Demonstrasi

by admin aluyeah
Demonstrasi | al-uyeah.blogspot.com
Tidak samar bagi siapa pun, demonstrasi di negeri ini menjadi budaya yang terus dihidupkan dan dikembangkan, seolah-olah ia menjadi senjata ampuh untuk keluar dari sebuah permasalahan. Siapa yang tidak ada keinginan untuk itu dicap sebagai pengecut dan tidak ada kemauan untuk memperbaiki keadaan. Lalu, benarkah demo menjadi solusi untuk bisa keluar dari kesulitan dan masalah?

Kalau mau jujur, akibat yang ditimbulkan dari berdemonstrasi jauh lebih rusak dan mengerikan dibandingkan problem yang terjadi. Anda lihat, bagaimana aksi-aksi yang dilakukan para demonstran akhir-akhir ini, sungguh di luar kewajaran dan melampaui batasan, seperti aksi jahit mulut hingga aksi bunuh diri. Aksi-aksi ini akan terus berlangsung, bahkan bisa jadi semakin mengerikan. Nas’alullah as-salamah.

Siapa yang rugi? Apakah masalah selesai setelah itu? Justru masalah kian membesar dan akan bertambah. Kondisi seperti ini diperparah dengan adanya fatwa-fatwa dari pihak yang tidak bertanggung jawab dengan menyatakan bahwa demonstrasi adalah wasilah dakwah, bagian dari bentuk amar ma’ruf nahi munkar, bahkan jihad di jalan Allah Subhanahu wata’ala.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Saya tidak melihat aksi demonstrasi dengan berjalan kaki atau longmarch sebagai solusi. Justru, saya melihatnya hanya sebagai sebab timbulnya fitnah dan kejelekan serta sebab tindakan zalim dan aniaya kepada sebagian pihak. Cara yang disyariatkan adalah mengirim surat, menyampaikan nasihat dan berdakwah kepada kebaikan dengan metode yang syar’i yang telah diuraikan oleh para ulama. Jadi, dengan mengirim tulisan (surat), berbicara langsung kepada pemimpin/pemerintah, atau melalui telepon, dan menyampaikan nasihat. Tidak mengumbar kejelekan-kejelekan pemerintah di atas mimbar-mimbar. Wallahulmusta’an.” (Fatawa al-’Ulama al-Akabir)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang wajib bagi kita adalah menasihati pemerintah sesuai kemampuan. Adapun aksi turun ke jalan dan melakukan protes secara terang-terangan, maka ini menyelisihi petunjuk para salaf, dan aksi-aksi tadi sama sekali tidak nyambung dengan syariat. Tidak pula dengan upaya perbaikan. Semua itu hanyalah kemudaratan. Tidak boleh mendukung aksi demonstrasi dan semisalnya, karena upaya perbaikan dapat dilakukan dengan selainitu.” (Fatawa al-Ulama al-Akabir)

Di lain kesempatan, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menegaskan, “Penting kiranya untuk memahami manhaj salaf dalam bermuamalah dengan pemerintah, jangan sampai kesalahan pemerintah dijadikan celah untuk memprovokasi manusia dan menjauhkannya dari pemerintah karena ini adalah kerusakan dan satu penyebab utama munculnya fitnah.

Berpalingnya hati dari pemerintah akan mendatangkan fitnah, kejelekan, dan kekacauan. Begitu pun berpalingnya hati dari para ulama akan mendatangkan sikap meremehkan para ulama dan lebih jauhnya lagi meremehkan syariat. 

Maka, yang wajib adalah melihat apa yang telah ditempuh oleh para salaf dalam menghadapi pemerintahnya. Seseorang harus berhati-hati dan selalu melihat apa akibat yang akan timbul. Penting diketahui bahwa orang yang gemar melakukan provokasi pada hakikatnya sedang membantu musuh-musuh Islam.

Yang jadi patokan bukanlah dengan provokasi, bukan pula dengan menampakkan emosi yang meluap-luap. Akan tetapi, patokannya adalah adanya hikmah, dan saya tidak memaksudkan kata hikmah berarti mendiamkan kesalahan, namun memperbaiki kesalahan agar hukum/keadaan menjadi lebih baik.” (Mu’amalatul Hukkam)

dikutip dari ” Sikap-sikap yang Salah Terhadap Pemerintah “
Oleh : al Ustadz Abu Hamzah Yusuf
AsySyariah.com

Mencium Mushaf Al Quran

by admin aluyeah
Mencium Mushaf Al Quran | al-uyeah.blogspot.com
Bagaimana hukum mencium mushaf Al Quran?

Perkara ini –menurut keyakinan kami– adalah masuk kedalam keumuman hadits “Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru karena setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat”, dalam hadits lain “Setiap kesesatan dalam Neraka.

Banyak kalangan punya pendirian tertentu dalam menyikapi hal ini, mereka mengatakan “

"Ada apa dengan mencium mushaf? Bukankah ini hanya untuk menampakkan sikap membesarkan dan mengagungkan Al Qur’an?"” 

kita katakana kepada mereka, 

“Kalian benar, tak ada apa-apa melainkan hanya pengagungan terhadap Al Qur’anul Karim, tetapi perhatikanlah, apakah sikap pengagungan ini luput atas generasi umat yang pertama, yang mereka tiada lain adalah para sahabat Rosulullah demikian pula para tabi'’in dan para tabi'’ut tabi'’in setelahnya ?” Tidak ragu lagi jawabannya adalah seperti jawaban Ulama Salaf, ” Jika perkara itu baik, tentu mereka akan mendahului kita padanya ” .

Ini satu masalah, masalah yang lainnya adalah apa hukum asal mencium sesuatu, bolehkah atau terlarang ?

Disini perlu kami paparkan suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sahabat Abbas bin Rabi’ah ia berkata, “Aku melihat Umar bin Khotob mencium hajar aswad dan berkata, “Sesungguhnya aku tahu engkau adalah batu, tidak dapat memberi mudharat tidak pula memberi manfa’at, sekiranya bukan karena Aku telah melihat Rasulullah mencium-mu Aku tak akan mencium-mu””.

Kalau demikian, kenapa Umar mencium hajar aswad ?” apakah karena filsafat yang muncul darinya ?
Jadi asal hukum mencium ini hendaknya berjalan diatas sunnah yang dulu. ingatlah sikap Zaid bin Tsabit beliau telah berkata, “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah?”

Jika ditanyakan kepada yang mencium mushaf, “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah?”, ia akan mengarahkan jawaban yang aneh sekali, seperti 

“"wahai saudaraku ada apa dengan ini? Ini mengagungkan Alqur’an!”" 

maka katakana padanya, “Hai sadaraku, apakah Rasulullah tidak mengagungkan Al Qur’an? Tidak ragu lagi bahwa beliau mengagungkan Al Quran, walau demikian beliau tidak menciumnya”.

Saya katakan, “Tidak ada jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah kecuali dengan apa yang telah disyari’atkanNya, oleh karena itu kita bertindak sesuai dengan apa yang disyari’atkan untuk kita dari keta’atan dan ibadah-ibadah, tidak menambahinya walau satu kata, karena hal ini seperti ucapan Nabi, “Tidak aku tinggalkan sesuatupun yang Allah telah perintahkan kalian, kecuali aku telah perintahkan kalian dengannya””.

Oleh karena itu maka mencium mushaf (Al Qur’an) adalah bid’ah, dan setiap kebid’ahan adalah sesat, setiap kesesatan tempatnya di neraka.

Sumber : “”Kaifa Yajibu ‘Alaina An-Nufassirol Qur’an”
Ditulis oleh Ustadz Abu Hamzah Al-Atsary
Salafy.or.id

Karomah dan Syafa'at Wali

by admin aluyeah
Karomah dan Syafa'at Wali | al-uyeah.blogspot.com
Tanya : Apakah para wali memiliki karomah, apakah mereka mengatur alam raya di langit dan di bumi dan apakah mereka dapat memberikan syafaat –sementara mereka di alam barzakh- kepada penghuni dunia atau tidak ?

Jawab : Karomah adalah perkara yang terjadi di luar kebiasaan yang Allah tampakkan lewat seorang hamba yang shaleh baik dalam keadaan hidup atau mati, sebagai pertanda kemuliaannya yang dengannya dia dapat menolak bahaya atau mendatangkan manfaat atau memenangkan yang haq. 

Hal tersebut tidak dimiliki hamba yang shaleh tadi kecuali jika Allah memberinya. Sebagaimana Rasulullahe tidak dapat mendatangkan mu’jizat dari dirinya, tetapi semua itu dari Allah semata. Allah ta’ala berfirman:
Dan orang-orang kafir Mekkah berkata: “ Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?”, katakanlah : Sesung-guhnya mukjizat-mukjizat itu terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata (Al Ankabut 50)

Demikian juga orang shalih tidak mengatur jagad raya baik yang di langit maupun di bumi, kecuali apa yang Allah berikan lewat sebab-sebab sebagaimana manusia pada umumnya, seperti bertani, membangun, berdagang dan yang semacamnya dari perbuatan manusia atas izin Allah ta’'ala. Dan tidak mungkin mereka memberikan syafa’'at sedang mereka di alam barzakh kepada seseorang makhluk baik dia dalam keadaan hidup atau telah meninggal.

Allah ta’ala berfirman:
“Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa’at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini (nya) “ (Az Zukhruf 86)

Tiada yang dapat memberi syafa'’at di sisi Allah kecuali seizin-Nya “ (Al Baqarah 255)

Siapa yang berkeyakinan bahwa mereka (para wali) mengatur alam raya ini atau bahwa mereka mengetahui hal yang ghaib maka dia kafir berdasarkan firman Allah Ta’ala :

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada didalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu “ (Al Maidah 120)

“Katakanlah : “ Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah “ (An Naml 65)

Firman Allah ta’ala memerintah-kan nabi-Nya yang dapat menghilang-kan kerancuan dan memperjelas yang haq :

Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku, tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanya pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang beriman “ (An Naml 188).

(Dinukil dari terjemah Kumpulan Fatwa al Lajnah ad Daimah li al Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al Ifta, Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan riset fatwa Saudi Arabia. P.O. Box 1419 Riyadh 11431)

Mengungkapkan Rasa Syukur

by admin aluyeah
Mengungkapkan Rasa Syukur | al-uyeah.blogspot.com
“Wahai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi? Tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain dia, maka mengapa kalian berpaling?” (Fathir: 3)

Di dalam ayat tersebut Allah Ta'ala memerintahkan kepada seluruh manusia agar mereka mengingat nikmat-nikmat-Nya. Karena yang demikian ini akan mendorong seseorang untuk bersyukur kepada Allah Ta'ala.

Ketahuilah, bahwa bersyukur kepada Allah Ta'ala akan menyebabkan terjaganya nikmat yang dikaruniakan kepada seseorang dan menyebabkan datangnya nikmat-nikmat Allah Ta'ala yang lainnya.

Namun sebagaimana diterangkan oleh Al-Imam Ibnu Al-Qayyim rahimahullah, syukur itu tidak akan terwujud kecuali jika terbangun di atas lima perkara. Yaitu dengan merendahkan dirinya kepada Allah Ta'ala, mencintai-Nya, mengakui bahwa nikmat tersebut merupakan karunia dari Allah Ta'ala, memuji Allah Ta'ala dengan lisannya, dan tidak menggunakan nikmat tersebut untuk perkara yang dibenci oleh Allah Ta'ala.

Oleh karena itu, sudah semestinya bagi kita untuk melihat kembali usaha kita dalam mewujudkan rasa syukurnya kepada Allah Ta'ala. Karena apabila salah satu dari lima perkara yang harus dipenuhi tersebut tidak dilakukan, maka belum dikatakan orang tersebut telah bersyukur.

Dengan demikian, bersyukur itu tidaklah cukup dengan mengucapkan alhamdulillah atau dengan sekadar menyadari bahwa nikmat tersebut datangnya dari Allah Ta'ala. Bahkan tidak cukup pula meskipun kemudian dia tunjukkan dengan menghinakan diri serta tidak menyombongkan dirinya kepada Allah Ta'ala. Akan tetapi harus dilengkapi dengan mencintai Allah Ta'ala dan membuktikan cintanya tersebut dengan menggunakan nikmat-nikmat tersebut di jalan yang diridhai-Nya.

Allah Ta'ala telah memberitakan dalam ayat-Nya, bahwa keridhaan-Nya hanya akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang bersyukur, sebagaimana dalam firman-Nya:

Dan jika kalian bersyukur, niscaya Dia akan meridhai kalian (dari perbuatan syukur tersebut).” (Az-Zumar: 7)

Oleh karena itu, sudah semestinya bagi orang-orang yang mengharapkan surga Allah Ta'ala untuk memperbaiki dirinya dalam bersyukur kepada Allah Ta'ala. Karena kalau tidak demikian, maka bisa jadi seseorang menyangka dirinya telah bersyukur namun ternyata tidak demikian kenyataannya.

Padahal Allah Ta'ala sebagaimana dalam firman-Nya, telah membagi manusia menjadi dua kelompok. Yaitu kelompok orang-orang yang bersyukur dan kelompok orang-orang yang kufur, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; maka (manusia) ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (Al-Insan: 3)

Maka marilah kita berusaha melihat pada diri kita masing-masing. Pada kelompok yang mana kita berada? Sudahkah kita mensyukuri nikmat waktu, nikmat sehat, penglihatan, pendengaran, lisan dan lain-lainnya dengan menggunakannya untuk beribadah di jalan Allah Ta'ala? Sudahkah kita mensyukuri nikmat yang dikaruniakan-Nya kepada kita, kemudahan dalam sarana transportasi dan komunikasi serta yang semisalnya untuk digunakan di jalan Allah Ta'ala? Ataukah justru sarana tersebut digunakan untuk bermaksiat kepada Allah Ta'ala?

Ingatlah, bahwa nikmat-nikmat Allah Ta'ala yang dikaruniakan kepada kita sangat banyak dan kita akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. 

Oleh karena itu, marilah kita mensyukuri nikmat-nikmat Allah Ta'ala dan jangan mengkufurinya. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam telah mencontohkan kepada umatnya dan menganjurkan umatnya untuk mensyukuri nikmat.

Tersebut di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah dalam Shahih keduanya, melalui jalan sahabat Anas radiyallahu'anhu: Bahwasanya Nabi Shallallahu'alaihiwasalam melewati sebiji kurma ketika sedang berjalan, maka beliau Shallallahu'alaihwiasalam bersabda:

لَوْلاَ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الصَّدَقَةِ لَأَكَلْتُهَا

Kalaulah bukan (karena aku takut) kurma tersebut dari shadaqah, sungguh aku akan memakannya.”

Dari satu hadits ini saja, kita bisa mengetahui betapa besarnya perhatian Nabi Shallallahu'alaihiwasalam terhadap nikmat Allah Ta'ala, sehingga tidak membiarkan meskipun hanya sebiji kurma untuk dibuang dan rusak tanpa dimanfaatkan.

Kalau kita bandingkan dengan keadaan sebagian kita, akan kita dapatkan perbedaan yang sangat jauh. Makanan yang dibuang sia-sia merupakan pemandangan yang mungkin setiap hari dijumpai di sebagian rumah kita. Baik karena berlebihan dalam memasaknya atau membelinya yang kemudian menjadi rusak dan busuk sehingga kemudian dibuang sia-sia.

Padahal terkadang makanan tersebut bukanlah makanan yang murah harganya atau mudah mendapatkannya. Sementara di sekitar rumahnya banyak orang-orang fakir miskin yang tidak memiliki makanan. Sudah semestinya bagi kita semua untuk berusaha memperbaiki dirinya dalam bersyukur kepada Allah Ta'ala.

Ketahuilah, bahwa seseorang apabila tidak mensyukuri nikmat Allah Ta'ala, maka dia akan berada pada satu dari dua keadaan. 

Kemungkinan yang pertama, Allah Ta'ala akan mengambil nikmat tersebut darinya dan kemungkinan yang kedua, nikmat tersebut akan terus bersamanya namun akan menambah beratnya siksa di akhirat kelak. Maka tentunya kita semua tidak ingin terjatuh pada salah satu dari kedua keadaan tersebut.

“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa dibiarkannya mereka (terus mendapat nikmat) adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami membiarkan mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka nantinya adzab yang menghinakan.” (Ali ‘Imran: 178)

Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku, dan bersyukurlah kalian kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah: 152)

Ketahuilah, bahwa nikmat yang paling besar yang Allah Ta'ala karuniakan kepada hamba-hamba-Nya adalah nikmat ber-Islam dan memahaminya dengan pemahaman yang benar. 

Yaitu memahaminya sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam kepada para sahabatnya. Karena seseorang yang telah mendapatkan nikmat tersebut berarti dia telah mengikuti satu-satunya jalan yang diridhai oleh Allah Ta'ala, yang akan mengantarkan dirinya pada kebahagiaan yang selamanya. Allah Ta'ala berfirman:

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Ma`idah: 3)

Besarnya nikmat ber-Islam dan memahaminya dengan pemahaman yang benar tersebut akan dirasakan oleh seseorang, ketika dia melihat bagaimana keadaan orang-orang yang tidak mendapatkan nikmat ini.

Betapa banyak orang-orang yang tersesat sehingga mengikuti akidah orang-orang kafir dan musyrikin. Betapa banyak orang-orang yang menyimpang karena mengikuti aturan-aturan yang diada-adakan oleh pemimpinnya atau pendiri kelompoknya sendiri.

Begitu pula, betapa banyak orang-orang yang tersesat karena hanya mengikuti kebiasaan atau tradisi masyarakatnya yang mengada-adakan amal ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan para sahabatnya. Maka, orang-orang yang benar-benar mengikuti ajaran Islam dan memahaminya dengan pemahaman yang benar, sungguh dirinya telah diselamatkan oleh Allah Ta'ala dari berbagai bentuk kesesatan.

Besarnya nikmat Islam dan hidayah memahami agama Islam dengan benar juga akan dirasakan manakala seseorang mengetahui janji Allah Ta'ala bagi orang-orang yang mendapatkan nikmat ini dan ancaman-Nya bagi orang-orang yang tidak mendapatkannya. Sebagaimana dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang aman. (Yaitu) di dalam taman-taman dan mata air-mata air. Mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan. Demikian pula Kami berikan kepada mereka bidadari. Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman (dari segala kekhawatiran). Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia dan Allah memelihara mereka dari adzab neraka. Sebagai karunia dari Rabbmu. Yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar.” (Ad-Dukhan: 51-57)

Allah Ta'ala menyebutkan balasan bagi orang-orang yang tidak mendapatkan nikmat Islam di dalam firman-Nya:

Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang dan neraka Jahannam adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad: 12)

Maka marilah kita berusaha untuk mensyukuri nikmat yang paling besar ini. Meskipun nikmat yang lainnya pun tidak boleh disepelekan. Namun nikmat mengikuti agama Islam merupakan nikmat yang paling besar dan tidak bisa dikalahkan oleh nikmat apapun.

Sekalipun dibandingkan dengan orang mendapatkan nikmat dunia dan seisinya, namun tidak mendapatkan nikmat Islam. Marilah kita bersungguh-sungguh dalam mempelajari dan mengamalkannya. Tidak sekadar mengikuti kebanyakan atau keumuman orang. Tidak pula dengan mengandalkan semangat tanpa dilandasi ilmu.

Namun harus didasarkan kepada Al-Qur`an dan hadits Nabi Shallallahu'alaihiwasalam serta memahami keduanya dengan bimbingan para ulama yang mengikuti jalan generasi terbaik umat ini. Yaitu jalannya para sahabat Nabi Shallallahu'alaihiwasalam. Karena mereka adalah orang-orang yang telah mempelajari agama ini dari lisan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan mengetahui bagaimana Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mempraktikkan agama ini.

Dengan demikian kita akan diselamatkan dari berbagai ajaran yang menyimpang dan selanjutnya mendapatkan janji Allah Ta'ala, yaitu kenikmatan surga pada kehidupan yang selamanya nanti. Wallahu a’lam bish-shawab.

"Kewajiban Mensyukuri Nikmat"
AsySyariah.com

Shadaqallahul azhim

by admin aluyeah
Shadaqallahul azhim | al-uyeah.blogspot.com 
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya sering mendengar bahwa mengucapkan “shadaqallahul azhim ketika selesai membaca Al-Qur’an adalah perbuatan bid’ah. Namun sebagian orang yang mengatakan bahwa itu boleh, mereka berdalih dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Katakanlah : ‘Benarlah (apa yang difirmankan) Allah” [Ali-Imran : 95]

Kemudian dari itu, sebagian orang terpelajar mengatakan kepada saya, bahwa apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menghentikan bacaan Al-Qur’an seseorang, beliau mengatakan, “cukup” dan beliau tidak mengatakan, ‘shadaqallahul azhim”. Pertanyaan saya : Apakah ucapan “shadaqallahul azhim” dibolehkan setelah selesai membaca Al-Qur’an Kairm. Sya mohon perkenan Syaikh menjelaskannya.

Jawaban.
Mayoritas orang terbiasa mengucapkan, “Shadaqallahul ‘azhim” ketika selesai membaca al Qur’an, padahal ini tidak ada asalnya, maka tidak boleh dibiasakan, bahkan menurut kaidah syar’iyah hal ini termasuk bid’'ah bila yang mengucapkan berkeyakinan bahwa hal ini sunnah. Maka hendaknya ditinggalkan dan tidak membiasakannya karena tidak adanya dalil yang menunjukkannya.

Adapun firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Katakanlah, ‘Benarlah (apa yang difirmankan) Allah” [Ali Imran : 95].

Bukan mengenai masalah ini, tapi merupakan perintah Allah Ta’ala untuk menjelaskan kepada manusia bahwa apa yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu benar yaitu yang disebutkan di dalam kitab – kitab-Nya yang agung yakni Taurat dan lainnya, dan bahwa Allah Ta’ala itu Maha Benar dalam ucapan-Nya terhadap para hamba-Nya di dalam kitab-Nya yang agung, al Qur’an.

Tetapi ayat ini bukan dalil yang menunjukkan sunnahnya mengucapkan, “Shadaqallah setelah selesai membaca al Qur’an atau membaca beberapa ayatnya atau membaca salah satu suratnya, karena hal ini tidak pernah ditetapkan dan tidak pernah dikenal dari Nabi Shallallhu'‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari para sahabat beliau Radhiyallahu'‘anhum.

Ketika Ibnu Mas’ud Radhiyallahu'‘anhu membaca awal Surat An-Nisa di hadapan Nabi Shallallahu '‘alaihi wa sallam hingga sampai pada ayat, 

“Artinya : Maka bagaimanakah (halnya orang – orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi dari tiap – tiap umat dan Kami mendatangkan kamu” (Hai Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu” [An Nisaa’ : 41]

Beliau berkata pada Ibnu Mas’ud, “cukup”, Ibnu Mas’ud menceritakan, “Lalu aku menoleh kepada beliau, ternyata matanya meneteskan air mata” [Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 5050)]

Maksudnya, bahwa beliau menangis saat disebutkannya kedudukan yang agung itu pada hari Kiamat kelak, yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tadi.

“Artinya : Maka bagaimanakah (halnya orang – orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi dari tiap – tiap umat dan Kami mendatangkan kamu” (Hai Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu” [An Nisaa’ : 41]

Yaitu terhadap umat beliau. Dan sejauh yang kami ketahui, tidak ada seorang ahlul ilmi pun yang menukil dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu bahwa ia mengucapkan “shadaqallahul azhim” ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “cukup”. Maksudnya, bahwa, mengakhiri bacaan Al-Qur’an dengan ucapan “shadaqallahu azhim” tidak ada asalnya dalam syari’at yang suci. Tapi jika seorang melakukannya sekali-kali karena kebutuhan, maka tidak apa-apa.

Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
[Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Syaikh Ibnu Baz (7/329-331]

Apakah Rosulullah Mengetahui Perkara Ghaib?

by admin aluyeah
Perkara Ghaib | al-uyeah.blogspot.com
Pertanyaan :
Apakah Rasul Shalallahu alaihi wa sallam ada dimana-mana? Adakah beliau mengetahui yang ghaib?

Jawab :
Dengan jelas dapat diketahui dari keterangan agama dan dalil-dalil syariat bahwa Rasulullah Shalallahu alaihiwasallam tidak ada dimana-mana. Jasad beliau ada di kuburnya di kota Madinah Munawarrah. Adapun roh beliau ada disi Allah Rab yang Maha Tinggi di Syurga. Hal ini dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi Shalallahu alaihi wa sallam ketika menjelang wafat beliau bersabda:

“Ya Allah ,Tuhan yang ada di tempat yang tinggi. [Bukhari no.4437 Kitabul Maghazi; Muslim no.2444 Kitab Fadhaailsh Shahabah] 3 kali ,kemudian beliau wafat.

Para ulama dari kalangan shahabat dan sesudahnya sepakat bahwa beliau dikuburkan di rumah A’isyah (radhiallahu anha) berdampingan dengan masjid Nabawi. Jasad beliau berada ditempat itu sampai masa yang tidak diketahui dan rohnya serta roh para nabi, para rasul dan segenap kaum mukminin ada di syurga. Roh mereka menempati posisi sesuai dengan tingkatan masing-masing di surga sesuai dengan ketetapan Allah menurut ilmu,iman,dan kesabaran yang dipikul masing-masing dalam perjuangan dakwah kepada kebenaran.

Adapun tentang hal ghaib, yang mengetahui hanyalah Allah. Rasul atau mahluk lainnya, hanya tahu hal ghaib yang telah diberitakan Allah kepada mereka didalam Al Qur’an dan Sunnah yang suci mengenai masalah syurga, neraka, keadaaan hari kiamat, dan lain-lain. Begitu pula keterangan Al Qur’an dan hadits-hadits shahih tentang Dajjal, matahari terbit dari barat, munculnya hewan-hewan melata, turunnya kembali Isa bin Maryam pada akhir zaman, dan lain-lain sebagaimana difirman Allah :

Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan [Surat An Naml :65]

Katakanlah: “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkan (nya)? [Surat Al An’am:50]

Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. [Surat Al A’raf:188]

Ayat serupa dalam Al Qur’an banyak sekali. Sungguh benar telah diriwayatkan dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam beberapa hadits yang menyatakan bahwa beliau tidak mengetahui hal yang ghaib, diantaranya adalah jawaban beliau kepada malaikat jibril ketika ditanya:

Kapan Kiamat itu?” Beliau bersabda: ”Yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya.”

Beliau kemudian bersabda:

Lima perkara yang hanya Allah menetahuinya. ”Kemudian beliau membaca firman Allah:

Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan,…..[Surat luqman:34]

[Bukhari no.50 Kitabul Iman; Muslim no.9 Kitabul Iman dari Abu Hurairah]

Selain itu ketika Aiysah difitnah dengan tuduhan palsu, yakni berzina, Nabi Shalallahu alaihi wa sallam tidak mengetahui kebenaran kesucian Aisyah kecuali setelah turunnya wahyu kepada beliau pada surat An Nuur. 

Contoh lain, tatkala ‘Asiyah hilang pada salah satu perjalanan pulang perang,Nabi Shalallahu alaihi wa sallam tidak mengetahui tempatnya sehingga beliau megirim sejumlah orang untuk mencarinya, tetapi mereka tidak menemukannya. Tatkala unta Aiysah berdiri orang-orang menemukan ‘Aisyah dibawah untanya. Inilah sedikit contoh dari banyak kasus yang terdapat dalam hadits-hadits tentang ketidaktahuan Nabi Shalallahu alaihi wa sallam tentang hal ghaib.

Anggapan sebagian golongan sufi bahwa nabi Shalallahu alaihi wa sallam mengetahui hal-hal ghaib dan hadirnya beliau ditengah-tengah mereka diwaktu pesta peringatan Maulid Nabi, dan lain-lain adalah anggapan batil yang tidak punya dsar apapun. Hal ini muncul pada mereka karena kebodohan mereka dalam memahami Al Qur’an, Sunnah nabi Shalallahu alaihi wa sallam ,dan pegangan kaum salaf. 

Kita mohon kepada Allah supaya kita dan segenap kaum muslimin selamat dari cobaan ajaran mereka yang sesat dan juga supaya kita dan mereka diberi petunjuk ke jalan yang lurus.Sungguh Allah Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan do’a.

Oleh Syaikh Bin Baz
Al Mujaahid no.66; tahun ke-3 Muharram no.33 dan shafar no.34.
Salafy.or.id

Tegakkan Tauhid

by admin aluyeah
Tegakkan Tauhid
Tegakkan Tauhid | al-uyeah.blogspot.com
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa tetap kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat

‘Allah telah berjanji ‘, maknanya adalah Allah Ta'ala telah menjanjikan. Dan telah menjadi ketetapan Allah Ta'ala bahwa Dia tidak akan mengingkari janji-Nya.

‘Kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shalih’, mereka adalah orang-orang yang tegak dengan keimanannya, yaitu keimanan yang harus dimiliki setiap muslim berupa tauhid dengan segala konsekuensinya dan juga beramal shalih. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa beramal dengan mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam.

‘Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi’, maknanya Allah Ta'ala pasti memberikan khilafah kepada mereka dan dengan kekhilafahan itu mereka bisa berbuat seperti perbuatan para raja di muka bumi. (Lihat Tafsir Fathul Qadir, 4/47; Tafsir Al-Baidhawi, 4/197)

‘Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa’, yaitu sebagaimana telah diberikan khilafah kepada orang-orang sebelum mereka dari kalangan Bani Israil dan umat-umat sebelumnya yang lain. (Lihat Fathul Qadir, 4/47 oleh Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah)

‘Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka’. Yang dimaksud dengan tamkin adalah mengokohkan, yaitu menjadikannya kokoh dengan silih bergantinya mereka dalam menduduki kekuasaan. Tidak hanya bersifat sebentar dan sementara waktu lalu menghilang dengan cepat. Yang dimaksud agama yang diridhai adalah Islam, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta'ala:

“Dan Aku telah ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al-Maidah: 5) [Lihat Fathul Qadir, 4/47, karya Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah]

‘Dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa.’ Yaitu dihilangkannya rasa takut yang dahulu mereka rasakan akibat gangguan para musuh Islam, hingga mereka hanya takut kepada Allah Ta'ala saja.

Penjelasan Makna Ayat

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Ayat ini termasuk di antara janji-janji Allah Ta'ala yang (pasti) benar, yang telah disaksikan kenyataannya dan kandungan beritanya. (Allah Ta'ala) telah berjanji kepada orang yang menegakkan iman dan beramal shalih dari kalangan umat ini bahwa Dia akan memberikan kepada mereka khilafah di muka bumi.

Mereka akan menjadi para khalifah di atasnya, yang mengatur urusan-urusan mereka dan mengokohkan agama -yang mereka ridhai- untuk mereka, yaitu agama Islam yang telah mengalahkan seluruh agama karena keutamaan, kemuliaan dan kenikmatan Allah atasnya.

Mereka leluasa dalam menegakkannya dan menegakkan syariat baik yang dzahir maupun yang batin baik pada diri mereka maupun selain mereka. Sebab, orang-orang selain mereka dari kalangan para pemeluk agama selain (Islam) telah terkalahkan dan terhinakan.

Dan Allah Ta'ala menggantikan keadaan mereka dari rasa takut yang menyebabkan mereka tidak mampu menampakkan agama dan menegakkan syariat disebabkan gangguan dari orang-orang kuffar, serta jumlah kaum muslimin yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan selain mereka, dan seluruh penduduk bumi memusuhi dan menentang mereka dengan berbagai kerusakan.

Allah menjanjikan hal-hal tersebut untuk mereka pada saat turunnya ayat ini, namun kekhalifahan di bumi dan kekokohannya belum dapat disaksikan saat itu. Yang dimaksud dengan kekokohan adalah kekokohan agama Islam, keamanan yang sempurna di mana mereka hanya menyembah kepada Allah, tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu dan mereka tidak takut kecuali hanya kepada Allah.

Maka tegaklah generasi awal umat ini, dengan iman dan amal shalih yang menyebabkan mereka berada di atas umat lainnya, maka Allah kuasakan kepada mereka berbagai negeri dan manusia, serta dibukakan kekuasaan dari timur ke barat sehingga terwujud keamanan dan kekokohan yang sempurna.

Ini termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah Ta'ala yang menakjubkan. Dan hal tersebut akan senantiasa berlangsung hingga (mendekati) hari kiamat. Selama mereka menegakkan iman dan amal shalih pasti mereka akan mendapatkan apa yang telah Allah Ta'ala janjikan untuk mereka.

Namun terkadang orang kafir dan munafikin menguasai mereka dan mengalahkan kaum muslimin disebabkan kelalaian kaum muslimin dalam menegakkan iman dan amalan yang shalih.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 573)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “(Ayat) ini merupakan janji Allah Ta'ala bagi orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih berupa pemberian khilafah bagi mereka di muka bumi sebagaimana yang telah diberikan kepada orang-orang sebelum mereka dari umat-umat sebelumnya. Janji ini mencakup seluruh umat.

Ada yang berkata: ‘Ayat ini khusus untuk para shahabat.’ Namun hal itu tidak benar, karena beriman dan beramal shalih tidaklah terkhusus untuk mereka. Bahkan hal tersebut mungkin terjadi pada siapa saja dari kalangan umat ini. Maka barangsiapa yang mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya maka sungguh dia telah menaati Allah dan Rasul-Nya.” (Fathul Qadir, 4/47)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “(Ayat) ini mengabarkan tentang ketetapan dan kebijaksanaan Allah Ta'ala terhadap makhluk-Nya yang tidak akan mungkin berubah, bahwa barangsiapa yang beriman dan beramal shalih maka Allah Ta'ala akan mengokohkannya di muka bumi dan memberikan khilafah kepadanya, tidak membinasakan dan menghancurkan mereka sebagaimana (Allah Ta'ala) membinasakan orang-orang yang mendustakan para rasul dan menyelisihi mereka.

Allah Ta'ala mengabarkan kebijaksanaan dan muamalah-Nya terhadap orang yang beriman kepada para rasul dan membenarkan mereka bahwa Allah Ta'ala akan memperlakukan mereka sebagaimana Allah Ta'ala memperlakukan orang-orang sebelum mereka dari para pengikut rasul.” (Jala`ul Afham hal. 287, karya Ibnul Qayyim rahimahullah)

Perwujudan Janji Allah Ta'ala di Masa Generasi Salaf

Apa yang telah dijanjikan pada ayat ini telah dirasakan oleh orang-orang yang senantiasa menjalankan persyaratan yang disebutkan Allah Ta'ala berupa iman dan mentauhidkan Allah Ta'ala serta mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Juga senantiasa berada di atas jejak beliau sehingga Allah Ta'ala memberikan kekuasaan kepada mereka di berbagai negeri dan menundukkan negara-negara besar seperti Persia dan Romawi.

Perhatikanlah sirah (perjalanan hidup, red) Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Beliau tidak meninggal dunia kecuali Allah Ta'ala telah memberikan kemenangan kepada beliau dengan ditaklukkannya kota Makkah, Khaibar, Bahrain, seluruh negeri Arab dan seluruh negeri Yaman. Beliau memberlakukan penarikan jizyah (upeti) dari bangsa Majusi di Hajar dan sebagian daerah pesisir Syam.

Heraklius, Raja Romawi, meminta berdamai kepada beliau. Demikian pula penguasa Mesir dan penguasa Iskandariah yang digelari Muqauqis. Juga raja-raja Oman dan raja Najasyi, penguasa Habasyah yang menjadi raja setelah ‘Ashimah.

Tatkala Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam meninggal, pemerintahan dilanjutkan oleh para khalifah setelah beliau. Tidak lama setelah kematian beliau Shallallahu'alaihiwasalam, Abu Bakar Ash-Shiddiq melanjutkan kekuasaan dan mengirim pasukan Islam ke Persia, dipimpin Khalid bin Al-Walid radiyallahu'anhu.

Kaum muslimin menaklukkan sebagian wilayah Persia dan membunuh sebagian tentara mereka. Pasukan lain yang dipimpin Abu Ubaidah radiyallahu'anhu dan para pemimpin lainnya bersamanya menuju Syam. Pasukan ketiga pimpinan ‘Amr bin Al-’Ash radiyallahu'anhu menuju Mesir. Allah Ta'ala memberikan kemenangan bagi pasukan yang menuju Syam dan berhasil menguasai Bashrah, Damaskus, dan masih tersisa darinya negeri Hauran dan sekitarnya hingga Allah Ta'ala mewafatkannya dan memberikan pilihan kemuliaan baginya.

Kemudian Allah Ta'ala menganugerahi kaum muslimin di mana Ash-Shiddiq radiyallahu'anhu diberikan ilham untuk mengangkat ‘Umar Al-Faruq radiyallahu'anhu sebagai penggantinya. ‘Umar radiyallahu'anhu pun menegakkan kekhalifahan dengan penegakan yang sempurna, yang belum pernah dikenal dalam sejarah yang seperti beliau -setelah para nabi- dalam kekuatan dan kesempurnaan keadilannya.

Beliau berhasil menyempurnakan kemenangan di seluruh negeri Syam. Demikian pula negara-negara Mesir dan sebagian besar wilayah Persia. Beliau meruntuhkan kekuasaan Kisra (raja Persia) dan menghinakannya dengan serendah-rendahnya sehingga dia melarikan diri hingga ke ujung kekuasaannya. Juga beliau meruntuhkan Kaisar (raja Romawi) dan melepaskan kekuasaannya dari negeri Syam sehingga dia lari menuju Kostantinopel.

‘Umar radiyallahu'anhu menginfakkan harta keduanya di jalan Allah Ta'ala, sebagaimana yang telah dikabarkan dan dijanjikan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Lalu berlanjut sampai kekuasaan di tangan Daulah Utsmaniyah, semakin melebar kekuasaan Islam hingga ke ujung timur dan barat.

Ditundukkan pula negeri Maghrib hingga ke ujungnya yaitu Andalus, Qabras, negeri Qairuwan, negeri Sabtah yang berada di dekat lautan Muhith. Adapun dari arah timur hingga ke ujung negeri Cina dan berhasil membunuh Kisra serta meruntuhkan kekuasaannya secara total.

Ditundukkan pula beberapa kota seperti Irak, Khurasan, Ahwaz, dan kaum muslimin berhasil membunuh pasukan Turki dalam jumlah yang banyak sekali.

Allah Ta'ala menghinakan raja agung mereka Khaqan dan menarik upeti dari wilayah timur dan dan barat lalu dibawa ke hadapan Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan radiyallahu'anhu. Yang demikian ini disebabkan barakah dari bacaan Al Qur`an beliau, mengilmuinya, dan menyatukan seluruh umat dengan disatukan dalam pemeliharaan Al Qur`an. Oleh karena itu telah shahih bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

“Sesungguhnya Allah melipat bagiku bumi ini hingga akupun melihat wilayah timur dan baratnya, dan kekuasaan umatku akan sampai ke wilayah yang telah dilipatkan (diperlihatkan) kepadaku darinya.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dari Tsauban radiyallahu'anhu) [Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/301-302]

Tegakkan Daulah Islamiyyah dalam Diri Kalian, Niscaya akan Ditegakkan Daulah Islamiyyah di Negara Kalian!

Berbagai kelompok yang menyimpang dari jejak para ulama salaf, sering menyerukan slogan “Dirikan Daulah Islamiyyah”, “Tegakkan Syariat Islam”, dan yang semacamnya. Dalam upaya mencapai keinginan tersebut, mereka banyak membuat trik atau cara yang sesuai dengan hawa nafsu mereka dan jauh menyimpang dari apa yang dikehendaki Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Di antaranya ada yang berusaha untuk mendirikan negara di dalam negara dan berupaya keras untuk meruntuhkan pemerintahan yang sah.

Di antara mereka ada pula yang menggunakan cara-cara teror dan mengacaukan keamanan negara muslim dengan alasan pemerintah telah melanggar hukum Allah Ta'ala, seperti yang telah dilakukan oleh kaum Khawarij sebagai nenek moyang mereka.

Di antara mereka ada yang menempuh cara-cara diplomasi dengan ikut serta duduk di kursi-kursi pemerintahan walaupun harus melanggar sebagian hukum Allah Ta'ala dan mengakui cara-cara demokrasi dengan dalih memperjuangkan tegaknya syariat Islam, dan entah dengan cara apa lagi.

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah sering berkata: “Tegakkan daulah Islamiyyah dalam diri kalian, niscaya akan ditegakkan daulah Islamiyyah di negara kalian!”, ketika beliau membantah berbagai kelompok yang menyimpang dari tuntunan Al Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam serta apa yang telah menjadi amalan as-salafush shalih.

Beliau rahimahullah berkata: “Sungguh aku kagum terhadap satu kalimat yang diucapkan sebagian para mushlihin (orang yang melakukan perbaikan) di masa kini, yang menurutku seakan-akan ini merupakan wahyu dari langit, yaitu perkataan:

“Tegakkanlah Daulah Islam dalam hati kalian, niscaya akan ditegakkan Daulah Islam di negara kalian.” (lihat At-Tashfiyah wat-Tarbiyah hal. 33, transkrip ceramah Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)

Beliau rahimahullah pun berkata: “Jika kita menghendaki kemuliaan dari Allah Ta'ala, menghilangkan kehinaan dari kita, dan memberikan pertolongan-Nya kepada kita dalam mengalahkan musuh, maka tidaklah cukup untuk itu apa yang telah kami isyaratkan tadi kewajiban membenarkan pemahaman (yang keliru) dan menghilangkan berbagai pendapat yang menakwilkan dalil-dalil yang syar’i yang ada di kalangan ahli ilmu atau ahli fiqih.

Namun di sana ada sesuatu yang sangat penting –yang merupakan hal inti– dalam membenarkan pemahaman. Yaitu beramal, sebab ilmu adalah jalan untuk beramal. Maka apabila seseorang telah belajar dan ilmu yang dipelajarinya bersih lagi suci (dari kesesatan), apabila dia tidak mengamalkannya maka sangat jelas sekali bahwa ilmu yang ada padanya tidak menghasilkan buah. Maka haruslah ilmu tersebut ditemani amalan.

Wajib bagi para ahli ilmu untuk mengurusi pendidikan yang baru tumbuh dari kaum muslimin berdasarkan pancaran yang shahih dari Al-Kitab dan As Sunnah. Kita tidak boleh membiarkan manusia tetap berada di atas apa yang mereka warisi berupa berbagai pemahaman keliru, yang sebagiannya dipastikan kebatilannya berdasarkan kesepakatan para imam, dan sebagiannya diperselisihkan, dan masih ada bagian dari pandangan secara ilmiah, ijtihad, dan pendapat, dan sebagian dari ijtihad serta pemikiran tersebut menyelisihi As Sunnah.

Setelah men-tashfiyah (menjernihkan) perkara-perkara ini dan menjelaskan apa yang harus dijalani serta bertolak darinya, maka kita harus men-tarbiyah (mendidik) benih yang baru tumbuh tersebut di atas ilmu yang benar ini. Pendidikan inilah yang akan membuahkan masyarakat Islam yang murni, dan selanjutnya tegaklah Daulah Islamiyyah.

Tanpa dua pembukaan ini, yaitu: Ilmu yang benar dan Pendidikan yang benar yang dibangun di atas ilmu yang benar tersebut, mustahil –menurut keyakinanku– untuk bisa ditegakkan hukum Islam atau Daulah Islamiyyah.” (At-Tasfiyah wat-Tarbiyah, Asy-Syaikh Al-Albani hal. 29-31)

Camkanlah nasehat beliau, semoga kita termasuk hamba yang mendapatkan hidayah menuju jalan-Nya. Amin.

"Membentuk Khilafah Sesuai dengan Tuntunan Islam"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi
AsySyariah.com

Tinggal Di Negeri Kafir

by admin aluyeah
Tinggal Di Negeri Kafir | al-uyeah.blogspot.com
Ada dua syarat pokok untuk tinggal di negeri kafir:

1. Orang yang tinggal merasa aman (tenang) di atas agamanya.

Dia memiliki ilmu dan iman serta kekuatan yang menenangkan dirinya untuk tetap kokoh di atas agamanya. Juga untuk berhati-hati dari berbagai penyimpangan. Dia juga bisa menanamkan permusuhan dan kebenciannya dalam qalbunya terhadap orang-orang kafir, serta menjauhkan diri dari loyalitas dan kecintaan terhadap mereka.

2. Merasa tenang dalam menampakkan syiar-syiar Islam tanpa ada penghalang. 

Dia tidak dihalangi dari melakukan shalat lima waktu, shalat Jumat, zakat, puasa, haji, dan yang lainnya.

Macam-macam bentuk tinggal di negeri kafir

1. Tinggal di negeri kafir dalam rangka mendakwahkan Islam dan memberikan dorongan untuk (melaksanakan) syariat Islam. 

Ini termasuk bagian dari jihad, hukumnya fardhu kifayah bagi orang yang mampu melakukannya, dengan syarat perwujudan dakwah tersebut nyata dan tidak ada yang menghalangi dari dakwah atau menghalangi penerimaan dakwah tersebut.

Karena sesungguhnya mendakwahkan Islam termasuk salah satu kewajiban agama. Itu adalah jalan para rasul. Nabi Shallallahu'alaihiwasalam memerintahkan untuk menyampaikan Islam ini pada setiap waktu dan tempat. Beliau Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً

“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” (HR. Al-Bukhari)

2. Tinggal untuk mempelajari keadaan orang-orang kafir dan mengetahui kehidupan mereka seperti rusaknya akidah, batilnya peribadatan, hilangnya akhlak, dan jeleknya perangai mereka, dalam rangka mengingatkan manusia agar tidak tertipu dengan mereka. 

Juga untuk menjelaskan keadaan mereka yang sebenarnya kepada orang-orang yang mengagumi mereka.

Ini juga termasuk jihad, karena di dalamnya terkandung peringatan dari kekufuran dan para pemeluknya, yang juga meliputi dorongan untuk (melaksanakan syariat) Islam. Namun dengan syarat, tujuan yang hendak dicapai tersebut bisa terwujud tanpa mengakibatkan kerusakan yang lebih besar.

Apabila tujuan tersebut tidak bisa terwujud karena ada yang menghalanginya, maka tidak ada faedahnya dia tinggal di negeri kafir itu. Bahkan dia wajib menahan diri (untuk tidak tinggal di negeri itu) bila tujuan tercapai namun mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. Seperti, mereka membalas perbuatan tersebut dengan mencela Islam, utusan (duta) Islam, dan pemimpin Islam.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Al-An’am: 108)

Yang semisal dengan ini yaitu tinggal di negeri kafir untuk melihat keadaan kaum muslimin di negeri itu, supaya diketahui tipu daya mereka terhadap kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin berhati-hati dari mereka.

3. Tinggal di negeri kafir dalam rangka memenuhi kebutuhan pemerintah (negeri) muslim, serta pengaturan hubungan antara pemerintah muslim dengan pemerintah kafir, seperti kedutaan. 

Hukumnya disesuaikan dengan alasan tinggal di negeri itu.

4. Tinggal di negeri kafir dalam rangka kebutuhan khusus yang mubah, seperti berbisnis dan berobat. 

Yang seperti ini diperbolehkan tinggal di negeri itu sesuai dengan kebutuhan.

5. Tinggal di negeri kafir dalam rangka belajar.

Ini termasuk jenis tinggal (di negeri kafir) karena adanya kebutuhan. Namun ini lebih membahayakan agama dan akhlak pelajar tersebut.

Oleh karena itu, wajib untuk lebih berhati-hati dalam bentuk tinggal yang seperti ini daripada bentuk tinggal yang sebelumnya. Disyaratkan juga (selain dua syarat pokok di atas) beberapa hal berikut:

a. Pelajar tersebut memiliki kematangan akal yang dengannya dia bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang memudaratkan, serta berwawasan jauh ke depan.

b. Memiliki ilmu syariat, yang dengannya dia bisa membedakan antara yang haq (benar) dengan yang batil (salah), serta mampu mengalahkan kebatilan dengan kebenaran.

c. Memiliki agama yang menjaga (melindungi)nya dari kekufuran dan kefasikan.

d. Butuhnya terhadap ilmu itu, yaitu memberikan maslahat kepada kaum muslimin, dan tidak didapatkan ilmu yang semisalnya di institusi pendidikan di negerinya.

6. Tinggal dalam rangka menetap (menjadi penduduk)

Ini lebih berbahaya dari jenis sebelumnya karena kerusakan-kerusakan yang akan timbul dengan bercampur-baur bersama orang-orang kafir. Juga perasaan dia sebagai warga negara yang diwajibkan dengan tuntutan-tuntutan negara berupa kecintaan, loyalitas, dan memperbanyak jumlah orang kafir.

Dia juga mendidik keluarganya di tengah-tengah penduduk yang kafir. Sehingga keluarganya akan menyerap (meniru) akhlak dan kebiasaan orang kafir. Terkadang juga mengikuti mereka dalam permasalahan akidah dan peribadatan.

Oleh karena itu, datang (sebuah berita) dalam hadits Nabi Shallallahu'alaihiwasalam:

مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ فَهُوَ مِثْلُهُ

“Barangsiapa bergaul dengan orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka dia semisal dengannya.”

Hadits ini walaupun sanadnya dhaif, tetapi memiliki sisi untuk diperhitungkan. Karena tinggal bersama (seseorang) itu menuntut untuk menyerupainya.

Diriwayatkan dari Qais bin Hazim, dari Jarir bin Abdullah radiyallahu'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَلِمَ؟ قَالَ: لَا تُرَاءَى نَارَهُمَا

“Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrikin.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah (yang dimaksud tinggal di tengah-tengah mereka itu)?” Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam menjawab: “Janganlah saling terlihat api (yang ada di rumah) keduanya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dan kebanyakan perawinya meriwayatkan secara mursal dari Qais bin Hazim, dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam)

At-Tirmidzi berkata: “Saya mendengar Muhammad –yakni Al-Bukhari– berkata: ‘Yang benar, hadits Qais dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam adalah mursal’.”

Bagaimana jiwa seorang mukmin akan merasa senang (bahagia) tinggal di negeri-negeri kafir yang ditampakkan kepadanya syiar-syiar kekufuran. Hukum yang berlaku di dalamnya adalah hukum selain Allah Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu'alaihiwasalam, dalam keadaan ia menyaksikan hal itu dengan mata kepalanya, mendengar dengan kedua telinganya serta ridha dengannya.

Bahkan ia menisbatkan diri kepada negeri tersebut. Dia tinggal di negeri tersebut bersama keluarga dan anak-anaknya. Dia merasa tenang dengan negeri tersebut sebagaimana ia merasa tenang dengan negeri-negeri muslimin.

Padahal di tempat itu terdapat bahaya besar yang mengintai dirinya, keluarga dan anak-anaknya, dalam hal agama serta akhlak mereka. (Diambil dari Syarh Tsalatsatil Ushul hal. 131-138, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, dengan beberapa perubahan). Wallahu a’lam.

dikutip dari "Penyimpangan-Penyimpangan dalam Safar"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar
AsySyariah.com

Maksiat Lagi Taubat Lagi Maksiat Lagi

by admin aluyeah
Maksiat Lagi Taubat Lagi Maksiat Lagi | al-uyeah.blogspot.com
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Aku seorang pemuda berusia 19 tahun. Aku telah berbuat aniaya terhadap diriku sendiri dalam banyak kemaksiatan sehingga aku sering tidak shalat di masjid, tidak puasa Ramadhan secara sempurna selama hidupku, dan aku melakukan perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Seringkali diriku berjanji untuk bertaubat, tetapi aku kembali bermaksiat, dan aku berteman dengan para pemuda di kampung kami yang tidak benar-benar istiqamah. Demikian pula kawan-kawan, saudara-saudaraku, seringkali datang ke rumah kami, dan mereka bukan orang-orang yang shalih juga. Allah tahu bahwasanya aku telah banyak berbuat aniaya terhadap diriku sendiri dalam kemaksiatan-kemaksiatan dan aku melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk. Tetapi setiap kali aku bertekad untuk bertaubat, maka aku kembali lagi seperti semula. Aku berharap agar engkau menunjukkan kepadaku pada suatu jalan yang mendekatkanku kepada Tuhanku dan menjauhkan dari perbuatan-perbuatan yang buruk ini.

Jawaban
“Artinya : Katakanlah, ‘Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Az-Zumar : 53]

Para ulama bersepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang bertaubat. Barangsiapa yang bertaubat dari dosa-dosanya dengan taubat yang semurni-murninya, maka Allah mengampuni dosa-dosanya semuanya, berdasarkan ayat ini dan berdasarkan firmanNya.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menutupi kesalahan-kesalahan dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai” [At-Tahrim : 8]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mempertalikan penghapusan kesalahan-kesalahan dan masuk surga pada ayat ini dengan taubat yang semurni-murninya, yaitu perbuatan yang mencakup meninggalkan dosa, waspada terhadapnya, menyesali apa yang pernah dilakukannya, bertekad bulat untuk tidak kembali kepadanya, karena mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menginginkan pahalanya, dan takut terhadap siksanya. 

Dan diantara syarat taubat ialah mengembalikan hak-hak yang dizhalimi kepada yang berhak menerimanya atau mereka yang memaafkannya, jika kemaksiatan tersebut berupa kezhaliman yang menyangkut darah, harta dan kehormatannya, maka ia banyak berdo’a untuknya, dan menyebut kebaikan-kebaikan amal yang dilakukan olehnya di tempat-tempat di mana ia pernah mengunjingkannya; karena kebaikan-kebaikan akan menghapuskan keburukan-keburukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” [An-Nur : 31]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaitkan dalam ayat ini keberuntungan dengan taubat. Ini menunjukkan bahwa orang yang bertaubat itu orang yang beruntung lagi berbahagia. Jika orang yang bertaubat mengiringi taubatnya dengan iman dan amal shalih, maka Allah menghapuskan keburukan-keburukannya dan menggantinya dengan kebajikan-kebajikan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Al-Furqan, ketika menyebutkan kesyirikan, membunuh dengan tanpa hak dan zina.

“Artinya : Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain berserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih ; maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Furqn ; 68-70]

Di antara sebab taubat ialah ketundukan kepada Allah, memohon hidayah dan taufik kepadaNya, serta agar Dia memberi karunia berupa taubat kepadamu. Dialah yang berfirman.

“Artinya : Berdo’alah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu” [Al-Mukmin : 60]

Dialah yang berfirman.

“Artinya : Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan pemohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepadaKu” [Al-Baqarah : 186]

Diantara sebab-sebab taubat juga dan istiqomah di atasnya ialah berteman dengan orang-orang yang baik dan meneladani amalan-malan mereka, serta menjauhi berteman dengan orang-orang yang jahat. Shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Seseorang itu tergantung agama temannya, maka hendaklah salah seorang dari kalian memperhatikan kepada siapa berteman” [Hadits Riwayat Abu Daud dalam Al-Adab, 4833,At-Tirmidzi dalam Az-Zuhud 2378, Ahmad 8212]

Beliau bersabda.

“Artinya : Perumpamaan teman yang shalih dan teman yang buruk ialah seperti pembawa minyak wangi dan pandan besi.Pembawa minyak wangi mungkin akan memberi minyak kepadamu, kamu membeli darinya, atau kamu mencium baunya yang harum. Sedangkan pandan besi, mungkin akan membakar pakaiannmu atau kamu mencium bau yang tidak sedap” [Hadits Riwayat Al-Bukhari alam Al-Buyu 2102, Muslim dalam Al-Birr wa Ash-Shilah 2628]

Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

[Kitab Ad-Da’wah, Al-Fatawa, hal.251, Syaikh Ibnu Baz]

Lamanya Dajjal Tinggal Di Bumi

by admin aluyeah
Lamanya Dajjal Tinggal Di Bumi | al-uyeah.blogspot.com
Keberadaan Dajjal merupakan salah satu topik yang menarik dan layak kaji. Pasalnya, masalah yang satu ini sering menjadi ‘isu kondisional’ sejak dahulu kala. Simpang siur pendapat pun sering kali bergulir di tengah umat, tentunya dengan berbagai macam persepsi dan landasan berpikir yang berbeda. Tak ayal, kontroversi ini menjadikan bingung banyak orang yang notabene awam.

Sebelum menelusuri kontroversi sikap seputar Dajjal, tentunya amat penting untuk didudukkan terlebih dahulu hakikat Dajjal yang sedang dipermasalahkan ini. Karena hukum terhadap sesuatu, merupakan cabang dari penggambarannya. Bagaimana mungkin seseorang bisa menghukumi bahwa Dajjal itu ada atau tidak, sementara belum jelas baginya hakikat Dajjal yang sedang dipermasalahkan.

Hakikat Dajjal yang Dipermasalahkan

Dajjal yang sedang dipermasalahkan keberadaannya itu adalah seseorang dari bangsa manusia yang Allah Ta'ala munculkan di akhir zaman (dengan segala kekuasaan dan hikmah-Nya), sebagai fitnah (ujian) besar bagi umat manusia di muka bumi ini(1), dan sebagai salah satu pertanda kuat semakin dekatnya hari kiamat(2).

Bentuk fisik Dajjal adalah; matanya buta sebelah (yang dengannya disebut Al-Masih), pada dahinya tertulis huruf (ك.ف.ر) yang berarti kafir di mana tulisan itu bisa dibaca oleh siapa saja yang di hatinya ada keimanan(3), berambut sangat keriting(4), bertubuh besar, dan sudah ada saat ini di sebuah pulau yang ada di tengah lautan (arahnya sebelah timur kota Madinah), dalam keadaan dibelenggu dengan belenggu besi yang amat kuat(5).

Ketika muncul, dia mengaku sebagai Allah Ta'ala (padahal sesungguhnya Allah Ta'ala tidak buta sebelah seperti dia) dan menyeru umat manusia untuk menyembah dirinya. Allah Ta'ala kuasakan bagi Dajjal untuk membawa sesuatu seperti Jannah (surga) dan Naar (neraka). Jannah Dajjal hakikatnya adalah Naar Allah, dan Naar Dajjal hakikatnya adalah Jannah Allah(6).

Tempat kemunculannya kelak dari sebuah jalan yang terletak antara negeri Syam dan Irak. Dia pun akan tinggal di muka bumi ini selama 40 hari; hari pertama lamanya satu tahun, hari kedua lamanya satu bulan, hari ketiga lamanya satu pekan, hari keempat dan seterusnya lamanya seperti hari-hari biasa (24 jam).

Allah Ta'ala kuasakan pula baginya kemampuan untuk mengelilingi dunia dengan sekejap seiring dengan berhembusnya arah angin (kecuali kota Makkah dan Madinah, tak mampu dimasukinya karena dijaga oleh para malaikat Allah Ta'ala). Sebagaimana pula Allah Ta'ala kuasakan baginya hal-hal aneh lainnya yang tak dimampui oleh manusia biasa.

Kemudian terjadilah pertempuran yang dahsyat antara Dajjal berikut pengikutnya melawan pasukan Islam yang dipimpin oleh Al-Imam Mahdi yang diperkuat oleh Nabi ‘Isa 'alaihisalam yang Allah Ta'ala turunkan dari langit.

Akhirnya Dajjal tewas dibunuh oleh Nabi ‘Isa 'alaihisalam di daerah Bab Ludd, Palestina(7). Demikianlah hakikat Dajjal yang dipersoalkan eksistensinya itu.

Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits ‘Imran bin Hushain z no. 2946.
2 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits Abu Hurairah z no. 2947.
3 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits Anas bin Malik z no. 2933 dan Hudzaifah no. 2934.
4 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits An-Nawwas bin Sam’an z no. 2137.
5 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits Tamim Ad-Dari z no. 2942.
6 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri z no. 2938, Anas bin Malik z no. 2933, dan Hudzaifah z no. 2934.
7 Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits An-Nawwas bin Sam’an z no. 2137.

dikutip dari "Adakah Dajjal"
ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc
AsySyariah.com

Pertolongan, Kemudahan dan Kesulitan

by admin aluyeah
Pertolongan, Kemudahan dan Kesulitan | al-uyeah.blogspot.com
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Saya ingin meminta saran kepada syaikh bahwa saya dan teman-teman senasib telah ditakdirkan untuk tidak merasakan nikmatnya nikah, sementara umur hampir menginjak masa putus harapan untuk menikah. Padahal Alhamdulillah saya dan teman-teman senasib memiliki akhlak yang cukup dan berpendidikan sarjana dan inilah nasib kita Alhamdulillah. Yang membuat kaum lelaki tidak mau melamar kita disebabkan kondisi ekonomi yang kurang mendukung karena pernikahan di daerah kami dibiayai oleh kedua mempelai. Saya memohon nasehat syaikh untuk kami ?"

Jawaban.
Nasehat saya untuk yang terlambat menikah hendaknya selalu berdo'a kepada Allah dengan penuh harapan dan keikhlasan, dan mempersiapkan diri untuk siap menerima lelaki yang shalih. Apabila seseorang jujur dan sungguh-sungguh dalam do'anya, disertai dengan adab do'a dan meninggalkan semua penghalang do'a, maka do'a tersebut akan terkabulkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu" [Al-Baqarah : 186]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Dan Tuhanmu berfirman, 'Berdoalah kepadaKu, niscaya Kuperkenankan bagimu" [Al-Mukmin : 60]

Dalam ayat tersebut Allah menggantugkan terkabulnya do'a hambaNya setelah dia memenuhi panggilan dan perintahNya. Saya melihat, tidak ada sesuatu yang lebih baik kecuali berdoa dan memohon kepada Allah serta menunggu pertolongan dariNya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Ketahuilah sesungguhnya pertolongan diperoleh bersama kesabaran dan kemudahan selalu disertai kesulitan dan bersama kesulitan ada kemudahan"

Saya memohon kepada Allah untuk kalian dan yang lainnya agar dimudahkan oleh Allah dalam seluruh urusannya dan semoga segera mempertemukan kalian dengan laki-laki yang shalih yang hanya menikah untuk kebaikan dunia dan akhirat.

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

(Dikutip dari : Fatawal Mar’ah hal. 58, Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin)
Salafy.or.id

Al Qur'an Bukan Hiasan Dinding

by admin aluyeah
Al Qur'an Bukan Hiasan Dinding | al-uyeah.blogspot.com
Allah menurunkan Al Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi manusia. Agar tujuan ini bisa terealisasi, Al Qur’an tidak bisa hanya sekedar dijadikan pajangan. Sayangnya justru perbuatan ini yang banyak dilakukan manusia. Salah satunya melalui apa yang dinamakan seni kaligrafi.

Bila kita bertandang ke rumah saudara ataupun kenalan, sering kita dapati kaligrafi yang bertuliskan ayat-ayat Al Qur’an, hadits-hadits nabawiyyah ataupun Al-Asmaul Husna. Kaligrafi yang dibuat seindah mungkin ini, sehingga kadang sulit dibaca, biasanya digantung di dinding atau menjadi pajangan di atas meja dan almari, apakah berbentuk ukiran, pahatan ataupun lukisan.

Tidak terbatas hanya dalam rumah, kaligrafi juga kita dapatkan sebagai penghias  masjid-masjid, tempat pertemuan kaum muslimin, dan sebagainya. Bahkan penulisan kaligrafi ayat-ayat Al Qur’an dijadikan sebagai ajang lomba dalam MTQ dan semisalnya.

Saking lazimnya, banyak di antara  kaum muslimin yang merasa belum sreg bila tidak  memajang kaligrafi dalam rumah ataupun majelis mereka. Seolah hal ini sebagai ciri keislaman yang membedakan dari rumah dan majelis non muslim. Bahkan mungkin ada di antara mereka yang merasa bahwa perbuatan seperti ini merupakan satu bentuk ibadah kepada Allah Ta'ala.

Terhadap fenomena yang ada ini, kita katakan kepada saudara kita kaum muslimin: Allah Ta'ala telah menyempurnakan agama-Nya, sebagaimana Dia nyatakan dalam Tanzil-Nya:

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian  agama kalian dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian”. (Al-Maidah: 3)

Karena agama ini telah sempurna, maka tidak butuh lagi terhadap penambahan dan tidak pula pengurangan. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sebagai pengemban risalah dari Allah telah amanah dalam menyampaikan seluruh risalah Islam ini, tanpa kecuali.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Nabi Shallallahu'alaihiwasalam terus menerus menegakkan perintah Allah, orang yang ingin memalingkan (beliau) tidak dapat memalingkan. Beliau juga menyeru kepada Allah tanpa ada seorang pun yang dapat merintangi, sampai akhirnya menjadi terang benderang bumi ini dengan risalah yang beliau bawa setelah sebelumnya dalam keadaan gelap gulita. Menjadi jinaklah (bersatu) hati-hati manusia setelah sebelumnya bercerai berai. Dan berjalanlah dakwah beliau seperti perjalanan mentari di penjuru langit hingga sampailah agamanya sebagaimana sampainya malam dan siang…”. (Miftah Daris Sa’adah, 1/105)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Ushuluts Tsalatsah mengatakan: “Tidak ada satu kebaikan pun melainkan telah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam tunjukkan kepada umatnya dan tidak ada satu kejelekan pun kecuali telah beliau peringatkan umat darinya.”

Menjadikan Al Qur’an dan hadits nabawi sebagai hiasan dalam bentuk kaligrafi, sama sekali tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, tidak pernah dikenal dan dilakukan oleh para shahabat beliau dan tidak pula oleh orang-orang sesudah mereka dari kalangan para imam yang diberi petunjuk, semoga Allah meridhai dan merahmati mereka semua.

Seandainya perbuatan tersebut baik, pasti Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam telah menganjurkannya dan para shahabat, sebagai manusia yang paling bersemangat dalam melakukan kebaikan, pasti telah mendahului kita dalam berbuat demikian.

Untuk memperjelas permasalahan ini, kami nukilkan secara ringkas untuk pembaca fatwa ulama berikut ini:

Allah Ta'ala telah menurunkan Al Qur’an dengan sifat yang Dia nyatakan dalam ayat-ayat berikut ini:

“Wahai sekalian manusia, sungguh telah datang kepada kalian nasehat (pelajaran) dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang ada di dalam dada, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)

“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an sesuatu yang menjadi penyembuh (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan Al Qur’an itu tidaklah menambah bagi orang-orang dzalim selain kerugian.” (Al-Isra: 82)

Allah pun mengutus Nabi-Nya Shallallahu'alaihiwasalam untuk menjelaskan Al Qur’an dan merinci hukum-hukum yang ada dalamnya agar manusia menjadikan ajaran beliau sebagai bimbingan dalam memahami Kitabullah. Allah nyatakan hal ini dalam firman-Nya:

Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al Qur’an agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka, mudah-mudahan mereka mau berfikir.” (An-Nahl: 44)

Allah Ta'ala memerintahkan Nabi-Nya untuk mendakwahkan Islam dan Nabi-Nya Shallallahu'alaihiwasalam pun menjalankan dengan sebaik-baiknya. Beliau berdakwah di hadapan para shahabatnya, memberikan nasehat dan peringatan.

Beliau mengirim surat kepada para raja dan para pembesar, di samping mendatangi secara langsung orang-orang kafir di majelis mereka untuk mengajak kepada Islam. Dari seluruh perjalanan hidup beliau Shallallahu'alaihiwasalam, tidak pernah diketahui beliau menulis satu surat dari Al Qur’an, atau satu ayat darinya ataupun sebuah hadits atau nama-nama Allah pada lembaran-lembaran atau piringan-piringan untuk digantung di dinding dan di tempat lainnya, dengan tujuan menjadikan sebagai hiasan atau untuk tabarruk (mencari berkah) ataupun dengan maksud sebagai perantara untuk mengingatkan, menasehati dan pelajaran bagi yang melihat dan membacanya.

Sepeninggal beliau Shallallahu'alaihiwasalam, para Al-Khulafa Ar-Rasyidun berpegang dengan petunjuk beliau, demikian pula para shahabat yang lain dan para imam setelah mereka yang dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sebagai sebaik-baik generasi.

Sama sekali tidak pernah diketahui mereka menulis sesuatu dari Al Qur’an, hadits-hadits nabawiyyah ataupun Al-Asmaul Husna pada lembaran, piringan ataupun pada kain untuk digantung sebagai hiasan di dinding, atau digantung dengan tujuan sebagai peringatan. Padahal mereka adalah orang yang paling paham akan Islam dan paling bersemangat terhadap kebaikan. Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam mengamalkannya.

Dengan begitu, jelaslah bagi kita bahwa membuat dan memasang kaligrafi dari ayat Al Qur’an, hadits ataupun Al-Asmaul Husna, dengan tujuan apapun adalah perbuatan yang menyelisihi petunjuk Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, para shahabat dan para imam salaf radiyallahu'anhuma.

Betapa kita saksikan, surat ataupun ayat Al Qur’an yang dipajang itu tidak diagungkan dengan semestinya. Terkadang bila telah usang terbuang begitu saja, terinjak oleh kaki dan tersia-siakan. Padahal seorang muslim harus mengagungkan Kitabullah dan juga Sunnah Nabi Shallallahu'alaihiwasalam yang shahih, menjadikannya sebagai menara dan pedoman hidup.

Dan pengagungannya bukan dengan dipajang sedemikian rupa, namun semestinya Al Qur’an itu dibaca, dipikirkan, dipelajari, dipahami dan ditelaah keterangannya dari Sunnah Nabi Shallallahu'alaihiwasalam. Lalu berusaha diamalkan dalam ibadah dan muamalah. Dengan begitu akan tercurah barakah Allah dan terlimpah pahala-Nya, yang hal ini tidak akan didapatkan oleh mereka yang hanya menjadikannya sebagai pajangan.

Satu hal yang patut pula menjadi perhatian bahwa memasang kaligrafi ini merupakan satu bentuk tasyabbuh (meniru) perbuatan orang-orang kuffar dari kalangan Nasrani yang biasa memajang salib di rumah dan majelis mereka untuk membedakan mereka dengan kaum muslimin. Atau seperti orang-orang Hindu yang memiliki kebiasaan menggantung dupa di rumah mereka. Wallahu ta‘ala a‘am bish-shawab.

Demikian ringkasan dari fatwa Lajnah Al-Fatawa fi Riasah Idarat Al-Buhuts wal Ifta wad Da’wah wal Irsyad, yang ketika itu masih diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dengan wakil beliau Asy-Syaikh Abdurrazzaq ’Afifi.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah dalam salah satu khutbahnya di Masjid Al-Jami‘ul Kabir di ‘Unaizah (1404 H) juga pernah menyinggung masalah ini. Di antaranya beliau katakan:

“Sebagian besar manusia biasa menggantung tulisan yang berisi ayat-ayat Al Qur’an di majelis mereka. Aku tidak tahu mengapa mereka melakukan hal tersebut. Bila mereka melakukannya dalam rangka ibadah kepada Allah, maka hal seperti ini adalah kebid’ahan yang tidak pernah dilakukan oleh pendahulu kita yang shalih.

Lalu apakah mereka melakukannya dalam rangka memuliakan Al Qur’an? Maka kita katakan tidak ada yang lebih memuliakan Al Qur’an daripada para shahabat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan tabi’in yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Namun sungguh tidak pernah didapatkan mereka ini menggantung tulisan yang berisi ayat-ayat Al Qur’an.

Apakah mereka menggantungnya dalam rangka menolak kejelekan dan gangguan setan? Jika demikian, maka perbuatan demikian bukanlah perantara untuk menolak hal tersebut, namun justru dengan membacanya akan diperoleh penjagaan tersebut seperti membaca ayat Kursi(1) ketika hendak tidur maka akan diperoleh penjagaan dari Allah dan setan tidak akan mendekat sampai ia berada di pagi hari(2).

Sesungguhnya cara untuk ber-tabarruk dengan Al Qur’an adalah membacanya dengan sebenar-benar bacaan, melafadzkan dengan lisan, mengimani dengan hati dan mengamalkan dengan anggota badan sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:

“Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan  bacan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (Al-Baqarah: 121)

Demikianlah jalan kaum mukminin yakni dengan membaca Kitabullah, bukan dengan menggantungnya.

Adakah mereka yang menggantung kaligrafi bertuliskan ayat Al Qur’an itu menginginkan untuk memperingatkan manusia terhadap Al Qur’an? Ternyata dalam prakteknya, tujuan ini tidaklah tercapai. Engkau bisa menyaksikan mereka yang ada di majelis itu tidak ada yang mendongakkan kepalanya untuk membaca tulisan tersebut, atau ada beberapa gelintir orang yang membacanya namun tidak memikirkan apa yang terkandung di dalamnya.

Ataukah mereka yang berbuat demikian tidak bermaksud apa-apa kecuali sekedar menjadikan kaligrafi itu sebagai hiasan? Maka sesungguhnya tidaklah pantas Al Qur’an itu dijadikan sebagai sesuatu yang bernilai sia-sia, sekedar untuk keindahan pandangan mata. Al Qur’an terlalu mulia kedudukannya daripada hanya sekedar dijadikan hiasan.

Kemudian, kita dapati di majelis yang padanya ada kaligrafi Al Qur’an, terkadang dibicarakan di situ perkara laghwi (sia-sia, red), bahkan terkadang ada ghibah, dusta dan caci maki. Terkadang ada alunan musik dan nyanyian yang haram. Maka perbuatan seperti ini jelas merupakan pelecehan terhadap Kitabullah karena digantungkan di atas kepala hadirin yang sedang tenggelam dalam kemaksiatan kepada Allah.

Karena itu aku menyeru kepada segenap saudaraku agar melepaskan kaligrafi yang ada di rumah-rumah dan majelis mereka karena hal itu tidak pantas untuk dilakukan.

Satu hal pula yang harus dijauhi adalah menulis Al Qur’an dengan bentuk yang samar/ tidak jelas sehingga sulit dibaca atau bisa keliru ketika membacanya, karena ingin menonjolkan nilai seni semata. Padahal Al Qur’an bukanlah untuk dijadikan hiasan dan lukisan/ ukiran. Siapa yang padanya ada tulisan demikian hendaklah ia membakarnya atau menghapusnya agar ayat-ayat Allah tidak dijadikan sebagai bahan permainan dan olok-olok.

Wajib bagi kita untuk memuliakan Kitabullah dan menjadikannya sesuai tujuan diturunkannya. Ia adalah nasehat, obat penyembuh bagi penyakit yang ada di dalam dada, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tidaklah ia diturunkan untuk dipajang dan dijadikan bagian dari seni lukis, ukir dan pahat. Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.“

Demikian fatwa beliau secara ringkas. Semoga kita diberi taufik untuk senantiasa berpegang dengan al-haq.

1 Yakni surat Al-Baqarah ayat 255
2 HR. Al-Bukhari no. 2311

"Ketika Untaian Kalamullah Sekedar Jadi Hiasan"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq &  Al-Ustadzah Ummu Ishaq
AsySyariah.com

Puasa 'Asyura

by admin aluyeah
Puasa 'Asyura | al-uyeah.blogspot.com
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Ta'ala dan senantiasa mengambil pelajaran dari kemenangan-kemenangan yang diraih oleh wali-wali Allah Ta'ala.

Di antaranya adalah kemenangan yang Allah Ta'ala karuniakan kepada Nabi-Nya yaitu Musa 'alaihisalam. Perlu diketahui, bahwa kisah diselamatkannya Musa 'alaihisalam bersama pengikutnya serta ditenggelamkannya Fir’aun dan bala tentaranya, terjadi pada hari yang kesepuluh dari bulan Muharram.

Itulah hari yang kemudian dikenal dengan nama hari ‘Asyura. Hari tersebut merupakan hari yang diberi keutamaan dan dimuliakan sejak dahulu kala. Sehingga Nabi Musa 'alaihisalam berpuasa pada hari tersebut sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Ta'ala. Hal ini sebagaimana hadits yang disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa sahabat ‘Abdullah ibn Abbas radiyallahu'anhum berkata:

"Bahwasanya ketika masuk kota Madinah, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berkata kepada mereka:

“Ada apa dengan hari ini sehingga kalian berpuasa padanya?”

Mereka mengatakan: “Ini adalah hari yang agung, hari yang Allah selamatkan Musa dan kaumnya padanya serta Allah tenggelamkan Fir’aun dan pasukannya. Maka berpuasalah Musa sebagai bentuk rasa syukur dan kamipun ikut berpuasa padanya.”

Maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berkata: “Kalau demikian, kami lebih berhak dan lebih pantas untuk bersama Musa daripada kalian.” Maka berpuasalah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam pada hari tersebut serta memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan puasa pada hari itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari hadits tersebut, kita dapatkan pelajaran bahwa para nabi adalah orang-orang yang menjadikan kemenangan sebagai sesuatu yang patut disyukuri, yaitu dengan menampakkan bahwa kemenangan datangnya adalah dari Allah Ta'ala.

Dan manusia adalah makhluk yang lemah serta membutuhkan pertolongan Allah Ta'ala sehingga mendorong dirinya untuk beribadah dengan ikhlas kepada-Nya. Maka Nabi Musa 'alaihisalam berpuasa pada hari tersebut. Begitu pula nabi kita Muhammad Shallallahu'alaihiwasalam.

Sehingga tidak semestinya hari kemenangan itu justru dijadikan sebagai hari yang dirayakan untuk menampakkan kebanggaan atas kemampuan dan kekuatan bangsanya. Sehingga dirayakan dengan pesta-pesta dan foya-foya. Atau dengan mengadakan acara-acara hiburan serta petunjukan-pertunjukan yang sarat kemaksiatan. Namun semestinya hari tersebut mengingatkan akan kenikmatan Allah Ta'ala sehingga mendorong untuk menjalankan dan menegakkan syariat-Nya.

Disebutkan dalam Shahih Muslim, bahwa Nabi Shallallahu'alaihiwasalam ditanya tentang puasa ‘Asyura, beliau Shallallahu'alaihiwasalam menjawab:

“Puasa tersebut menghapus dosa satu tahun yang telah lalu.” (HR. Muslim) Namun untuk menghindari keserupaan dengan ibadah orang-orang Yahudi dan Nashara, Nabi kita Shallallahu'alaihiwasalam memerintahkan pada umatnya untuk berpuasa pula pada hari kesembilannya.

Shahih-nya dari sahabat Ibnu ‘Abbas radiyallahu'anhum bahwasanya beliau berkata:

Ketika Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa pada hari tersebut, mereka (para sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah, hari ini (‘Asyura) adalah hari yang diagungkan orang-orang Yahudi dan Nashara.”

Maka Nabi Shallallahu'alaihiwasalam berkata: “Jika aku menjumpai tahun yang akan datang, insya Allah aku akan berpuasa pula pada hari yang kesembilannya.” Abdullah ibnu ‘Abbas radiyallahu'anhum berkata: “Namun sebelum datang tahun berikutnya, Rasulullah sudah wafat.” (HR. Muslim)

Hadirin rahimakumullah, Dari hadits-hadits tersebut, dapat kita pahami bahwa kaum muslimin disunnahkan untuk berpuasa pada hari yang  kesembilan dan kesepuluh pada bulan Muharram, hari yang dikenal dengan Tasu’a dan ‘Asyura. Bahkan sebagian ulama  menyebutkan disyariatkannya pula untuk berpuasa pada hari setelahnya yaitu hari yang kesebelas, dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nashara. Wallahu a’lam bishshawab.

Mudah-mudahan Allah Ta'ala memberikan taufiq-Nya kepada kita semua untuk melakukan puasa pada hari tersebut, dan mudah-mudahan kita mendapatkan keutamaan yang telah Allah Ta'ala janjikan.

dikutip dari "Keutamaan Hari 'Asyura"
AsySyariah.com