Manusia Terjelek

by admin aluyeah
Manusia Terjelek | al-uyeah.blogspot.com
Dakwah para rasul adalah dakwah kepada tauhid, menyeru umat untuk beribadah hanya kepada Allah Ta'ala dan melarang mereka dari kesyirikan. Allah Ta'ala berfirman:

Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu.” (an-Nahl: 36)

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasanya, “Tidak ada sesembahan yang haq melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian.” (al-Anbiya: 25)

Inilah manhaj para rasul, mengajak untuk beribadah kepada Allah Ta'ala saja dan meninggalkan peribadatan kepada selain Allah Ta'ala.

Nabi Muhammad Shallallahu'alaihiwasalam telah menjaga umatnya dari kesyirikan dengan berbagai upaya yang beliau lakukan. Buktinya adalah firman Allah Ta'ala:

“Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at-Taubah: 128)

Beliau menyeru umatnya untuk meninggalkan dan menjauhi kesyirikan. Bahkan, beliau Shallallahu'alaihiwasalam menghancurkan patung-patung ketika Fathu Makkah dan mengutus para sahabatnya untuk menghancurkan berhala-berhala yang dijadikan sesembahan selain Allah Ta'ala.

Di antara hal yang juga beliau ingatkan untuk dijauhi oleh umatnya adalah ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang saleh dan mengagungkan kubur mereka.

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam menyatakan bahwa para penyembah kuburan adalah orang-orang terjelek. Ketika Ummu Salamah radiyallahu'anha menceritakan perbuatan kaum Nasrani yang beliau lihat di Habasyah, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berkata:

أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ

“Mereka itu, jika ada orang saleh (meninggal) di antara mereka, mereka membangun masjid di atas kuburnya dan membuat gambarnya. Mereka adalah orang-orang terjelek di sisi Allah Ta'ala.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menerangkan, “Maksud ucapan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam ini adalah peringatan agar perbuatan mereka tidak diikuti. Namun, ada dari umat ini yang terjatuh dalam perbuatan tersebut. Yang paling banyak melakukannya adalah Syiah Rafidhah yang ghuluw terhadap ahlul bait.” (Syarah Kitabut Tauhid, hlm. 105)

Lima hari menjelang wafat, beliau Shallallahu'alaihiwasalam berkata:

أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ، أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ

“Ketahuilah, orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan para nabi dan orang saleh sebagai masjid. Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid karena aku melarang dari hal tersebut.” (HR. Muslim)

Bahkan, ketika sedang sakaratul maut, beliau Shallallahu'alaihiwasalam berkata:

لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ؛ يُحَذِّرُ مَا صَنَعُوا

“Laknat Allah atas Yahudi dan Nasrani karena mereka telah menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai masjid. Beliau memperingatkan (agar jangan sampai meniru) perbuatan mereka….” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Haram Menjadikan Kuburan sebagai Masjid

Dari penjelasan di atas bisa kita simpulkan bahwa menjadikan kuburan sebagai masjid adalah haram. Asy-Syaikh Muhammad al-Imam mengatakan, “Dalil-dalil masalah ini banyak dan kami cukup menyebutkan sebagiannya. Nash-nash tersebut mengandung banyak hal penting:

1. Menjadikan kuburan nabi dan orang saleh adalah tuntunan/perbuatan Yahudi dan Nasrani. Barang siapa melakukannya berarti dia telah menghidupkan perbuatan mereka.

2. Orang yang menjadikan kuburan para nabi dan orang saleh sebagai masjid telah terjatuh ke dalam laknat, padahal Allah Ta'ala berfirman:

“Barang siapa yang dilaknat (dikutuki) Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.” (an-Nisa: 52)

3. Orang yang menjadikan kuburan para nabi dan orang saleh sebagai masjid tergolong orang-orang terjelek di dunia dan akhirat.

Makna menjadikan kuburan sebagai masjid adalah:

1. Membangun bangunan masjid di atasnya.

2. Melakukan shalat dan ibadah lainnya di kuburan walaupun tidak membangun bangunan masjid di atasnya.

3. Memasukkan kuburan ke dalam bangunan masjid. (Lihat Tahdzirul Muslimin minal ghuluw fi Qubur ash-Shalihin, hlm. 61—65)

Ghuluw terhadap Kuburan Orang Saleh adalah Pangkal Kesyirikan

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan bahwa kesyirikan bani Adam kebanyakan muncul dari dua hal pokok. Yang pertama adalah mengagungkan kuburan orang saleh, membuat gambar dan patung mereka untuk tabaruk (mencari barakah). Inilah sebab pertama yang dengannya manusia melakukan kebid’ahan dan ini adalah syirik kaum Nuh 'alaihisalam.

Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Adalah sangat penting agar seorang muslim mengetahui bagaimana awal munculnya kesyirikan pada kaum mukminin setelah mereka menjadi muwahidin.”

Telah teriwayatkan dari sejumlah salaf riwayat yang banyak dari tafsir firman Allah Ta'ala:

Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (Nuh: 23)

Kelima nama tersebut adalah hamba-hamba yang saleh. Ketika mereka meninggal, setan pun memberikan wangsit kepada kaum mereka untuk beri’tikaf di kubur-kubur mereka. Kemudian setan memberikan wangsit kepada generasi setelah mereka untuk membuat patungnya. Lalu setan memberikan wangsit kepada generasi ketiga untuk menyembah mereka. (Disarikan dari Tahdzirus Sajid hlm. 150)

Asy-Syaikh Muhammad al-Imam rahimahullah mengatakan, “Penetapan bahwa pangkal kesyirikan adalah penyembahan kubur tidak diperselisihkan. Seseorang yang menelaah sejarah manusia sejak peristiwa penyembahan kubur yang dilakukan kaum Nuh 'alaihisalam hingga diutusnya Nabi kita Muhammad Shallallahu'alaihiwasalam, akan mendapati bahwa penyembahan kubur adalah dasar kesyirikan. Inilah sejarah singkat penyembahan kubur yang dilakukan manusia setelah kaum Nuh 'alaihisalam.

1. Falasifah (ahli filsafat)
Ar-Razi menyatakan, jika murid-murid Aristoteles tertimpa musibah, mereka mendatangi kuburnya untuk meminta “bantuan”.

2. Hindu
Mereka mengklaim bahwa di India ada kubur Adam, istri dan ibu Adam. Semua kuburan tersebut disembah dengan dilakukan thawaf di sana dan diusap-usap. Alangkah bodohnya mereka. Dari mana datangnya ibu Adam?

3. Orang-orang Budha
Mereka menyembah Budha. Makna Budha menurut mereka adalah orang alim.

4. Yahudi dan Nasrani
Banyak hadits Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam yang menyebutkan bahwa Yahudi dan Nasrani menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.

5. Bangsa Arab
Orang Arab di masa jahiliah menyembah patung. Ini adalah kenyataan yang sudah diketahui. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa mereka menyembah kubur adalah hadits Buraidah dalam Shahih Muslim, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berkata:

نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا

“Dulu aku melarang kalian berziarah kubur sekarang berziarahlah kalian.”

Para ulama memberikan alasan bahwa larangan berziarah kubur di awal-awal Islam karena dikhawatirkan kaum muslimin akan terpengaruh dengan kebiasaan jahiliah menyembah kubur dan untuk menutup jalan kejelekan. Ketika disyariatkan ziarah kubur, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berkata:

وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا

“Dan janganlah kalian berkata hujra.”

Yakni, jangan kalian mengucapkan ucapan kotor/keji, dan ucapan yang paling keji adalah ucapan syirik kepada Allah Ta'ala.

Asy-Syaikh Muhammad al-Imam berkata, “Para penyembah kubur di tengah-tengah kaum muslimin adalah pewaris agama-agama terdahulu yang telah disebutkan. Inilah balasan bagi orang yang tidak mengambil bimbingan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam.” (Disadur dari Tahdzirul Muslimin hlm. 14—15)

"Dakwah Kubur Perusak Umat"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak
AsySyariah.com

Berlebihan Kepada Orang Shalih

by admin aluyeah
Berlebihan Kepada Orang Shalih | al-uyeah.blogspot.com
Berlebih-lebihan dalam segala hal tentu tak membawa manfaat apa pun. Demikian juga dengan berlebih-lebihan (ghuluw) dalam menjalankan agama ini. Meski dilandasi dengan niat yang baik sekalipun, sikap ghuluw tak lain hanya akan membawa kita menuju kesesatan.

Manusia dengan tabiatnya memang suka tampil beda (eksklusif). Untuk mencapai keinginannya ini, biasanya ia akan berusaha mencari segala cara, tanpa memerhatikan apakah hal itu benar atau salah. 

Sehingga teramat wajar kalau manusia cenderung suka untuk dikatakan sebagai yang paling bagus, paling hebat, paling alim, dan berbagai macam kata yang memakai kata “paling”. Tabiat seperti inilah yang sering menjebak mereka sehingga terjatuh ke dalam sikap berlebih-lebihan (ghuluw) di satu sisi dan sikap meremehkan (tafrith) di sisi lain.

Ketika mereka bersikap demikian, terbukalah jalan menuju kesesatan, kekufuran, dan kesyirikan. Inilah awal penyebab kesyirikan kaum Nabi Nuh 'alaihisalam yaitu berlebih-lebihan dalam memosisikan seseorang yang menurut mereka memiliki kedudukan di sisi Allah Ta'ala.

Sikap berlebihan atau ghuluw seringkali menjadi alasan untuk menolak sebuah kebenaran. Bahkan tidak hanya sekadar menolak, namun menentang kebenaran tersebut. Ghuluw terkadang dijadikan batu loncatan untuk mencapai sebuah kedudukan dan pamor. 

Seringkali ghuluw dijadikan sebagai jerat pengikat hati antara sang guru dan murid untuk kemudian dijadikan jaring yang secara laten merusak keyakinan dan agamanya. Sang murid menjadi orang yang tunduk di hadapannya, atau tunduk di hadapan sebuah pohon, batu, makam-makam, tempat-tempat keramat, dan lainnya. Inilah bentuk ghuluw di dalam akidah.

Dari masjid, mushalla, atau tempat-tempat berkumpulnya kaum muslimin lainnya, kita dapat menyaksikan dan mendengar bentuk ibadah yang bermacam-macam. Juga zikir dengan suara dan nada yang beraneka ragam, seakan-akan masjid dan langgar-langgar tersebut syarat dengan ibadah. 

Namun bila kita memerhatikan ajaran Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, ternyata berbagai corak ibadah tersebut tidak dikenal atau tidak pernah diajarkan oleh beliau Shallallahu'alaihiwasalam. Lalu dari mana asal semua itu? Inilah bentuk ghuluw dalam ibadah. Begitulah seterusnya, tidak ada satu pun dari sendi-sendi agama kecuali dimasuki oleh sikap ghuluw ini. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam memperingatkan di dalam sabdanya:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ

“Berhati-hatilah kalian dari sifat berlebih-lebihan di dalam agama.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan lainnya dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas c)

Ghuluw dalam Pandangan Agama

Sikap berlebih-lebihan (ghuluw) merupakan perbuatan yang dibenci agama. Sikap ghuluw merupakan salah satu ciri agama jahiliah dan merupakan asas kesesatan orang-orang Nasrani. Oleh karena itu, Allah Ta'ala menerangkan kebencian-Nya terhadap perbuatan ghuluw di dua tempat di dalam Al-Qur’an, agar umat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam tidak terjatuh dalam perbuatan tersebut, utamanya dalam menyikapi diri beliau Shallallahu'alaihiwasalam. Begitu juga Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam banyak kesempatan—bahkan ketika di akhir hayat—dengan tegas mengingatkan umatnya dari hal tersebut. Apakah sebenarnya ghuluw itu? Bagaimanakah dampak negatifnya dalam kehidupan?

Ghuluw secara bahasa artinya melampaui batas. Sedangkan menurut syariat, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (Iqtidha ash-Shirathil Mustaqim, 1/289) mendefinisikannya: “Melampaui batas dalam memuji dan mencerca, dengan cara menambahkan apa yang tidak sepantasnya.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah (al-Qaulul Mufid, 1/466) memberikan definisi yang semakna dengan apa yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, secara syariat ghuluw berarti berlebihan dalam mengangkat seseorang lebih dari kedudukan yang sepantasnya, seperti mengangkat seorang nabi atau orang-orang saleh ke martabat rububiyyah dan uluhiyyah (ketuhanan). (Syarah Masail al-Jahiliah, hlm. 85)

Ghuluw dengan makna di atas telah dijelaskan oleh Allah Ta'ala pada dua tempat:

Pertama, Allah Ta'ala berfirman:

“Wahai sekalian ahli kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian dan janganlah kalian mengucapkan atas nama Allah melainkan yang benar.” (an-Nisa’: 171)

Kedua, Allah Ta'ala berfirman:

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Wahai ahli kitab, janganlah kalian melampaui batas di dalam agama kalian dengan cara tidak benar’.” (al-Maidah: 77)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam syarahnya terhadap Kitab at-Tauhid mengatakan, “Sekalipun yang diajak berbicara oleh Allah Ta'ala adalah ahli kitab, namun arahannya umum untuk setiap umat sebagai suatu bentuk peringatan dari sifat ghuluw, sebagaimana perbuatan Nasrani terhadap Nabi ‘Isa 'alaihisalam dan perbuatan orang Yahudi terhadap ‘Uzair.” (Fathul Majid, 1/371)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah Ta'ala melarang ahli kitab dari ghuluw dan kultus individu. Hal ini banyak terjadi di kalangan Nasrani yang melampaui batas terhadap diri ‘Isa 'alaihisalam, sehingga mereka mengangkatnya lebih dari martabat yang telah diberikan oleh Allah Ta'ala pada diri beliau. Mereka memosisikan beliau dari kedudukannya sebagai seorang nabi menjadi sesembahan yang mereka sembah selain Allah Ta'ala. Bahkan, mereka juga berlebih-lebihan dalam menyikapi para pengikut Nabi Isa 'alaihisalam (di antaranya para pendeta) yang mereka meyakini pada diri para pengikut tersebut, kesucian dari dosa. Mereka mengikuti setiap apa yang dipetuahkan oleh (para pendetanya), baik itu benar ataupun salah, kesesatan ataupun petunjuk, benar ataupun dusta. Oleh karena itu, Allah Ta'ala mengatakan, ‘Mereka menjadikan ulama-ulama dan pendeta-pendeta tersebut sebagai sesembahan-sesembahan selain Allah’.” [an-Nisa: 171] (Tafsir Ibnu Katsir, 1/603)

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 179) mengatakan hal yang semakna dengan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang berkata, “Barang siapa dari umat ini yang menyerupai Yahudi dan Nasrani, serta dia berlebih-lebihan di dalam agama baik dengan cara menambah maupun mengurangi, maka dia telah sama seperti mereka.” (Minhaj as-Sunnah, 1/28, Majmu’ Fatawa, 3/370—394)

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah juga mengatakan, “Barang siapa berlebih-lebihan dalam menyikapi seorang makhluk sehingga menjadikannya memiliki kekuasaan tunggal dalam mengatur dan sebagainya, maka sesungguhnya dia telah menyamakannya dengan Rabbul ‘alamin. 

Hal itu termasuk sebesar-besar dosa syirik, karena hak-hak itu ada tiga:

1. Hak yang hanya khusus bagi Allah Ta'ala dan tidak ada seorang pun yang menyamai-Nya dalam hak ini. Itulah hak peribadatan hanya kepada-Nya semata dan tidak kepada selain-Nya, baik dengan cinta, bertaubat, takut, berharap dsb.

2. Hak yang khusus bagi rasul-rasul-Nya, yaitu memuliakan mereka, melaksanakan hak-hak mereka, dan sebagainya.

3. Hak yang dimiliki bersama, yaitu hak beriman kepada Allah Ta'ala dan beriman kepada rasul Allah Ta'ala. Cinta kepada Allah  Ta'ala dan cinta kepada rasul-Nya, menaati Allah Ta'ala dan menaati rasul-Nya. Namun pada asalnya hak ini terkait dengan Allah Ta'ala. Adapun kepada rasul-Nya hanya sebatas mengikuti hak Allah Ta'ala.” (al-Qaulus Sadid, hlm. 73)

Dari dua ayat di atas, jelaslah bahwa ghuluw dalam beragama, menyikapi sesuatu atau seorang yang alim dengan cara berlebihan sehingga meletakkannya pada martabat lebih dari kedudukannya sebagai manusia, merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu'alaihiwasalam. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda dalam sebuah hadits dari ‘Umar ibnul Khaththab radiyallahu'anhu:

لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى بْنِ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani memuji ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku adalah seorang hamba, maka katakanlah: hamba Allah dan rasul-Nya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3445 dan 6830, Muslim no. 1691, at-Tirmidzi no. 284)

Makna dari hadits ini: “Janganlah kalian memujiku sehingga kalian berlebih-lebihan terhadapku, sebagaimana kaum Nasrani berlebih-lebihan terhadap ‘Isa 'alaihisalam yang pada akhirnya mereka mengakui adanya hak peribadatan bagi ‘Isa bin Maryam. Aku ini tidak lebih dari seorang hamba Allah Ta'ala. Maka sifatilah diriku sebagaimana Rabb-ku mensifatiku. Katakanlah: hamba Allah dan rasul-Nya.”

Namun orang-orang musyrik (di masa kita ini) enggan dan selalu menyelisihi beliau Shallallahu'alaihiwasalam terhadap hal-hal yang dilarangnya. Mereka menentang beliau dengan penyelisihan yang besar. Mereka menyerupai orang Nasrani dalam sifat ghuluw mereka berikut kesyirikannya. Mereka terjatuh pada perkara yang jelas-jelas dilarang. Mereka menampakkan sikap ghuluw terhadap beliau Shallallahu'alaihiwasalam dan menampakkan kesyirikannya, seperti dalam lantunan bait-bait syair mereka.

Siapa yang tidak mengenal al-Bushiri dan ucapan kufurnya dalam qashidah-nya al-Burdah ketika (dia seolah) mengajak berbicara kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam:

Wahai semulia-mulia makhluk        
Siapa lagi tempat aku berlindung selainmu
Ketika terjadinya malapetaka yang menyeluruh
Jika engkau tidak menyelamatkan tanganku pada hari kiamat
Sebagai keutamaan darimu maka katakanlah, wahai orang yang tergelincir kakinya
sesungguhnya termasuk dari kedermawananmu adalah dunia dan akhirat
Dan termasuk ilmumu adalah ilmu al-Lauh (catatan takdir) dan al-Qalam (pena penulis takdir)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sikap berlebih-lebihan mereka melebihi orang Nasrani. Orang Nasrani mengatakan, ‘Isa adalah anak Allah’ dan ‘Sesungguhnya Allah adalah yang ketiga dari yang tiga’.” (al-Qaulul Mufid, 1/81)

Demikianlah setan menampakkan kesyirikan yang besar di hadapan mereka sebagai bentuk cinta kepada Rasul Shallallahu'alaihiwasalam dan pengagungan kepadanya, serta menampakkan ketauhidan dan keikhlasan (seolah-olah) sebagai bentuk mengurangi serta meremehkan beliau.” (Fathul Majid, 1/381)

Di dalam hadits dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu'anhum, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَاْلغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ

“Hati-hatilah kalian dari sikap ghuluw di dalam agama, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena ghuluw di dalam agama.” (HR. Ahmad, dalam al-Musnad, 1/215 dan 347, Ibnu Majah no. 3064, an-Nasa’i dalam al-Mujtaba, 5/268, Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah, no. 98, dan selain mereka. Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam Zhilalul Jannah, hlm. 63 hadits no. 98, beliau mengatakan, “Telah disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi, an-Nawawi, dan Ibnu Taimiyah rahimahumullah.” Beliau juga mensahihkannya dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 1283)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (al-Iqtidha, 1/289—290) mengatakan, ”(Makna) hadits ini adalah umum mencakup segala macam ghuluw, baik di dalam i’tiqad (keyakinan) maupun amalan-amalan.”

Beliau menyebutkan alasan menjauhi langkah orang-orang sebelum kita adalah agar tidak terjatuh pada perkara yang menyebabkan kebinasaan, dan bahwa mengikuti mereka pada sebagian ciri mereka dikhawatirkan akan menyebabkan tertimpa kebinasaan.

Macam-Macam Ghuluw

Sikap ghuluw kaitannya dengan perbuatan-perbuatan hamba, dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:

Pertama, ghuluw i’tiqadi. Ghuluw dalam i’tiqad ini dilakukan oleh orang Nasrani terhadap ‘Isa bin Maryam 'alaihisalam. Seperti juga ghuluw Syi’ah Rafidhah terhadap ‘Ali radiyallahu'anhu atau terhadap imam yang 12. Termasuk juga ghuluw Khawarij dalam mengafirkan orang-orang Islam hanya karena melakukan kemaksiatan-kemaksiatan atau dosa-dosa besar.

Kedua, ghuluw amali. Yaitu ghuluw yang terkait dengan amalan-amalan, baik amalan lisan maupun amalan anggota badan yang tidak terkait dengan i’tiqad. Contohnya, melempar jumrah dengan batu besar, melakukan puasa wishal (puasa terus-menerus), atau bangun malam untuk shalat semalam suntuk.

Dari kedua jenis ghuluw ini, yang paling berbahaya dan besar adalah ghuluw i’tiqadi. (Bida’il I’tiqad wa Akhtharuha, hlm. 94)

Dalam memerangi sikap ghuluw ini, Islam sebagai agama wasathan (pertengahan) menyeru kepada keadilan sikap dan sifat. Islam mendudukkan setiap perkara sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu'alaihiwasalam. Sebagai agama keadilan, Islam mencintai sikap yang adil dan tidak berlebih-lebihan. Allah l mengatakan di dalam Al-Qur’an:

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang adil dan umat pilihan, agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul itu (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (al-Baqarah: 143)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ghuluw memiliki banyak macam. Di antaranya ghuluw dalam akidah, ghuluw dalam ibadah, ghuluw dalam muamalah (pergaulan), dan ghuluw di dalam adat. 

Contoh ghuluw dalam akidah adalah ghuluw ahli kalam (filsafat) yang mereka menyelami (ilmu tersebut) begitu dalamnya, sehingga terjatuh ke dalam kebinasaan yang pasti. 

Adapun ghuluw dalam ibadah (contohnya) seperti ghuluw Khawarij dan Mu’tazilah yang berpendapat (bahwa seseorang) keluar dari Islam apabila ibadahnya ternodai. 

Adapun ghuluw dalam muamalah contohnya mengharamkan perkara-perkara yang jelas halal dan melarang seseorang menambah lebih dari kewajiban-kewajibannya yang harus (dilaksanakan). Inilah bentuk ghuluw Sufi yang mengatakan bahwa barang siapa yang menyibukkan diri dengan dunia berarti bukan orang yang menginginkan akhirat. Mereka mengatakan, ‘Engkau tidak boleh membeli sesuatu lebih dari kebutuhanmu yang sangat.’ 

Adapun ghuluw dalam adat kebiasaan, contohnya engkau berpegang dengan sebuah adat kebiasaan yang dengannya engkau terhalang untuk beralih kepada adat baru yang lebih baik dari adat semula, maka hal yang seperti ini adalah ghuluw yang terlarang.” (al-Qaulul Mufid, 1/482, secara ringkas)

Bahaya Sifat Ghuluw

Sebagaimana pembahasan di atas, ghuluw dalam agama merupakan perkara yang sangat dibenci karena akan mengakibatkan kerusakan agama, diri, dan masyarakat. Di antara bahaya dan kerusakan dari sifat ghuluw ini adalah:

Pertama, melanggar larangan Allah Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu'alaihiwasalam, sebagaimana larangan Allah Ta'ala yang ditujukan kepada Yahudi dan Nasrani, namun pada hakikatnya larangan tersebut untuk seluruh umat. Sebagaimana firman-Nya:

Wahai ahli kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (an-Nisa: 171)

“Katakanlah, ‘Wahai ahli kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cara tidak benar dalam agama kalian. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat sebelum kalian dan mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia, dan mereka tersesat dari jalan yang lurus’.” (al-Maidah: 77)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَاْلغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ

“Hati-hatilah kalian dari sikap ghuluw di dalam agama.” (HR. Ahmad, 1/215 dan 437, an-Nasa’i no. 3057, Ibnu Majah no. 3029, serta disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani sebagaimana di atas)

Kedua, ghuluw telah membinasakan umat-umat terdahulu. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda sebagaimana telah disebutkan di atas:

فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ

“Maka sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa disebabkan ghuluw di dalam agama.

Ketiga, ghuluw merupakan jembatan menuju kekufuran dan kesyirikan kepada Allah Ta'ala. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, di dalam kitabnya at-Tauhid, menulis sebuah judul “Di Antara Sebab-Sebab Kekufuran Bani Adam dan Sikap Meninggalkan Agama oleh Mereka, adalah Berlebih-lebihan dalam Menyikapi Orang-Orang Saleh.” Di dalam Masa’il al-Jahiliah beliau juga menyebutkan, “Masalah ketiga belas (sebagai ciri kehidupan jahiliah): berlebih-lebihan dalam menyikapi ulama dan orang-orang saleh.”

Keempat, ghuluw merupakan asas tunggal kesyirikan orang-orang musyrik jahiliah serta kekufuran orang-orang Yahudi dan Nasrani berikut kesesatan firqah-firqah yang ada di tengah-tengah kaum muslimin.

Kelima, ghuluw akan mengangkat orang yang dikultuskan hingga mencapai martabat yang sangat tinggi atau menghinakannya hingga ke martabat yang sangat rendah.

Keenam, ghuluw akan mengantarkan kepada penyembahan yang dipuja-puja.

Ketujuh, ghuluw akan menghalangi (seseorang) untuk mengagungkan Allah Ta'ala.

Kedelapan, ghuluw akan menimbulkan keangkuhan dan kesombongan orang yang dikultuskan. (lihat sebagian faedah dalam al-Qaulul Mufid, 1/469)

Seruan
Melihat bahaya yang ditimbulkan oleh ghuluw yang banyak terjadi di masyarakat, maka wajib bagi setiap muslim untuk meninggalkannya, dan tampil untuk memerangi sikap ghuluw ini sebagaimana para nabi dan rasul diutus oleh Allah Ta'ala untuk memerangi kemungkaran yang besar ini. Kita harus kembali kepada prinsip-pinsip agama yang menginginkan kemudahan bagi setiap penganutnya serta keringanan dalam menjalankan ajaran-ajarannya. Berpeganglah dengan agama yang adil (pertengahan), niscaya umat ini akan menjadi umat yang adil dan lurus baik dalam perkataan, perbuatan, maupun dalam keyakinan.
Wallahu a’lam.

Ghuluw Jembatan Menuju Kesesatan
(1335 Views) November 14, 2011 2:30 am | Published by Redaksi | No comment
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)
AsySyariah.com

Ini Jalan Hidupku

by admin aluyeah
Ini Jalan Hidupku | al-uyeah.blgospot.com
“Kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah” telah menjadi slogan umum. Namun memahami keduanya dan mengamalkan kandungannya, agar sesuai dengan yang dimaukan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, merupakan persoalan tersendiri. Kepada siapa kita harus merujuk?

Pada edisi sebelumnya telah dijelaskan, siapa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dan manhaj (jalan/metode) yang mereka tempuh. Mereka bukanlah manusia khusus yang diciptakan Allah Ta'ala untuk membawa amanat syariat-Nya. Juga bukan malaikat yang diutus Allah Ta'ala untuk mengajarkan manusia tentang agama-Nya. Mereka adalah kaum muslimin itu sendiri yang memahami agamanya dengan benar berdasarkan Al-Qur‘an dan As-Sunnah di atas pemahaman as-salafush shalih (pendahulu yang shalih).

Mereka (para shahabat radiyallahu'anhum) adalah umat terbaik yang diciptakan untuk mendakwahkan kebenaran agama ini kepada seluruh umat. Mereka adalah generasi terbaik umat ini dari kalangan shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, serta orang-orang yang mengikuti mereka di atas kebenaran. Mereka adalah as-salafush shalih, al-firqatun najiyah (orang-orang yang selamat), ath-tha`ifah al-manshurah (orang-orang yang selalu ditolong), ahlul hadits, ahlul atsar, dan mereka adalah salafiyyun.

Mereka adalah pilihan Allah Ta'ala dari seluruh hamba-Nya yang akan menyuarakan kebenaran di mana dan kapan saja, bagaimanapun besar tantangan dan rintangan yang dihadapi. Slogan mereka adalah firman Allah Ta'ala:

“Kebenaran itu datang dari Rabbmu, maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147)

Juga sabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam: “Katakan yang benar walaupun pahit dan jangan kamu gentar cercaan orang yang mencerca.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari shahabat Abu Dzar z. Lihat Al-Misykat, 3/1365)

Dari sinilah nama as-salafush shalih diabadikan oleh sejarah. Ditulis dengan tinta emas, terus dikenang, serta menjadi rujukan generasi sesudahnya. Bukankah ini merupakan satu kemuliaan dari Allah Ta'ala karena apa yang telah mereka berikan untuk agama-Nya? Dan karena apa yang mereka tempuh ketika Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam masih hidup dan setelah wafat beliau?Jawabannya adalah ya.

Mereka mendapatkan yang demikian ini karena mereka berjalan di atas jalan Rasul-Nya. Abu Bakar radiyallahu'anhu, khalifah pertama yang menggantikan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sebagai pemimpin umat ini, telah mendapatkan jaminan masuk jannah (surga), padahal ketika itu beliau masih hidup. Bukankah ini kemuliaan bagi beliau? Apakah manhaj Abu Bakar radiyallahu'anhu sesuai manhaj Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam? Jawabannya tentu ya.

Begitu juga ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan para shahabat radiyallahu'anhum yang lain yang telah mendapatkan jaminan dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam untuk masuk jannah, padahal kaki-kaki mereka masih menapaki kehidupan. Merekalah yang juga disebutkan Allah Ta'ala di dalam Al-Qur`an:

“Merekalah orang-orang yang telah diberikan nikmat oleh Allah dari kalangan para nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih.” (An-Nisa`: 69)

Siapa lagi yang dimaksud dalam ayat ini setelah para nabi, kalau bukan orang-orang yang mengikuti mereka di atas manhaj Allah Ta'ala dari kalangan shahabat?

Mereka adalah generasi yang berusaha untuk mendapatkan dan mengambil warisan terbanyak dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Duduk dan keluar dari majelis Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam keadaan membawa kemurnian agama Islam yang malamnya seperti siangnya. Dan tidak ada seorangpun dari mereka yang menyimpang, melainkan akan binasa seumur hidup jika tidak segera bertaubat kepada Allah Ta'ala.

Manhaj Salaf, Cerminan Kemurnian Islam

Rentang waktu yang panjang sangat memungkinkan menyebabkan jauhnya umat dari kemurnian ajaran Islam. Apalagi, umat ini terus berganti generasi demi generasi. Hal ini telah dirasakan dan disaksikan oleh orang-orang yang diberikan bashirah (ilmu) oleh Allah Ta'ala. Banyak kita jumpai penampilan Islam yang berwarna-warni, baik dari amalan, ucapan, dan keyakinan.

“Warna-warni” inilah yang sering menimbulkan friksi di antara sesama muslim hingga berujung pada pudarnya persatuan dan kesatuan umat Islam. Walhasil, umat ini menjadi sangat lemah dan siap menjadi santapan musuh-musuhnya.

Munculnya kelompok-kelompok di dalam Islam, merupakan bukti konkrit adanya perbedaan yang besar dan warna-warninya penampilan Islam itu. Yang satu berpakaian serba merah dan mengangkat Islam sebagai simbol. Yang lain dengan warna hijau, hitam, kuning, putih, dan sebagainya. Masing-masing memiliki konsep, prinsip, jalan, dan tujuan yang berbeda dengan yang lainnya. Bahkan, karena perbedaan mendasar itu, ada yang siap menumpahkan darah yang lainnya. Apakah demikian Islam itu? Lalu manakah yang benar? Dan manakah yang harus diikuti?

Yang demikian ini, setelah berlalunya masa risalah (masa kenabian) dan pergantian generasi demi generasi, sangat terasa. Ironisnya, Islam dalam pandangan kaum muslimin saat ini hanya sebatas “yang penting Islam”, apapun alirannya, ajarannya, warnanya, jalannya, baunya, dan sebagainya. Padahal justru dengan sebab ini, hilanglah kemuliaan, kewibawaan, kejayaan, dan kekuatan umat Islam, serta menjadikan musuh-musuh Islam berani dan memiliki kewibawaan di mata kaum muslimin.

Kemurnian dan kesempurnaan Islam itu pun kian jauh panggang dari api. Yang satu ingin menambah dan yang lain ingin mengurangi, bahkan mempretelinya. Hanya dengan mencari sumber kemurniannya kepada orang yang telah dinobatkan oleh Allah Ta'ala sebagai penelusur jejak Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam -para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in- saja, niscaya kemurnian Islam itu akan diperoleh.

Manhaj Salaf adalah Ridha, Cinta, dan Ampunan Allah Ta'ala

Selain sebagai cermin kemurnian Islam, manhaj salaf juga merupakan perwujudan ridha Allah Ta'ala, cinta, dan ampunan-Nya. Allah Ta'ala berfirman tentang mereka yang berjalan di atas manhaj salaf ini:

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)

Asy-Syaikh As-Sa’di(1) rahimahullah dalam tafsir ayat ini mengatakan, mereka adalah orang-orang yang lebih dahulu masuk Islam dan yang terlebih dahulu dalam keimanan, hijrah, jihad, dan memperjuangkan agama Allah Ta'ala. Kaum Muhajirin adalah orang-orang yang dikeluarkan dari negeri mereka dan dipisahkan dari harta benda mereka, semata-mata hanya mencari keutamaan dari Allah Ta'ala dan keridhaan-Nya. Mereka membela agama Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, dan mereka adalah orang-orang yang jujur.

Sementara kaum Anshar adalah orang-orang yang menetap di kota Madinah, mencintai orang-orang yang berhijrah. Mereka tidak dihinggapi perasaan berat hati atas apa-apa yang mereka infakkan kepada kaum Muhajirin, serta lebih mengutamakan kaum Muhajirin meskipun mereka membutuhkannya.

Merekalah kaum yang mendapatkan keselamatan dari cercaan dan mendapatkan pujian dan keutamaan dari Allah Ta'ala. Allah Ta'ala meridhai mereka dan mereka ridha kepada Allah Ta'ala. Allah Ta'ala mempersiapkan bagi mereka jannah yang mengalir sungai-sungai di bawahnya dan kekal di dalamnya.

Allah Ta'ala di dalam Al Qur`an berfirman:

“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: “Ayat ini merupakan tolok ukur cinta seseorang kepada Allah Ta'ala dengan sebenar-benarnya cinta atau hanya pura-pura mengaku cinta.

Tanda cinta kepada Allah Ta'ala adalah ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, yang Allah Ta'ala telah menjadikan sikap ini (ittiba’) dan segala apa yang diserukan sebagai jalan untuk mendapatkan cinta dan ridha Allah Ta'ala.

Dan tidak akan didapati kecintaan dari Allah Ta'ala, ridha dan pahala-Nya, melainkan dengan cara membenarkan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sebagaimana yang ada di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, dengan cara melaksanakan apa yang dikandung keduanya dan menjauhi apa yang dilarangnya.

Maka barangsiapa melakukan hal ini, sungguh ia telah dicintai oleh Allah Ta'ala, dia dibalas sebagaimana balasan terhadap kekasih Allah Ta'ala, diampuni dosanya, dan ditutupi segala aibnya. Maka (ayat ini) seakan-akan (menjelaskan) bagaimana hakekat mengikuti Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan bagaimana sifatnya.”

Simbol Kemenangan dan Kejayaan Umat

Meskipun Islam semakin kabur, namun pewaris kemurnian Islam akan tetap ada sepanjang kehidupan manusia ini sampai hari kiamat. Mereka telah dipersiapkan Allah Ta'ala untuk meneruskan perjuangan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan generasi beliau yang terbaik. Merekalah yang akan terus menyuarakan kemurnian Islam. Dan bersama merekalah kemenangan dan kejayaannya. Itulah janji Allah Ta'ala yang tidak bisa dipungkiri.

Merekalah yang disebut Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sebagai generasi pejuang yang telah mengambil pedang perjuangan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam yang diwariskan setelah wafatnya, untuk membabat gerakan-gerakan penjegalan terhadap syariat Allah Ta'ala. Dan mereka pulalah yang dipersiapkan Allah Ta'ala sebagai perisai dan benteng terhadap kebenaran dalam pertarungan antara yang hak dan batil. Allah Ta'ala menjelaskan di dalam Al Qur`an:

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin di dalam kitab Syarah Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 25) mengatakan, “Akan tetapi semua pujian bagi Allah Ta'ala semata. Tiadalah seseorang melakukan kebid’ahan, melainkan Allah Ta'ala membangkitkan –dengan nikmat dan karunia-Nya– orang-orang yang akan menjelaskan kebid’ahan tersebut dan yang akan melumatkannya dengan kebenaran. Dan ini termasuk makna yang terkandung dalam firman Allah Ta'ala (Al-Hijr: 9). Dan ini merupakan wujud nyata penjagaan Allah Ta'ala terhadap Adz-Dzikr (maksudnya Al-Qur`an, red.) dan ini juga merupakan konsekuensi hikmah Allah Ta'ala.”

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari shahabat Mua’wiyah dan Mughirah bin Syu’bah radiyallahu'anhum, dan diriwayatkan Al-Imam Muslim dari shahabat Tsauban, Jabir bin Samurah, Jabir bin Abdillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radiyallahu'anhum:

“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang memperjuangkan kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang berusaha menghinakan mereka sampai datang keputusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan yang demikian itu.” (Shahih, HR. Muslim dengan lafadznya)

Siapakah yang dimaksud Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dengan “satu kelompok dari umatnya itu yang selalu memperjuangkan kebenaran dan selalu mendapatkan kemenangan”?

Al-Imam Ahmad mengatakan: “ Kalau bukan ahli hadits yang dimaksud, maka saya tidak mengetahui (lagi) siapa mereka.”

‘Umar bin Hafsh bin Ghiyats mengatakan: “Aku telah mendengar ayahku ketika ditanyakan kepadanya: ‘Tidakkah kamu melihat ahlul hadits dan apa-apa yang mereka berada di atasnya?’ Dia menjawab: ‘Mereka adalah sebaik-baik penduduk dunia’.”

Abu Bakar bin ‘Ayyash mengatakan, “Aku berharap bahwa ahlul hadits adalah sebaik-baik manusia.” (Lihat kitab Makanatu Ahlil Hadits, hal. 53-54)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda: “Tidak ada seorangpun dari nabi yang diutus sebelumku kepada suatu umat melainkan ada pada umatnya hawariyyun (para pembela) dan shahabatnya yang memegang sunnahnya dan yang mengikuti perintahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abdullah bin Mas’ud radiyallahu'anhu)

Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah akan membangkitkan pada setiap awal seratus tahun orang-orang yang akan mengadakan pembaharuan terhadap agama umat ini.” (Shahih, HR. Abu Dawud dari shahabat Abu Hurairah radiyallahu'anhu dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 3656 dan di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 599 dan di dalam Shahih Jami’ush Shaghir no. 1874)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, sebagaimana dinukil Al-Imam Adz-Dzahabi dalam kitab As-Siyar (10/46): “Sesungguhnya Allah Ta'ala akan membangkitkan pada umat, di awal setiap seratus tahun, orang-orang yang akan mengajarkan mereka As Sunnah dan membungkam setiap kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Maka tatkala kami melihat dan memeriksa, ternyata pada awal seratus tahun pertama muncul ‘Umar bin Abdul ‘Aziz dan pada seratus tahun kedua Al-Imam Asy-Syafi’i.” (Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 2/148)

Manhaj Salaf Manhaj yang Benar

Manhaj inilah yang mendapatkan pujian kebaikan dari lisan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berikut dengan orang-orang yang berjalan di atasnya, sebagaimana sabda beliau:

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang setelah mereka, dan kemudian orang-orang setelah mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat ‘Imran bin Hushain dan Abdullah bin Mas’ud radiyallahu'anhum)

Maka, para pengikut manhaj ini adalah generasi terbaik yang diridhai Allah Ta'ala. Di dalam kitab Manhajus Salaf Fit Ta’amul Ma’a Kutubi Ahlil Bida’i (hal. 3) karya Abu Ibrahim Muhammad bin Muhammad bin Abdillah bin Mani’ dikatakan: “Pujian kebaikan menunjukkan kebenaran akidah, mengikuti Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dengan benar. Maka para shahabat adalah orang yang paling baik keyakinannya, paling dekat dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, paling jauh dari kesyirikan, kebid’ahan, dan perpecahan. Para shahabat adalah orang yang paling baik dari sisi pemahaman dan ilmu. Maka barangsiapa yang tidak merasa cukup dengan para shahabat, maka Allah Ta'ala tidak akan mencukupkan mereka.”  Wallahu a’lam.

Sumber Bacaan:
1.    Al-Qur`an
2.     Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi
3.    Taisir Al-Karimir Rahman, Asy-Syaikh As-Sa’di
4.    Syarah Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
5.    Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, Asy-Syaikh Al-Albani
6.    Makanatu Ahlil Hadits, Asy-Syaikh Dr. Rabi’
7.    Manhajus Salaf Fitta’amul Ma’a Kutubi Ahlil Bida’, Asy-Syaikh Muhammad bin Mani’

Catatn Kaki:

1 Nama beliau adalah Abu Abdillah Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah bin Nashir dari keluarga As-Sa’di dari suku Tamim. Beliau adalah ahli ilmu Al Qur`an dan tafsir pada pertengahan abad 14 H. Dilahirkan di ‘Unaizah, Arab Saudi, 12 Muharram 1307 H. Setelah 69 tahun mengorbankan umurnya untuk mengabdi kepada ilmu, beliau wafat tahun 1376 H di kota kelahirannya.

"Jalan Salaf Jaminan Kebenaran"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah
AsySyariah.com

Serius Mau Pake Jimat?

by admin aluyeah
Serius Mau Pake Jimat? | al-uyeah.blogspot.com
Jimat sepertinya telah menjadi ‘teknologi’ yang mengiringi kehidupan manusia di jaman yang konon telah sangat rasional ini. Batu akik, ikat pinggang, liontin, koin, tasbih, istambul, dan semacamnya kini tidak sekedar benda mati tapi telah ‘naik kelas’ karena diyakini mampu menjadi pelindung, mendatangkan rizki, atau pemikat lawan jenis. Parahnya, benda-benda semacam itu kini juga menjadi komoditi dagang yang laris diperjualbelikan lewat media.

Masyarakat kita sesungguhnya sangat paradoksal. Di satu sisi, mereka sangat mengagungkan teknologi (baca:akal) namun di sisi lain, mereka juga masih menggantungkan hidup mereka pada benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan tertentu, lepas darimana ‘kekuatan’ itu bersumber. Tentu saja ini menjadi lucu karena manusia mesti tunduk dan menghamba kepada benda-benda mati yang tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Mereka justru melupakan Allah Ta'ala, Pencipta segala yang mereka sembah itu.

Hakikat Jimat

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud radiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mengisyaratkan tentang jimat dan hukumnya. Kata Ibnu Mas’ud: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

“Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat, dan guna-guna adalah syirik.” 

(HR. Al-Imam Ahmad di dalam Musnad 1/381, Abu Dawud di dalam Sunan-nya 7/630, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak 4/217, 418, Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir 10.503, dan Al-Baihaqi di dalam Sunan Al-Kubra 9/350. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 3288, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2845, Silsilah Ahadits Ash-Shahihah no. 331 1/648, dan Ghayatul Maram no. 298)

Jimat adalah permata yang dirangkai atau tulang belulang kemudian dikalungkan di leher-leher anak dengan tujuan menolak bala. (Lihat Kitabut Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, Fathul Majid 1/650)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menjelaskan: “Memang asal jimat itu adalah permata yang dirangkai  yang digantungkan pada leher anak agar terpelihara dari gangguan mata-mata jahat. Kemudian mereka perluas makna jimat tersebut sehingga mereka menamakan jimat pada segala bentuk perlindungan. Contoh: sebagian mereka menggantungkan sepatu kuda di pintu-pintu rumah atau di tempat yang nampak jelas, menggantungkan sandal di bagian depan mobil atau bagian belakangnya, atau marjan yang berwarna biru di bagian depan kaca mobil bagian dalam dekat sopir dengan tujuan untuk menolak bala.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1/650)

Kaidah dalam Menjadikan Sesuatu sebagai Asbab (Sebab)

Kata asbab (lantaran, Jw) terkadang dijadikan alasan untuk melakukan kesyirikan dan penggugat balik terhadap setiap orang yang mengingkari kesyirikan. Para pemakai jimat dan pengagung kuburan, tempat-tempat keramat, pohon-pohon yang antik dan aneh, terkadang beralasan membolehkan semua itu dengan hanya meyakininya sebagai sebab. Benarkah itu?

a. Cara Mengetahui bahwa Sesuatu adalah Sebab

Mengetahui sesuatu itu sebab atau bukan sebab adalah bagian dari dien. Dan akan membahayakan seseorang bila tidak mengetahuinya. Telah disebutkan oleh para ulama bahwa mengetahui sesuatu itu sebab atau bukan dengan dua cara:

Pertama: Melalui penetapan syariat bahwa sesuatu itu sebagai sebab. Seperti Allah Ta'ala menjelaskan tentang salah satu fungsi madu:

“Di dalam (madu itu) ada obat bagi manusia.” (An-Nahl: 69)

Dan Allah Ta'ala menjelaskan pula tentang faidah membaca Al Qur`an:

“Dan Kami turunkan dari Al Quran sesuatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra`: 82)

Kedua: Melalui cara yang secara alami memiliki manfaat. Contohnya kita mencoba sesuatu di mana setelah itu ternyata benda tersebut bermanfaat bagi penyakit yang diderita, namun dengan syarat pengaruhnya jelas dan terjadinya secara langsung. (Lihat Al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid, 1/208)

Sikap yang benar dalam menetapkan sesuatu itu sebab, baik secara syariat atau alami, adalah apa yang dikatakan oleh Al-Imam As-Sa’di rahimahullah di dalam Al-Qaulul As-Sadid hal. 36: “Wajib atas setiap hamba mengetahui tiga perkara dalam permasalahan sebab:

Pertama: Dia tidak menjadikan sesuatu itu sebab kecuali bila telah ditetapkan oleh Allah Ta'ala sebagai sebab baik secara syar’i atau alami.

Kedua: Dia tidak menyandarkan diri kepada sebab itu akan tetapi dia bersandar kepada yang menciptakan sebab itu, yaitu Allah Ta'ala. Bersamaan dengan itu dia berusaha melaksanakan sebab-sebab yang disyariatkan dan segala yang bermanfaat.

Ketiga: Hendaklah dia mengetahui bahwa bagaimanapun besar dan kuatnya sebab itu, tetap terikat dengan ketentuan dan keputusan Allah Ta'ala dan tidak bisa terlepas darinya. Dan Allah Ta'ala berbuat segala apa yang dikehendaki-Nya.

b. Melaksanakan Sebab yang Disyariatkan tidak Melemahkan Keyakinan Seseorang kepada Allah

Melaksanakan sebab yang telah disyariatkan termasuk bagian syariat. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “(Kesimpulannya adalah) menggugurkan (meninggalkan)  sebab  bukanlah termasuk ketauhidan. Bahkan melaksanakan sebab dan meletakkan sebab itu pada tempat yang telah diletakkan oleh Allah Ta'ala termasuk dari wujud kemurnian aqidah. Dan ucapan “harus meninggalkan sebab” adalah tauhidnya (kelompok sesat) Qadariyah Jabriyah pengikut Jahm bin Shafwan dalam masalah jabr.” (Madarijus Salikin 3/495)

Dan meyakini sesuatu sebagai sebab padahal sesungguhnya hal itu bukan sebab, termasuk syirik kecil (Al-Qaulul Mufid, 1/208). Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan “Melihat (menengok) kepada sebab ada dua bentuk:

Pertama: Syirik kepada Allah Ta'ala, dan
Kedua: Termasuk ubudiyah dan tauhid kepada Allah Ta'ala.

Termasuk kesyirikan menyandarkan diri kepada sebab dan tenteram dengannya, meyakini bahwa sebab itu sebagai satu-satunya yang bisa mewujudkan segala keinginan, dan berpaling dari yang menciptakan sebab itu, yaitu Allah Ta'ala. (Madarijus Salikin 3/499)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata: Manusia dalam permasalahan sebab terbagi menjadi (tiga kelompok), dua berada di ujung dan satu di tengah:

Pertama: segolongan orang mengingkari sebab-sebab, mereka adalah golongan yang menafikan hikmah-hikmah Allah Ta'ala seperti golongan Jabariyah dan Qadariyah.

Kedua: segolongan orang melampaui batas dalam menetapkan sebab sehingga mereka menjadikan sesuatu yang tidak disyariatkan sebagai sebab, seperti yang dilakukan mayoritas ahli khurafat dari kalangan sufi dan selain mereka.

Ketiga: orang yang mengimani adanya sebab dan segala pengaruhnya akan tetapi mereka tidak menetapkan sesuatu sebagai sebab kecuali bila telah ditetapkan oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, baik secara syar’i atau takdir (inilah golongan yang benar, pen.).” (Lihat Al-Qaul Al-Mufid syarah Kitab Tauhid 1/205)

Apakah Jimat Merupakan Sebab-sebab yang Disyariatkan untuk Menangkal Bala`?

Cara menetapkan sesuatu itu sebagai sebab telah dijelaskan di atas, yaitu penetapan secara syariat atau secara alami. Mari kita meninjaunya dari kedua sisi ini.

a. Sisi Syariat

Mengatakan atau menghukumi bahwa jimat merupakan sebab untuk menolak bala harus ada keterangan dari Allah dan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Sementara yang kita dapati, jimat telah divonis Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sebagai satu bentuk kesyirikan dalam riwayat Ibnu Mas’ud radiyallahu'anhu di atas. Dari sini jelas bahwa jimat dalam pandangan syariat bukan sebagai sebab. Dan menjadikan sesuatu sebab yang tidak dijadikan oleh syariat sebagai sebab termasuk syirik kecil.

b. Sisi Alami
Untuk mengatakan secara alami bahwa jimat bisa sebagai sebab penolak bala harus memenuhi dua syarat sebagaimana telah disebut di atas, yakni jelas pengaruhnya dan harus langsung. Sementara jimat itu belum jelas pengaruhnya dan secara tidak langsung. Ini sangat bertentangan dengan kaidah penetapan sesuatu itu sebagai asbab.

Dari kedua tinjauan ini maka sangat jelas sekali bahwa jimat bukan sebagai sebab syar’i ataupun alami untuk menolak bala` atau segala malapetaka.

Bentuk-bentuk Jimat

Jimat kini tidak hanya ‘beredar’ di kalangan sufi dan dilakukan sembunyi-sembunyi, namun telah dikomersialkan melalui iklan di berbagai media massa. Bagi orang yang ingin menjadi jawara mesti memiliki jimat kebal atau jimat kesaktian agar tahan bacok bahkan tahan peluru. Bentuk jimat ini bermacam-macam. Ada yang berbentuk mantra-mantra, sabuk, rajah-rajah, atau kumpulan benda-benda khusus seperti tempurung kelapa, tempurung kerang yang dicor yang kemudian diletakkan di dalam secarik kain dan sebagaianya.

Sebagian pedagang juga memiliki jimat khusus yang disebut dengan penglaris dengan maksud bisa melariskan dagangan atau agar tidak terkena niat orang-orang yang dengki kepadanya. Sementara sebagian peternak juga memiliki jimat tersendiri yang digantung di pintu atau pojok-pojok kandang supaya tidak disentuh tangan-tangan jahat atau pencuri. Begitu juga sebagian rumah-rumah kaum muslimin tidak terlepas dari semua itu.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata di dalam fatwa-fatwa beliau tentang jimat (2/238): “Apabila jimat-jimat itu dari nama-nama jin, tulang, akar kayu, besi-besi dari paku, rajah-rajah, atau yang sepertinya, maka ini termasuk dari perbuatan syirik kecil dan terkadang menjadi syirik besar apabila yang menggantungkan jimat itu berkeyakinan bahwa jimat tersebut bisa menjaganya atau menyingkap penyakit yang diderita atau menolak mudharat  tanpa izin Allah dan kehendak-Nya.”

Hukum Menggantungkan Jimat

Sudah disebutkan di atas bahwa jimat  termasuk dari kesyirikan kepada Allah Ta'ala, hal ini sangat jelas keharamannya. Lalu bagaimana hukum memakainya? Jawabannya butuh rincian.

Pertama: akan menyebabkan terjatuh kepada syirik akbar (besar) bila disertai keyakinan bahwa jimat itu sendiri yang memberikan pengaruh selain Allah Ta'ala, yang bisa menolak mudharat dan mendatangkan manfaat, serta membentengi setiap orang yang memakainya. Dan pelakunya telah keluar dari Islam, halal darahnya untuk ditumpahkan dan hartanya untuk dirampas, mengekalkan dirinya di dalam an-naar (neraka) bila dia mati dan belum bertaubat, serta menghapus seluruh amalan yang dilakukan di dalam Islam.

Kedua: akan menyebabkan terjatuh dalam perbuatan syirik kecil bila dia meyakini bahwa jimat itu hanya sebagai sebab semata, adapun yang mendatangkan manfaat dan menolak segala bentuk malapetaka yang menimpanya adalah Allah Ta'ala. Menjadikan sesuatu sebab yang tidak pernah dijadikan oleh Allah Ta'ala sebagai sebab adalah syirik kecil. (Lihat Al-Qaulul Mufid 1/204, Al-Qaulul Sadid hal. 38,  Fatawa Syaikh Ibnu Baz 2/384)

Hukum bila Jimat itu dari Al Qur`an

Terkadang jimat berasal dari Al Qur`an atau tulisan ayat-ayat Al Qur`an atau nama-nama Allah. Apakah hukumnya sama dengan jenis-jenis jimat di atas?

Tentang hal ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama salaf:

a. Sebagian mengatakan boleh. Dan mereka memaknakan hadits yang menjelaskan keharaman jimat itu dengan makna jimat yang mengandung kesyirikan. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash dan diriwayatkan dari ‘Aisyah radiyallahu'anha, akan tetapi riwayat dari kedua shahabat ini lemah. Dan ini adalah ucapan Abu Ja’far Al-Baqir, Ahmad bin Hambal dalam satu riwayat.

b. Sebagian mengatakan diharamkan. Yang berpendapat demikian di antaranya Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, dan dzahir ucapan Hudzaifah, ‘Uqbah bin ‘Amir, dan Ibnu ‘Akim dan demikian juga ucapan sejumlah tabi’in di antara mereka murid-murid Ibnu Mas’ud, dan Ahmad di dalam sebuah riwayat yang dipilih oleh mayoritas murid beliau dan yang diperkuat oleh ulama mutaakhirin (belakang ini).

Mereka berdalil dengan keumuman hadits Ibnu Mas’ud: Aku telah mendengar Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat, dan guna-guna termasuk dari kesyirikan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al-Hakim)

Asy-Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah men-tarjih (menguatkan) dari kedua pendapat ini beliau mengatakan: Yang benar (dari kedua) pendapat ini adalah pendapat yang mengatakan haram dengan beberapa alasan:

Pertama: Keumuman larangan dan tidak ada dalil-dalil yang mengkhususkannya

Kedua: Menutup jalan-jalan yang akan mengantarkan kepada (perbuatan) menggantungkan selain Al Qur‘an atau nama-nama Allah

Ketiga: Akan terjatuh pada penghinaan terhadap Al Qur`an dan nama-nama Allah tersebut karena akan dibawa ke tempat najis atau dipakai untuk mencuri, merampok, dan berkelahi.

Dan pendapat kedua ini pula yang dikuatkan oleh ulama masa kini seperti Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitabnya Taisir Al-’Aziz Al-Hamid, Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh dalam kitabnya Fathul Majid, Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, dan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahumullah.

Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa segala bentuk jimat baik dari Al Qur`an ataupun bukan, diharamkan karena keumuman larangan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Oleh karena itu, dinasehatkan kepada kaum muslimin agar segera meninggalkannya dan hanya kembali kepada Allah Ta'ala dalam meminta segala kemanfaatan dan minta dijauhkan dari segala malapetaka. Meminta perlindungan dan penjagaan kepada Allah semata itulah aqidah yang benar, dan tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kebatilan.
Wallahu a’lam.

1 Khuf yaitu sepatu yang tingginya menutup dua mata kaki, red

"Jimat, Benarkah dalam Agama?"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah
AsySyariah.com

Hati-Hati Ketika Bersumpah

by admin aluyeah
Hati-Hati Ketika Bersumpah | al-uyeah.blogspot.com
Kakak ipar saya berbohong kepada istrinya dengan bersumpah atas nama Allah dan Rasul-Nya. Namun ketika terbongkar rahasianya, dia membayar kaffarah atas sumpahnya dengan cara memberi baju koko kepada anak yatim. Apakah hal itu dibenarkan? Saya baru dengar yang seperti itu. Wassalam.

Anton – Jakarta

Dijawab olejh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Wa’alaikumus salam warahmatullah.

Pertanyaan Anda meliputi tiga permasalahan:

1. Bersumpah atas nama Allah dan Rasul-Nya.

Sumpah ini mengandung kesyirikan, karena menggandengkan nama Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dengan nama Allah Ta'al dalam sumpahnya. Wajib atas setiap muslim yang ingin bersumpah untuk bersumpah hanya dengan salah satu dari nama-nama Allah Ta'ala, sifat-sifat-Nya atau perbuatan-perbuatan-Nya. Ada beberapa hadits shahih yang menunjukkan hal ini:

Hadits Ibnu Umar radiyallahu'anhum bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mendengar Umar radiyallahu'anhu bersumpah atas nama ayahnya. Maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

أَلاَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ، فَمَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللهِ أَوْ لِيَصْمُتْ

“Ingatlah bahwa sesungguhnya Allah Ta'ala melarang kalian bersumpah atas nama ayah-ayah kalian, maka barangsiapa bersumpah hendaklah dia bersumpah atas nama Allah atau hendaklah dia diam.” (HR. Muslim no. 1646)

Hadits Abu Hurairah radiyallahu'anhu:

لاَ تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ وَلاَ بِأُمَّهَاتِكُمْ وَلاَ بِالْأَنْدَادِ وَلاَ تَحْلِفُوا إِلاَّ بِاللهِ وَلاَ تَحْلِفُوا إِلاَّ وَأَنْتُمْ صَادِقُوْنَ

“Janganlah kalian bersumpah atas nama ayah-ayah kalian, ibu-ibu kalian dan tandingan-tandingan Allah. janganlah kalian bersumpah kecuali atas nama Allah, dan janganlah kalian bersumpah kecuali dalam keadaan jujur.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i, dishahihkan oleh Al-Albani dalamShahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 7249 dan Al-Wadi’i dalam Ash-Shahih Al-Musnad 2/341)

Hadits Ibnu Umar radiyallahu'anhum:

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa bersumpah atas nama selain Allah, maka sungguh dia telah mempersekutukan Allah.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 11149)

Sedangkan Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullah memasukkan hadits ini dalam Ahadits Mu’allah (no. 221), karena ada cacatnya (kelemahannya), yaitu Sa’d bin ‘Ubaidah tidak mendengar dari Ibnu ‘Umar, dan perantara antara keduanya yaitu Muhammad Al-Kindi majhul (tidak dikenal). Kemudian beliau menyebutkan bahwa hadits ini shahih dengan lafadz:

مَنْ حَلَفَ بِغَيرِ اللهِ فَقَالَ فِيهِ قَوْلاً شَدِيداً

“Barangsiapa bersumpah atas nama selain Allah, maka, Rasulullah  Shallallahu'alaihiwasalam mengucapkan ucapan yang keras tehadap pelakunya.” (HR. Ahmad)

Dalil-dalil di atas menunjukkan secara jelas haramnya bersumpah atas nama selain Allah Ta'ala, dan bahwasanya bersumpah atas nama selain Allah Ta'ala mengandung unsur kesyirikan. Sebab sumpah atas nama sesuatu mengandung unsur pengagungan terhadap sesuatu itu. Jika hal itu disertai adanya pengagungan dalam kalbunya terhadap sesuatu (selain Allah) itu, sebagaimana pengagungannya terhadap Allah Ta'ala, maka hal itu adalah syirik besar dan pelakunya musyrik. Jika tidak disertai keyakinan semacam itu, maka hal itu hanya sebatas syirik kecil yang tidak membatalkan keislaman. (Al-Qaulul Mufid fi Adillati At-Tauhid hal. 133 dan Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah 1/224)

Jadi apa yang dilakukan oleh orang yang disebutkan dalam pertanyaan, bersumpah atas nama Allah dan Rasul-Nya, mengandung unsur kesyirikan. Karena dia telah menyetarakan kedudukan Allah Ta'ala dengan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam sumpahnya. Jika hal itu tanpa disertai adanya pengagungan dalam kalbunya terhadap Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam seperti pengagungannya terhadap Allah, maka hal itu adalah syirik kecil. Jika disertai dengan keyakinan itu, maka hal itu adalah syirik besar.

Ulama mengatakan bahwa sumpah atas nama selain Allah tidak sah dan tidak dianggap.

2. Dia bersumpah untuk melegalisasi kedustaannya

Ini termasuk sumpah palsu yang haram dan sangat tercela.

3. Dia membayar kaffarah sumpah menurut persangkaannya

Padahal sumpahnya tidak sah (sebagaimana diterangkan pada poin pertama) dan isi sumpahnya tidak terkait dengan hal yang akan datang.

Ulama menerangkan bahwa sumpah yang terkena kaffarah adalah sumpah yang terkait dengan hal yang akan datang. Adapun jika sumpahnya terkait dengan perkara yang telah lewat, maka tidak ada kaffarahnya, baik jujur atau dusta.

Kesimpulannya, orang tersebut telah terjerumus dalam tiga kesalahan sekaligus: sumpah yang mengandung kesyirikan, sumpah palsu (berdusta dengan sumpahnya), membayar kaffarah yang tidak disyariatkan.

Maka hendaklah yang bersangkutan bertaubat kepada Allah Ta'ala dan baju koko yang telah diberikannya kepada anak yatim itu diniatkan saja sebagai shadaqah.

Wallahu a’lam.

"Sumpah Atas Nama Allah dan RasulNya"
AsySyariah.com

Sholat Berjama'ah Itu Amazing

by admin aluyeah
Sholat Berjama'ah Itu Amazing | al-uyeah.blogspot.com
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah kaidah syar’i, melaksanakan hal yang wajib lebih utama daripada melaksanakan hal yang sunnah. Di antara dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala dalam hadits qudsi,

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ

“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada perkara yang Aku wajibkan atasnya.” (HR. al-Bukhari, dari Abu Hurairah  radhiyallahu ‘anhu)

Al-Imam al-Bukhari rahimahullahdalam Shahih-nya mengatakan, bab “Fadhli Shalatil Jamaah” (“Keutamaan Shalat Berjamaah”). Lalu beliau menyebutkan riwayat seorang tabi’in dan seorang sahabat, sebelum menyebutkan beberapa hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Adalah al-Aswad bin Yazid an- Nakha’i rahimahullah (salah seorang tabi’in senior) jika luput dari berjamaah, beliau pergi menuju ke masjid yang lain. Apabila Anas bin Malik  radhiyallahu ‘anhu datang ke sebuah masjid yang telah selesai ditegakkan shalat padanya, beliau mengumandangkan azan dan iqamat lalu shalat berjamaah.

Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, maksud al-Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan riwayat al-Aswad dan Anas radhiyallahu ‘anhuma adalah sebagai isyarat bahwa keutamaan shalat berjamaah yang tersebut dalam beberapa hadits, hanya berlaku bagi mereka yang berjamaah di masjid, bukan di rumah. Sebab, jika berjamaah tidak dikhususkan di masjid, al-Aswad  radhiyallahu ‘anhu akan menegakkan shalat berjamaah di tempatnya dan tidak akan pergi ke masjid lain untuk mendapatkan jamaah.

Demikian pula Anas bin Malik  radhiyallahu ‘anhu, beliau tidak akan datang ke masjid bani Rifa’ah (untuk melaksanakan shalat berjamaah, -pen.). Kemudian al-Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan shalat berjamaah. Di antaranya dari Abdullah bin Umar  radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 27 derajat.”

Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dengan lafadz,

صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ وَحْدَهُ سَبْعًا وَعِشْرِينَ

“Shalat seseorang dengan berjamaah lebih banyak daripada shalatnya sendirian 27 kali.

Dari Abu Sa’id al-Khudri  radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَعْدِلُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ

“Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 25 derajat.”

Dari Abu Hurairah  radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

صَلَاةُ الْجَمِيعِ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَصَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وَأَتَى الْمَسْجِدَ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْهُ خَطِيئَةً حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ، وَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِي صَلَاةٍ مَا كَانَتْ تَحْبِسُهُ وَتُصَلي يَعْنِي عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ؛ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ

Shalat seseorang dengan berjamaah itu dilipatgandakan pahalanya 25 kali atas shalat sendirian yang dia kerjakan di rumah dan di pasar. Hal itu apabila ia berwudhu dengan sempurna, lalu ia keluar menuju ke masjid dan tidak ada yang mendorongnya keluar (menuju ke masjid) selain shalat. Tidaklah setiap langkahnya kecuali akan mengangkatnya satu derajat dan menghapuskan darinya satu kesalahan. Apabila ia shalat, malaikat akan senantiasa mendoakannya selama ia berada di tempat shalatnya, ‘Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah, rahmatilah dia.’ Salah seorang di antara kalian tetap dianggap berada dalam shalat selama ia menanti shalat.”

Sebagian ulama mengompromikan riwayat yang menyebutkan 25 derajat dengan riwayat yang menyebutkan 27 derajat sebagai berikut:

1. Penyebutan jumlah yang sedikit tidak meniadakan penyebutan jumlah yang banyak. Pendapat ini dianut oleh mereka yang tidak menganggap mafhum adad (jumlah bilangan tersebut tidak mengandung sebuah hukum).

2. Bisa jadi, di awal waktu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberitakan bilangan 25, kemudian ditambahkan keutamaan padanya, lalu beliau menyampaikan dengan bilangan 27.

3. Perbedaan jumlah berdasarkan pembedanya yaitu lafadz “darajah” dan “juz’an.” Dengan demikian, kata “derajat” lebih kecil daripada “juz (bagian).”

4. Perbedaan jumlah berdasarkan dekat dan jauhnya masjid.

5. Perbedaan keadaan orang yang shalat, seperti seorang yang keadaannya lebih berilmu atau lebih khusyuk.

6. Perbedaan antara seseorang yang menunggu shalat berikutnya dan yang tidak menunggu.

7. Perbedaan antara seseorang yang mendapati keseluruhan shalat dan yang hanya mendapatkan sebagiannya.

8. Perbedaan jumlah orang yang berjamaah.

9. Riwayat bilangan 27 khusus untuk shalat subuh dan isya, atau subuh dan ashar. Adapun yang 25 untuk selainnya.

10. Riwayat 27 untuk shalat jahriyah, sedangkan yang 25 untuk shalat sirriyah.

Berikut ini beberapa keutamaan shalat berjamaah di masjid.

1. Memenuhi panggilan azan dengan niat untuk melaksanakan shalat berjamaah.
2. Bersegera untuk shalat di awal waktu.
3. Berjalan menuju ke masjid dengan tenang (tidak tergesa-gesa).
4. Masuk ke masjid sambil berdoa.
5. Shalat tahiyyatul masjid ketika masuk masjid. Semua ini dilakukan dengan niat untuk melakukan shalat berjamaah.
6. Menunggu jamaah (yang lain).
7. Doa malaikat dan permohonan ampun untuknya.
8. Persaksian malaikat untuknya.
9. Memenuhi panggilan iqamat.
10. Terjaga dari gangguan setan karena setan lari ketika iqamat dikumandangkan.
11. Berdiri menunggu takbirnya imam.
12. Mendapati takbiratul ihram.
13. Merapikan shaf dan menutup celah (bagi setan).
14 . Menjawab imam saat mengucapkan sami’allah.
15. Secara umum terjaga dari kelupaan.
16. Akan memperoleh kekhusyukan dan selamat dari kelalaian.
17. Memosisikan keadaan yang bagus.
18. Mendapatkan naungan malaikat.
19. Melatih untuk memperbaiki bacaan al-Qur’an.
20. Menampakkan syiar Islam.
21. Membuat marah (merendahkan) setan dengan berjamaah di atas ibadah, saling ta’awun di atas ketaatan, dan menumbuhkan rasa giat bagi orangorang yang malas.
22. Terjaga dari sifat munafik.
23. Menjawab salam imam.
24. Mengambil manfaat dengan berjamaah atas doa dan zikir serta kembalinya berkah orang yang mulia kepada orang yang lebih rendah.
25. Terwujudnya persatuan dan persahabatan antartetangga dan terwujudnya pertemuan setiap waktu shalat.
26. Diam dan mendengarkan dengan saksama bacaan imam serta mengucapkan “amiin” saat imam membaca “amiin”, agar bertepatan dengan ucapan amin para malaikat. An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarh Shahih Muslim, bab “Keutamaan Shalat Isya dan Subuh dengan Berjamaah”, dari ‘Utsman bin Affan  radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ نِصْفِ لَيْلَةٍ وَمَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ لَيْلَةٍ

“Barang siapa shalat isya dengan berjamaah, pahalanya seperti shalat setengah malam. Barang siapa shalat isya dan subuh dengan berjamaah, pahalanya seperti shalat semalam penuh.” (Syarh al-Bukhari, al-‘Utsaimin, 3/62, Fathul Bari, 2/154—157)

Kajian Utama ” Keutamaan Shalat Berjamaah “
Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin
AsySyariah.com

Kesyirikan Memang Benar Adanya

by admin aluyeah
Kesyirikan Memang Benar Adanya | al-uyeah.blogspot.com
Kesyirikan tidak hanya terjadi pada zaman jahiliah saat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam belum diutus. Kesyirikan juga merebak di masa kini meski dikemas dengan bungkus baru. Kehati-hatian agar tidak terjatuh pada perbuatan syirik sangatlah penting karena Allah Ta'ala menyebut perbuatan ini sebagai dosa besar yang paling besar dan tidak akan memberi ampunan bagi pelakunya kecuali jika ia telah bertaubat.

Awal Terjadinya Kesyirikan

Allah Ta'ala menciptakan jin dan manusia dengan suatu tujuan, yang dengannya Allah Ta'ala mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam mewujudkan tujuan tersebut. Dalam Al-Qur’an, Allah Ta'ala menyebut tujuan penciptaan jin dan manusia:

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menginginkan dari mereka sedikit pun dari rezeki. Dan Aku tidak menginginkan sedikit pun dari mereka untuk memberi-Ku makan. Sesungguhnya Dia, Allah Maha Pemberi rezeki, Pemilik kekuatan lagi sangat kokoh.” (adz-Dzariyat: 56—58)

Sesungguhnya, tugas yang diemban jin dan manusia sangatlah ringan bila dibandingkan dengan segala jenis kenikmatan yang telah Allah Ta'ala limpahkan. Akan tetapi untuk mewujudkan perkara yang ringan ini, butuh pengorbanan dan perjuangan yang sangat besar, karena rintangan dan penghalang di jalan ini juga sangatlah besar.

Dengan tugas ini, bukan berarti Allah Ta'ala butuh kepada hamba sehingga kita diperintah untuk sujud dan ruku’ di hadapan-Nya. Akan tetapi sebagai perwujudan semata-mata kebutuhan kita kepada Allah Ta'ala. Karena kita sadar bahwa setiap saat, tidak ada satu makhluk pun yang tidak membutuhkan-Nya. Oleh karena itu, Allah Ta'ala menetapkan bahwa di sana ada tali penghubung antara diri hamba-Nya dengan Allah Ta'ala. Itulah ibadah.

Amanat ibadah ini diakui oleh semua orang. Namun dalam praktiknya sangat terkait dengan fitrah yang diberikan Allah Ta'ala kepada setiap manusia. Artinya, apabila fitrahnya belum disentuh oleh penyimpangan dan segala bentuk noda yang mengotori, tentu dia akan menyambut tugas tersebut sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah Ta'ala. Sebaliknya, bila fitrah itu rusak maka perwujudan ibadah akan bisa diarahkan kepada selain Pemiliknya. Allah Ta'ala menjelaskan keberadaan fitrah ini dalam firman-Nya:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (ar-Rum: 30)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

“Setiap anak dilahirkan di atas kesucian, kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1278 dan Muslim no. 2658 dari hadits Abu Hurairah radiyallahu'anhu)

Ayat dan hadits di atas, secara gamblang menjelaskan bahwa asal kehidupan seseorang di muka bumi ini adalah kesucian fitrah yaitu Islam. Ini sebagai bantahan untuk kelompok Mu’tazilah yang mengatakan bahwa asal kehidupan manusia adalah kufur.

Di atas kemurnian fitrah inilah, Allah Ta'ala menurunkan kemurnian agama-Nya yang meliputi ajaran dan aturan, perintah dan larangan, keterangan tentang tauhid dan syirik, serta sunnah dan bid’ah. Di atas kesucian fitrah ini pula, setiap orang akan menyambut seruan syariat tersebut.

Adapun orang yang telah ternodai fitrahnya, ia akan mengelak dengan berbagai cara untuk bisa keluar dari larangan, ancaman, dan perintah sehingga bebas merdeka tanpa ada aturan yang mengikat. Berjalan sekehendaknya, melakukan apa yang diinginkan tanpa mengindahkan aturan-aturan yang ada.

Siapakah yang menjadi dalang kerusakan ini? Kapankah kerusakan itu mulai terjadi? Kerusakan terbesar apakah yang menimpa fitrah seseorang?

Dalang kerusakan fitrah manusia itu adalah iblis dan bala tentaranya dari kalangan jin dan manusia. Allah Ta'ala menerangkan dalam firman-Nya:

“Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah untuk menipu manusia.” (al-An’am: 112)

“Demikianlah Kami jadikan bagi setiap nabi itu musuh dari orang-orang yang berdosa.” (al-Furqan: 31)

Kesyirikan di Masa Nabi Nuh 'Alaihisalam

Usaha iblis dan tentaranya untuk merusak fitrah manusia dimulai ketika dia dijauhkan dari rahmat Allah Ta'ala menjadi terkutuk dan terlaknat, serta divonis menjadi calon penghuni neraka. Keberhasilan yang “gemilang” adalah pada kurun kesepuluh masa Nabi Nuh 'alaihisalam. Dengan kata lain, terjadinya penyimpangan fitrah besar-besaran adalah pada generasi Nabi Nuh 'alaihisalam.

Ibnu ‘Abbas radiyallahu'anhum berkata ketika menafsirkan firman Allah Ta'ala:

“Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kalian meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan kalian dan jangan sekali-kali kalian meninggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr’.” (Nuh: 23)

“Berhala-berhala yang dulu disembah oleh kaum Nabi Nuh 'alaihisalam telah menjadi (sesembahan) di negeri Arab setelahnya. Wadd adalah (sesembahan) Bani Kalb di Daumatul Jandal, Suwa’ adalah (sesembahan) Bani Hudzail, Yaghuts adalah sesembahan Bani Murad dan Bani Guthaif di Jauf (negeri Saba’), Ya’uq (sesembahan) Bani Hamdan, dan Nasr (sesembahan) Bani Himyar pada keluarga Dzil Kala’.

Mereka adalah nama orang-orang saleh pada kaum Nabi Nuh 'alaihisalam. Ketika mereka meninggal, setan membisikkan kepada orang-orang agar membuat berhala/gambar di majelis-majelis mereka dan memerintahkan, ‘Namakanlah dengan nama-nama mereka (orang-orang saleh tersebut).’

Mereka melakukannya dan (pada waktu itu berhala tersebut) belum disembah hingga mereka (para pembuat berhala) binasa dan ilmu terlupakan (dihapus), maka berhala itu menjadi sesembahan.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 4599)

Inilah kerusakan paling besar dan  yang pertama kali menimpa fitrah manusia di masa Nabi Nuh 'alaihisalam. Yaitu kerusakan i’tiqad (keyakinan) yang berwujud kesyirikan kepada Allah Ta'ala. Kerusakan ini pula yang menimpa umat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sampai hari kiamat.

Pada akhirnya, di atas kerusakan ini mereka mendapat kehinaan dan penghinaan, kerendahan dan perendahan, malapetaka demi malapetaka, kehancuran, kerusakan, kemunduran, dan sebagainya. Sunnatullah ini telah menimpa umat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sehingga hidup mereka harus terwarnai dengan kesyirikan di dunia. Bahkan apa yang mereka lakukan telah mencapai puncaknya di mana menjadikan kesyirikan sebagai wujud ketauhidan kepada Allah Ta'ala dan kecintaan kepada wali-wali Allah Ta'ala.

Tentang kebenaran sunnatullah ini, dijelaskan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam di dalam haditsnya:

“Kalian benar-benar akan mengikuti langkah umat-umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Kalaupun seandainya mereka masuk ke lubang binatang dhab (semacam biawak), niscaya kalian akan memasukinya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3456, Muslim no. 2669 dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radiyallahu'anhu)

Kesyirikan Sebelum Diutusnya Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam

Sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, umat ini akan terus mengikuti langkah umat sebelumnya. Tentunya juga tidak terlepas dari mengikuti mereka dalam peribadatan kepada selain Allah Ta'ala. Hal yang demikian ini akan terjadi sampai hari kiamat. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

“Tidak akan terjadi hari kiamat sampai kabilah-kabilah dari umatku mengikuti orang-orang musyrik.” (HR. Abu Dawud no. 4252, Ibnu Majah no. 3952, serta disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud, 3/801 no. 3577 dan dalam Shahih Ibnu Majah, 2/352 no. 3192 dari sahabat Tsauban radiyallahu'anhu)

Sebelum Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam diutus, bangsa Arab terbagi menjadi dua. Satu kelompok mengikuti agama-agama terdahulu seperti agama Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Sedangkan satu kelompok lagi mengikuti agama Nabi Ibrahim 'alaihisalam yang lurus, terlebih di negeri Hijaz, Makkah al-Mukarramah. Sampai pada akhirnya muncul seseorang yang bernama ‘Amr bin Luhai al-Khuza’i, seorang pemuka di negeri Hijaz. Dia dikenal sebagai ahli ibadah, saleh, dan sebagainya.

Suatu waktu, ia pergi ke negeri Syam untuk berobat. ‘Amr bin Luhai melihat penduduk negeri Syam menyembah berhala dan dia menganggap baik perbuatan tersebut. Pulang dari Syam, ‘Amr bin Luhai membawa patung, lantas setelahnya juga membawa patung yang digali dari peninggalan kaum Nuh 'alaihisalam. Lalu dia membagikannya kepada kabilah Arab dan memerintahkan untuk menyembahnya. Orang-orang pun menyambut dan menerima seruan tersebut hingga akhirnya kesyirikan memasuki negeri Hijaz dan negeri lainnya.

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda tentang ‘Amr bin Luhai al-Khuza’i,

“Aku menyaksikan ‘Amr bin Luhai al-Khuza’i menarik isi perutnya di dalam neraka.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3521 dan Muslim no. 2856 dari sahabat Abu Hurairah radiyallahu'anhu, lihat Syarah Masa’il al-Jahiliah karya asy-Syaikh Shalih Fauzan dan Mukhtashar Sirah karya asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, hlm. 12)

Islam dan Syirik

Syirik merupakan suatu praktik ibadah kepada selain Allah Ta'ala. Dengan kata lain, menjadikan tandingan bagi Allah Ta'ala dalam sebuah wujud peribadatan. Atau memalingkan peribadatan yang semestinya diberikan kepada Allah Ta'ala kepada selain-Nya. Ini merupakan wujud kezaliman dan kegelapan karena memberikan hak peribadatan kepada selain Allah 'Azza wa Jalla. Allah Ta'ala berfirman:

“Sesungguhnya kesyirikan adalah kezaliman yang besar.” (Luqman: 13)

Islam adalah agama rahmat, agama keselamatan, dan agama yang terang-benderang, malamnya seperti siangnya. Diturunkan Allah Ta'ala sebagai agama nikmat yang telah diridhai-Nya.

“Pada hari ini Aku sempurnakan agama kalian dan Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (al-Maidah: 3)

“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)

“Barang siapa mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima oleh Allah dan dia termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85)

Islam sangat menentang segala bentuk kesyirikan, memerangi segala bentuk kezaliman, dan menyinari kegelapan hidup dengan lentera wahyu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kesyirikan bukan dari Islam sedikit pun sehingga (tidak pantas) dihidupkan. Kesyirikan bukan lambang tauhid yang harus diperjuangkan. Kesyirikan adalah agama iblis dan tentara-tentaranya. Kesyirikan adalah kesesatan, kehinaan, kerendahan, kegelapan, kezaliman, kegagalan, dan kehancuran dunia akhirat.
Wallahu a’lam.

"Jangan Kau Duakan Ibadahmu"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah
AsySyariah.com

Beristighfar Di Akhir Malam

by admin aluyeah
Beristighfar di Akhir Malam | al-uyeah.blogspot.com
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan salah satu sifat para hamba-Nya yang beriman dalam firman-Nya (artinya):

“Dan pada waktu akhir malam (waktu sahur) mereka memohon ampun.” (Adz-Dzariyat: 18)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

« يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ » .

“Rabb kita Yang Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam yang akhir seraya berfirman: ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku mengabulkan doanya. Siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku berikan apa yang dimintanya. Siapa yang minta ampun kepada-Ku maka aku akan mengampuninya’.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)

dikutip dari "Waktu-waktu Mustajab untuk Berdoa"
darussalaf.or.id

Adab Mendengarkan Khutbah

by admin aluyeah
Adab Mendengarkan Khutbah | al-uyeah.blogspot.com
Ada beberapa adab yang dituntunkan bagi orang yang mendengarkan khutbah.

1. Bila seseorang masuk masjid, jangan duduk sampai shalat sunnah tahiyatul masjid meskipun khatib sedang berkhutbah.

Ini berlandaskan hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma bahwa datang seorang lelaki di hari Jum’at dalam keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menyampaikan khutbah lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah kamu sudah shalat?” Ia menjawab, “Belum.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Shalatlah dua rakaat!” (Shahih al-Bukhari no. 931)

2. Jika seseorang masuk masjid di hari Jum’at dan azan Jum’at sedang dikumandangkan, apakah dia tetap berdiri menunggu sampai selesainya azan atau dia langsung shalat tahiyatul masjid?

Ulama menyebutkan bahwa dia langsung shalat tahiyatul masjid karena mendengarkan khutbah itu wajib sedangkan menjawab azan itu sunnah. (Majmu’ Fatawa asy-SyaikhMuhammad bin Shalih al-‘Utsaimin 12/202)

3. Duduk di mana saja dia mendapatkan tempat dimasjid dan dianjurkan mendekat kepada imam.

4. Tidak melewati pundak-pundak orang dan tidak memisahkan antara dua orang.

Al-Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dalam Sunan-nya (1118) dari Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Datang seorang lelaki pada hari Jum’at dengan melangkahi leher-leher manusia dalam keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berkhutbah maka beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

إِجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ

“Duduklah, kamu telah mengganggu!”

(Hadits ini dinyatakan sahih oleh Ibnul Munzir rahimahullah seperti dalam al-Majmu’ 4/421 karya an-Nawawi rahimahullah)

Melangkahi pundak-pundak orang menurut pendapat yang kuat hukumnya haram, lebih-lebih jika hal itu terjadi ketika berlangsungnya khutbah karena terkandung bentuk menyakiti orang lain dan menyibukkan orang dari mendengarkan khutbah.

Dikecualikan dalam hal ini adalah imam, karena memang tempatnya di depan. Apabila imam bisa sampai di depan tanpa harus melewati pundak-pundak orang, maka itu yang seharusnya dilakukan. Misalnya, ada pintu masuk imam di bagian depan.

Dikecualikan pula dari larangan ini orang yang ingin mengisi tempat yang masih kosong di bagian depan. Misalnya, orang-orang yang datang lebih awal mengambil tempat duduk di bagian belakang masjid atau tengah-tengahnya dan membiarkan shaf-shaf depan tidak ditempati. Dibolehkannya melewati mereka karena biasanya mereka sendiri yang telah meremehkan shaf-shaf terdepan sehingga tidak mengapa untuk ditempati walaupun terpaksa harus melewati pundak-pundak manusia. (Lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/125-126)

5. Diam saat berlangsungnya khutbah.

Hal ini berlandaskan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

Apabila kamu mengatakan kepada temanmu di hari Jum’at,‘Diamlah kamu!’ dalam keadaan imam sedang berkhutbah maka kamu telah berkata yang sia-sia.” (HR. al-Bukhari no. 394dan Muslim)

Orang yang seperti ini telah sia-sia Jum’atannya meskipun telah gugur kewajibannya.

Hadits ini menunjukkan larangan dari seluruh percakapan saat berlangsungnya khutbah, karena jika ucapan “diamlah kamu” yang terkandung bentuk amar ma’ruf saja dikatakan sia-sia karena bukan pada waktu yang tepat, tentunya perkataan yang sifatnya biasa saja lebih dilarang lagi.

Khutbah sebagai salah satu syiar Jum’atan yang terbesar, tentu yang dimaukan agar para jamaah mendengarkannya dan tidak menyibukkan dengan selainnya. Diharapkan, selesai dari Jum’atan mereka telah menyerap materi khutbah yang mendorongnya kepada kebaikan dan mencegah dari
kemungkaran.

Namun, suatu hal yang sangat menyedihkan bahwa kita masih mendapatkan sebagian jamaah asyik mengobrol pada saat khatib dengan seriusnya menyampaikan khutbah. Yang lebih memilukan, sebagian mereka tenggelam dalam percakapan yang haram dan melukai kehormatan saudaranya.

Hadits ini juga menunjukkan bahwa larangan berkata-kata adalah hanya saat berlangsungnya khutbah. Adapun ketika khatib tidak sedang berkhutbah, seperti ketika duduk di antara dua khutbah, hal ini tidak mengapa.

Demikian pula, perintah untuk diam saat khutbah tidak hanya diam dari mengajak bicara orang lain namun juga diam dari berzikir dan membaca al-Qur’an.(lihat Subulus Salam 2/51)

Adapun menjawab salam, membaca hamdalah kalau bersin dan mengucapkan shalawat ketika nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam disebut, diperselisihkan kebolehannya saat berlangsung khutbah.

Sebagian ulama mengatakan hal itu tidak boleh karena ucapan “diamlah kamu” sudah dianggap sia-sia, padahal ia termasuk kategori al-ma’ruf (sesuatu yang baik), Maka, semua ma’ruf yang lainnya juga dilarang karena memang bukan waktunya, dan bahwa dilarangnya hal tersebut termasuk masalah “mendahulukan yang terpenting dari yang penting”, wallahu a’lam. (lihat al-Ajwibah an-Nafi’ah karya asy-Syaikh al-Albani hlm. 60)

Apakah orang yang tidak mendengar ceramah khatib boleh berbicara? Dalam permasalahan ini juga ada perbedaan pendapat. Jumhur ulama berpendapat tidak boleh. (lihat Syarh Shahih Muslim, karya an-Nawawi 6/377)

Pendapat jumhur ini tampaknya lebih kuat, karena hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan secara tekstualnya adalah perintah untuk diam dari seluruh ucapan saat khutbah berlangsung kecuali yang telah dikhususkan oleh dalil. Wallahu a’lam. (lihat Ahaditsul Jumu’ah)

Di antara yang dikecualikan oleh dalil adalah shalat tahiyatul masjid, jamaah berbincang dengan khatib dan jamaah diajak bicara oleh khatib. Adapun ucapan yang sifatnya harus seperti memperingatkan orang buta yang akan jatuh ke sumur atau orang yang dikhawatirkan tersengat api, ular, atau kebakaran, dan yang semisalnya, maka hal ini boleh. (Lihat al-Mughni 3/198)

Apabila khatib menyampaikan materi khutbah yang tidak layak, sebagian salaf membolehkan berbicara di saat khutbah. (Fathul Bari 2/415 dan Mushannaf Abdurrazzaq 3/213)

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Apabila khatib memasukkan dalam khutbahnya sesuatu yang bukan kategori zikir kepada Allah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula doa yang diperintahkan, maka berbicara di saat itu boleh.” (al-Muhalla 5/62)

6. Larangan duduk ihtiba, yaitu seseorang duduk menegakkan kedua lutut dan kedua kakinya lalu menggabungkannya ke perutnya dengan cara mengikatnya dengan kain atau kedua tangannya.

Ini berlandaskan hadits Abu Dawud dalam Sunan-nya dari Mu’adz bin Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari ihtiba di hari Jum’at dalam keadaan imam sedang berkhutbah. (no. 1110)

Dilarang duduk seperti ini karena akan bisa membuat seorang tertidur dan menjadi pengantar untuk batalnya wudhunya.(1) (Lihat ‘Aunul Ma’bud 3/322)

7. Tidak bermain-main saat berlangsungnya khutbah karena akan mengganggu konsentrasi.

Demikian pula tidak melakukan sesuatu yang bisa menyibukkan dari mendengar khutbah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا

“Barangsiapa memegang/menyentuh kerikil maka dia telah melakukan perkara yang sia-sia.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 901 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Di sini, kami mengajak para takmir atau pengelola masjid untuk tidak mengedarkan kotak infak di saat berlangsungnya khutbah, karena sangat mengganggu konsentrasi para jamaah. Mungkin bisa dicari cara selain ini. (-red.)

8. Bergeser dari tempat duduknya apabila mengantuk.

Ini berlandaskan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda,

إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَلْيَتَحَوَّلْ مِنْ مَجْلِسِهِ ذَلِكَ

“Apabila salah seorang kalian mengantuk pada hari Jum’at, hendaklah ia berpindah dari tempat duduknya itu.” (ShahihSunanat-Tirmidzi no. 526)
————————————————————-
1. Tentang duduk ihtiba, ada pendapat lain. Sebagian ulama membolehkannya dengan alasan bahwa hadits yang melarang duduk ihtiba derajatnya lemah. Untuk mengompromikan kedua pendapat tersebut, al-Iraqi menyatakan,”Seandainya dianggap semua hadits tersebut shahih, larangan itu dimaksudkan agar seseorang tidak mulai memasang hibwah (melakukan duduk ihtiba) ketika imam sudah berdiri untuk berkhutbah hingga ia menyelesaikannya.” (Syarh Musykil al-Atsar, 7/344-345) (-ed.)

"Adab Orang yang Mendengarkan Khutbah"
oleh : al Ustadz Abdul Mu’thi Lc.
AsyAsyariah.com