Rindu Ramadhan

by admin aluyeah

Jiwa ini berlumur dosa. Setiap hari berlumur dosa dan kesia-siaan. Setiap amal yang selalu kita perbuat mungkin saja hanyalah amal yang sia-sia. Sudah berletih berpeluh keringat beribadah kepada Allah Azza wa  Jalla namun tidaklah ada artinya dihadapan Allah. Jiwa ini lemah, lemah dari beribadah kepada Allah dan lemah dalam meninggalkan kemaksiatan kepada Allah. Jiwa ini lemah. Jiwa ini berharap kepadaMu ya Rabb. Sampaikan kami, pertemukan kami semua dengan RamadhanMu nan agung, dalam keadaan iman dan sehat. Sehingga dapat menjadi jalan kepada kami untuk melepas dosa-dosa ini, menjadi bekal ke kampung akhirat bagi kamu yaa Rabb. Kami rindu RamadhanMu yaa Rabb. 

Hanya Berharap Kepada Allah

by admin aluyeah
hanya berharap kepada Allah | al-uyeah.blogspot.com
Dalam berdakwah kepada kaumnya, Nabi Yunus 'Alaihisalam menghadapi penentangan yang demikian keras. Sekian lama beliau berdakwah namun tidak juga membawa hasil. Keadaan ini membuat Nabi Yunus 'Alaihisalam marah dan meninggalkan kaumnya. Allah pun menegurnya. 

Bagaimana akhir dari dakwah Nabi Yunus 'Alaihisalam?

Nabi Yunus 'Alaihisalam termasuk nabi dari keturunan Bani Israil. Allah Ta'ala mengutusnya kepada penduduk negeri Ninawa di Mosul (Irak). Beliau menyeru kaumnya untuk kembali kepada Allah Ta'ala, namun mereka menolaknya. 

Nabi Yunus 'Alaihisalam tidak berputus asa, selalu berusaha dan berusaha mendakwahi mereka, namun mereka tetap menolak. Kemudian Nabi Yunus 'Alaihisalam mengancam dengan azab dan pergi meninggalkan mereka, tidak sabar sebagaimana mestinya. Beliau 'Alaihisalam pergi dalam keadaan marah.

Sementara itu, sepeninggal Nabi Yunus 'Alaihisalam, Allah mengilhamkan kepada kaum tersebut untuk bertaubat dan kembali kepada-Nya. Itu terjadi setelah mereka menyaksikan sebagian dari pendahuluan azab yang diancamkan kepada mereka. Allah pun menyelamatkan mereka dari azab tersebut. Secara lahiriah, Nabi Yunus 'Alaihisalam mengetahui mereka telah selamat dari azab itu, namun beliau tetap tidak mau kembali. Oleh karena itulah Allah Ta'ala berfirman:

Ketika dia pergi dalam keadaan marah.” (Al-Anbiya: 87)

Dan firman Allah Ta'ala:

ketika dia lari ke kapal yang penuh muatan.” (Ash-Shaffat: 140)

Nabi Yunus 'Alaihisalam naik ke kapal yang sudah penuh dengan penumpang dan barang. Sampai di tengah lautan, kapal tersebut mulai memperlihatkan tanda-tanda akan tenggelam. Saat itu hanya ada dua pilihan, mereka tetap bersama-sama di atas kapal tapi tenggelam semua, atau satu per satu dilemparkan ke laut sekedar meringankan muatan kapal dan menyelamatkan yang lain. Akhirnya diputuskan untuk memilih yang kedua. Mulailah diundi siapa yang akan dilemparkan ke laut. Termasuk dalam undian itu adalah Nabi Yunus 'Alaihisalam. Allah Ta'ala mengatakan:

Lalu dia termasuk orang-orang yang kalah.” (Ash-Shaffat: 141)

Yakni, Nabi Yunus 'Alaihisalam kalah dalam undian tersebut. Merekapun melemparnya ke laut dan kemudian ditelan bulat-bulat oleh seekor ikan dari dalam laut. Di dalam kegelapan perut ikan itu, beliau berdoa:

Tidak ada Ilah melainkan Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang dzalim.” (Al-Anbiya: 87)

Kemudian Allah Ta'ala memerintahkan ikan tersebut melemparkannya ke tanah yang tandus.  Nabi Yunus 'Alaihisalam keluar dari perut ikan seperti anak burung yang keluar dari sebutir telur, betul-betul dalam keadaan sangat lemah. Allah Ta'ala mengasihani beliau dengan menumbuhkan untuknya sebuah pohon dari jenis labu, dan menaunginya hingga menjadi kuat.

Setelah itu Allah Ta'ala memberi perintah kepadanya untuk kembali ke tengah-tengah kaumnya, supaya mengajari dan mendakwahi mereka. Dan sekarang penduduk negeri yang berjumlah lebih 100.000 orang itu menyambut seruan beliau. Mereka beriman kepadanya dan mendapat kesenangan sampai waktu yang telah ditentukan.

Pelajaran

1. Dalam kisah ini, Allah menegur Nabi Yunus 'Alaihisalam dengan cara yang halus. Dengan menahannya di dalam perut seekor ikan, sebagai kaffarah (tebusan atas kesalahan beliau) sekaligus tanda kekuasaan Allah yang sangat besar dan karamah (mukjizat) bagi Nabi Yunus 'Alaihisalam.

2. Termasuk nikmat pula dari Allah kepada beliau adalah diterimanya dakwah beliau oleh penduduk negerinya yang berjumlah lebih dari 100.000 orang. Dan besarnya jumlah pengikut, termasuk sebagian keutamaan mereka.

3. Bolehnya melakukan undian ketika menghadapi persoalan yang musykil, mengenai siapa yang berhak atau tidak terhadap suatu perkara, apabila tidak ada yang menguatkan salah satunya. Apa yang dilakukan penumpang kapal tersebut menunjukkan kaidah yang sudah dikenal, yaitu mengambil kemudharatan yang lebih ringan untuk menolak kerusakan yang lebih besar. Tentunya sudah jelas, melempar salah seorang penumpang ke laut sangat berbahaya, namun malapetaka yang akan menimpa seluruh penumpang jauh lebih besar bahayanya.

4. Seorang hamba apabila dia memiliki hubungan yang baik dengan Rabb-nya, di mana dia selalu beramal shalih ketika dia dalam keadaan senang, Allah Ta'ala tentu mensyukuri amalnya dan mengingatnya pula ketika dia dalam keadaan kesulitan, yakni dengan melepaskannya dari kesulitan itu atau meringankan keadaannya. Oleh karena itulah Allah I berfirman dalam kisah Nabi Yunus 'Alaihisalam ini:

Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah. Niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (Ash-Shaffat: 143-144)

Sabda Nabi Shallallahu'alaihiwasala:

Doa saudaraku Dzin Nun (Nabi Yunus). Tidaklah seorang yang dalam kesulitan, lalu berdoa dengan doa ini melainkan Allah akan lepaskan dia dari kesulitan itu, yaitu: ‘Tidak ada ilah melainkan Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang dzalim’.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai dari Sa’d bin Abi Waqqash radiyallahu'anhu)

5. Iman itu menyelamatkan pemiliknya dari ketakutan dan kesulitan sebagaimana Allah Ta'ala firmankan:

Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Al-Anbiya: 88)

"Kisah Nabi Yunus"
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar)
AsySyariah.com

Peradaban Muslim

by admin aluyeah
Peradaban Muslim | al-uyeah.blogspot.com
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

Kalian sungguh-sungguh akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka masuk ke lubang dhabb(1), niscaya kalian akan masuk pula ke dalamnya. Kami tanyakan: “Wahai Rasulullah, apakah mereka yang dimaksud itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau berkata: “Siapa lagi kalau bukan mereka?”

Hadits yang mulia di atas diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Ahaditsul Anbiya, bab Ma Dzukira ‘an Bani Israil (no. 3456) dan Kitab Al-I‘tisham bil Kitab was Sunnah, bab Qaulin Nabi Shallallahu'alaihiwasalam “Latattabi‘unna sanana man kana qablakum” (no. 7320) dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Al-‘Ilmi (no. 2669) dan diberi judul bab oleh Al-Imam An-Nawawi dalam kitab syarahnya terhadap Shahih Muslim, bab Ittiba‘u Sananil Yahudi wan Nashara.

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam juga bersabda yang senada dengan hadits di atas dalam hadits yang dibawakan oleh  Abu Hurairah radiyallahu'anhu:

“Tidak akan tegak hari kiamat sampai umatku mengambil jalan hidup umat sebelumnya sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Maka ditanyakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, seperti Persia dan Romawi?”(2) Beliau menjawab: “Siapa lagi dari manusia kalau bukan  mereka?” (HR. Al-Bukhari no. 7319)

Pengabaran Nabi Shallallahu'alaihiwasalam dalam dua hadits yang mulia di atas merupakan tanda dan bukti tentang kebenaran nubuwwah beliau Shallallahu'alaihiwasalam, serta  merupakan mukjizat beliau yang dzahir karena telah tampak dan telah terjadi apa yang beliau beritakan tersebut. (Syarah Shahih Muslim, 16/219, Kitabut Tauhid, hal. 26, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab)

Terlebih khusus lagi bila kita menyaksikan keadaan kaum muslimin di zaman kita ini, kebiasaan menyerupai dan meniru orang Barat yang notabene mereka itu adalah orang-orang kafir dari kalangan Yahudi dan Nashrani, merupakan fenomena yang biasa namun menyakitkan dan menyedihkan.

Sehingga dengan budaya penjajah ini, kalangan muda maupun orang-orang tua dari kaum muslimin seakan merasa minder dan rendah derajatnya bila tidak sama dengan gaya hidup, model dan budaya orang-orang kafir (peradaban kuffar). Sebaliknya, mereka merasa bangga dan sangat percaya diri bila mana mereka dapat “tampil sama” atau paling tidak sekedar mirip dengan orang-orang kafir.

Budaya “yang penting dari Barat” dan “asal sama dengan Barat” ini telah mencengkeram kehidupan kaum muslimin dari kalangan orang-orang metropolitan, merambah sampai ke pedesaan dan pedusunan yang terpencil bagaikan sebuah revolusi peradaban yang telah disiapkan oleh orang-orang kafir sehingga semua yang datang dari Barat mereka anggap baik dan diterima dengan penuh ketundukan. Ibaratnya mereka berkata sami’na wa atha’na  (kami mendengar dan kami taat), baik itu cara berpakaian, cara bergaul, cara makan, cara berbicara, gaya hidup dan sebagainya.

Budaya-budaya impor yang diobral orang-orang Barat lewat media massa baik di televisi yang merupakan da’i yang paling berhasil di sisi mereka ataupun lewat ekspos kehidupan artis-artis mereka yang laku keras diterima oleh kaum muslimin yang maghrur (tertipu) dan buta mata hatinya dari semua lapisan. Jangankan mereka yang dikatakan bodoh terhadap agamanya, orang yang dianggap tahu agama pun ikut jadi korban.

Berkata Sufyan Ibnu ‘Uyainah rahimahullah dan yang lainnya dari kalangan salaf: “Sungguh orang yang rusak dari kalangan ulama kita, karena penyerupaannya dengan Yahudi. Dan orang yang rusak dari kalangan ahli ibadah kita, karena penyerupaannya dengan Nashrani.” (Iqtidha’ Ash-Shirathil Mustaqim, hal. 23-23)

Gelombang badai yang besar ini menghantam segala apa yang ada di hadapannya dan membawa korban yang besar. Wallahu Al-Musta‘an wa ilallahi Al-Musytaka (Hanya kepada Allah kita meminta tolong dan mengadu).

Sungguh benar Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam ketika menyatakan umat beliau akan meniru dan menyerupai umat terdahulu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Karena saking ingin sama dan serupanya dengan peradaban kafirin, bila diibaratkan umat terdahulu masuk ke lubang dhabb yang sedemikian sempit maka umat ini pun akan masuk pula ke dalamnya. Nas’alullah As-Salamah wal ‘Afiyah (hanya kepada Allah kita memohon keselamatan).

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menyatakan: “Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu'alaihiwasalam mengkhususkan penyebutan lubang dhabb karena lubangnya sangat sempit. Namun bersamaan dengan itu umat beliau akan mengambil jejak umat terdahulu dan mengikuti jalan mereka, walaupun seandainya mereka masuk ke lubang yang sesempit itu niscaya umat ini akan tetap mengikutinya.” (Fathul Bari, 6/602)

Yang dimaksud dengan sejengkal, sehasta dan penyebutan lubang dhabb dalam hadits ini adalah untuk menggambarkan betapa semangatnya umat ini mencocoki umat terdahulu dalam penyelisihan dan maksiat, mencontoh mereka dalam segala sesuatu yang dilarang dan dicela oleh syariat. (Syarah Shahih Muslim, 16/219, Fathul Bari, 13/313)

Ibnu Baththal rahimahullah berkata: “Nabi Shallallahu'alaihiwasalam memberitahukan bahwa umat beliau akan mengikuti perkara-perkara baru (yang diada-adakan), bid’ah dan hawa nafsu sebagaimana terjadi pada umat-umat sebelum mereka. Beliau Shallallahu'alaihiwasalam telah memperingatkan hal ini dalam hadits yang banyak bahwasanya di akhir zaman akan ada kejelekan. Dan hari kiamat tidak akan datang kecuali pada sejelek-sejelek manusia dan agama ini hanya tetap tegak di sisi orang-orang yang khusus.”(3) (Fathul Bari, 13/314)

Dalam hadits Abu Said Al-Khudri radiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam menyebut Yahudi dan Nashrani, sedangkan dalam hadits Abu Hurairah radiyallahu'anhu, beliau Shallallahu'alaihiwasalam menyebut Persia dan Romawi. 

Karena memang Romawi identik dengan Nashrani, sementara di kalangan bangsa Persia ada orang Yahudi. Namun dimungkinkan pula Rasulullah memberikan jawaban sesuai dengan tempatnya, yakni dalam perkara yang berkaitan dengan hukum di antara manusia dan politik kemasyarakatan, umat ini akan mengikuti Persia dan Romawi. Sedangkan dalam perkara yang berkaitan dengan agama yang pokok maupun yang cabangnya, umat ini akan mencontoh Yahudi dan Nasrani. (Lihat Fathul Bari, 13/314)

1 Dhabb adalah hewan melata yang hidup di padang pasir, serupa dengan biawak.
2 Persia dengan raja mereka Kisra, dan Romawi dengan raja mereka Qaishar, merupakan dua bangsa yang terkenal (adi daya) di waktu itu. Dua negeri ini merupakan kerajaan terbesar di muka bumi, paling banyak penduduknya dan paling luas wilayahnya. (Fathul Bari, 13/313)
3 Mereka inilah yang dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam sabda beliau:

“Akan terus menerus ada sekelompok dari umatku yang mendzahirkan al-haq, tidak bermudharat bagi mereka orang yang  menyelisihi mereka hingga datang perkara Allah tabaraka wa ta‘ala, sementara mereka dalam keadaan demikian.” (HR. Al-Bukhari no.7459 dan Muslim no.1920)-pen.

"Islam Diantara Hantaman Badai Peradaban Kuffar"
ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
AsySyariah.com

Alam Semesta di Bawah Kekuasaan Allah

by admin aluyeah
Alam Semesta  di Bawah Kekuasaan Allah | al-uyeah.blogspot.com
Aisyah radiyallahu'anha bertanya kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, “Wahai Rasulullah, pernahkah engkau mengalami hari yang lebih pedih dari hari Perang Uhud?” Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam menjawab, “Aku sering mendapatkan (gangguan) dari kaummu. Yang paling menyakitkan adalah peristiwa Hari Aqabah, saat aku mengajak Ibnu Abdi Yalil bin Abdu Kulal masuk Islam namun ia tidak menyambut ajakan yang kuinginkan. 

Aku pun beranjak pergi dengan hati yang sedih. Tidaklah aku tersadar melainkan setelah tiba di Qarnu Tsa’alib(1). Aku tengadahkan kepalaku ke langit, tiba-tiba tampak segumpal awan menaungiku. Aku angkat kepalaku, ternyata Jibril berada di sana dan berseru kepadaku. 

Jibril berkata, ‘Sungguh Allah telah mendengar ucapan kaummu dan jawaban mereka terhadapmu. Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung kepadamu agar engkau memerintahnya sesuai dengan kehendakmu terhadap mereka (orang-orang kafir).’ 

Malaikat gunung kemudian berseru kepadaku serta mengucapkan salam, lalu berkata, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu. Aku adalah malaikat gunung yang telah diutus oleh Rabbmu kepadamu agar engkau memerintahkan kepadaku sesuai dengan perintahmu. (Wahai Muhammad,) apa yang engkau inginkan? 

Jika engkau menghendaki, aku akan menimpakan dua gunung itu kepada mereka(2)’.” Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam lalu menjawab, “Tidak. Aku justru berharap agar Allah mengeluarkan dari keturunan mereka orang-orang yang akan menyembah Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun.”

Abu Dzar al-Ghifari radiyallahu'anhu berkata:

Suatu hari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam bersabda, “Tahukah kalian ke mana matahari pergi?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda, “Sesungguhnya matahari ini berjalan hingga berada di bawah ‘Arsy, lalu ia tersungkur sujud kepada Allah. Dia terus dalam keadaan sujud hingga dikatakan kepadanya, ‘Naiklah engkau, kembalilah dari mana engkau datang!’ 

Matahari pun kembali, sehingga di waktu pagi dia terbit lagi dari tempat terbitnya. Kemudian ia berjalan hingga berakhir pada tempat menetapnya di bawah ‘Arsy, lalu bersujud dan tetap dalam keadaan demikian, sampai dikatakan kepadanya, ‘Naiklah, kembalilah dari mana engkau datang!’ 

Matahari pun kembali, sehingga di waktu pagi muncul dari tempat terbitnya. Kemudian ia berjalan lagi tanpa sedikit pun manusia menyadarinya, hingga berakhir pada tempat menetapnya itu di bawah ‘Arsy, lalu dikatakan kepadanya, ‘Naiklah, dan terbitlah engkau dari barat!’ 

Keesokan harinya, matahari terbit dari sebelah barat. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam melanjutkan, “Tahukah kalian, kapan itu terjadi? Itu terjadi di hari (yang difirmankan oleh Allah Ta'ala):

‘Tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau ia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya’.” (al-An’am: 158)

Takhrij Hadits Aisyah radiyallahu'anha dan Abu Dzar radiyallahu'anhu

Hadits Aisyah radiyallahu'anha muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam ash-Shahih, “Kitab Bad’il Khalq” (3/1180 no. 3059), dan “Kitab at-Tauhid bab firman Allahl” no. 6954.

Diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim rahimahullah dalam ash-Shahih, “Kitabul Jihad was Siyar” (3/1420 no. 1795).

Keduanya meriwayatkan hadits Aisyah radiyallahu'anha melalui jalan Abdullah bin Wahb bin Muslim al-Qurasyi, dari Yunus, dari Ibnu Syihab, dari Urwah bin az-Zubair, dari Aisyah radiyallahu'anha. Lafadz di atas adalah lafadz Muslim rahimahullah.

Adapun hadits Abu Dzar radiyallahu'anhu diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, “Kitab Bad’il Khalqi” no. 3199, juga beliau keluarkan di beberapa tempat dalam ash-Shahih, no. 4802, 4803, 7424, 7433.

Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim dalam Shahih-nya “Kitab al-Iman” (1/138 no.159) dan lafadz di atas adalah lafadz Muslim.

At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits ini dalam as-Sunan, “Kitabul Fitan” no. 2186 dan “Kitab Tafsir Al-Qur’an” no. 3227. Beliau berkata, “Ini adalah hadits yang hasan sahih.”

Abu Dawud juga meriwayatkannya dalam as-Sunan “Kitab al-Huruf wal Qira’at” no. 4002 dengan kisah yang berbeda, yaitu Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bertanya kepada Abu Dzar radiyallahu'anhu di saat beliau memboncengkannya di atas keledai.

Semua meriwayatkan hadits Abu Dzar radiyallahu'anhu melalui jalan Ibrahim bin Yazid bin Syarik Abu Asma’ al-Kufi, dari ayahnya Yazid bin Syarik bin Thariq at-Taimi al-Kufi, dari Abu Dzar al-Ghifari Jundub bin Junadah radiyallahu'anhu.

Semua perawinya tsiqah (tepercaya sekaligus kuat hafalannya), hanya saja Ibrahim seorang mudallis(3). Akan tetapi, sebagian sanad hadits menunjukkan bahwa Ibrahim mendengar langsung dari ayahnya.

Dalam sebagian riwayat Muslim, Abu Dzarz berkata,

Aku masuk masjid sementara Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam duduk. Ketika matahari terbenam beliau bersabda, “Wahai Abu Dzar, tahukah engkau ke manakah matahari pergi?” Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui.” Beliau Shallallahu'alaihiwasalam berkata, “Sesungguhnya ia pergi meminta izin untuk sujud, lalu diizinkan, seolah-olah dikatakan kepadanya, ‘Kembalilah engkau dari tempat kedatanganmu.’ Terbitlah matahari dari tempat tenggelamnya’.”

Perdebatan Seputar Hadits Abu Dzar radiyallahu'anhu

Penulis Tafsir al-Manar (Muhammad Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh) memberikan komentar terhadap hadits Abu Dzar radiyallahu'anhu tentang berjalannya matahari dan sujudnya kepada Allah Ta'ala di bawah ‘Arsy dengan komentar yang menyelisihi al-haq (kebenaran). Ia mengatakan bahwa matan (teks) hadits ini membingungkan. Di samping itu, menurutnya ada kelemahan dalam sanadnya.

Ia berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim melalui jalan dari Ibrahim bin Yazid bin Syarik at-Taimi dari Abu Dzar radiyallahu'anhu.”(4) Meskipun Ibrahim seorang yang tsiqah sebagaimana penilaian ahlul hadits, namun ia perawi yang mudallis.

Al-Imam Ahmad (wafat 241H) berkata, “Ia tidak berjumpa dengan Abu Dzar radiyallahu'anhu.”

Ad-Daruquthni (385 H) berkata, “Ia tidak mendengar dari Hafshah radiyallahu'anha tidak pula dari Aisyah radiyallahu'anha, bahkan ia tidak mendapati zaman keduanya.”

Ali bin al-Madini (234 H) berkata, “Ia tidak mendengar hadits dari Ibnu Umar radiyallahu'anhu, demikian pula dari Ibnu Abbas radiyallahu'anhu….”

(Dalam hadits ini, Ibrahim meriwayatkan dari Abu Dzar radiyallahu'anhu, yang dikatakan oleh al-Imam Ahmad bahwa Ibrahim tidak menjumpainya. Artinya, Ibrahim meriwayatkan dengan perantara, yang boleh jadi adalah orang yang tidak tsiqah, –pen.). Lihat Tafsir al-Manar (8/211—212).

Apa Jawabnya?

Terhadap hadits Abu Dzar radiyallahu'anhu tentang sujudnya matahari, demikian pula hadits Aisyah radiyallahu'anha tentang malaikat penjaga gunung dan hadits-hadits tentang urusan gaib yang semisal, bisa saja seseorang seenaknya berkomentar, “Hadits ini memang sahih sanadnya, tapi teksnya janggal. Susah bagi akal untuk mencernanya!”

Oleh sebagian kalangan, kalimat ini dianggap sah-sah saja, padahal kalimat ini sungguh merupakan ungkapan yang luar biasa berbisa. Dengan kalimat ini, hadits-hadits yang sahih diabaikan dan diingkari, walaupun disepakati kesahihannya oleh al-Bukhari dan Muslim.

Kita katakan kepada mereka, “Wahai para pemuja akal, apakah setiap hal yang tidak masuk akal berarti itu dusta dan mustahil? Kalau kaidah ini kalian terapkan dalam menyikapi hadits-hadits Rasul Shallallahu'alaihiwasalam, sungguh kalian akan menyimpang sejauh-jauhnya. Ingatkah kalian saat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam kembali dari perjalanan Isra’? Tidak genap satu malam Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam telah melintasi sahara dari Makkah ke Baitul Maqdis, yang seharusnya ditempuh dua bulan perjalanan kala itu. Bahkan, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam telah menembus tujuh lapis langit dan kembali lagi ke Makkah.

Berita besar ini disampaikan kepada penduduk Makkah sehingga terjadilah apa yang terjadi. Mereka bertepuk tangan, berjingkrak-jingkrak menertawakan berita Rasul Shallallahu'alaihiwasalam dan mengejeknya. Mereka anggap semua itu mustahil. Adapun Abu Bakr radiyallahu'anhu justru bertambah kokoh keimanannya, tidak sedikit pun bergeser dari iman hingga beliau beroleh gelar ash-Shiddiq.

Sejenak pena berhenti menanti jawaban para pengagum akal. Apakah mereka hendak mengikuti jalan musyrikin Quraisy dalam menyikapi berita Rasul Shallallahu'alaihiwasalam, atau jalan Abu Bakr ash-Shiddiq dan kaum mukminin? Sepertinya terlalu lama kita menanti jawaban mereka. Semoga Allah Ta'ala memberi hidayah kepada kita semua.

Menyangkut kritikan terhadap sanad al-Bukhari dan Muslim, kita katakan, “Penulis tafsir al-Manar seharusnya dengan teliti melihat kembali apa yang dibacanya, agar tidak terjatuh kepada kesalahan yang sangat fatal. Apalagi dilanjutkan dengan perkataannya, ‘Apabila hadits yang dikeluarkan al-Bukhari dan Muslim saja ada yang memiliki illat (cacat) seperti ini, bagaimana halnya dengan hadits yang tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim serta penulis kitab-kitab as-Sunan?’.” (Tafsir al-Manar)

Sanad hadits Abu Dzar radiyallahu'anhu yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim adalah Ibrahim bin Yazid at-Taimi, dari ayahnya Yazid bin Syarik at-Taimi, dari Abu Dzar radiyallahu'anhu. Sanad ini muttashil (bersambung) dengan rawi-rawi yang tsiqah. Keadaan Ibrahim sebagai seorang mudallis tidak membahayakan karena dalam sebagian sanad Muslim tampak bahwa Ibrahim mendengar dari ayahnya. Dengan demikian, tidak ada ‘illat dalam hadits Abu Dzar radiyallahu'anhu seperti tuduhan penulis Tafsir al-Manar. Walhamdulillah.

Mengimani Berita-Berita Gaib dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam

Saudaraku, semoga Allah Ta'ala merahmati Anda.

Alam semesta yang demikian besar menyimpan berjuta rahasia yang tidak mungkin disingkap oleh akal manusia. Hanya berita-berita gaib para rasul Allah Ta'ala yang mampu menembus rahasia itu, tentu saja dengan wahyu dari Allah Ta'ala. Allah Ta'ala berfirman:

“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.” (al-An’am: 75)

“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya. Maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (al-Jin: 26—27)

Seorang yang jujur dalam persaksian imannya niscaya selalu tunduk di hadapan sabda-sabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, baik berupa berita, perintah, maupun larangan. Ia akan selalu beribadah kepada Allah Ta'ala dengan tuntunan beliau Shallallahu'alaihiwasalam dan tidak beribadah dengan kebid’ahan. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam sanubarinya atau rasa berat hati terhadap keputusan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam yang sesungguhnya adalah wahyu dari Allah Ta'ala yang mutlak kebenarannya.

Di hadapan hadits Aisyah dan Abu Dzar radiyallahu'anhum, seseorang diuji, apakah ia beriman atau mengingkari berita-berita Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam? Seorang yang beriman tentu akan mengambil semua yang datang dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam.

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (al-Hasyr: 7)

Berbeda halnya dengan orang-orang yang menyimpan keraguan, berita-berita Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam akan mereka singkirkan atau sepelekan. Lebih-lebih jika kabar Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam tersebut menyelisihi hawa nafsunya, berbeda dengan kepentingannya, berseberangan dengan adat istiadatnya, atau berbeda dengan hasil penelitian dan olah pikir manusia. Di situlah akan semakin tampak siapa yang lebih mengutamakan hawa nafsunya daripada keimanan kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu'alaihiwasalam.

Sebelum berlarut, marilah kita kembali pada dua hadits yang mengawali pembahasan kita. Dalam hadits Aisyah radiyallahu'anha, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mengabarkan bahwa di antara malaikat-malaikat Allah Ta'ala ada yang ditugaskan sebagai penjaga gunung. Mereka adalah makhluk Allah Ta'ala yang sangat kuat. Dengan izin Allah Ta'ala mereka mampu membalikkan gunung dan menimpakannya kepada siapa saja yang Allah Ta'ala kehendaki. Semua itu dengan perintah Allah Ta'ala dan tidak lepas dari pengaturan-Nya.

Perhatikan kedatangan malaikat gunung kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Ia berkata kepada Rasul Shallallahu'alaihiwasalam bahwa Allah Ta'ala memerintahkannya untuk mendengar perintah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Jika beliau berkehendak, dua gunung akan dia timpakan kepada kaum musyrikin. Malaikat tersebut tidak serta-merta datang kepada Rasul Shallallahu'alaihiwasalam tanpa perintah Allah Ta'ala, atau tiba-tiba mengangkat gunung dan menimpakannya kepada manusia yang ingkar tanpa perintah dari-Nya. Sungguh, mereka adalah makhluk yang taat dan tidak sedikit pun bermaksiat kepada Allah Ta'ala.

“(Mereka malaikat-malaikat Allah) tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)

Subhanallah, gunung-gunung yang menjulang, Engkau tetapkan para penjaganya dari kalangan malaikat-malaikat-Mu yang senantiasa menanti perintah-Mu. Hadits Aisyah radiyallahu'anha menyingkap sebuah rahasia dari berjuta rahasia alam semesta.

Adapun hadits Abu Dzar al-Ghifari radiyallahu'anhu mengabarkan berita gaib lain dari keajaiban alam. Beliau Shallallahu'alaihiwasalam mengabarkan bahwa matahari yang berada di atas kita tidaklah diam. Ia terus berjalan, menuju satu tempat di bawah Arsy untuk bersujud kepada-Nya, menanti perintah serta izin-Nya untuk terbit dan tenggelam dari tempat biasanya ia terbit dan tenggelam.

Hingga datang satu masa di akhir zaman nanti, Allah Ta'ala, Rabbul ‘Alamin, tidak lagi mengizinkannya untuk terbit dari timur. Dia akan memerintahkannya terbit dari sebelah barat, tempat tenggelamnya. Itulah sebagian tanda Rabb yang dimaksud dalam firman Allah Ta'ala:

Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), kedatangan Rabbmu, atau kedatangan sebagian tanda-tanda Rabbmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabbmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, “Tunggulah olehmu, sesungguhnya kami pun menunggu (pula).” (al-An’am: 158)

Saat itulah, tidak akan bermanfaat iman seseorang yang baru beriman. Demikian pula, seorang yang baru bertaubat tidak diterima taubatnya, sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam :

“Sesungguhnya Allah Ta'ala membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk memberikan ampunan bagi mereka yang berdosa di siang hari dan Dia membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk mengampuni mereka yang berdosa di malam hari, hingga terbit matahari dari tempat tenggelamnya.”(5)

Hadits Abu Dzarz tegas menunjukkan batilnya perkataan bahwa matahari diam tidak berjalan. Teori manusia mengatakan matahari sebagai pusat tata surya itu diam, hanya berputar pada porosnya. Kekuatan daya tarik gravitasi yang dimilikinya mampu menarik sekian banyak planet termasuk bumi untuk mengitari dirinya. Adapun ia sendiri diam, tidak berjalan.

Saudaraku, anggapan bahwa matahari diam, tidak berjalan, dan hanya perputar pada porosnya, adalah teori manusia. 

Adapun seorang mukmin akan berkata sesuai dengan firman Allah Ta'ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu'alahiwasalam bahwa matahari berjalan menuju tempat di bawah ‘Arsy. Ia tidak diam di tempatnya, sebagaimana hal ini tampak dari pertanyaan Rasulullah Shallallahu'alahiwasalam  kepada para sahabatnya:

“Tahukah kalian, ke mana matahari ini pergi?”

Wahai Rabb kami, itu berita Rasul-Mu. Kami beriman dan tidak ada sedikit pun keraguan di hati kami.

“Wahai Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan, dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan-Mu).” (Ali Imran: 53)

Gunung, Matahari, dan Seluruh Alam di Bawah Kekuasaan serta Pengaturan Allah Ta'ala

Matahari berjalan secara teratur dengan perintah Allah Ta'ala. Dia berfirman:
“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Yasin: 38)

Gunung-gunung yang kokoh juga berada dalam perintah dan pengawasan Allah Ta'ala. Allah Ta'ala menetapkan para penjaga dari kalangan malaikat-Nya untuk menjalankan semua ketetapan dan perintah tersebut.

Demikian pula lautan serta segala apa yang di langit dan di bumi, mereka semua adalah makhluk Allah Ta'ala yang berada di bawah pengawasan dan pengaturan-Nya.
“Allah lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya, dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (al-Jatsiyah: 12—13)

Bumi tempat kita berpijak dan langit yang mengatapi kita, keduanya taat dan tunduk kepada Allah Ta'ala. Dia berfirman:
Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepada langit dan kepada bumi, “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan suka hati.” (Fushshilat: 10—11)

Gemuruhnya guntur juga tidak lepas dari perintah Allah Ta'ala.

Sekelompok Yahudi datang kepada Nabi Shallallahu'alahiwasalam , mereka bertanya, “Wahai Abul Qasim, kabarkan kepada kami tentang guntur, apa itu?” Nabi berkata, “Ada salah satu malaikat Allah Ta'ala yang diberi tanggung jawab atas awan. Ia membawa cemeti dari api yang dengannya ia menggiring awan ke arah yang dikehendaki oleh Allah.” Yahudi berkata, “Suara yang kita dengar, apakah itu?” Nabi berkata, “Itu hardikan malaikat saat menggiring awan menuju tempat yang Dia perintahkan.” (al-Hadits)(6)

Musibah Bukan Sekadar Fenomena Alam

Belum lepas dari ingatan kita berbagai musibah yang menimpa manusia di negeri ini: gempa bumi, tsunami, dan letusan berikut awan panas “wedus gembel” Merapi.

Hal yang tidak boleh lepas dari sanubari adalah keyakinan bahwa musibah itu tidak terjadi begitu saja tanpa perintah Allah Ta'ala. Merapi tidak serta-merta meletus tanpa perintah. Lempengan bumi pun tidak begitu saja bergerak tanpa kehendak Sang Pencipta. Demikian pula, air laut tidak begitu saja meluap menenggelamkan manusia tanpa perintah Allah, Rabbul ‘Alamin.

Alam semesta adalah makhluk Allah Ta'ala yang diatur dan diperintah. Allah Ta'ala yang memerintahkan air bah menenggelamkan kaum Nuh 'alaihisalam. Dia pula yang memerintahkan malaikat membalik bumi tempat kaum Luth tinggal. Dia juga yang memerintahkan Laut Merah memusnahkan Fir’aun beserta bala tentaranya. Inilah hakikat yang tidak boleh terlupakan dalam akidah seorang muslim.

Hendaknya manusia juga menyadari bahwa kerusakan tersebut sesungguhnya buah dari kezaliman manusia. Allah Ta'ala tidak zalim. Akan tetapi, manusialah yang menzalimi diri-diri mereka. Allah Ta'ala menimpakan semua itu agar manusia menyadari bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah Ta'ala yang lemah. Hamba yang harus segera kembali kepada Allah Ta'ala, bertaubat dari dosa dan kesalahannya. Demikian juga, agar mereka mengerti bahwa hanya Allah Ta'ala lah, Dzat yang berhak diibadahi.

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)

Sejenak kita buka sejarah kaum Nuh 'alaihisalam. Saat Allah Ta'ala menghendaki kebinasaan atas kaum durhaka, tidak ada satu pun usaha yang bermanfaat walaupun seseorang pergi ke atas gunung yang tinggi.

Dan Nuh berkata, “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.” Sesungguhnya Rabbku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedangkan anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menjagaku dari air bah!” Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah, selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya. Jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (Hud: 41—43)

Dialah yang Berhak Diibadahi

Jika alam semesta ini di bawah pengaturan Allah Ta'ala, semua tunduk kepada Allah Ta'ala, lantas pantaskah sesuatu selain Allah Ta'ala yang diibadahi? Tentu jawabannya tidak.

Dalam ayat-ayat Al-Qur’an, manusia sering diingatkan bahwa Allah l adalah satu-satunya Dzat yang mengatur alam semesta, menciptakan, dan memberi rezeki, agar mereka menyadari bahwa hanya Allah Ta'ala sajalah yang berhak untuk diibadahi. Tidak pantas manusia menyekutukan Allah Ta'ala dengan para makhluk-Nya ketika beribadah. Allah Ta'ala berfirman:

“Wahai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 21—22)

Dalam Al-Qur’an, Allah Ta'ala sering menampakkan kebatilan peribadatan kepada selain Allah Ta'ala dengan mengingatkan manusia bahwa sesembahan selain Allah Ta'ala adalah makhluk yang diatur, bukan yang mengatur; makhluk yang diciptakan dan tidak menciptakan. Makhluk yang demikian lemah dan fakir, apakah pantas diibadahi?

Katakanlah, “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai ilah/sesembahan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu andil pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.” (Saba’: 22)

Saat bencana menimpa, seharusnya manusia segera kembali kepada Allah Ta'ala, bertobat kepada-Nya, dan mentauhidkan-Nya, tidak justru semakin bergantung kepada selain Allah Ta'ala. Dengan ketakwaan, Allah Ta'ala akan menjadikan sebuah negeri sebagai negeri yang diberkahi oleh Allah Ta'ala. Jangan seperti negeri-negeri yang ingkar, yang membanggakan kecerdasan otaknya untuk menghadapi musibah. Alam bukan di tangan manusia tetapi di tangan Allah Ta'ala. Dialah yang memerintah, Dia pula yang memutuskan.

Belum lepas dari ingatan kita gempa bumi yang menimpa Kota Kobe (Jepang) di tahun 90-an. Tidak ada yang memungkiri kemajuan Jepang dalam teknologi. Mata dunia terbelalak dengan kehebatan Jepang dalam teknologi. Kobe sejatinya sudah dipersiapkan sebagai kota antigempa. Semua konstruksi bangunan disiapkan dengan canggih untuk menghadapi gempa hingga lebih dari 8 Skala Richter (8 SR). 

Tetapi itu hanya angan manusia belaka. Di hadapan kekuasaan Allah Ta'ala, tidak satu makhluk pun yang bisa menengadahkan kepalanya untuk sombong dan berbangga. Gempa dengan skala “hanya” lima koma sekian SR merayapi Kota Kobe. Dalam hitungan detik, tidak ada satu bangunan pun selamat. Gedung pencakar langit, jembatan layang, dan seluruh bangunan yang ada harus luluh lantak tertelan gempa.

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah selain orang-orang yang merugi.” (al-A’raf: 96—99)

Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami dan lindungilah kami dari akibat perbuatan jelek diri kami!
Amin, ya Rabbal ‘Alamin.

Catatan Kaki:

1 Qarnu ats-Tsa’alib adalah Qarnu al-Manazil, miqat bagi penduduk Najd untuk melakukan ibadah haji atau umrah. Jaraknya sekitar 94 km dari Makkah, saat ini dikenal dengan nama as-Sailul Kabir.
2 Dua gunung yang dimaksud adalah gunung Abu Qubais dan gunung yang di hadapannya.
3 Mudallis adalah orang yang menampakkan hadits yang terputus sanadnya seakan-akan bersambung.
4 Sanad yang benar adalah Ibrahim bin Yazid, dari ayahnya yakni Yazid, dari Abu Dzar al-Ghifari radiyallahu'anhu.
5 HR. Muslim “Kitabut Taubah” bab “Qabulut Taubati minadz Dzunub wa in Takarrarat adz-Dzunub wat Taubah (Bab Diterimanya Taubat Walaupun Dosa dan Taubatnya Terulang)” (4/2113 no. 2759) dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari radiyallahu'anhu.
6 HR. at-Tirmidzi (4/257 no. 5121) dari Abdullah bin Abbas radiyallahu'anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan sahih gharib.” Diriwayatkan pula oleh al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (1/274). Asy-Syaikh Ahmad Syakir t dalam tahqiq beliau mengatakan, “Sanad hadits ini sahih.” Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan tentang hadits ini, “Paling rendahnya, hadits ini berderajat hasan.” Lihat takhrijnya dalam ash-Shahihah (4/491–493).

"Alam Semesta di Bawah Kekuasaan Allah"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc
AsySyariah.com

We Are Muslim Designers Mamen

by admin aluyeah
We are Muslim Designers mamen | al-uyeah.blogspot.com
Sesungguhnya banyak sekali hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam dalam kitab-kitab yang shahih, baik itu Sunan ataupun musnad-musnad, mengenai haramnya membuat gambar (lukisan, foto dan ukiran) sesuatu yang bernyawa, entah itu (gambar) manusia atau bukan.

Didalam hadits-hatdis itu ada riwayat yang menceritakan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wasalam merobek tirai-tirai yang bergambar dan memerintahkan menghapus gambar-gambar. Disamping itu beliau melaknat tukang gambar dan menerangkan bahwa mereka termasuk orang-orang yang paling keras mendapat siksa di hari kiamat.

Disini saya (Syaikh Bin Baz) akan menyampaikan secara global hadits-hadits shohih mengenai permasalahan ini beserta keterangan ulamanya. Dan akan saya jelaskan mana yang benar, Insya ALLAH Ta’ala.

Dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda : ALLAH Ta’ala berfirman : Dan siapakah yang lebih dzalim dari mereka yang akan membuat satu ciptaan seperti ciptaan-Ku, maka hendaknya mereka menciptakan satu dzarrah, atau biji, atau gandum.” (Dalam Shahihain, lafadz Riwayat Muslim).

Dari Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda : “Sesungguhnya manusia yang paling keras disiksa di hari Kiamat adalah para tukang gambar (mereka yang meniru ciptaan Allah)”. (Shahihain – yakni dalam dua kitab Shahih Bukhari dan Muslim atau biasa disebut muttafaqun ‘alaihi, red)

Dari Ibnu Umar Radiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda : “Sesungguhnya orang yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa hari kiamat, dan dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkanlah apa yang telah kalian buat!’”. (Dalam Shahihain, lafadz Bukhari).

Dari Abu Juhaifah Radiyallahu ‘anhu : “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam telah melarang dari (memakan) hasil (jual beli) darah, anjing, usaha pelacuran, dan (beliau) telah melaknat pemakan riba, yang menyerahkannya, pembuat tato (gambar tubuh), yang meminta ditato serta tukang gambar.” (HR Bukhari).

Dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu : Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda : “Siapa yang membuat satu gambar di dunia, dia dibebani (disuruh) untuk meniupkan ruh pada gambar itu dan ia bukan peniupnya (tidak akan mampu meniup ruh untuk menghidupkan gambar tsb, red)”. (Muttafaqun ‘alaihi).

Dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu : “Semua tukang gambar di Neraka dan dijadikan baginya setiap yang digambarnya satu jiwa (ruh) yang menyiksanya di Jahannam. Ibnu Abbas berkata : “Jika kamu mesti mengerjakannya, maka buatlah (gambar) pohon-pohon dan apa-apa yang tidak bernyawa (roh).” (HR Muslim).

Dari Aisyah Radiyallahu ‘anha, ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam masuk menuju saya dan saya menutup bilik dengan tirai tipis bergambar (dalam riwayat lain : menggantungkan tirai tipis bergambar kuda bersayap…), maka ketika beliau melihatnya dia merobeknya dan dengan wajah merah padam, beliau bersabda : “Hai Aisyah, manusia yang paling keras disiksa di Hari Kiamat adalah mereka yang meniru ciptaan ALLAH.” Kata Aisyah : “Maka kami memotong-motongnya lalu menjadikannya satu atau dua bantal.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Dari Al Qasim bin Muhammad dari Aisyah, ia berkata : “Saya membeli sebuah bantal bergambar. Maka ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam melihatnya, beliau berdiri di pintu dan tidak masuk. Saya mengenal tanda kemarahan pada wajah beliau. Saya berkata “Ya Rasulullah, saya taubat kepada ALLAH dan RasulNya, apa dosa saya ?” Beliau bersabda : “Ada apa dengan bantal ini ?” Saya berkata : “Saya membelinya agar Anda duduk di atasnya dan menyandarinya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda : “Sesungguhnya pemilik (pembuat) gambar-gambar ini akan disiksa di hari Kiamat, dan dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkan apa yang telah kalian buat!’ Dan sabdanya lagi : Sesungguhnya rumah yang didalamnya ada gambar-gambar tidak akan dimasuki oleh malaikat.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda : “(Sesungguhnya kami para) Malikat tidak masuk rumah yang didalamnya ada anjing dan gambar” (HR Bukhari & Muslim, dengan lafadz Muslim). Dalam riwayat Ibnu Umar “(Sesungguhnya kami para) Malaikat tidak masuk rumah yang didalamnya ada anjing dan gambar.”.

Dari Zaid bin Khalid dari Abi Talhah secara marfu’ : “Malaikat tidak akan masuk rumah yang didalamnya ada anjing dan patung (gambar).” (HR Muslim).

Dari Abi al Hayyaj Al Asadi, ia berkata : Ali mengatakan pada saya : Maukah kamu saya utus kepada apa yang saya pernah diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam : yaitu “Jangan kau tinggalkan satu gambarpun, melainkan kamu hapuskan dia dan tidak ada satu kuburpun yang menonjol (dikejeng, red) melainkan kau ratakan dia.” (HR Muslim).

Dari Jabir Radiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam menyuruh Umar bin Khattab (waktu Fathu Mekkah) sedang beliau ketika itu di Bath-ha’ agar mendatangi Ka’bah dan menghapus semua gambar didalamnya dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam tidak masuk sampai semua gambar telah dihapus. (HR Ahmad, Abu Dawud, Al Baihaqi, Ibnu Hibban dan beliau mensahihkannya).

Dari Aisyah Radiyallahu ‘anha : “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam tidak pernah membiarkan dalam rumahnya sesuatu yang ada padanya SALIB-SALIB melainkan beliau mematahkannya. “ (HR Bukhari). Dan Al Kasymihani dengan lafadz “gambar-gambar”, dan Bukhari menerangkannya dengan bab Naqdhi Shuwar dan menguraikan hadits tersebut

Imam Nasa’I meriwayatkan dengan lafadz : “Jibril minta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam, beliau berkata : Masuklah. Kata Jibril : Bagaimana saya akan masuk sedangkan dalam rumah Anda ada tirai brgambar ? Maka jika Anda potong kepala-kepalanya, atau Anda jadikan hamparan yang dipijak (dihinakan setelah dipotong, red – barulah Jibril akan masuk). Karena sesungguhnya kami – para malaikat – tidak akan masuk ke rumah yang didalamnya ada gambar-gambar.” (HR Abdur Razaq, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan beliau mengatakan Hasan Shahih dan Ibnu Hibban mensahihkannya).

Dan masih banyak lagi hadits-hadits tentang masalah ini. Hadits-hadits ini adalah dalil yang nyata tentang haramnya membuat gambar sesuatu yang bernyawa dan termasuk dosa besar yang diancam dengan neraka bagi penggambarnya. Hadits ini menunjukkan keumuman segala jenis gambar, baik itu didinding, tirai, kemeja, kaca, kertas dan sebagainya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam tidak membedakannya, baik yang tiga dimensi atau selainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam melaknat pembuatnya dan mengabarkan paling keras disiksa di hari kiamat dan semuanya di Neraka.

Imam Al Hadifz Ibnu Hajar Al Atsqalani mengatakan : “Kata al Khaththabi : dan gambar yang menghalangi masuknya malaikat ke dalam rumah adalah gambar yang padanya terpenuhi hal-hal yang haram, yakni gambar-gambar yang makhluk yang bernyawa, yang tidak terpotong kepalanya atau tidak dihinakan. Dan bahwasanya dosa tukang gambar itu besar karena gambar-gambar itu ada yang diibadahi selain ALLAH, selain gambar itu mudah menimbulkan fitnah (bahaya) bagi yang memandangnya (gambar wanita, tokoh, ulama, red).”

Imam An Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim : “Sahabat kami dan para Ulama selain mereka mengatakan bahwa haramnya membuat gambar hewan adalah sekeras-keras pengharamaan. Ini termasuk dosa besar karena ancamannya juga amat besar, sama saja apakah dibuat untuk dihinakan atau tidak. Bahkan membuatnya jelas sekali haram karena meniru ciptaan ALLAH.

Sama saja apakah itu dilukis pada pakaian, permadani, mata uang, bejana, dinding atau lainnya. Adapun menggambar pepohonan dan sesuatu yang tidak bernyawa, tidak apa-apa. Inilah hakikat hukum menggambar.

Sedangkan gambar makhluq bernyawa, jika digantung / ditempel di dinding, di sorban dan tindakan yang tidak termasuk menghinakannya, maka jelas hal itu terlarang. Sebaliknya bila dibentangkan dan dipijak sebagai alas kaki atau sebagai sandaran (setelah dipotong kepalanya, red) maka tidaklah haram dan tidak ada bedanya apakah gambar tsb berjasad (punya bayangan/3 dimensi) atau tidak.

Ini adalah kesimpulan mahdzab kami dalam masalah ini yang semakna dengan perkataan jumhur Ulama dari kalangan Sahabat, Tabi’in, dan orang yang sesudah mereka (Tabi’ut Tabi’in). Ini juga pendapat Imam Ats Tsauri, Malik Bin Anas dan Abu Hanifah serta ulama lainnya.

Dalam hadits-hadits itu tampak jelas tidak ada perbedaan apakah yang diharamkan itu gambar tiga dimensi atau bukan, dilukis di atas kertas atau di tirai dan sebagainya. Bahkan tidak ada perbedaan apakah itu gambar tokoh, ulama atau pembesar.

Dari Aisyah Radiyallahu ‘anha ia berkata : “Saya biasa bermain boneka di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam dan saya punya beberapa orang teman yang bermain bersama saya. Maka jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam masuk, mereka menutupinya dari beliau lalu berjalan sembunyi-sembunyi dan bermain bersama saya.” (HR Bukhari Kitab Al Adab Bab Al Inbisaath ilaa an Naas, Fath 10/526 dan Muslim kitab Fadhail Ash Shahabah Bab fii Fadhail Aisyah, An Nawawi 15/203 dan 204).

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari tentang hadits ini “ Hadits ini dijadikan dalil bolehnya boneka dan mainan untuk bermain (mendidik) anak perempuan, dan sebagai pengkhususan dari keumuman larangan mengambil gambar. Iyadl juga menetapkan yang demikian dan ia menukil dari jumhur, bahwasanya mereka membolehkan boneka atau mainan ini untuk melatih dan mendidik anak-anak perempuan agar mengenal bagaimana mengatur rumah-tangga dan merawat anak-anak nantinya. Dan sebagian ulama menyatakan ini mansukh (telah dibatalkan). Ibnu Bathal cenderung pada pendapat ini dan ia menceritakan dari Abi Zaid dari Malik. Tetapi dari sini pula Ad-Daudy merajihkan bahwa hadits Aisyah (diatas) mansukh. Sedang Ibnu Hibban dan Nasa’I membolehkan namun tidak membatasi untuk anak-anak kecil walaupun padanya ada perbincangan.

Al Baihaqi mengatakan setelah mentakhrij hadits-hadits tersebut : Telah tsabit (tetap) larangan tentang mengambil gambar. Maka kemungkinan rukhsah bagi Aisyah terjadi sebelum pengharaman. Ibnul jauzi menetapkan yang demikian juga, sehingga beliau berkata : “Dan Abu Dawud dan An Nasa’I dari sisi lain dari Aisyah (ia berkata) : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam datang dari perang Tabuk (Khaibar) {lalu menyebut hadits beliau merobek tirai yang terpancang di pintunya{ Kemudia Aisyah melanjutkan, lalu beliau menyingkap sisi tirai di atas mainan Aisyah dan Beliau bersabda : “Apa ini hai Aisyah ?”. Saya menjawab :”Boneka perempuan saya”. Beliau melihat kuda-kudaan bersayap yang dalam keadaan terikat, lalu bersabda : “Apakah ini ?” Saya katakan : “Kuda bersayap dua. Tidakkah Anda mendengar bahwa Sulaiman ‘alaihis salam mempunyai kuda yang bersayap ? Beliaupun tertawa.”.

Al Khathabi berkata : Dalam hadits ini menunjukkan mainan untuk anak-anak perempuan tidaklah seperti semua gambar yang datang ancaman, hanya saja beliau memberikan keringanan bagi Aisyah karena pada waktu itu Aisyah belum dewasa.”

Al Hafidz berkata : Penetapan dengan dalil ini ada perbincangan, akan tetapi kemungkinannya adalah karena Aisyah waktu peristiwa perang Khaibar berusia 14 tahun dan waktu peristiwa perang Tabuk sudah baligh. Dengan demikian, ini menguatkan riwayat yang mengatakan hal itu terjadi pada peristiwa Khaibar dan mengumpulkannya dengan pendapat Al Khathabi.

(Syaikh Bin Baz) Oleh karena itu, jika hal ini telah dipagami, maka meninggalkan gambar-gambar (boneka) itu adalah lebih selamat karena padanya ada perkara yang meragukan. Mungkin penetapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bagi Asiyah itu sebelum munculnya perintah beliau untuk menghapus gambar-gambar.

Dengan begitu hadits Aisyah ini menjadi mansukh dengan datangnya larangan dan perintah penghapusan gambar itu, kecuali yang terpotong kepalanya atau dihinakan, sebagaimana madzab Al baihaqi, Ibnul Jauzi dan Ibnu Bathal.

Dan mungkin juga ini dikhususkan dari pelarangan itu (sebagaimana pendapat jumhur) untuk kemaslahatan pendidikan. Ini karena permainan itu merupakan bentuk penghinaan atas gambar (boneka). Jadi kemungkinan ini maka lebih aman untuk meninggalkannya, sebagaimana pengamalan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam dari Al Hasan bin Ali bin Abu Thalib Radiyallahu ‘anhu :” Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu.” (HR Ahmad 1/200, Disahihkan oleh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya terhadap Musnadz 3/169, Ath Thayalisi hal 163 no 1178 dan AL Albani mensahihkan dalam jamius Shaghir 3372 dan 3373, pent).

Demikian juga dalam hadits berikut ini dari Nu’man bin Basyir Radiyallahu ‘anhu secara marfu’ “ Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan diantara keduanya ada perkara-perkara sybhat yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka siapa yang menjaga diri dari syubhat, maka dia telah membersihkan Dien dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh kepada yang haram, seperti penggembala sedang menggembalakan ternaknya di sekitar tempat yang di pagar (terlarang), hampir-hampir ia terjatuh padanya.” (HR Bukhari dan Muslim)

(Dinukil dari Majalah Salafy, Edisi V/Dzulhijjah/1416/1996 Judul asli Fatwa Ulama tentang Hukum Gambar, oleh Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz bin Baz, mufti Saudi Arabia. Diterjemahkan oleh Ustadz Idral Harits.

"Dalil-Dalil Syar’i Tentang Gambar Makhluk Hidup"
Keterangan Syaikh Abdul Aziz Bin Baz
Salafy.or.id

Pintu Setan

by admin aluyeah
Pintu Setan | al-uyeah.blogspot.com
Sesuatu yang paling mulia pada manusia adalah hati. Karena sesungguhnya hatilah yang mengetahui Allah Ta'ala, yang beramal untuk-Nya, dan yang berusaha menuju kepada-Nya. Anggota badan hanya menjadi pengikut dan pembantu hati, layaknya seorang budak yang membantu raja. 

Barangsiapa mengetahui hakekat hatinya, ia akan mengetahui hakekat Rabb-Nya. Namun mayoritas manusia tidak mengetahui hati dan jiwanya.

Ketahuilah, bahwa hati, pada tabiat fitrahnya, mau menerima petunjuk. Tapi tetap ada syahwat dan hawa nafsu yang melekat padanya di mana hati juga akan cenderung kepadanya. Di sana, akan saling mengusir antara malaikat dan setan, terus berlangsung sampai hati itu membuka untuk salah satunya dan akhirnya menetap padanya. Sehingga pihak kedua tidak melewati hati itu kecuali sembunyi-sembunyi. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:

“Dari kejahatan bisikan-bisikan yang tersembunyi”.

Yaitu yang jika disebut Allah Ta'ala ia sembunyi, tapi kalau lalai ia merasa lega. Dan tidak ada yang mengusir setan dari hati kecuali dzikir kepada Allah Ta'ala. Setan tidak akan tentram bersama dzikir.

Ketahuilah, permisalan hati seperti sebuah benteng, sedang setan adalah musuh yang hendak memasuki benteng itu lalu menguasainya. Tidak mungkin benteng itu terjaga kecuali dengan menjaga pintu-pintunya. 

Dan orang yang tidak mengetahuinya tidak mungkin mampu menjaganya, begitu pula tidak mungkin menghalangi setan kecuali dengan mengetahui jalan masuknya.

Jalan-jalan masuk setan banyak jumlahnya, di antaranya hasad (dengki), ambisi duniawi, marah, syahwat, cinta berhias, kenyang, tamak, terburu-buru, cinta harta, fanatik madzhab, berpikir sesuatu yang tidak dicapai akal, buruk sangka dengan kaum muslimin, dan lain-lain.

Seyogyanya seorang manusia menjaga dirinya dari sesuatu yang akan menjadikan orang berprasangka buruk kepadanya. Untuk mengobati kerusakan-kerusakan ini adalah dengan menutup pintu-pintu setan tersebut dengan membersihkan hati dan sifat-sifat jelek itu sehingga dengan bersihnya hati dari sifat-sifat itu berarti setan-setan hanya bisa lewat, tidak bisa menetap padanya. Untuk menghalangi lewatnya cukup dengan berdzikir kepada Allah Ta'ala dan memenuhi hati dengan takwa.

Perumpamaan setan itu seperti anjing lapar yang mendekatimu. Kalau kamu tidak punya makanan dia akan pergi hanya diusir dengan kata-kata. Tapi kalau kamu punya makanan sedangkan dia lapar, dia tidak akan pergi hanya dengan ucapan. Begitupula hati yang tidak memiliki makanan untuk setan, setan itu akan pergi hanya dengan dzikir.

Sebaliknya hati yang dikalahkan oleh hawa nafsunya, dia menjadikan dzikir itu hanya sambilan sehingga tidak mapan di tengahnya. Maka setanlah yang akhirnya menetap di tengahnya.

Jika kamu ingin tahu kebenarannya, perhatikan yang demikian ini pada shalatmu. Lihatlah bagaimana setan mengajak bincang-bincang dengan hatimu di saat semacam ini, dengan mengingatkan pasar, penghasilan/ gaji , urusan dunia, dan lain-lain.

Wallahu ta’ala a’lam.

(Diterjemahkan dan diringkas dari Mukhtasar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah hal. 193-195 oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi)

Zodiak Pengantar Dosa Besar

by admin aluyeah
Zodiak Pengantar Kepada Dosa Besar | al-uyeah.blogspot.com
Dari Abdullah bin Abbas radiyallahu'anhum, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

“Barangsiapa mempelajari salah satu cabang ilmu nujum maka ia telah mempelajari salah satu cabang ilmu sihir. Semakin bertambah ilmu nujum yang dipelajarinya, semakin bertambah pula ilmu sihir yang dimilikinya.”

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata di dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (2/435), “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3905), Ibnu Majah (3726), Ahmad (1/227, 311), dan Al-Harbi di dalam Al-Gharib (5/195/1), dari jalan Ubaidullah bin Al-Akhnas, dari Al-Walid bin Abdillah, dari Yusuf bin Mahik, dari Ibnu Abbas radiyallahu'anhum, secara marfu’. Menurut saya, hadits ini sanadnya jayyid (bagus). Para perawi hadits ini seluruhnya tsiqat (terpercaya). Adapun Ubaidullah bin Al-Akhnas telah ditsiqahkan oleh Al-Imam Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Hibban. Hanya saja Ibnu Hibban menambahkan, ‘Banyak salahnya.’ Saya sendiri berpendapat, tambahan dari Ibnu Hibban ini jangan terlalu dianggap!”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (8/602).

Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata tentang hadits ini, “Hadits ini adalah hadits shahih. Para perawinya adalah perawi hadits shahih kecuali Al-Walid bin Abdillah, namun Yahya bin Ma’in telah mentsiqahkannya.” (Ash-Shahihul Musnad 1/536)

Hadits ini juga dishahihkan oleh Al-Imam An-Nawawi dan Adz-Dzahabi rahimahumallah.

Tentang Hadits Ini

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “(Di dalam hadits ini) dengan jelas Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam menyatakan bahwa ilmu nujum termasuk sihir. Sungguh Allah Ta'ala telah berfirman:

‘Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang’ (Thaha: 69).

Memang demikianlah kenyataannya. Fakta menunjukkan bahwa ahli nujum tidak akan selamat dunia akhirat.” (Majmu’ Al-Fatawa)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan menjelaskan, “Artinya, setiap kali dia menambah pelajaran tentang ilmu nujum maka semakin bertambahlah dosanya karena ia mempelajari cabang-cabang ilmu sihir. Sesungguhnya keyakinan dia bahwa bintang dapat memengaruhi peristiwa alam adalah keyakinan batil sebagaimana ilmu sihir.” (Fathul Majid hal. 534)

Hikmah Diciptakannya Bintang-Gemintang

Allah Ta'ala telah menjelaskan hikmah diciptakannya bintang-gemintang. Yaitu:

1. Sebagai petunjuk arah. 

Allah Ta'ala berfirman:

“Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk. Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 15-16)

Allah Ta'ala juga berfirman:

“Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Al-An’am: 97)

2. Bintang juga diciptakan untuk hiasan langit, sekaligus alat pelempar setan yang berusaha mencuri berita langit. 

Allah Ta'ala berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang.” (Ash-Shaffat: 6)

Allah Ta'ala berfirman:

Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan, serta Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.” (Al-Mulk: 5)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan sebuah atsar dari Al-Imam Qatadah rahimahullah secara ta’liq di dalam Shahih-nya. Al-Imam Qatadah mengatakan, “Allah Ta'ala menciptakan bintang-gemintang hanya untuk tiga tujuan. Sebagai hiasan yang memperindah langit, lemparan yang membakar setan (bagi yang berusaha mencuri berita langit), dan sebagai tanda penunjuk arah. Barangsiapa menambah dengan selain tiga hal (fungsi) ini maka dia telah salah langkah, menyia-nyiakan bagiannya, dan memaksakan diri untuk mengetahui sesuatu yang tidak ia miliki ilmunya.”

Pembagian Ilmu Nujum

Pertama adalah Ilmu At-Ta’tsir, yang terbagi menjadi tiga bagian:

1) Meyakini bintang sebagai pencipta kejadian, kebaikan dan keburukan. Keyakinan semacam ini termasuk syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Karena dia meyakini adanya pencipta selain Allah Ta'ala.

2) Menjadikan bintang sebagai alat untuk menerka ilmu ghaib seperti menentukan nasib seseorang, rezeki, dan jodohnya. Keyakinan semacam ini termasuk kekufuran, karena dia menganggap dirinya mengetahui hal ghaib. Padahal Allah Ta'ala berfirman:

Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (An-Naml: 65)

3) Meyakini bintang sebagai sebab. Artinya dia menisbatkan (menyandarkan) kebaikan atau keburukan yang telah terjadi pada gerakan bintang. Keyakinan semacam ini termasuk syirik asghar.

Jenis ilmu nujum inilah yang dimaksud oleh salafus shalih di dalam larangan mereka.

Diriwayatkan dari Thawus, dari Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu'anhum, beliau mengomentari orang-orang yang menulis huruf abjad dan mempelajari ilmu nujum, beliau berkata, “Menurutku orang-orang yang mempraktikkan hal itu tidak akan memperoleh bagian apa-apa di sisi Allah Ta'ala.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1020)

Maimun bin Mihran berkata, “Ada tiga hal yang harus kalian jauhi. Janganlah kalian mendebat pengingkar taqdir, janganlah membicarakan para sahabat Nabi Shallallahu'alaihiwasalam kecuali hanya kebaikan mereka, dan janganlah kalian mempelajari ilmu nujum.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1021)

Adapun jenis kedua dalam ilmu nujum adalah Ilmu At-Tasyir. Ilmu ini terbagi menjadi dua:

1) Mempelajari peredaran bintang untuk maslahat agama, seperti menentukan arah kiblat ketika shalat. Ilmu semacam ini boleh dipelajari bahkan terkadang harus dipelajari. Allah Ta'ala mengabarkan bahwa bintang-bintang merupakan petunjuk untuk mengetahui waktu dan arah jalan. Kalau seandainya bintang-bintang itu tidak ada tentu orang yang berada jauh dari Ka’bah tidak dapat mengetahui arah kiblat.

2) Mempelajari peredarannya untuk maslahat kehidupan dunia, misalnya dalam menentukan arah. Contohnya rasi bintang gubuk penceng yang berbentuk palang, maka bintang di ujung palang senantiasa menunjukkan arah selatan. Atau rasi bintang biduk yang berbentuk sendok, dua bintang di ujung selalu menunjukkan arah utara. Ilmu semacam ini boleh dipelajari untuk kemaslahatan kehidupan manusia. (Al-Qaulul Mufid, hal. 585-586)

Jenis ilmu nujum kedua inilah yang diperbolehkan oleh Salafus Shalih untuk dipelajari. Diriwayatkan dari ‘Umar bin Al-Khaththab radiyallahu'anhu bahwa beliau berkata, “Pelajarilah ilmu falak sekadar untuk mengetahui arah kiblat dan arah jalan. Tahanlah dirimu dari perkara selain itu.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1016)

Ibrahim An-Nakha’i rahimahullah berkata, “Tidak mengapa engkau mempelajari ilmu nujum hanya untuk sekadar mengetahui arah.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1017)

Abu Ishaq Al-Harbi rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada tiga macam. Ilmu duniawi ukhrawi, ilmu duniawi, dan ilmu bukan duniawi bukan juga ukhrawi. Adapun ilmu duniawi ukhrawi adalah ilmu Al-Qur’an, As-Sunnah, dan fiqih keduanya. Ilmu duniawi adalah ilmu kesehatan dan ilmu nujum. Sementara ilmu bukan duniawi bukan juga ukhrawi adalah ilmu syair dan menggelutinya.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi 1018)

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata dalam kitab Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (2/38), “Sebagian ahli ilmu mengingkari beberapa hal yang kami sebutkan tadi (ilmu nujum). Menurut mereka, tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui perkara ghaib dengan ilmu nujum. Tidak ada seorang pun yang dapat mengetahuinya dengan benar kecuali para nabi yang telah Allah Ta'ala beri keistimewaan dengan ilmu tentang perkara-perkara yang tidak dapat diketahui.”

Mereka berkata: ‘Tidak ada seorang pun sekarang ini yang berani mengaku mengetahui perkara ghaib kecuali orang jahil, kurang akal, pendusta, dan mengada-ada. Anggapan mereka bahwa tidak mungkin mengungkapkan perkaranya kecuali mayoritas waktu sudah cukup membuktikan kebohongan seluruh perkara yang katanya mereka ketahui itu.

Orang meramal dengan ilmu nujum sama seperti orang yang meramal ‘iyafah dan zajr(1). Sama dengan orang yang meramal dengan membaca garis-garis tangan dan tulang hewan. Sama dengan orang yang melakukan pengobatan dengan cara hipnotis, berkhidmat dengan jin, dan perkara-perkara sejenisnya yang tidak dapat diterima akal sehat serta tidak berdasarkan keterangan yang nyata.

Semua perkara tersebut tidak ada yang benar. Sebab, banyak sekali kesalahan dari hal-hal yang mereka ketahui tersebut. Disamping itu, dasarnya juga rusak. Sedikit dari banyak hal yang tidak mereka ketahui merupakan bukti nyata kebohongan seluruh ramalan dan perkiraan mereka itu. Tidak ada kebenaran mutlak melainkan kebenaran yang dibawa oleh para nabi.”

Perlu diketahui bahwa penggunaan istilah ilmu nujum di dalam bahasa Indonesia seringkali diartikan sebagai ilmu nujum jenis pertama. Yaitu jenis ilmu nujum yang dilarang di dalam syariat Islam.

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan Ilmu Nujum

Sebagian kalangan menisbahkan kedustaan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah tentang ilmu nujum. Mereka meyakini, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mampu memastikan usia bayi yang baru dilahirkan hanya dengan memerhatikan keadaan bulan pada hari itu. Dengan berpegang dengan tiga riwayat lemah bahkan palsu, mereka dengan lancang menyatakan bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pun menguasai ilmu nujum.

Di antara yang disebutkan adalah sebuah riwayat yang dibawakan oleh Al-Hakim dari Muhammad, cucu Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. Ia bercerita: Al-Imam Asy-Syafi’i di masa mudanya senang mempelajari ilmu nujum. Padahal Al-Imam Asy-Syafi’i jika mempelajari satu cabang ilmu pasti akan menjadi yang terbaik. Suatu hari beliau sedang duduk dan ada seorang wanita yang akan melahirkan. Setelah menghitung pergerakan bintang, Al-Imam Syafi’i berkata, “Dia akan melahirkan bayi perempuan yang matanya buta sebelah dan di kemaluannya ada tahi lalat berwarna hitam. Bayi ini akan berumur hanya sampai sekian hari.” Ternyata wanita itu melahirkan bayi dengan ciri-ciri yang telah disebutkan Al-Imam Asy-Syafi’i dan beberapa lama kemudian bayi itu meninggal. Tepat seperti yang disebutkan Al-Imam Asy-Syafi’i. Kemudian, Al-Imam Asy-Syafi’i bertekad tidak akan menggunakan ilmu nujum untuk selamanya.

Riwayat ini adalah satu dari tiga riwayat yang dinisbahkan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i. Perlu diketahui bahwa cucu Al-Imam Asy-Syafi’i yang bernama Muhammad tidak pernah sekali pun bertemu dengan Al-Imam Asy-Syafi’i. Sebagaimana dijelaskan secara panjang lebar oleh Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam Miftah Dar As-Sa’adah (3/250).

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengomentari riwayat-riwayat di atas dengan menyatakan, “Kami akan menjelaskan tentang cerita-cerita di atas disertai dengan keadaan sanadnya. Sehingga akan menjadi jelas bahwa penisbatan itu adalah sebuah kedustaan atas nama Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah.”

Yang benar dari Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah adalah sebuah riwayat dari Ar-Rabi’ bin Sulaiman, murid senior beliau, tentang penafsiran ayat:

“Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Al-An’am: 97)

Dan ayat:

“Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk. Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penujuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 15-16)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan, “Tanda-tanda itu adalah gunung-gunung yang mereka ketahui letak posisinya. Demikian juga matahari, bulan, dan bintang, dengan arah peredarannya. Serta jenis angin yang ciri-cirinya mereka ketahui untuk menunjukkan arah Baitullah Al-Haram.”

Tabir yang Harus Dikuak

Alasan paling kuat yang digunakan untuk membenarkan ilmu nujum adalah pernyataan mereka, “Kami telah mencoba dan meneliti pada beberapa anak yang diramalkan kehidupannya, ternyata kami menemukan kebenaran ramalan itu.”

Maka jawabannya, “Kalau seandainya yang kalian sampaikan cukup sebagai bukti kebenaran pendapat kalian, maka apakah bedanya antara pernyataan kalian dengan pernyataan orang lain, ‘Bukti kesalahan pernyataan kalian adalah percobaan dan penelitian kami pada beberapa anak yang diramalkan kehidupannya, ternyata ramalan itu tidak benar bahkan meleset seluruhnya’.” (Miftah Dar As-Sa’adah, Al-Imam Ibnul Qayyim t, 3/165 )

Alasan mereka yang lain adalah ilmu nujum pun dipelajari oleh Nabi Ibrahim 'alaihisalam. Allah Ta'ala berfirman:

Lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang. Kemudian ia berkata: “Sesungguhnya aku sakit.” (Ash-Shaffat: 88-89)

Maka jawabannya, “Hal ini adalah sebuah kedustaan atas nama Nabi Ibrahim 'alaihisalam. Dalam ayat di atas, Nabi Ibrahim 'alaihisalam tidak menghubungkan sakit beliau dengan keadaan bintang. Ayat di atas hanyalah menjelaskan Nabi Ibrahim 'alaihisalam ketika itu memandang bintang, setelah itu beliau menyatakan, ‘Saya sakit.’ Beliau melakukannya guna menyelamatkan diri dari kezaliman kaumnya. Lebih dari itu, tidak ada seorang pun yang butuh untuk memerhatikan bintang untuk mengetahui apakah dirinya sehat atau sakit. Karena sakit dapat dirasakan dan pasti diketahui oleh dirinya sendiri.” (Miftah Dar As-Sa’adah, Al-Imam Ibnul Qayyim, 3/166)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah telah mengupas secara panjang lebar tentang kebatilan ilmu nujum. Beliau mematahkan pelbagai dalih ahli nujum pada bagian terakhir dalam kitabnya yang berjudul Miftah Daris Sa’adah. Ulasan beliau itu sangat baik dan sangat bermanfaat.

Bahaya Ilmu Nujum Di Sekitar Kita

Melalui pembahasan ini maka kita dapat memberikan kesimpulan bahwa ilmu astrologi, horoskop, zodiak, ataupun shio, adalah ilmu yang dilarang secara syariat Islam. Astrologi adalah ilmu yang menghubungkan antara gerakan benda-benda tata surya (planet, bulan, dan matahari) dengan nasib manusia.

Dalam astrologi, horoskop adalah sebuah bagan atau diagram yang menggambarkan posisi matahari, bulan, planet-planet, aspek-aspek astrologis, dan sudut-sudut sensitif pada saat kelahiran seorang anak. Kata horoskop berasal dari bahasa Yunani yang berarti mengamati waktu. Kata horoskop digunakan sebagai metode ramalan mengenai peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan waktu-waktu tertentu yang digambarkan dalam dasar-dasar astrologis.

Dalam penggunaan sehari-hari, horoskop seringkali dihubungkan dengan penafsiran ahli astrologi yang biasanya dilakukan melalui sistem lambang-lambang astrologi. Dalam berbagai majalah dan surat kabar, kita dapat menemukan kolom atau artikel yang memuat ramalan-ramalan yang didasarkan pada posisi matahari dalam kaitannya dengan hari kelahiran seseorang.

Horoskop dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengamatan posisi bintang-bintang pada waktu tertentu, seperti pada hari lahir seseorang dengan tujuan meramalkan masa depannya. Sebagai contoh zodiak horoskop adalah Capricornus (Kambing Laut). Bintang ini diberikan kepada orang yang dilahirkan antara 21 Januari sampai dengan 16 Februari. Demikian juga bintang Scorpius (Kalajengking) yang diberikan kepada orang dengan tanggal kelahiran antara 23 November sampai dengan 18 Desember.

Shio adalah zodiak Tionghoa yang memakai hewan-hewan untuk melambangkan tahun, bulan, dan waktu dalam astrologi Tionghoa. Setiap individu diasosiasikan dengan satu shio sesuai dengan tanggal kelahirannya. Sebagai contoh adalah shio Kerbau. Orang dengan shio kerbau diyakini memiliki sifat cenderung keras kepala, pekerja keras, jujur, dan agak pemarah.


Khatimah

Setelah dipaparkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dilengkapi keterangan ulama maka tidaklah pantas seorang muslim mempelajari atau meyakini kebenaran ilmu astrologi, horoskop, zodiak, ataupun shio. Ingatlah selalu firman Allah Ta'ala tentang ciri orang beriman:

Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara mereka ialah ucapan “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (An-Nur: 51)

Apa yang mereka sebutkan tentang ilmu-ilmu tersebut hanyalah kedustaan yang dibangun di atas kedustaan pula. Supaya kaum muslimin jauh dari sikap tawakkal dan tsiqah (percaya penuh) kepada Allah Ta'ala. Untuk meruntuhkan tauhid sebagai fondasi ibadah seorang hamba.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berdialog dengan sekelompok ahli nujum di Damaskus. Beliau menjelaskan kerusakan perbuatan mereka dengan dalil-dalil ‘aqli yang kebenarannya diakui oleh mereka sendiri. Salah satu pemuka ahli nujum di antara mereka berkata kepada Syaikhul Islam, “Demi Allah, sesungguhnya kami membuat seratus kedustaan dengan harapan ada kebenaran pada salah satunya.” (Al-Fatawa Al-Kubra)

Wallahu a’lam.

1 ‘Iyafah dan zajr adalah meramal nasib baik atau nasib buruk dengan menerbangkan burung. Bila burung terbang ke kanan maka baik, jika ke kiri maka buruk.

"Menyorot Ilmu Nujum"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar
AsySyariah.com