdebat dan duduk bersama ahli zaigh (yang condong kepada kesesatan, ahli bid’ah).

Bahwasanya perkara agama ini adalah menerima dan kembali (merujuk) kepada apa yang diterangkan dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bukan duduk bersama ahli bid’ah dan ahli zaigh untuk membantah mereka karena sesungguhnya mereka akan mengelabui kamu (dalam perdebatan itu) sedangkan mereka tetap tidak akan kembali.

Maka yang selamat –Insya Allah– adalah menjauhi majelis mereka dan tidak memperdalam pembahasan (bersama mereka) tentang bid’ah dan kesesatan mereka. Oleh sebab itu hendaknya seseorang bertakwa kepada Allah dan kembali kepada apa yang memberi manfaat baginya pada masa mendatang (yakni akhirat) berupa amalan shalih yang ia usahakan untuk dirinya dan hendaknya janganlah ia termasuk orang yang mengada-adakan urusan karena ketika perkara baru itu keluar darinya ia membutuhkan hujjah dan berarti ia membawa dirinya kepada sesuatu yang mustahil dan ia mencarikan hujjah bagi perkara yang ia ada-adakan itu dengan sesuatu yang haq dan yang bathil agar ia dapat menghiasi bid’ahnya dan apa yang ia ada-adakan itu.

Dan yang lebih berbahaya lagi dari itu semua adalah kalau ia menuliskannya dalam sebuah kitab yang memuat perkara tersebut, ia akan menghiasinya dengan perkara yang haq dan bathil walaupun Al Haq itu telah jelas dan bukan seperti itu. Dan kami memohon kepada Allah agar memberi taufiq untuk kami dan kamu, Wassalamu’alaika.” (Al Ibanah 2/471-472 nomor 481)

Dari Yahya bin Sa’id ia berkata, Umar bin Abdul Aziz berkata :
“Siapa yang menjadikan agamanya bahan perdebatan dan perbantahan maka ia adalah orang yang paling sering berpindah-pindah (pemikirannya).” (Asy Syari’ah 62 dan Ad Darimy 1/102 nomor 304)

Dari Abdus Shamad bin Ma’qil ia berkata, saya mendengar Wahb mengatakan :
“Tinggalkanlah percekcokan dan perdebatan dalam urusanmu karena sesungguhnya kamu tidak mungkin melemahkan salah satu dari dua lawanmu yaitu seorang yang lebih alim darimu maka bagaimana mungkin kamu membantah dan mendebat orang yang jelas lebih alim dari kamu? Dan seorang yang kamu lebih alim dari dia maka apakah pantas kamu membantah dan mendebat orang yang lebih bodoh dari kamu? Sedangkan ia tidak akan mentaati kamu, putuslah yang demikian atasmu.” (Asy Syari’ah 64)

Dari Ma’n bin Isa ia berkata, pada suatu hari Jum’at Imam Malik bin Anas keluar dari mesjid sambil bersandar ke lenganku, seseorang bernama Abul Huriyyah menyusulnya –ia diduga seorang Murjiah– katanya :
“Hai Abu Abdillah, dengarkanlah! Saya mengajakmu bicara tentang sesuatu. Dan saya akan membantahmu dan mengeluarkan pendapatku kepadamu.”
Beliau berkata : “Kalau kamu mengalahkanku bagaimana?” Orang itu berkata : “Kalau aku menang kamu ikut saya.” Kata beliau lagi : “Bagaimana jika datang seseorang lalu mengajak kita berdebat dan mengalahkan kita?” Laki-laki itu menjawab : “Kita ikuti dia.” Maka berkatalah Imam Malik rahimahullah :
“Hai hamba Allah! Allah mengutus Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membawa agama yang satu tapi saya melihat kamu selalu berpindah dari satu agama ke agama yang lain.” (Ibid 62)

Imam Abu Bakr Al Ajurri berkata :
Jika ada yang berkata : “Apabila seseorang telah diberi ilmu oleh Allah Azza wa Jalla lalu seseorang mendatanginya bertanya tentang agama ini, orang itu membantah dan mendebatnya. Bagaimana pendapat Anda bolehkah ia mendebat orang itu sampai ditegakkan hujjah dan dibantah ucapannya?”
Katakan kepadanya : “Inilah yang dilarang kita melakukannya dan inilah yang telah diperingatkan para imam kaum Muslimin yang terdahulu.”

Oleh sebab itu jika ada yang berkata : “Lalu apa yang harus kita perbuat?”

Katakan kepadanya : “Jika ia menanyakannya kepadamu dengan pertanyaan untuk mencari petunjuk kepada jalan yang haq tanpa ingin berdebat maka tunjukilah dia dengan tuntunan yang berisi keterangan ilmu dari Al Quran dan As Sunnah serta pendapat para shahabat dan para imam kaum Muslimin. Adapun jika ia ingin berdebat denganmu dan ia membantahmu maka inilah yang tidak disukai ulama untukmu maka jangan kamu berdialog dengannya dan berhati-hatilah terhadapnya dalam agamamu.”

Kemudian jika ada yang berkata : “Apakah kami biarkan mereka berbicara dengan kebathilan dan kami berdiam diri dari mereka?”

Katakan kepadanya : “Diamnya kamu dari mereka (tidak memperdulikan mereka), menyingkirnya kamu dari mereka jauh lebih menyakitkan bagi mereka daripada kamu berdiskusi dengan mereka, demikianlah yang dikatakan Salafus Shalih.”

"Jeleknya Berdebat dan Berbantahan Mengenai Agama"
diposting oleh webadmin pada 30/03/2004

(Sumber : Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah, terjemah dari kitab Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma’tsur, karya Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi. Diterjemahkan oleh Ustadz Idral Harits, Pengantar Ustadz Muhammad Umar As Sewwed. Diambil dari www.assunnah.cjb.net.)

Salafy.or.id

Larangan Isbal

by admin aluyeah
Enggak Isbal Why Not | al-uyeah.blogspot.com
Lelaki tidak diperbolehkan melakukan isbal dalam berpakaian. Isbal adalah menjulurkan atau memanjangkan kain, baju, sarung, celana, jubah, atau semisalnya di bawah mata kaki. Pendapat yang rajih (kuat) adalah semata-mata isbal hukumnya haram, diancam dengan neraka. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ

Sarung yang di bawah kedua mata kaki maka tempatnya di neraka.” (HR. al-Bukhari no. 5785)

Apabila dia isbal disertai dengan kesombongan, ancamannya lebih keras lagi. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاََ يَنْظُرُ ا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا

Pada hari kiamat nanti, Allah Subhanahu wata’ala tidak akan melihat seseorang yang menjulurkan sarungnya karena sombong.” (HR. al-Bukhari no. 5785 dan Muslim no. 2087)

Isbal itu sendiri sudah menunjukkan kesombongan, sebagaimana disebutkan oleh hadits Jabir bin Sulaim radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ ا لاَ يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ

Angkat sarungmu hingga pertengahan betis. Apabila engkau enggan, sampai (atas) mata kaki. Waspadalah engkau dari isbal sarung, karena hal itu adalah kesombongan, dan Allah Subhanahu wata’ala tidak menyukai kesombongan.” (Shahih lighairihi, HR. Abu Dawud no. 4084 dan Ahmad 5/63)

Yang menjelaskan masalah ini adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِزْرَةُ الْمُسْلِم إِِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَلاَ حَرَجَ أَوْ لاَ جُنَاحَ- فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ، مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ

Sarung seorang muslim sampai pertengahan betis dan tak mengapa antara itu dan kedua mata kaki. Adapun yang di bawah mata kaki tempatnya di neraka. Barang siapa yang menjulurkan  (isbal) sarungnya karena sombong maka Allah Subhanahu wata’ala tidak akan melihat dia.” (Sahih, HR. Abu Dawud no. 4093)

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berfatwa, “Tidak boleh bagi laki-laki menjulurkan (isbal) pakaiannya di bawah kedua mata kaki. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarangnya dan mengancam dengan neraka, isbal termasuk dosa besar. Jika isbal dilakukan karena sombong dan angkuh, dosanya lebih keras lagi. Adapun jika tidak ada unsur sombong dan angkuh, hukumnya juga haram karena keumuman larangan (dalam hadits).” (al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan 3/436)

Adapun wanita dianjurkan menjulurkan pakaiannya di bawah kedua mata kaki hingga tidak tampak kedua telapak kakinya, namun tidak boleh lebih dari satu hasta (dzira’). Jika ditambah dengan memakai kaos kaki, itu lebih bagus lagi. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah  pernah ditanya, “Apakah boleh memanjangkan pakaian wanita 5 cm di bawah telapak kaki?” Beliau menjawab, “Ya, diperbolehkan bagi wanita menjulurkan pakaiannya hingga di bawah kedua mata kaki. Bahkan, hal ini termasuk disyariatkan bagi kaum wanita dengan tujuan menutup kedua telapak kakinya.

Sebab, menutup kedua telapak kaki wanita termasuk hal yang syar’i, bahkan wajib menurut kebanyakan ulama. Seyogianya wanita menutupi kedua telapak kakinya, bisa dengan pakaian panjang, memakai kaos kaki, atau yang semisalnya.” Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah juga menjelaskan, “Yang dituntut dari seorang wanita muslimah adalah menutup seluruh tubuhnya dari pandangan laki-laki. Karena itulah, dia diberi rukhshah memanjangkan pakaiannya seukuran satu hasta dari pertengahan betis untuk menutupi kedua telapak kakinya. Adapun laki-laki dilarang memanjangkan pakaiannya di bawah kedua mata kaki. Ini semua menunjukkan, yang dituntut bagi wanita adalah menutup badannya secara sempuna. Memakai kaos kaki termasuk tindakan ekstra hati-hati dalam menutupi tubuh termasuk hal yang bagus, namun tetap disertai dengan pakaian yang dipanjangkan, sebagaimana yang tertera dalam hadits.” (lihat Fatwa al-Mar’ah al-Muslimah hlm. 244, dikumpulkan oleh Abu Malik Muhammad bin Hamid bin Abdul Wahhab, cet. Darul Bashirah Mesir, tanpa tahun)

Hadits yang dimaksud adalah hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4117) dengan sanad yang sahih, dikuatkan oleh hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Abu Dawud juga (no. 4119) dan Ibnu Majah (no. 3581). Ibnu Raslan rahimahullah menjelaskan, “Yang tampak (dari lafadz hadits) adalah bahwa yang dimaksud satu jengkal (syibr) dan satu hasta (dzira’) adalah ukuran lebih dari gamis laki-laki, bukan ukuran yang lebih dari tanah.” (‘Aunul Ma’bud 11/138)

Dalam ‘Aunul Ma’bud 11/137 disebutkan bahwa tambahan satu jengkal atau satu hasta dari mulai pertengahan betis karena itu adalah posisi sarung/ pakaian laki-laki yang sunnah. Oleh karena itu, tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam manambahkan satu jengkal untuk wanita, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menyatakan,

إِذًا يَنْكَشِفُ عَنْهَا

(kalau demikian, akan terbuka [telapak kaki]nya ketika berjalan).”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menambahkan satu hasta, sebagaimana dalam riwayat Abu Dawud di atas. Wallahu a’lam.

”Larangan Isbal ( Menjulurkan Pakaian Di bawah Mata Kaki )”
Penulis : Al-Ustadz Muhammad Afifuddin
AsySyariah.com

Istikharah

by admin aluyeah
Istikharah | al-uyeah.blogspot.com
Apabila seseorang bertekad untuk melakukan safar, disunnahkan untuk istikharah (meminta pilihan) kepada Allah Ta'ala. Dia melakukan shalat dua rakaat selain shalat fardhu, kemudian berdoa dengan doa istikharah sebagai berikut:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ: فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاقْدُرْهُ لِي وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ

“Ya Allah, sungguh aku meminta pilihan dengan ilmu-Mu, meminta ketentuan dengan takdir-Mu, aku meminta karunia-Mu yang besar. 

Sesungguhnya Engkau Maha berkuasa, sedangkan aku tidak berkuasa. Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui. Engkau Maha Mengetahui perkara ghaib. 

Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan anda) lebih baik bagiku, agamaku, hidupku, dan akhir urusanku, maka berilah aku kemampuan untuk melakukannya. 

Mudahkanlah urusanku dan berilah aku barakah padanya. 

Namun jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan anda) jelek bagiku dalam hal agama, kehidupan, dan akhir urusanku, maka palingkanlah urusan itu dariku. Palingkanlah aku dari urusan itu. 

Tentukanlah kebaikan itu untukku di manapun dia, dan jadikanlah aku ridha dengannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6382, Abu Dawud no. 1538, dan lainnya)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah membawakan ucapan Ibnu Abi Jamrah ketika menjelaskan sabda Nabi Shallallahu'alaihiwasalam: فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا (pada seluruh perkara): “Lafadz ini umum namun yang dimaksud adalah khusus. Sesungguhnya pada perkara yang wajib, mustahab, haram, dan makruh, tidak disyariatkan untuk melakukan istikharah. Perkaranya terbatas pada hal yang mubah dan hal yang mustahab apabila dihadapkan pada dua perkara, mana yang harus dia pilih.” (Fathul Bari, 11/188)

Oleh karena itu, safar yang wajib dan mustahab yang jelas, tidak disyariatkan untuk melakukan shalat istikharah. Terlebih lagi pada safar yang makruh dan haram.

"Adab-adab Safar"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar
AsySyariah.com

Shalat Taubat

by admin aluyeah
Shalat Taubat | al-uyeah.blogspot.com
Adakah shalat hajat dan shalat taubat dalam syariat? Muhammad-085242xxxxxx

Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc:

Tentang shalat taubat, para ulama menyebutkan adanya shalat tersebut, walaupun penamaannya dengan “taubat” tidak langsung dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam. Dalil yang menunjukkan adanya shalat yang dimaksud adalah hadits dari Abu Bakar ash-Shiddiq radiyallahu'anhu berikut ini:

Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Tidak ada seorang muslim pun yang berbuat dosa lalu bangkit dan bersuci kemudian melakukan shalat lantas meminta ampun kepada Allah Ta'ala melainkan Allah Ta'ala akan mengampuninya.” Lalu beliau membaca ayat ini, “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah Ta'ala? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui.” (Ali Imran: 135)

[Sahih, HR. Abu Dawud, kitab al-Witr bab fil Istighfar no. 1523, at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat bab Fish shalah ‘inda Taubah no. 408, an-Nasa’i dalam kitab ‘Amalul Yaum wal Lailah, Ibnu Majah kitab Iqamatu ash-Shalah was Sunnah bab Ma Ja’a anna ash-Shalah Kaffarah no. 1459, dan Ahmad, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud]

Al-Mubarakfuri dalam Syarah Sunan at-Tirmidzi menerangkan, bahwa makna sabda Nabi Shallallahu'alaihiwasalam, “…lalu melakukan shalat…” yakni dua rakaat, sebagaimana dalam riwayat Ibnu as-Sunni, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi.

Adapun sabda beliau “…kemudian meminta ampun kepada Allah…” yakni dari dosa tersebut, sebagaimana dalam riwayat Ibnu as-Sunni. Yang dimaksud dengan meminta ampun adalah bertaubat, dengan menyesali dan mencabut diri (dari dosa tersebut), serta bertekad untuk tidak kembali mengulanginya selama-lamanya, juga mengembalikan hak-hak (orang lain) bila ada. (Tuhfatul Ahwadzi)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ditekankan untuk berwudhu dan shalat dua rakaat saat bertaubat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah.” Beliau kemudian menyebutkan hadits di atas. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surah Ali Imran: 135 )

Ibnu Khuzaimah rahimahullah dalam kitab Shahih-nya juga menyebutkan sebuah bab, “Disunnahkannya shalat setelah berbuat dosa agar shalat tersebut menjadi penghapus dosa yang dilakukannya.”

Dari keterangan di atas, shalat taubat itu ada dan disunnahkan.

Namun, perlu diingat bahwa seseorang tidak boleh meremehkan dosa lantaran punya keyakinan bahwa shalat taubat akan menghapus setiap dosa yang dilakukannya. Terampuninya dosa bukan karena semata-mata shalat tersebut, yang kondisi shalat itu sendiri terkadang khusyu’ terkadang tidak. Niatnya pun terkadang benar dan terkadang tidak, sehingga seseorang tidak tahu apakah shalatnya diterima atau tidak. Bila demikian keadaannya, bagaimana mungkin ia memastikan bahwa dosanya terampuni dengan sekadar shalatnya?

Perlu dicermati juga dari hadits di atas, shalat taubat tersebut adalah betul-betul sebagai ungkapan taubatnya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu'alaihiwasalam mengatakan, “…lalu dia meminta ampun kepada Allah Ta'ala”, yakni bertaubat dengan syarat-syarat taubat yang telah diterangkan ulama, yaitu:
1. Menyesali perbuatan dosanya
2. Meninggalkannya
3. Bertekad untuk tidak melakukannya lagi selama-lamanya
4. Bila terkait dengan hak orang, dia mengembalikannya kepada orang yang dizalimi.

Perhatian
Ada shalat taubat yang tidak sesuai dengan tata cara di atas, sehingga termasuk bid’ah. Caranya, seseorang mandi pada malam Senin setelah witir kemudian shalat 12 rakaat. Pada setiap rakaat dia membaca al-Fatihah, al-Kafirun 1 kali, dan al-Ikhlas 10 kali… dan seterusnya, dengan cara-cara yang tidak diajarkan Nabi n. (Lihat Mu’jamul Bida’ hlm. 343)

"Adakah Shalat Hajat Dan Shalat Taubat?"
Oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
AsySyariah.com

Makan Dengan Tangan Kanan

by admin aluyeah
Makan Dengan Tangan Kanan | al-uyeah.blogspot.com
Makan atau minum dengan tangan kiri, bagi kebanyakan orang, sudah menjadi hal yang biasa. Namun dalam Islam, perbuatan jelek ini bukan permasalahan yang ringan. Setidaknya, makan dan minum dengan tangan kiri adalah perbuatan yang menyerupai setan. Sehingga merupakan perkara yang penting untuk mengajari anak bagaimana makan dan minum sesuai tuntunan Nabi, karena bila terlambat melakukannya, anak akan susah dibetulkan.

Kita mengetahui betapa sempurna agama Allah Ta'ala dan betapa indah ajarannya, yang tentu tidak dimiliki oleh agama lain. Keindahan itu akan bisa dirasakan apabila seseorang kembali kepada jalan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan jalan para shahabat beliau di dalam memahami, mengamalkan dan mendakwahkan Islam.

Orang banyak berceloteh dan menyuarakan harus kembali kepada Islam yang kaffah (sempurna), namun kenyataannya mereka tetap mendahulukan akal daripada agama, lebih mendahulukan perasaan, adat istiadat, ajaran nenek moyang, ajaran imam jamaah tertentu, bahkan mendahulukan konsep-konsep dari Barat yang jelas bertentangan dengan norma-norma Islam.

Ternyata kaffah yang mereka maukan tidak seperti yang dimaukan oleh para Ulama Salaf seperti Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Abul ‘Aliyah, ‘Ikrimah, Rabi’ bin Anas As-Suddi, Muqatil bin Hayyan, Qatadah dan Adh- Dhahhak yaitu Islam yang bersifat menyeluruh yang dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir dengan perkataan: “Mereka diperintahkan untuk melaksanakan seluruh cabang keimanan dan seluruh anjuran syariat. Dan (cabang-cabang keimanan) banyak sekali dan (mereka masuk ke seluruhnya) sesuai dengan kesanggupan mereka.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/308)

Beliau mengatakan: “Allah memerintahkan kepada segenap hamba-Nya yang beriman dan yang membenarkan risalah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam agar mereka mengambil seluruh sendi Islam, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya sesuai dengan kesanggupan mereka (kesanggupan menurut syariat).” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/307)

Termasuk keindahan dan kesempurnaan agama adalah adanya aturan-aturan dan adab di dalam makan dan minum. Di antara adab-adabnya antara lain:

Makan Secara Berjamaah

Sudah barang tentu bahwa termasuk yang dicintai oleh Allah Ta'ala adalah makan berjamah karena makan dengan cara ini akan menyebabkan turunnya barakah dari Allah Ta'ala. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda sebagaimana dalam riwayat Jabir radiyallahu'anhu:

Makanan yang paling dicintai oleh Allah adalah bila banyak tangan (berjamaah pada makanan tersebut).”(1)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

Dari Wahsyi bahwa mereka (para shahabat) berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan dan tidak pernah kenyang?” Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda: “Jangan-jangan kalian makan berpencar?” Mereka menjawab: “Iya.” Beliau bersabda: “Berjamaahlah kalian pada makan kalian dan bacalah nama Allah niscaya Allah akan menurunkan barakah.”(2)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

“Dari Samurah bin Jundub, ia berkata: “Di saat kami bersama Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, kami saling bergantian menyantap hidangan di sebuah tempayan sepuluh orang-sepuluh orang, mulai dari pagi hari sampai malam hari. Kami berkata: “Darimana bertambah dan banyak?” Beliau berkata: “Kenapa kamu heran! Tidak ada yang menjadikannya bertambah banyak melainkan dari sini (beliau mengisyaratkan tangannya ke langit).”(3)

Demikianlah bimbingan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam masalah makan secara berjamaah. Hadits ini di samping menjelaskan tentang  fadhilah (keutamaan) makan secara berjamah, juga menjelaskan tentang keutamaan bersatu.

Adab Menyantap Hidangan

1.  Makan dan minum dengan tangan kanan
Makan dan minum dengan tangan kanan adalah wajib, dan berdosa bila seseorang makan dan minum dengan tangan kiri karena beberapa perkara:

Pertama, menyelisihi perintah Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, dan menyelisihi perintah Allah Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam termasuk dari dosa besar. Allah Ta'ala berfirman:

Apa saja yang datang dari Rasulullah maka ambillah dan apa saja yang dilarangnya maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

Apa yang aku larang kalian maka tinggalkanlah, dan apa yang aku perintahkan kalian, maka kerjakanlah sesuai dengan kesanggupan kalian.”(4)

Dijadikan rendah dan hina orang-orang yang menyelisihi perintahku.”(5)

Kedua, mengikuti langkah-langkah setan dan tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka.
Allah Ta'ala berfirman:

Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi  kalian.” (Al-Baqarah: 168)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda, bahwa Allah berfirman:

“Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-Ku dalam keadaan seluruhnya lurus dan sesungguhnya setan telah mendatangi mereka lalu menyesatkannya dari agama mereka, (dengan cara) mengharamkan apa yang Aku halalkan bagi mereka dan memerintahkan mereka untuk menyekutukan-Ku dengan apa yang  tidak pernah Aku turunkan keterangannya.”(6)

Ketiga, tasyabbuh dengan akhlak orang-orang kafir. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka.”(7)

Demikianlah beberapa ayat dan hadits Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam  yang menjelaskan tentang bahayanya seseorang menyelisihi Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, dan bila dia menyelisihi Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mesti akan menjadi atba’ (pengikut) para setan karena Allah Ta'ala mengatakan:

Tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan, bagaimana kalian bisa dipalingkan.” (Yunus: 32)

Di antara dalil yang menjelaskan wajibnya makan dengan tangan kanan dan haramnya makan dengan tangan kiri adalah sebagai berikut:

Apabila salah seorang dari kalian makan, maka hendaklah makan dengan tangan kanan dan apabila dia minum, minumlah dengan tangan kanan. Karena setan apabila makan dia makan dengan tangan kiri dan apabila minum, dia minum dengan tangan kiri.”(8)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam memerintahkan kepada ‘Umar bin Abi Salamah radiyallahu'ahu:

Hai nak, sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kanan…”(9)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berkata kepada seorang wanita yang sedang makan dengan tangan kirinya:

Jangan kamu makan dengan tangan kiri, sesungguhnya Allah telah menjadikan bagimu tangan kanan atau beliau berkata: Sungguh Allah telah memberimu tangan kanan.”(10)

Bagi kedua orang tua dan para murabbi (pengajar) hendaklah memperhatikan anak didiknya dan hendaklah menjadi suri teladan yang terbaik bagi mereka. Jadilah orang yang pertama kali melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Ta'ala  dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu'alaihiwasalam.

Karena kebanyakan orang tua atau murabbi justru menjadi madrasah awal bagi sang anak untuk berani berbuat durhaka kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu'alaihiwasalam, kecuali orang-orang yang diberikan taufiq oleh Allah Ta'ala.

Diwajibkan bagi mereka setelah memberikan contoh yang baik untuk membimbing anak-anak didik tersebut  ke jalan ridha Allah Ta'ala, untuk menegur mereka bila makan dan minum dengan tangan kiri, karena yang demikian itu termasuk dari akhlak dan adab yang tidak baik. Semua itu akan menggiring mereka menuju akhlak yang baik dan terpuji sedini mungkin. Karena pendidikan akhlak yang baik dan memperhatikan adab yang shalih akan mudah mendapatkan tanggapan positif dari sang anak.

2. Makan dari arah pinggir dan di sekitarnya

Makan dari arah pinggir atau tepi dan memakan apa yang ada di sekitarnya (yang paling dekat dengannya) merupakan bimbingan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, dan pada bimbingan beliau terkandung barakah serta merupakan penampilan adab yang baik. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

Jika makanan diletakkan, maka mulailah dari pinggirnya dan jauhi (memulai) dari tengahnya, karena sesungguhnya barakah itu turun di tengah-tengah makanan.”(11)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berkata kepada ‘Umar bin Abi Salamah:

Wahai anak! Sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kanan dan makanlah yang ada di sekitarmu (di dekatmu).”

Hadits ini menjelaskan tentang tidak bolehnya menjulurkan tangan dan badan sehingga mengganggu yang lain. Hendaknya ia meminta agar diambilkan oleh saudaranya apa yang diinginkannya.

Dikecualikan dalam hal ini -artinya boleh dia makan yang bukan di sekitarnya- pada dua keadaan, sebagaimana yang telah disebutkan oleh para ulama:

Pertama, apabila dia mengetahui bahwa yang hadir tidak mempedulikan hal itu atau tidak marah, maka diperbolehkan. Anas bin Malik radiyallahu'anhu bercerita:

Seorang penjahit mengundang Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam untuk makan, lalu aku pergi bersama Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan aku melihat beliau mencari-cari labu di pinggir nampan.”(12)

Kedua, apabila ada lauk pauk yang beraneka ragam dan tidak akan sampai tangannya melainkan dengan mengulurkannya.(13)

3. Duduk saat makan

Islam mengajarkan bagaimana cara duduk yang baik ketika makan yang tentu hal itu telah dipraktekkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Sifat duduk Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam ketika makan telah diceritakan oleh Abdullah bin Busr radiyallahu'ahu:

Nabi memiliki sebuah qash’ah (tempat makan/ nampan) dan qash’ah itu disebut Al-Gharra` dan dibawa oleh empat orang. Di saat mereka berada di waktu pagi, mereka Shalat Dhuha, lalu dibawa  qash’ah tersebut –dan padanya ada tsarid (sejenis roti)–  mereka mengelilinginya. Tatkala semakin bertambah (jumlah mereka), Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam duduk di atas kedua betis beliau. Seorang A’rabi (badui) bertanya: “Duduk apa ini, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya aku dijadikan oleh Allah sebagai hamba yang dermawan dan Allah tidak menjadikan aku seseorang yang angkuh dan penentang.”(14)

Kenapa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam duduk dengan jatsa (di atas kedua lutut dan kaki)? Ibnu Baththal mengatakan: “Beliau melakukan hal itu sebagai salah satu bentuk tawadhu’ beliau.” (Fathul Bari, 9/619)

Makan dengan Cara Muttaki`

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

“Aku tidak makan dengan cara muttaki`.”(15)

Apa yang dimaksud dengan muttaki`?

Terjadi khilaf di kalangan para ulama tentang maknanya. Ada yang mengatakan: “Rakus dalam makan, bagaimanapun sifat duduknya.” Di antara mereka ada yang mengatakan: “Duduk di atas lambung sebelah.” Di antara mereka ada yang mengatakan: “Bertopang dengan tangan kirinya ke tanah.” Ada yang mengatakan: “Tidur terlentang.” (lihat Fathul Bari, 9/619)

Asy-Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali merajihkan (menguatkan) pendapat yang mengatakan bahwa muttaki` adalah tidur di atas lambung sebelah, beliau mengatakan, ini adalah makna yang benar dan dikuatkan dengan ucapan seorang shahabat.  Tadinya Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam duduk muttaki` lalu beliau duduk, artinya miring di salah satu lambung dan makna yang disebutkan oleh Al-Khaththabi adalah marjuh (tidak kuat).” Lihat Bahjatun Nazhirin no.746, 2/62)

Bagaimana Hukum Makan dengan Cara Ini?

Terjadi khilaf di kalangan ulama salaf tentang permasalahan ini. Ibnu Qash mengatakan bahwa ini merupakan kekhususan bagi Nabi Shallallahu'alaihiwasalam. Al-Baihaqi mengomentari ucapannya: “Juga dimakruhkan bagi selain Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam karena makan dengan cara demikian merupakan penampilan orang-orang yang menyombongkan diri dan perbuatan raja-raja Romawi.”

Al-Imam An-Nawawi  rahimahullah mengatakan makruh makan dengan cara muttaki`. Disebutkan alasan dimakruhkannya oleh Ibrahim An-Nakha’i dengan mengatakan: “Mereka membenci makan dengan muttaki` karena akan mengakibatkan perut menjadi besar.”

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Khalid bin Al-Walid, ‘Ubaidah As-Salmani, Muhammad bin Sirin, ‘Atha` bin Yasar dan Az-Zuhri tentang kebolehan makan dengan cara demikian.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menengahi semua pendapat tersebut dengan mengatakan: “Kalau seandainya hukumnya makruh atau menyelisihi yang lebih utama, maka cara duduk yang disunnahkan ketika makan adalah duduk dengan jatsa. Artinya duduk di atas kedua lutut dan kedua punggung kaki, atau mendirikan kaki yang kanan dan duduk di atas kaki kiri.” (lihat Fathul Bari, 9/620)

Wallahu a’lam.

1 Diriwayatkan oleh Abu Ya’la di dalam Musnad-nya dan selain beliau dan hadits ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 2/562, no. 895
2 Dikeluarkan oleh Ibnu Majah no. 3286 dan Asy-Syaikh Al-Albani menghasankannya di dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah, 2/228, no. 2657 dan di dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 2/268, no. 664
3 Diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi no. 3886 beliau berkata: “Hadits shahih hasan.” Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di dalam kitab beliau Al-Jami’ush Shahih (4/188) dengan mengatakan haditsnya shahih berdasarkan syarat kedua syaikh (Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim) dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi no 2866, 3/192 dan di dalam kitab Al-Misykat no. 5958.
4 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari shahabat Abu Hurairahz
5 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari di dalam Shahih beliau secara mu’allaq (bersambung sampai ke shahabat) dan Al-Imam Ahmad di dalam Musnad beliau no. 4868 dari shahabat Ibnu ‘Umar c.
6 Dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim no. 5109 dari shahabat ‘Iyadh bin Himar z
7 Dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 3513 dan Al-Imam Ahmad no. 5409 dari shahabat Ibnu ‘Umar c
8 Dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim no. 5332 dari shahabat Ibnu ‘Umar c
9 Dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 5376, Al-Imam Muslim no. 3736, Al-Imam Ahmad no. 15738 dan Al-Imam Ibnu Majah no. 3258.
10 Dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad no. 16756  dari seorang imra`ah shahabat Nabi (istri shahabat), dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Jilbabul Mar`ah Muslimah, hal. 71 cet. Maktabah Al-Islamiyah.
11 Diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Majah no. 3277 dari shahabat Ibnu ‘Abbas dan Al-Imam Ahmad no. 3268 dari shahabat Abdullah bin Bisir Al-Mazini, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2650 dan di dalam kitab  Al-Irwa`ul Ghalil no. 1980 dan 1981, 7/34-39, Al-Misykat no.4211 dan Ash-Shahihah no. 393
12 Dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 5379 dan Muslim
13 Memang ada hadits yang menjelaskan hal ini dalam riwayat At Tirmidzi namun haditsnya lemah, demikianlah istimbat (pengambilan hukum) ulama dan ijtihad mereka.
14 Dikeluarkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan beliau no. 3773 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 3207 dan di dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3263
15 Dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 5398, Al-Imam At-Tirmidzi no. 1753,  Al-Imam Abu Dawud, Al-Imam Ibnu Majah no. 3253, Al-Imam Ahmad no. 18005 dan Al-Imam Ad-Darimi no. 1982 dari shahabat Abu Juhaifah

"Makan Ala Islam" bagian 2
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi
AsySyariah.com

Mengucap Bismillah Sebelum Makan

by admin aluyeah
Mengucap Bismillah Sebelum Makan | al-uyeah.blogspot.com
Makan tak lagi sekedar rutinitas. Namun juga telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Cara dan posisi makan, tata hidang berikut alatnya, hingga busana yang dikenakan juga menganut ‘ideologi’ tertentu. Repotnya, model yang dianut (lagi-lagi) adalah tata cara Barat. Bagaimana agama Islam nan sempurna ini mengatur tata cara makan? Simak bahasannya!

Islam adalah dien rahmat bagi alam semesta. Dien yang menjelaskan segala bentuk kemaslahatan manusia, mulai dari masalah yang paling kecil dan ringan hingga masalah yang paling besar dan berat. Islam sebagai rahmat telah memberikan arahan kepada pemeluknya untuk tidak mendekati perkara-perkara yang akan memudharatkan dirinya. Demikianlah kesempurnaan Islam yang hujjahnya sangat jelas dan terang, malamnya bagaikan siang. Sehingga tidak ada satupun permasalahan yang tersisa melainkan telah dijelaskan di dalamnya.

Namun dalam menerima kesempurnaan ini, sebagian umat Islam ada yang tidak puas sehingga:

1. Melakukan tindak kriminal dalam agama yaitu dengan menambah syariat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, lalu dijadikan sebagai jalan menuju ridha Allah. Dari tindak kriminal ini lahirlah konsep akal bahwa jalan menuju Allah itu banyak dan bukan satu. Ada yang cepat menyampaikan ke tujuan dan ada yang lambat. Kiasnya seperti perjalanan yang ada di dunia.

Berangkat dari pemahaman ini, maka semua jamaah dan semua aliran yang muncul di dalam Islam -sekalipun mengajak kepada kekufuran- tidak bisa disalahkan. Sehingga ketika ada yang tampil menjelaskan kebatilan sebagian atau semua aliran tadi, justru dituding sebagai tindakan ghibah atas saudaranya seiman, sementara ghibah itu haram.

Tindak kriminal lainnya adalah mengentengkan syariat Allah dan Rasul-Nya Shallallahu'alaihiwasalam sehingga menghilangkan kecemburuan terhadap agama. Tindakan ini mengajak masyarakat untuk bersikap permisif, membiarkan kemungkaran eksis dan tumbuh di dalam lingkungannya. “Yang alim silahkan alim. Yang berjudi, berzina, mencuri, dan yang mabuk silahkan. Yang penting tidak saling usik dan mengganggu. Biarkan berjalan pada jalannya masing-masing dan jika berselisih, kita saling memaafkan.” Kedua bentuk kriminal telah melahirkan setan-setan yang bisu, jelas hal ini bertentangan dengan dien islam.

2. Melakukan studi perbandingan dan pendekatan agama sehingga lahir dari konsep ini menghomogenkan agama agar menjadi lebih sempurna.

3.    Melakukan perombakan kiblat dengan melakukan penggalian kemajuan-kemajuan Barat untuk disinkronkan dengan kemajuan yang telah dicapai oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan para shahabat beliau.

Jika penjelasan Allah dan Rasul-Nya tentang kesempurnaan dien Islam ini masih belum memuaskan mereka, lalu dengan keterangan siapa lagi mereka bisa yakin dan puas?

Agar binasa orang-orang yang binasa di atas keterangan dan agar hidup orang-orang yang hidup di atas keterangan.” (Al-Anfal: 42)

Kesempurnaan Islam

Makan dan minum merupakan kebutuhan jasmani setiap orang dan akan bernilai rohani bila diniatkan untuk beribadah kepada Allah. Tidak ada satupun dari makhluk di muka bumi, yang melata sekalipun, yang tidak butuh makan dan minum. Allah telah banyak mengingatkan tentang kebutuhan ini di dalam firman-firman-Nya:

Hai sekalian bani Adam, ambillah perhiasan-perhiasan kalian setiap kalian memasuki masjid, makan dan minumlah dan jangan kalian berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31)

Hai sekalian manusia makanlah apa-apa yang ada di muka bumi dari (rizki) yang baik dan halal.” (Al-Baqarah: 168)

Hai sekalian para rasul, makanlah dari (rizki) yang baik dan beramal shalihlah kalian!” (Al-Mukminun: 51)

Hai orang-orang yang beriman makanlah dari yang baik dari apa-apa yang kami rizkikan.” (Al-Baqarah: 172)

Dan masih banyak dalil-dalil yang menjelaskan hal itu. Semua dalil di atas memang tidak menunjukkan wajib namun hanya sebatas bimbingan, akan tetapi menjadi wajib bila meninggalkannya akan memudharatkan diri sendiri. Allah I berfirman:

Dan janganlah kalian melemparkan diri kalian ke dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah: 196)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

Tidak boleh berbuat mudharat bagi dirimu dan memudharatkan orang lain.”

Kaitannya dengan makan sebagai kebutuhan jasmani, Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan perhatian yang sempurna dengan mengatur, mengarahkan dan menjelaskan tentang zat makanan dan minuman serta tatacara menikmatinya. Semuanya bertujuan agar tidak timbul kemudharatan bagi setiap hamba. Allah telah menjelaskan di dalam firman-Nya:

Pada hari ini aku telah menyempurnakan agama kalian dan telah mencukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 5)

Bagi orang yang berjalan di atas kesempurnaan dien ini dengan menerima dan tunduk padanya, niscaya dia akan menemukan keindahan Islam dan kemudahan di dalam beragama ini. Dari Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu'anhu berkata:

Nabi ditanya: Agama yang paling dicintai oleh Allah? Rasulullah bersabda: “Agama yang lurus dan mudah.”(1)

Sebagai agama yang mudah:
1. Islam telah menjelaskan kepada kita segala jalan yang menyampaikan kepada Allah. Dan kita tidak dibiarkan membuat jalan selain jalan-Nya.
2. Islam tidak meninggalkan satupun dari sendi-sendi Islam kecuali telah memberikan arahan dan bimbingan kepada yang lebih maslahat. Dan dalam hal ini Islam menyelisihi/membedakan diri dari agama lainnya. Sampai-sampai salah seorang dari Yahudi mengatakan: ‘Sungguh nabi kalian telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai-sampai tatacara buang air.”(2) Dan di antara mereka ada yang mengatakan: “Orang ini (Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam) tidak membiarkan sedikitpun dari urusan kita melainkan mesti dia menyelisihinya.”(3)

Makan Dan Minum Serta Adab-adabnya

Sebagai bentuk kesempurnaan syariat dan hikmah Allah di dalam menentukan urusan-urusan-Nya, Islam telah menjelaskan tatacara dan adab di dalam memenuhi kebutuhan jasmani setiap orang beriman agar mereka mendapatkan nilai yang besar di sisi Allah dan bernilai ibadah ketika melaksanakan hal itu.

a. Keadaan Bejana
Dianjurkan bagi setiap muslim untuk memperhatikan bejana yang dipakai, baik ketika memasak ataupun menghidangkannya. Tidak diperbolehkan bagi mereka untuk menggunakan bejana orang kafir. Dan bila tidak ada bejana lainnya, maka diperbolehkan dengan syarat bejana tersebut harus disucikan dari kotoran dan najis, bila bejana tersebut tadinya dipakai untuk memasak babi dan minum khamr. Dan bila bejana tersebut tidak dipakai untuk hal-hal kotor dan najis, hal itu diperbolehkan secara mutlak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam riwayat Jabir bin ‘Abdillah radiyallahu'anhu:

Di saat kami berperang bersama Rasulullah, kami mendapatkan bejana-bejana kaum musyrikin dan kendi-kendi minum mereka. Kemudian kami memanfaatkannya dan beliau tidak mencelanya.”(4)

Dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radiyallahu'anhu, bahwa beliau bertanya kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam:

Sesungguhnya kami berada di tengah ahli kitab dan mereka memasak babi di panci-panci mereka dan meminum khamr di bejana-bejana mereka. Rasulullah bersabda : ‘Kalau kalian menjumpai yang lain, maka makan dan minumlah padanya. Dan jika kalian tidak menjumpai bejana lainnya, maka cucilah dengan air lalu makan dan minumlah (padanya)’.”(5)

Selain larangan memakai bejana orang kafir ketika makan dan minum, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam juga melarang kita untuk makan dan minum dengan bejana emas dan perak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam:

Janganlah kalian minum memakai bejana emas dan perak…  karena sesungguhnya (bejana emas dan perak tersebut) bagi mereka (orang kafir) di dunia dan bagi kalian di akhirat.”(6)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

Orang yang minum dengan bejana perak, maka sesungguhnya akan dituangkan api jahannam dalam perutnya .”(7)

Bila hal ini dilakukan oleh seorang mukmin di dunia, dan dia belum bertaubat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalammenyatakan:

“Dia tidak akan minum dengannya di akhirat nanti.”(8)

Berdoa Sebelum Makan

Permasalahan yang sungguh sangat ringan, namun sering terlalaikan oleh sebagian kaum muslimin, yaitu berdoa sebelum makan. Padahal lebih ringan daripada mengangkat sesuap nasi ke mulut dan lebih ringan daripada menahan lapar. Yaitu membaca:

Dengan nama Allah.

Dan bila lupa membacanya kemudian ingat, kita diperintahkan untuk membaca pula yaitu:

Dengan nama Allah, di awalnya dan di akhirnya.”

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:

Apabila salah seorang kalian makan suatu makanan, maka hendaklah dia mengucapkan ‘bismillah’ dan bila dia lupa di awalnya hendaklah dia mengucapkan ‘bismillah fii awwalihi wa akhirihi’.”(9)

Di dalam hadits yang lain dari shahabat yang membantu Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam selama 18 tahun, dia bercerita bahwa: “Dia selalu mendengar Rasulullah apabila mendekati makanan mengucapkan bismillah.”(10)

Hukum Membaca Bismillah Ketika Makan

Berdasarkan dalil yang shahih dan sharih (tegas) di atas bahwa membaca bismillah ketika makan adalah wajib dan berdosa jika meninggalkannya. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda kepada ‘Umar bin Abu Salamah dan saat itu dia masih kecil:

Hai nak, sebutlah nama Allah dan makanlah kamu dengan tangan kanan.”(11)

Ibnul Qayyim berkata: “Yang benar adalah wajib membaca bismillah ketika makan. Dan hadits-hadits yang memerintahkan demikian adalah shahih dan sharih. Dan tidak ada yang menyelisihinya serta tidak ada satupun ijma’ yang membolehkan untuk menyelisihinya dan mengeluarkan dari makna lahirnya. Orang yang meninggalkannya akan ditemani setan dalam makan dan minumnya.” (Lihat Zadul Ma’ad 2/396)

Bolehkah Ditambah dengan ‘Arrahmanirrahim’?

Ada satu kaidah yang harus kita ketahui yakni berhenti di atas bimbingan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam merupakan satu kewajiban. Dan sungguh betapa banyak yang tersesat jalan di dalam beragama karena mengentengkan permasalahan ini.

Seseorang akan bisa menjadi salah satu musuh Islam yang paling berbahaya karena tidak mengikuti bimbingan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Memang berjalan dengan tepat di atas petunjuk Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam untuk masa sekarang ini adalah hal yang berat bagi orang-orang yang tidak mendapatkan petunjuk Allah. Oleh karena itu bermunculanlah istihsanat-istihsanat (anggapan baik terhadap sesuatu yang bukan dari agama) di dalam agama.

Padahal, kaidah menyatakan: sesuatu itu baik apabila agama menganggapnya baik dan jelek apabila dianggap jelek oleh agama. Orang dengan mudah mengatakan ‘Hal ini termasuk agama’ padahal tidak termasuk agama sedikitpun. Dan orang dengan mudah mengada-adakan dalam urusan agama padahal tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam.

Demikianlah akibat kejahilan terhadap agama, orang akan membeo tanpa ada rasa takut sedikitpun kepada Allah dan tanpa merasa salah di hadapan agama-Nya. Salah satu contoh adalah menambah doa makan dari “bismillah” menjadi “bismillahirrahmanirrahim”.

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitab beliau Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1/152) mengatakan: “Membaca tasmiyah di permulaan makan adalah ‘Bismillah’ dan tidak ada tambahan padanya. Dan semua hadits-hadits yang shahih dalam masalah ini tidak ada tambahannya sedikitpun. Dan saya tidak mengetahui satu haditspun yang di dalamnya ada tambahan (bismillahirrahmanirrahim, pent.). Hal ini termasuk bid’ah di sisi ulama fuqaha.”

Kenapa kita dilarang, bukankah itu lebih sempurna dan lebih baik?

Jawabannya:
1. Kesempurnaan di dalam agama adalah kesempurnaan dalam mengikuti segala tuntunan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, tidak menambah dan tidak pula menguranginya.

2. Jika hal ini lebih baik, niscaya Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam akan mengajarkan kepada kita, dan akan dinukilkan oleh para shahabat beliau, dan merekalah yang pertama kali akan melakukannya.

3. Di dalam perbuatan ini ada unsur pembebanan diri dengan beban yang tidak datang dari syariat.

4. Perbuatan ini tergolong keluar dari bimbingan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, sementara kita meyakini bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Kalau keluar dari jalan beliau dengan membuat jalan tersendiri atau menambah syariat yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berarti:
a. Menentang apa yang telah difirmankan oleh Allah tentang kesempurnaan Islam.
b. Mengangkat diri setara dengan Allah dalam pembuatan  syariat.
c. Menuduh beliau Shallallahu'alaihiwasalam berkhianat dalam menyampaikan risalah sehingga perlu ditambah atau dikurangi.
d. Menuduh para shahabat Nabi radiyallahu'anhum yang menukilkan kesempurnaan syariat tersebut berkhianat kepadanya.
Keempat hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam sabda beliau:

Barangsiapa melakukan sebuah amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”(12)

Hati-hati Ditemani Setan

Setan akan ikut nimbrung bila engkau tidak berdoa ketika hendak makan dan minum. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam sabda beliau dan hikmah membaca bismillah ketika memulai makan adalah untuk melemahkan kekuatan setan. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

Apabila seseorang masuk ke dalam rumahnya, lalu dia menyebut nama Allah ketika masuk dan ketika makan, maka setan berkata (kepada teman-temannya): ‘Kalian tidak mendapatkan kesempatan bermalam (bersamanya) dan makan malam.’ Dan bila dia masuk rumah dan tidak menyebut Allah ketika masuknya, setan berkata (kepada teman-temannya): ‘Kalian akan mendapatkan kesempatan bermalam (bersamanya)’. Dan bila dia tidak menyebut nama Allah ketika makannya maka setan berkata (kepada-teman-temannya): ‘Kalian mendapatkan kesempatan bermalam dan makan malam (bersamanya).”(13)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda dalam riwayat Al-Imam Muslim no. 2017 dari shahabat Hudzaifah, beliau berkata: “Apabila kami makan suatu makanan bersama Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, kami tidak meletakkan tangan kami di makanan tersebut, sampai Rasulullah meletakkan kedua tangannya, beliau (mulai).

Pada suatu hari kami makan bersama Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, datanglah seorang budak wanita seakan-akan dia terdorong lalu bergegas meletakkan tangannya ke makanan tersebut. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mengambil tangannya, dan datang pula seorang A’rabi (orang dusun) seakan-akan dia terdorong (dan bergegas meletakkan tangannya pada makanan tersebut).

Lalu Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mengambil tangannya dan bersabda: “Sesungguhnya setan ikut menyertai dalam makanan bila tidak disebut nama Allah padanya. Sesungguhnya setan datang bersama budak perempuan ini lalu aku mengambil tangannya, dan dia datang bersama A’rabi ini lalu aku mengambil tangannya. Dan sesungguhnya tanganku memegang tangan setan bersama tangan budak tersebut.”

1 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrad no. 287 dan Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 220 dan Silsilah Ash-Shahihah no. 881, beliau mengatakan haditsnya hasan lighairihi.
2 Dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim no. 605 dari shahabat Salman Al-Farisi z.
3 Dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim no. 692
4 Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud no. 3838 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Abu Dawud 2/727, no. 3251 dan di dalam Al-Irwa`, 1/72
5 Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud no. 3839 dan dishahihkan oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud 2/726, no. 3240 dan di dalam Al-Irwa`, 1/74.
6 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 5633
7 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 5634
8 Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim no. 5358
9 Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 1936 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi 2/167, no. 1513 dari shahabat ‘Aisyah x.
10 Diriwayatkan oleh Ahmad (4/5062/375) dan Abu Asy-Syaikh di dalam kitab Akhlaq An-Nabi hal. 238 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Silsilah Ahadits Shahihah 1/152 no. 71
11 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 5376
12 Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim
13 Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim no. 2018

"Makan Ala Islam"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi
AsySyariah.com

Pengorbanan Adalah Bukti Kamu Cinta

by admin aluyeah
Pengorbanan Adalah Bukti Kamu Cinta
Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang halim (cerdik dan bijaksana). 

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ 

Ia menjawab: ‘Hai bapakku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). 

Dan Kami panggillah dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. 

Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’.” (Ash-Shaffat: 100-109)

Penjelasan beberapa mufradat ayat

Seorang anak yang cerdik dan bijaksana.

Yang dimaksud adalah di saat dia dewasa, dia memiliki sifat ini. Para ulama berbeda pendapat tentang siapa dari anak Ibrahim 'Alaihisalam yang dimaksud dalam ayat tersebut. Sebagian mengatakan yang dimaksud adalah Ishaq. Pendapat ini diriwayatkan dari sebagian salaf seperti Ikrimah dan Qatadah. Ada juga yang menukil dari beberapa sahabat, di antaranya ‘Abbas bin Abdil Muththalib, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud, Umar bin Al-Khaththab, Jabir, dan yang lainnya radiyallahu'anhum.

Sebagian lagi mengatakan yang dimaksud adalah Isma’il 'Alaihisalam, dan ini pendapat yang dinukilkan dari Abu Hurairah dan Abu Thufail Amir bin Watsilah. Juga diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radiyallahu'anhum. Dan ini pendapat Sa’id bin Musayyab, Asy-Sya’bi, Yusuf bin Mihran, dan yang lainnya. Dan pendapat ini dikuatkan oleh para ahli tahqiq seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, Abdurrahman As-Sa’di, Asy-Syinqithi, dan yang lainnya rahimahumullah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, Taisir Al-Karim Arrahman, Adhwa`ul Bayan, dan Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 4/331-336)

Pendapat yang terkuat adalah yang kedua. Kuatnya pendapat ini ditinjau dari beberapa sisi:
Pertama: bahwa Allah Ta'ala mengabarkan berita gembira kepada Ibrahim 'Alaihisalam tentang anak yang akan disembelih. Kemudian setelah menyebut kisahnya secara sempurna, Allah Ta'ala menjelaskan setelahnya berita gembira tentang lahirnya Ishaq 'Alaihisalam:

Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq, seorang nabi yang termasuk orang-orang yang shalih. Kami limpahkan keberkahan atasnya dan atas Ishaq.” (Ash-Shaffat: 112-113)

Maka ini menunjukkan bahwa ada dua berita gembira, berita tentang anak yang akan disembelih serta anak yang bernama Ishaq.

Kedua: bahwa Allah Ta'ala tidak menyebut tentang kisah penyembelihan kecuali pada surat Ash-Shaffat saja, sedangkan pada ayat-ayat yang lain hanya disebutkan berita gembira tentang lahirnya Ishaq secara khusus.

Ketiga: Allah l berfirman:
Dan istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari Ishaq (akan lahir putranya) Ya’qub.” (Hud: 71)

Kalau sekiranya yang disembelih itu Ishaq, tentu Ibrahim 'Alaihisalam akan menganggap terjadinya penyalahan janji tentang munculnya Ya’qub dari keturunan Ishaq 'Alaihisalam.

Keempat: bahwa yang disifati dengan sifat sabar adalah Isma’il 'Alaihisalam, seperti dalam firman-Nya:

Dan (ingatlah kisah) Isma’il, Idris, dan Dzulkifli. Mereka semua termasuk orang-orang yang sabar.” (Al-Anbiya`: 85)

Dan masih ada lagi sisi penguat yang menunjukkan bahwa yang akan disembelih adalah Isma’il 'Alaihisalam, bukan Ishaq 'Alaihisalam.

Syaikhul Islam rahimahullah menjelaskan: “Yang wajib diyakini bahwa yang dimaksud (ayat ini) adalah Isma’il. Dan inilah yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-sunnah, serta penguat-penguat yang masyhur. Ini pula yang disebutkan dalam Kitab Taurat yang ada di tangan ahli kitab, di mana disebutkan padanya bahwa (Allah Ta'ala) berfirman kepada Ibrahim:

“Sembelihlah anakmu yang satu-satunya.”
Dalam naskah yang lain: بَكْرَكَ (anak semata wayang dari ibu yang satu).

Dan Isma’il adalah anak satu-satunya yang dari satu ibu (pada masa itu) berdasarkan kesepakatan kaum muslimin dan ahli kitab. Namun ahli kitab mengubah lalu menambah kata ‘Ishaq’, lantas dkutip oleh sebagian orang dan menyebar di sebagian kaum muslimin bahwa yang dimaksud adalah Ishaq, padahal asalnya adalah dari perubahan ahli kitab.” (Majmu’ Fatawa, 4/331-332)

Penjelasan Ayat

As-Sa’di rahimahullah ketika menjelaskan ayat-ayat ini mengatakan: “(Ibrahim berkata): ‘Wahai Rabb-ku, berikanlah aku seorang anak yang termasuk dari kalangan orang-orang yang shalih’. Beliau mengucapkan itu tatkala ia telah putus asa dari kaumnya di mana beliau tidak melihat kebaikan pada mereka.

Beliau pun berdoa kepada Allah Ta'ala agar memberikan karunia kepadanya seorang anak yang shalih, yang Allah Ta'ala memberi manfaat baginya dalam kehidupan dan setelah kematiannya. Maka Allah Ta'ala pun mengabulkannya dan berfirman: ‘Maka Kami memberi kabar gembira kepadanya dengan lahirnya seorang anak yang cerdik dan bijaksana’, dan tidak ada keraguan bahwa dialah Isma’il 'Alaihisalam.

Karena Allah Ta'ala menyebutkan berita gembira setelahnya dengan lahirnya Ishaq 'Alaihisalam dan karena Allah Ta'ala menyebutkan tentang berita gembira lahirnya Ishaq 'Alaihisalam dengan firman-Nya:

Dan istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari Ishaq (akan lahir putranya) Ya’qub.” (Hud: 71)

Sehingga ini menunjukkan bahwa Ishaq bukanlah yang akan disembelih. Dan Allah Ta'ala memberi sifat Isma’il dengan kebijaksanaan, yang mengandung kesabaran, akhlak yang baik, lapang dada, serta memaafkan orang yang bersalah. Tatkala anak tersebut telah mencapai waktu untuk bisa bekerja bersama ayahnya dan biasanya hal itu di saat mencapai usia baligh, dia pun senang untuk melakukan yang terbaik untuk kedua orangtuanya, telah hilang kesulitannya dan telah terasa manfaatnya. Maka Ibrahim 'Alaihisalam berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu,’ yaitu Allah Ta'ala memerintahkanku untuk menyembelihmu. Karena mimpi para nabi adalah wahyu, maka perhatikanlah apa pendapatmu, sesungguhnya perintah Allah Ta'ala harus dijalankan.

Maka Isma’il 'Alaihisalam yang senantiasa bersabar dan mengharap keridhaan Rabb-nya serta berbakti kepada ayahnya berkata: ‘Wahai ayahandaku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, engkau akan mendapatiku –insya Allah- termasuk di antara orang-orang yang bersabar.’

Dia mengabarkan kepada ayahnya bahwa dia telah menetapkan dirinya di atas kesabaran dan menggandengkan hal tersebut dengan kehendak Allah Ta'ala. Sebab tidaklah terjadi sesuatu tanpa kehendak-Nya.

Tatkala keduanya telah berserah diri, yaitu Ibrahim dan Isma’il anaknya, dalam keadaan dia telah menetapkan untuk membunuh anak sekaligus buah hatinya, sebagai wujud menaati perintah Rabbnya dan takut dari siksaan-Nya, sedangkan sang anak telah menetapkan dirinya di atas kesabaran, dan Ibrahim telah meletakkan Isma’il dengan membelakangi wajahnya dan tengkuknya berada di atas, ia menidurkannya dan akan menyembelihnya, wajahnya dibalik agar dia tidak melihat ke wajahnya di saat penyembelihan.

Kamipun memanggilnya dalam kondisi yang menegangkan dan keadaan yang sangat mencekam itu: ‘Wahai Ibrahim,’ engkau telah membenarkan dan melakukan apa yang diperintahkan kepadamu. Sesungguhnya engkau telah menetapkan dirimu di atas hal tersebut, dan engkau telah melakukan semua sebab, serta tidak ada yang tersisa kecuali melewatkan pisau di atas tenggorokannya. Sesungguhnya Kami dengan itu membalas orang-orang yang berbuat kebaikan dalam beribadah kepada Kami, yang lebih mengutamakan keridhaan Kami daripada hawa nafsunya.

Sesungguhnya ujian yang kami berikan kepada Ibrahim ini benar-benar merupakan ujian yang nyata, yang menjelaskan ketulusan Ibrahim, dan kesempurnaan cintanya kepada Rabb-nya serta menjadi khalil-Nya. Karena tatkala Allah Ta'ala memberikan karunia Isma’il 'Alaihisalam kepada Ibrahim 'Alaihisalam, dia pun sangat mencintainya. Padahal beliau adalah Khalilullah di mana khalil merupakan tingkatan kecintaan yang tertinggi, dan itu harus murni dan tidak menerima adanya penyetaraan, serta menghendaki agar seluruh unsur kecintaan tersebut benar-benar terpaut kepada yang dicintai.

Tatkala ada satu unsur dari hati Ibrahim yang melekat pada diri Isma’il, Allah Ta'ala hendak memurnikan kecintaan Ibrahim kepada-Nya dan menguji khalil-Nya. Maka Dia memerintahkan untuk menyembelih orang yang kecintaannya telah mengusik kecintaan kepada Rabb-nya. Tatkala Ibrahim lebih mengutamakan kecintaan Allah Ta'ala dan lebih mendahulukannya di atas hawa nafsunya, serta bertekad untuk menyembelihnya, hilanglah sesuatu yang mengusik dalam hatinya tersebut, sehingga penyembelihan pun tidak berfaedah lagi.

Oleh karenanya Allah l berfirman: ‘Sesungguhnya benar-benar ini merupakan ujian yang nyata, dan Kami menebusnya dengan sembelihan yang agung,’ yaitu diganti dengan sembelihan berupa kambing yang agung yang disembelih Ibrahim. Keagungan kambing tersebut dari sisi bahwa itu adalah tebusan dari Isma’il 'Alaihisalam di mana itu termasuk di antara ibadah yang agung. Dan dari sisi bahwa hal itu menjadi ibadah qurban dan sunnah hingga hari kiamat. Dan kami meninggalkan untuknya pujian yang benar pada orang-orang belakangan sebagaimana orang-orang terdahulu. Sehingga setiap yang datang setelah Ibrahim 'Alaihisalam, senantiasa mencintai, mengagungkan, dan memuji, ‘keselamatan atas Ibrahim’ yaitu penghormatan atasnya. Seperti firman-Nya:

Katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?’.” (An-Naml: 59) [lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman]

Telah diriwayatkan oleh Abu Thufail dari Ibnu Abbas radiyallahu'anhu, dia berkata: “Tatkala Ibrahim 'Alaihisalam diperintah untuk menyembelih anaknya, setan pun berusaha menggodanya ketika berada di tempat sa’i, lalu berusaha mendahului Ibrahim. Namun Ibrahim berhasil mendahuluinya. Jibril lantas membawa Ibrahim menuju jamratul ‘aqabah. Setan pun kembali menggodanya. Beliau pun melemparnya dengan tujuh kerikil, hingga setan itu pergi lalu menggodanya kembali di jamratul wustha. Ibrahim pun melemparnya dengan tujuh kerikil. Dan di sanalah Isma’il dibaringkan, dalam keadaan Isma’il memakai gamis berwarna putih.

Lalu ia (Ismail) berkata: ‘Wahai ayahku, aku tidak memiliki baju yang mengafaniku selain ini, maka lepaslah agar ia menjadi kain kafanku.’ Ketika beliau hendak melepasnya, terdengarlah panggilan dari belakangnya: ‘Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah menjalankan mimpimu.’ Ibrahim pun berbalik, ternyata ada seekor domba putih, bertanduk, dan bermata lebar. Ibnu Abbas radiyallahu'anhu berkata: ‘Sungguh kami pernah menjual jenis domba seperti ini’.” (HR. Ahmad, 1/297, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1/638, Al-Baihaqi, 5/153, At-Thabari dalam Tafsir-nya, 23/80. Al-Hakim menyatakan: “Hadits ini shahih berdasarkan syarat Al-Bukhari dan Muslim; dan keduanya tidak mengeluarkannya.” Dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Targhib Wat-Tarhib: 2, no. 1156)

Berqurban, Sebagai Bukti Pengorbanan

Ayat yang mulia ini menjelaskan betapa beratnya cobaan yang Allah Ta'ala berikan kepada Ibrahim 'Alaihisalam serta betapa besarnya pengorbanannya sebagai bentuk pembuktian dirinya sebagai hamba Allah Ta'ala yang berserah diri sepenuhnya, dan sebagai khalilullah yang memurnikan kecintaannya hanya untuk-Nya. Dan ini menunjukkan bahwa Allah Ta'ala senantiasa memberikan cobaan kepada hamba-hamba-Nya dengan berbagai jenis cobaan, untuk membuktikan keimanan hamba tersebut. Allah l berfirman:

Tidaklah datang kepada mereka suatu ayat Al-Qur`an pun yang baru (diturunkan) dari Rabb mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main, (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka yang dzalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: ‘Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (juga) seperti kamu, maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya?’.” (Al-Anbiya`: 2-3)

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Al-Anbiya`: 35)

Ibrahim 'Alaihisalam akhirnya memang tidak melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, sebab Allah Ta'ala memberikan ujian tersebut bukan dalam rangka mewujudkan penyembelihan terhadap anaknya tersebut, namun semata-mata untuk membuktikan kecintaan Ibrahim 'Alaihisalam yang murni hanya untuk Allah Ta'ala. Hal ini mirip dengan kisah yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam tentang tiga orang dari kalangan Bani Israil: orang yang berpenyakit sopak, si botak, dan si buta.

Allah Ta'ala hendak menguji mereka dengan mengutus seorang malaikat, lalu mendatangi orang yang berpenyakit sopak, lalu bertanya: “Apa yang paling engkau sukai?” Ia menjawab: “Warna kulit yang indah, kulit yang bagus, dan hilang penyakit yang karenanya manusia merasa jijik dariku.” Maka malaikat itu pun mengusapnya, hingga hilanglah penyakit tersebut dan ia diberi warna kulit yang indah. Lalu dikatakan kepadanya: “Harta apa yang paling engkau sukai?” ia menjawab: “Unta.” Maka ia pun diberi unta betina yang sedang bunting, dan dikatakan kepadanya: “Semoga Allah Ta'ala memberi berkah untukmu.”

Lalu malaikat itu mendatangi si botak dan bertanya: “Apa yang paling engkau sukai?” Ia menjawab: “Rambut yang indah dan hilangnya apa yang membuat manusia merasa jijik dariku.” Malaikat itu pun mengusapnya sehingga hilanglah botaknya dan dia diberi rambut yang indah. Lalu dia ditanya: “Harta apa yang paling engkau sukai?” Ia menjawab: “Sapi.” Maka ia pun diberi sapi betina yang hamil. Lalu dikatakan kepadanya: “Semoga Allah Ta'ala memberi berkah untukmu.”

Lalu malaikat itu mendatangi si buta, dan berkata seperti yang diucapkan kepada yang sebelumnya, maka Allah Ta'ala mengembalikan penglihatannya dan diberi seekor kambing yang hamil.

Tidak lama kemudian harta mereka berkembang biak. Sehingga yang pertama memiliki satu lembah unta, yang kedua memiliki satu lembah sapi, dan yang ketiga memiliki satu lembah kambing.

Lalu datanglah malaikat tersebut kepada orang yang pernah berpenyakit sopak, dalam bentuk dan keadaannya yang dulu lalu berkata: “Aku orang miskin. Aku sudah tidak punya bekal dalam perjalananku. Tidak ada yang dapat melanjutkan perjalananku kecuali karena Allah Ta'ala kemudian karena engkau. Aku meminta kepadamu dengan nama Dzat yang telah memberikan kepadamu warna kulit yang indah, kulit yang bagus, dan harta, agar engkau berikan aku seekor unta sehingga aku dapat melanjutkan perjalananku.” Ia menjawab: “Banyak hak-hak manusia yang harus ditunaikan.” Si miskin berkata: “Sepertinya aku mengenalmu, bukankah dahulu engkau berpenyakit sopak dan manusia merasa jijik darimu, miskin, lalu Allah Ta'ala memberikan ini semua kepadamu?” Ia menjawab: “Sesungguhnya aku mewarisi harta ini dari nenek moyangku yang mulia secara turun-temurun.” Maka si miskin berkata: “Jika engkau berdusta, semoga Allah Ta'ala mengembalikanmu seperti dulu. ”

Lalu ia (malaikat) mendatangi si botak dan berkata kepadanya seperti yang dikatakan kepada sebelumnya, dan si botak pun menjawab seperti jawaban orang sebelumnya (yang berpenyakit sopak). Maka ia (malaikat) berkata: “Jika engkau berdusta, semoga Allah Ta'ala mengembalikan engkau seperti dulu.”

Lalu ia (malaikat) mendatangi si buta dalam bentuk dan keadaannya (yang dahulu), kemudian berkata: “Aku orang miskin, yang kehabisan bekal dalam perjalananku. Tidak ada yang menyampaikanku hari ini kecuali dengan bantuan Allah Ta'ala kemudian bantuanmu. Aku meminta kepadamu dengan nama Dzat yang telah mengembalikan penglihatanmu agar engkau berikan aku seekor kambing yang dapat menyampaikanku dalam perjalananku.” Maka ia menjawab: “Dahulu aku buta, lalu Allah Ta'ala mengembalikan penglihatanku. Maka ambillah harta mana yang engkau inginkan dan tinggalkan yang mana yang engkau mau. Demi Allah, aku tidak merasa berat padamu pada hari ini dengan sesuatu yang engkau mengambilnya karena Allah Ta'ala.” Maka malaikat itu menjawab: “Jagalah hartamu, sesungguhnya kalian hanyalah diuji. Sungguh Allah Ta'ala telah meridhaimu, dan murka terhadap dua temanmu.” (Muttafaq ‘alaihi dari hadits Abu Hurairah radiyallahu'anhu)

Hadits ini menunjukkan bahwa malaikat tersebut tidak berkeinginan untuk mengambil harta si buta, namun hanya sekedar memberi ujian terhadap kebenaran imannya. Dan hal tersebut telah terbukti. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kisah pengorbanan Ibrahim 'Alaihisalam ini.
Wabillahit taufiq.

"Berkurban Sebagai Cara untuk Berkurban"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi
AsySyariah.com