Mengapa Kami Berlepas

by admin aluyeah
Mengapa Kami Berlepas | al-uyeah.blogspot.com
Bismillah, sejak "terungkap"nya post "Kami Berlepas" muncul banyak pertanyaan kepada mimin apa sebenarnya maksud dari poster tersebut. Ada yang mencibir, menuduh, namun ada pula yang bertanya secara personal sekaligus menghormati keputusan mimin. Mungkin sebagian mamen merasa audio di post tersebut tentu tidak mencukupi untuk menunjukan mengapa mimin memutuskan untuk berlepas. Karena memang post tersebut bertujuan hanya untuk menunjukan sikap mimin dalam berlepas dari mereka. Dengan mengharap ridho Allah 'Azza wa Jalla mimin ingin bercerita bagaimana mimin akhirnya memutuskan berlepas dari mereka.

Informasi lokasi, nama, dan kejadian tidak akan dipaparkan secara mendetail. Terserah mamen mau percaya atau tidak. Tidak ada yang memaksa kalian untuk percaya. Hidayah hanya ditangan Allah 'Azza wa Jalla. Kami berharap Allah Ta'ala menunjukan haq adalah haq, bathil adalah bathil kepada kita semua. Dan mimin berharap apa yang akan mimin ceritakan ini cukup untuk menjawab keheranan mamen sekalian.

Pertama mimin hanyalah manusia yang tidak luput dari dosa. Jika dosa yang mimin lakukan menimbulkan bau, niscaya kalian akan jijik, sungguh kalian akan jijik. Merupakan suatu keberuntungan yang besar mimin dipertemukan dengan dakwah sunnah, manhaj salaf. Segala puji bagi Allah Ta'ala yang mengkaruniai seluruh kebaikan ini.

Mimin akui jika website yang kami sudah berlepas sekarang ini merupakan salah satu jalan mimin mengenal manhaj salaf. Manhaj yang memiliki hujjah, memiliki landasan dalil yang tak terbantahkan. Sangat berbeda dengan pemahaman yang selama ini mimin tahu. Manhaj salaf itu sangat kokoh. Selalu mengembalikan kepada Al Quran dan Sunnah. Hingga kebanyakan tulisan di blog ini dulunya juga diambil dari website yang kami sudah berlepas dari mereka karena memang waktu itu masih mimin anggap semua sama, sama-sama bermanhaj salaf.

Hingga akhirnya belakangan ini muncul peristiwa yang satu memperingatkan terhadap yang lain. Mulailah muncul banyak perdebatan, perselisihan, khususnya di media sosial mengenai hal itu. Mimin putuskan untuk tidak masuk ke wilayah tersebut, karena memang bukan kapasitas mimin, dan juga bukan tempatnya.

Alhamdulillah, ketika itu mimin memiliki teman dekat yang juga memperingatkan akan hal itu. Semoga Allah memberinya banyak banyak banyak kebaikan. Seperti halnya ketika menerima manhaj salaf, manhaj yang memiliki hujjah yang sangat kokoh. Dalam peristiwa ini mimin juga melihat siapa yang lebih kokoh hujjahnya. Dan saat itu pun mimin tidak cepat dalam memutuskan.

Mungkin saat itu terkena syubhat untuk tidak menyibukkan diri dengan tahdzir dan menyibukkan diri dengan menuntut ilmu. Bagi sebagian mamen yang membaca nasihat itu, you know who mamen. Hingga akhirnya banyak tulisan di blog ini pun bergeser mengangkat tulisan beliau. Hingga akhirnya mimin mendapatkan kabar jika ada yang memperingatkan untuk berlepas dari beliau. Kembali mimin melihat, hujjah siapa yang lebih kokoh. Pada titik ini akhirnya mimin memutuskan untuk vakum. Tidak lagi mengelola page, maupun blog Aluyeah.

Justru pada saat vakum itu, keluarga mimin sering berhubungan dengan mereka yang mimin berlepas dari mereka sekarang. Mamen, lihat betapa dekatnya keluarga mimin, sampai-sampai pernah 2 ustadz pimpinan ma'had di sekitar kota mimin datang ke rumah untuk membantu menyelesaikan masalah keluarga mimin. Hampir setiap minggu ada kajian khusus keluarga besar mimin yang diisi oleh staf pengajar dari ma'had mereka.

Hingga pada masa pilpres, mimin terkejut. Benar-benar terkejut, mengapa bisa menyarankan salah satu kandidat untuk dipilih. Malam hari sebelum pilpres, mimin baca sendiri sms forward dari ustadz pimpinan ma'had yang menyarankan untuk memilih salah satu kandidat capres. Kembali, mimin lihat hujjah siapa yang lebih kokoh, antara yang ikut dalam pilpres dengan yang berlepas dari pilpres. Dan akhirnya mimin putuskan untuk tidak datang dalam pilpres.

Setelah itu, mimin mulai melihat apa yang diperingatkan ulama akhirnya mimin lihat sendiri. Setelah itu, mulai tampak satu persatu sikap lembek mereka dalam bermanhaj. Mulai dari staff pengajar ma'had yang mengisi kajian keluarga besar mimin, saat itu sampai-sampai mengambil "hikmah" dari film holywood. Teman-teman facebook mimin yang berjalan bersama mereka mulai bermudah-mudahan dalam ikut meramaikan salah satu group dakwah dengan media visual yang diisi oleh orang-orang yang sangat beragam. Juga staff pengajar ma'had mereka yang mengagumi peruqyah "syar'i" yang terkenal di Youtube, yang cara meruqyahnya kebanyakan adalah inovasi mereka sendiri. Teman-teman facebook mimin mulai mengunggah foto wajah mereka, mulai menshare perkataan "ulama" yang tidak jelas manhajnya. Pernah mimin baca, salah satu ustadz mereka mengutip perkataan "ulama" terkenal di dunia, kemudian ustadz itu ditanya tentang manhaj "ulama" tersebut, dan dijawab, saya tidak tahu. Dan masih banyak sikap-sikap lembek dalam bermanhaj lainnya yang telah nampak. Silakan mamen perhatikan sendiri.

Kemudian mimin putuskan untuk berlepas dari mereka. Ada satu hal yang mengganjal, bagaimana dengan blog Aluyeah? Yang sebelumnya banyak mengambil dari mereka? Dan hal ini mimin tanyakan kepada beberapa ustadz, dan mimin mendapatkan nasihat yang sama, yaitu menyatakan diri untuk berlepas dari mereka. Kemudian barulah mimin aktif kembali di blog Aluyeah. One last mission nya adalah deklarasi untuk berlepas kepada mereka. Mimin pun mendapat nasihat untuk tidak berlebihan dalam menyatakan berlepas, semoga 2 post "Kami Berlepas" dan "Mengapa Kami Berlepas" cukup untuk menunjukan rujuknya kami kepada al haq, kembali kepada bimbingan para ulama, mengikuti manhaj salaf.

Mimin tidak ingin masuk dalam wilayah perdebatan, silakan untuk tidak berkomentar dalam artikel mimin ini. Tidak ada yang mengharuskan mamen semua untuk membenarkan apa yang mimin tulis ini. Namun saran mimin, jangan melihat mimin men, lihatlah yang mimin coba ikuti. Coba perhatikan, siapa yang lebih kokoh hujjahnya. Siapa yang lebih kokoh dalam bermanhaj. Siapa yang lebih kokoh dalam memegang perintah Allah dan RosulNya. 

Hukum Penyelundup dan Pengedar Narkoba

by admin aluyeah
Hukum Penyelundup dan Pengedar Narkoba | al-uyeah.blogspot.com
Keputusan Hai’ah Kibar Ulama no. 138 tentang Hukum Penyelundup dan Pengedar Narkoba

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Semoga balasan yang baik diperoleh oleh orang yang bertakwa. Shalawat dan salam tercurah kepada nabi dan rasul terbaik, nabi kita Muhammad, serta kepada para keluarganya, dan semua sahabatnya.

Amma ba’du : Majelis Kibar Ulama di pertemuan yang ke-29, yang diadakan di kota Riyadh, tanggal 9 Jumada Tsaniah 1407 H sampai tanggal 20 Jumadi Tsaniah 1407 H telah mempelajari telegram yang dikirim oleh Pengabdi Dua Tanah Suci, Raja Fahd bin ‘Abdul Aziz, dengan nomor S: 8033, tertanggal 11 Jumada Tsaniah 1407 H. Dalam surat itu dinyatakan:

“Melihat bahwa narkoba memberikan dampak yang sangat buruk, sementara kita perhatikan saat ini mulai banyak tersebar serta menimbang tuntutan kemaslahatan bagi umat, maka penting untuk diputuskan hukuman yang membuat jera bagi orang yang berusaha menyebarkan dan memasarkannya, baik ekspor atau impor. Karena itu, kami memohon kepada anda sekalian untuk membahas masalah ini di sidang Majelis Kibar Ulama dengan segera.Kami akan menyesuaikan dengan apa yang diputuskan.”

Majelis Kibar ulama telah mempelajari masalah ini, dan mendiskusikan dari berbagai macam sisi pada beberapa kali pertemuan. Setelah diskusi yang panjang tentang dampak buruk tersebarnya obat terlarang, maka Majelis Kibar Ulama menetapkan:

Pertama: Bagi penyelundup/bandar, hukumannya adalah dibunuh karena perbuatanya menjadi penyelundup/Bandar pengedaran narkoba, menyebarkanya obat terlarang ke dalam negara, menyebabkan kerusakan yang besar, tidak hanya bagi bandarnya, namun menjadi sebab masalah yang serius bagi seluruh umat.

Termasuk bandar narkoba adalah orang yang mendatangkan obat terlarang ini dari luar, kemudian ia distribusikan ke penjual secara langsung.

Kedua: Untuk pengedar obat terlarang, keputusan Majelis Kibar Ulama untuk pelaku telah diterbitkan pada keputusan no. 85, tertanggal 11 Dzulqa’dah 1401. Di sana dinyatakan:

“Orang yang mengedarkan narkoba, baik dengan membuat sendiri atau impor dari luar, baik dengan jual-beli, atau diberikan cuma-cuma, atau bentuk penyebaran lainnya, maka untuk pelanggaran yang dilakukan pertama, dia dihukum ta’zir yang keras, baik dipenjara, dihukum cambuk, atau disita hartanya, atau diberikan semua hukuman tersebut, sesuai keputusan Mahkamah. 

Kemudian jika mengedarkan lagi, dia diberi hukuman yang bisa menghindarkan masyarakat dari kejahatannya, meskipun harus dengan hukuman mati. Karena perbuatannya ini, dia termasuk orang yang merusak di muka bumi dan potensi berbuat maksiat telah melekat dalam dirinya. Para ulama menegaskan bahwa hukuman bunuh termasuk bentuk hukuman ta’zir yang dibolehkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:  “Manusia yang kerusakannya tidak bisa dihentikan kecuali dengan dibunuh boleh dihukum mati, sebagaimana hukum bunuh untuk pemberontak, menyimpang dari persatuan kaum muslimin, atau gembong perbuatan bid’ah dalam agama. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan untuk membunuh orang yang sengaja berdusta atas nama beliau (dengan membuat hadis palsu)”. Ibnu Dailami pernah bertanya kepada beliau tentang orang yang tidak mau berhenti dari minum khamr. Beliau menjawab, “Siapa yang tidak mau berhenti dari minum khamr, bunuhlah.”

Dalam karya beliau yang lain, Syaikhul Islam mengatakan tentang alasan bolehnya ta’zir dengan membunuh, “Orang yang membuat kerusakan seperti ini seperti orang yang menyerang kita. Jika orang yang menyerang ini tidak bisa dihindarkan kecuali dengan dibunuh maka dia dibunuh.”

Ketiga: Majelis Kibar Ulama berpendapat bahwa sebelum menjatuhkan dua hukuman di atas, hendaknya dilakukan proses pengadilan yang sempurna, untuk membuktikan kebenaran kasus, sesuai dengan proses mahkamah syar’iyah dan badan kriminal, sebagai bentuk kehati-hatian dalam memberikan hukuman mati kepada seseorang.

Keempat: hendaknya hukuman ini diumumkan melalui media massa, sebelum diterapkan, sebagai bentuk peringatan bagi masyarakat.
Demikianlah, wabillah At Taufiq wa shallallahu ala nabiyina Muhammad alihi wa shohbihi wa sallam.

Hai’ah Kibarul Ulama
Ketua : Ibrohim bin Muhammad Alu Syaikh.

Alihbahasa: Ustadz Abu Sufyan al Musi
Forumsalafy.net

Mengobati Jiwa Dengan Menentang Keinginan Jeleknya

by admin aluyeah
Mengobati Jiwa Dengan Menentang Keinginan Jeleknya | al-uyeah.blogspot.com
Sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim Rahimahullah bahwa di samping muhasabah, obat yang lain bagi jiwa yang ammarah bis-su’ adalah mukhalafah, yakni menentang hawa nafsu atau keinginan jeleknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (an-Nazi’at: 40—41)

Al-Qurthubi Rahimahullah menafsirkan, “Maksudnya, memperingatkan jiwanya dari perbuatan maksiat dan perbuatan yang haram.”

Sahl Rahimahullah mengatakan, “Meninggalkan keinginan buruk jiwa adalah kunci surga, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya)’.” (an-Nazi’at: 40—41)

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Kalian sekarang berada pada zaman yang kebenaran menuntun hawa nafsu. Akan datang nanti sebuah masa ketika hawa nafsu yang justru menuntun kebenaran. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari zaman tersebut.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)

Al-Alusi Rahimahullah dalam tafsirnya juga menerangkan, “…. (Arti ayat di atas) adalah memperingatkan jiwanya dan menahannya dari kemauan-kemauan yang membinasakan, yaitu condong kepada syahwat, serta meluruskannya dengan kesabaran, membiasakannya untuk mengutamakan kebaikan, tidak membiasakannya dengan hiasan dunia dan kembang-kembangnya, tidak terkecoh oleh gemerlapnya dan hiasan-hiasannya karena mengetahui betapa jeleknya akibatnya. 

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dan Muqatil Rahimahullah mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah seseorang yang berkeinginan melakukan maksiat dan teringat kedudukannya saat dihisab di hadapan Rabbnya lalu takut serta meninggalkan maksiatnya.

Kata al-hawa (seperti dalam ayat) asalnya bermakna al-mail (kecondongan, kemauan, keinginan, hasrat). Namun, kata ini menjadi populer untuk menyatakan makna kecondongan atau keinginan kepada syahwat. 

Dengan demikian, segala keinginan kepada syahwat disebut al-hawa (Ind: nafsu syahwat), (kata kerja hawa juga bermakna terjun, sehingga nafsu syahwat dinamakan demikian) karena hal itu akan mengempaskannya kepada segala yang lemah di dunia dan kepada jurang yang dalam di akhirat.

Oleh karena itu, orang yang menentang hawa nafsunya menjadi terpuji. Sebagian ahli hikmah mengatakan, ‘Apabila engkau ingin kebenaran, lihatlah hawa nafsumu lalu selisihilah.’ Al-Fudhail Rahimahullah mengatakan, ‘Seutama-utama amalan adalah menentang hawa nafsu….’

Hampir-hampir keburukan mengikuti hawa nafsu dan kebaikan dalam hal menyelisihinya adalah dua hal yang mesti. Akan tetapi, orang yang tidak menurutinya hanya sedikit, selain para nabi dan beberapa ash-shiddiqin (yang sangat jujur dalam beriman). Beruntunglah orang yang selamat darinya.” (Ruhul Ma’ani)

Mengendalikan jiwa adalah sifat orang yang cerdas. Ibnul Jauzi Rahimahullah mengatakan, “Orang yang cerdas akan menahan jiwanya dari sebuah kenikmatan yang menyisakan kepedihan dan syahwat yang mewariskan penyesalan. Cukuplah ukuran ini sebagai pujian bagi kecerdasan dan celaan bagi hawa nafsu.” (Dzammul Hawa)

Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah salah satu teladan dalam hal menentang hawa nafsu dan keinginan jiwa yang tidak baik.

Ibnu Taimiyyah Rahimahullah menerangkan, “Nabi Yusuf tergolong ‘orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya’.”

Sesungguhnya, Yusuf waktu itu adalah seorang yang muda dan bujang, tertawan di negeri musuh, tidak ada di sana kerabat dan teman yang ia merasa malu dari mereka apabila melakukan perbuatan keji. Karena, sebagian besar manusia akan terhalangi melakukan perbuatan-perbuatan jelek oleh rasa malunya dari orang yang dia kenal.

Jadi, apabila mengasingkan diri, seseorang akan melakukan apa saja yang diingini oleh hawa nafsunya. Nabi Yusuf ‘alaihissalam juga saat itu hanya berdua sehingga tidak takut kepada siapa pun. Menurut hukum nafsu ammarah—apabila nafsu beliau demikian—mestinya beliaulah yang merayu-rayu (istri raja). 

Bahkan, mestinya beliaulah yang membuat tipu daya untuk meraihnya, sebagaimana kebiasaan mayoritas orang yang berhasrat kepada wanita-wanita bangsawan apabila tidak mampu secara langsung mengajaknya ‘berbuat’. Adapun apabila dia diajak atau diminta, walaupun yang meminta itu seorang wanita pembantu, tentu dia menyambutnya dengan segera. Lantas, bagaimana apabila yang memintanya adalah tuan yang menguasainya, yang dia takut menyelisihi perintahnya?

Ditambah lagi suaminya—yang seharusnya marah besar kepada istrinya—ternyata tidak menghukumnya, bahkan Yusuf lah yang diperintah untuk menyingkir, sebagaimana seorang dayyuts (yang tidak punya cemburu) berteriak. Apalagi, wanita tersebut meminta bantuan wanita-wanita lain dan memenjarakan Yusuf.

Namun, Nabi Yusuf ‘alaihissalam mengatakan sebagaimana firman Allah,

Yusuf berkata, ‘Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh’.” (Yusuf: 33)

Hendaknya seorang yang cerdas memerhatikan faktor-faktor yang mendorong wanita tersebut untuk mengajak Yusuf kepada apa yang dia ajak: terpenuhinya segala sarana dan kuatnya ajakan sang wanita, tiada yang memalingkannya apabila dia melakukannya, tidak ada pula makhluk yang menyelamatkannya dari perbuatan tersebut (namun Nabi Yusuf ‘alaihissalam tetap menolaknya –pen.). 

Ini semua untuk menjelaskan bahwa ujian yang diberikan kepada Yusuf ‘alaihissalam termasuk ujian yang sangat besar, dan bahwa ketakwaan dan kesabarannya menahan diri dari maksiat termasuk kebaikan dan ketaatan terbesar. Sungguh, jiwa Yusuf ‘alaihissalam termasuk jiwa yang paling bersih. Bagaimana dia mau mengatakan,

Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf: 53)

Allah Mahatahu bahwa jiwanya bersih, bukan jiwa yang ammarah bis-su’ (suka menyuruh kepada kejelekan). Bahkan, jiwa beliau termasuk jiwa yang paling suci. Hasrat yang sempat ada pada beliau justru menambah kesucian jiwa dan ketakwaannya. Dengan sempat munculnya hasrat itu lantas beliau tinggalkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, sungguh menambah satu kebaikan yang termasuk kebaikan yang sangat besar yang menyucikan jiwa. (Majmu’ Fatawa bagian tafsir dengan sedikit diringkas)

Itulah salah satu gambaran indah dalam hal melawan keinginan jiwa. Dengan itu, jiwa semakin suci, kedudukan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala pun semakin tinggi. Bahkan, untuk mencapai tingkatan yang lebih sempurna tidak cukup hanya melawan kemauan jeleknya, tetapi dibutuhkan upaya yang sungguh-sungguh untuk membekali jiwa dengan amalan-amalan saleh. Itulah yang diistilahkan oleh Ibnul Qayyim Rahimahullah dengan jihadun nafs.

Ibnul Qayyim Rahimahullah menerangkan bahwa jihadun-nafs melalui empat tingkatan:

Memacu jiwa untuk mempelajari petunjuk dan agama yang benar, yang tiada keberuntungan bagi jiwa dan tiada kebahagiaan baginya, baik dalam kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat selain dengannya. Apabila jiwa tersebut terlewatkan darinya, ia akan sengsara di dunia dan akhirat.

Memacu jiwa untuk mengamalkan petunjuk tersebut setelah mengetahuinya. Apabila tidak demikian, sekadar ilmu tanpa amal, kalau tidak mencelakakannya, tentu tidak memberinya manfaat.

Memacu jiwa untuk mendakwahkan dan mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya. Apabila tidak demikian, ia tergolong orang yang menyembunyikan petunjuk dan keterangan yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ilmunya tidak memberinya manfaat dan tidak menyelamatkannya dari siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mengusahakan jiwa untuk bersabar terhadap kesulitan-kesulitan dalam berdakwah dan dalam menghadapi gangguan makhluk serta menanggung beban itu semua karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Apabila seseorang menyempurnakan empat tingkatan ini, ia akan menjadi golongan rabbani, karena sesungguhnya salaf (para pendahulu) bersepakat bahwa seorang alim tidak berhak untuk disebut rabbani hingga dia mengetahui kebenaran, mengamalkannya, dan mengajarkannya. Barang siapa mengetahui dan mengamalkannya, dia akan disebut sebagai orang besar di kerajaan langit. (Zadul Ma’ad, 3/9)

Jihadun nafs ini bukan hal sepele. Ini adalah awal dari semua langkahnya dalam segala amalan, termasuk amalan-amalan besar. Bahkan, jihad melawan musuh yang kafir yang merupakan puncak dari punuknya Islam adalah cabang dari jihadun nafs.

Ibnul Qayyim Rahimahullah juga menjelaskan, “Karena jihad melawan musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala di luar adalah cabang dari jihadun nafs (usaha hamba menundukkan jiwa), Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam mengatakan, ‘Mujahid adalah orang yang mengusahakan dirinya untuk selalu taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.’ (HR. )

Maka dari itu, jihadun nafs lebih diutamakan daripada jihad melawan musuh yang di luar dirinya. Jihadun nafs adalah asal-usul dari jihad melawan musuh. Hal ini karena orang yang tidak melakukan jihadun nafs terlebih dahulu agar melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh-Nya lalu memerangi jiwanya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak mungkin ia akan berjihad melawan musuh di luar dirinya….” (Zadul Ma’ad, 3/5—6)

Ibnul Jauzi Rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, jihadun nafs lebih besar daripada jihad melawan musuh, karena jiwa itu adalah sesuatu yang disukai dan ajakannya juga disukai. Sebab, jiwa tidak mengajak selain kepada sesuatu yang sesuai dengan nafsu (keinginan/syahwat). 

Sementara itu, menyesuaikan dengan sesuatu yang disukai dalam hal yang pada dasarnya tidak menyenangkan itu saja tetap disukai, lebih-lebih jika dia mengajak kepada sesuatu yang menyenangkan. Apabila keadaannya dibalik, dan jiwa yang disukai tadi ditentang ajakannya, jihad/perlawanan terhadapnya semakin berat dan masalah semakin sulit.

Berbeda halnya dengan jihad melawan orang-orang kafir karena tabiat dan watak manusia (pada dasarnya) adalah memusuhi lawan.

Ibnul Mubarak Rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

Orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik.’ (al-Ankabut: 69)

Maksudnya adalah jihad untuk menundukkan jiwa dan hawa nafsu.”

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik-Nya kepada kita semua untuk menuju jiwa yang suci.

"Mengobati Jiwa Dengan Menentang Keinginan Jeleknya"
Ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc hafizhahullah
Sumber: Majalah Asy Syariah

Wasiat dalam Menetapi Manhaj Salaf

by admin aluyeah
Wasiat dalam Menetapi Manhaj Salaf | al-uyeah.blogspot.com
Pertanyaan ini Berkaitan  dengan Wasiat dalam Menetapi Manhaj Salaf

Asy Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhaly menjawab:

Ini adalah yang awal kali kami berbicara masalah ini. Untuk itu yang aku wasiatkan dengannya untuk diriku sendiri dan anak anakku adalah agar menetapi manhaj salaf dan bersahabat dengan orang bermanhaj ini. 

Menetapi manhaj salaf tidak bisa terjadi kecuali dengan bersahabat dengan ahlinya,karena sesungguhnya merekalah yang akan membimbingmu di atas perjalanan di dalam jalan salaf ini, dengan semata izin Allah Tabaroka wa Ta’ala. Mereka pula yang akan menolongmu di atas manhaj ini.

Dan juga wasiat selanjutnya untuk membaca kitab kitab yang menerangkan manhaj ini padamu. Inilah cara yang akan membantumu kokoh di manhaj ini dengan ijin Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Maka sebagai misal, yang pertama yang hendaknya dibaca seorang penuntut ilmu dalam manhaj ini adalah kitab As Sunnah yang ringkas karya Al Imam Ahmad rahimahullah. Kitab ini terkenal dengan judul Ushulus Sunnah. 

Kemudian membaca As Sunnah karya Ibnu Abi Ashim, Asy Syariah karya Al Ajurry, As Sunnah karya Abdulloh putranya Imam Ahmad, Al Arsy karya Ibnu Abi Syaibah,Al Ibanah As Sughra dan juga Al Ibanah Al Kubro karya Ibnu Baththoh, dan Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah.

Maka sungguh kitab yang terakhir ini adalah kitab terluas pembahasannya yang ada di sisi kita, dan juga kitab Ibnu Baththoh yang dikenal berjudul Al Ibanah Al Kubro. Dua kitab ini tadi merupakan kitab terluas yang ada di tengah tengah kita dalam urusan menjelaskan keyakinan wal jama’ah.

Sesungguhnya setiap insan jika membaca kitab kitab yang telah kami sebutkan tadi dalam bab Aqidah maka ia akan dapat mengambil faedah yang besar. 

Dan itu dengan mengenal jalannya salafussholih rahimahullahu ta’ala di sisi ini, yakni sisi berpegang teguh di atas sunnah dan berloyalitas dengan ahlinya,serta menjauhi bidah dan menjauhi ahlinya,menjauhi ahlul ahwa dan bid’ah.

Maka ini tadi empat prinsip yang madzhabnya para salaf rahimahulloh Ta’ala berdiri tegak di atasnya dalam semua urusan. Maka terimalah! Pegang erat erat segala sunnah berkaitan dengan semua permasalahan aqidah. Dan bertemanlah kalian dengan ahlussunnah!

Sebagai contoh jika kamu mendatangi pembahasan masalah takfir, jauhilah bid’ah masalah takfir dan jauhi pula pengusung bidah ini. Mereka ini Khowarij dan Muktazilah. 

Tetaplah bersama ahlussunnah wal jama’ah dan bacalah pembahasan bab takfir ini! Jika masuk bab sifat sifat Allah, tetaplah dengan ahlussunnah wal jamaah dalam bab sifat Allah ini. 

Merekalah yang menetapkan untuk Allah Jalla wa Alla seperti apa  yang Allah tetapkan sendiri untuk-Nya atau yang ditetapkan rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kebaikan sunnahnya. 

Kemudian mereka menjauhi siapapun yang menyelisihi masalah ini, yakni dari kelompok kelompok yang menyelisihi seperti para pengusung akidah Jahmiyyah, ahlu bid’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, dan madzhab Maturidiyyah. Maka sungguh akan kau dapati ahlu sunnah menyelisihi mereka semuanya,yakni sekte Al Kullabiyah dan semisalnya.

Mereka (yang ingin kokoh di manhaj ini) hendaknya :

*menyelisihi kelompok tadi semua lalu berpegang teguh terhadap apa yang dipegang oleh ahlu sunnah, berjalan bersama ahlu sunnah, berhati hati dari kelompok kelompok yang menyelisihi , dan berhati hati dari thariqah/jalan mereka dengan cara mengenal prinsip prinsip ahlu sunnah pada masalah masalah ini dan berloyalitas pada ahlu sunnah. Dan juga dengan cara mengenal prinsip prinsip ahli bid’ah pada masalah masalah ini serta menjauhi mereka.

Seperti ini jugalah cara yang harus ditempuh pada semua bab, baik dalam bab takdir, bab tentang perbuatan perbuatan para hamba Allah, bab iman. Selisihi Murjiah dan tetaplah bersama ahlu sunnah. Menjauh dari Murjiah dan ahlinya, serta bersama terus dengan ahlu sunnah dalam bab ini dan sampaipun pada bab yang lain.

Dan kunasehatkan pada kalian untuk perhatian menghafal Al Wasithiyyah dalam bab aqidah ini setelah anda semua menghafal Al Qawaidul Arba, Ushuluts Tsalatsah, dan Kitabut Tauhid. Beri perhatian pada Al Aqidah Al Wasithiyyah! Karena ini adalah kitab yang mengumpulkan (pokok pokok ilmu) dalam bab ini, dalam bab keimanan. 

Karena Syaikhul Islam rahimahullah tidak melewatkan suatu pun di dalamnya dan menerangkan di dalamnya rukun rukun iman yang terdapat dalam hadits Jibril. Maka dia termasuk yang paling bermanfaat dari kitab kitab yang ada bagi penuntut ilmu. Dan pada bagian awal seluruhnya adalah ayat ayat Al Quran, diawali dengan ayat ayat , mudah bagi penuntut ilmu untuk menghafalnya. 

Lalu pada paruh kedua diletakkan padanya hadits hadits yang datang dari Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam. Selanjutnya datang pembahasan tentang sikap pertengahan ahlu sunnah diantara ahli bidah dan pengikut hawa nafsu, pertengahan di antara seluruh firqah firqah yang ada. 

Kemudian Ibnu taimiyyah menutupnya dengan tema seputar perhatian ahlu sunnah terhadap keutamaan keutamaan akhlak dan adab adab terpuji, semoga Allah Taala merahmati beliau. Maka kitab ini termasuk dari kitab kitab yang bermanfaat. Bahkan sebagian ulama berkata: “Orang yang belum membaca kitab kitab Ibnu Taimiyyah yaitu Al Wasithiyyah dan Al Hamawiyyah, mayoritas mereka tidak akan selamat dari kebid’ahan.”

Dia akan memasuki kebid’ahan dalam keadaan dia tak mengetahuinya. Maka jika dia membaca kitab kitab karangan salaf yang terbaik maka sungguh dia akan dapat manfaat.

Maka kunasehatkan pada kalian untuk fokus dengan perhatian khusus pada kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah setelah mengawali belajar dari kitab kitab aqidah. Karena kitab ini akan membuka pintu pintu dan cakrawala dalam bidang ini. Sesungguhnya kitab ini adalah matan yang memuat seluruh untaian pokok pokok aqidah ahlu sunnah,semoga Allah merahmati mereka.

Inilah yang dengannya aku berwasiat pada kalian,bersamaan dengan sikap kalian terhadap apa yang disebut. Kalian menjauh dari pengikut hawa nafsu dan kebid’ahan, orang yang bicara dengan mereka,dan dari orang yang tertuduh dengan penyimpangan total atau sebagiannya. 

Karena bergaul dengan orang yang menyimpang itu perbuatan sesat dan menyimpang, kita berlindung pada Allah. Karena tidak ada manfaat kedekatanmu dengan orang menyimpang. Tidak ada manfaat orang yang terkena penyakit kudisan berdekatan dengan orang yang sehat. Akan tetapi si sehatlah yang akan tertular kudisnya.

Kamu berlemah lembut dan bersimpati padanya, terkadang kau diam dan terkadang kau berlemah lembut. Tetapi dia tidak diam, dia akan melempar syubhat padamu,syubhat demi syubhat. Maka syubhat terus dilempar sampai menetap di hatimu. Maka jadilah saat itu petaka mendatangimu. 

Maka seperti yang sering diucapkan, teman dekat itu penyeret (kepada sesuatu). Oleh sebab itu jangan sekali – kali ada dari kalian rasa simpati pada mereka, karena sungguh para salaf mengecam dari perbuatan simpati kepada orang yang dzalim. 

Maka dengan sebab penyimpangan kalian, neraka akan menyentuh kalian. Jika kalian menyimpang dari al haq , kalian akan jatuh pada kebatilan. Maka diri diri kalian masuk pada ancapan siksa neraka,kami memohon pada Allah penjagaan dan keselamatan.

Maka ini yang kunasehatkan. Senantiasa bersama ahlus sunnah setelah kau mengenal sunnah, itu kebaikan dan berkah. Sesungguhnya orang orang yang selamat dari zaman zaman fitnah dan hawa nafsu, tidaklah Allah Tabaraka wa Ta’ala jaga mereka setelah mengenal sunnah kecuali dengan sebab berjalannya mereka bersama rombongan ahlus sunnah, semoga Allah Taala merahmati mereka,na’am.

Alihbahasa : Abu Mas’ud Surabaya
Forumsalafy.net

Kehidupan Dunia Menurut Generasi Salaf

by admin aluyeah
Kehidupan Dunia Menurut Generasi Salaf | al-uyeah.blogspot.com
Al-Hasan al-Bashri rahimahumallah mengatakan,

“Semoga Allah merahmati seseorang yang mencari harta dengan cara yang baik, membelanjakannya dengan sederhana, dan memberikan sisanya.

Arahkanlah sisa harta ini sesuai dengan yang diarahkan oleh Allah. Letakkanlah di tempat yang diperintahkan oleh Allah. Sungguh, generasi sebelum kalian mengambil dunia sebatas yang mereka perlukan. Adapun yang lebih dari itu, mereka mendahulukan orang lain.

Ketahuilah, sesungguhnya kematian amat dekat dengan dunia hingga memperlihatkan berbagai keburukannya. Demi Allah, tidak seorang berakal pun yang merasa senang di dunia. Karena itu, berhati-hatilah kalian dari jalan-jalan yang bercabang ini, yang muaranya adalah kesesatan dan janjinya adalah neraka.

Aku menjumpai sekumpulan orang dari generasi awal umat ini. Apabila malam telah menurunkan tirai kegelapannya, mereka berdiri, lalu (bersujud) menghamparkan wajah mereka. Air mata mereka berlinangan di pipi. Mereka bermunajat kepada Maula (yakni Rabb) mereka agar memerdekakan hamba-Nya (dari neraka).

Apabila melakukan amal saleh, mereka gembira dan memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut. Sebaliknya, apabila melakukan kejelekan, mereka bersedih dan memohon kepada Allah agar mengampuni kesalahan tersebut.”

(Mawa’izh al-Hasan al-Bashri, hlm. 41—42)
"Kehidupan Dunia Menurut Generasi Salaf"
Sumber: Permata Salaf “Majalah Asy Syariah“

Kalimat Syubhat

by admin aluyeah
Kalimat Syubhat | al-uyeah.blogspot.com
Pertanyaan: Bagaimana tentang orang yang mengatakan: “Pendapat kami benar, namun mungkin saja mengandung kesalahan. Sedangkan pendapat selain kami salah, namun mungkin saja mengandung kebenaran.”

Jawaban:

Demi Allah, ucapan semacam ini sering dikatakan oleh orang. Bisa jadi itu adalah ucapan yang benar bagi sebagian orang yang mengatakannya karena didorong oleh sifat tawadhu’. Namun bisa juga di balik itu ada tujuan-tujuan tertentu.

Jadi misalnya engkau berdiskusi dengan seseorang dalam perkara yang jelas dan engkau tunjukkan dalil-dalilnya kepadanya, lalu engkau katakan: “Ini firman Allah dan sabda Rasul-Nya.” Namun setelah itu dia menjawab: “Engkau mengharuskan (mengilzam) orang lain untuk menerima pendapatmu, padahal Asy-Syafi’iy saja mengatakan: “Pendapatku benar, namun bisa saja mengandung kemungkinan salah. Sedangkan pendapat selainku salah, namun bisa saja mengandung kemungkinan benar.”

Jika hal itu diterapkan pada masalah yang memiliki ruang ijtihad yang mengandung kemungkinan benar atau salah, maka hal itu tidak mengapa mengucapkan demikian.

Adapun pada masalah aqidah yang padanya terdapat dalil-dalil yang jelas dan tegas (nash) atau nash tersebut dalam masalah hukum halal dan haram, maka tidak akan mendebat dengan mengucapkan ungkapan semacam ini selain orang yang tujuannya memang ingin menyesatkan manusia, atau orang yang menunggangi kepalanya dan mengikuti hawa nafsunya.

Sumber: Al-Lubaab min Majmu’ Nashaih wa Taujihaatisy Syaikh Rabi’ lisy Syabaab, hal. 266-267, terbitan Daar Al-Miraatsun Nabawy, Aljazair (email: dar.mirath@gmail.com) cetakan ke-2 tahun 1434 H.

"Kalinat Abtara Syubhat dan Ilmu"
Asy Syaikh Rabi’ bin Hady al Madkhali hafizhahullah
Forumsalafy.net

Bidadari Surga

by admin aluyeah
Bidadari Surga | al-uyeah.blogspot.com
Al-Qur’an yang mulia sering menyebutkan kenikmatan-kenikmatan yang dijanjikan Allah Ta'ala kepada orang-orang yang beriman yang akan diperoleh kelak di surga, karena memang surga adalah tempat bersenang-senang dalam keridhaan ar-Rahman. Berbeda halnya dengan dunia sebagai darul ibtila’ wal imtihan, negeri tempat ujian dan cobaan.

Di dalam surga, penghuninya akan beroleh apa saja yang mereka inginkan. Allah Ta'ala kabarkan dalam kalam-Nya yang agung:

Di dalam surga itu terdapat segala apa yang diidamkan oleh jiwa dan sedap (dipandang) mata.” (az-Zukhruf: 71)

Al-‘Allamah Abdurrahman ibnu Nashir as-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas dengan ucapannya, “Kalimat (dalam ayat) ini merupakan lafadz yang jami’ (mengumpulkan semuanya). Ia mencakup seluruh kenikmatan dan kegembiraan, penenteram mata, dan penyenang jiwa. 

Jadi, seluruh yang diinginkan jiwa, baik makanan, minuman, pakaian, maupun pergaulan dengan pasangan hidup, demikian pula hal-hal yang menyenangkan pandangan mata berupa pemandangan yang bagus, pepohonan yang indah, hewan-hewan ternak, dan bangunan-bangunan yang dihiasi, semuanya bisa didapatkan di dalam surga. 

Semuanya telah tersedia bagi penghuninya dengan cara yang paling sempurna dan paling utama.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 769)

Di antara kenikmatan surga adalah beroleh pasangan/istri berupa bidadari surga yang jelita. Al-Qur’anul Karim menggambarkan sifat dan kemolekan mereka dalam banyak ayat, di antaranya:

1. Surat an-Naba ayat 31—33

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa akan beroleh kesenangan, (yaitu) kebun-kebun, buah anggur, dan kawa’ib atraba (gadis-gadis perawan yang sebaya).” (an-Naba’: 31—33)

Ibnu Abbas, Mujahid, dan selainnya menafsirkan bahwa kawa’ib adalah nawahid, yakni buah dada bidadari-bidadari tersebut tegak, tidak terkulai jatuh, karena mereka adalah gadis-gadis perawan yang atrab, yaitu sama umurnya/sebaya. (Tafsir Ibni Katsir, 7/241)

2. Surat al-Waqi’ah ayat 35—37

Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (wanita surga) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (al-Waqi’ah: 35—37)

Wanita penduduk surga diciptakan Allah Ta'ala dengan penciptaan yang tidak sama dengan keadaannya ketika di dunia. Mereka diciptakan dengan bentuk dan sifat yang paling sempurna yang tidak dapat binasa. 

Mereka semuanya, baik bidadari surga maupun wanita penduduk dunia yang menghuni surga, dijadikan Allah Ta'ala sebagai gadis-gadis yang perawan selamanya dalam seluruh keadaan. 

Mereka senantiasa mengundang kecintaan suami mereka dengan tutur kata yang baik, bentuk dan penampilan yang indah, kecantikan paras, serta rasa cintanya kepada suami.

Apabila wanita surga ini berbicara, orang yang mendengarnya ingin andai ucapannya tidak pernah berhenti, khususnya ketika wanita surga berdendang dengan suara mereka yang lembut dan merdu menawan hati. 

Apabila suaminya melihat adab, sifat, dan kemanjaannya, penuhlah hati si suami dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Apabila si wanita surga berpindah dari satu tempat ke tempat lain, penuhlah tempat tersebut dengan wangi yang semerbak dan cahaya. Saat “berhubungan” dengan suaminya, ia melakukan yang terbaik.

Usia mereka, para wanita surga ini, sebaya, 33 tahun, sebagai usia puncak/matang dan akhir usia anak muda.

Allah Ta'ala menciptakan mereka sebagai perempuan yang selalu gadis lagi sebaya, selalu sepakat satu dengan yang lain, tidak pernah berselisih, saling dekat, ridha dan diridhai, tidak pernah bersedih, tidak pula membuat sedih yang lain. Bahkan, mereka adalah jiwa-jiwa yang bahagia, menyejukkan mata, dan mencemerlangkan pandangan. (Lihat keterangan al-Allamah as-Sa’di t dalam Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 834)

3. Surat ar-Rahman ayat 55—58

Maka nikmat Rabb kalian yang manakah yang kalian berdua dustakan? Di ranjang-ranjang itu ada bidadari-bidadari yang menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin(1). Maka nikmat Rabb kalian yang manakah yang kalian berdua dustakan? Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan.” (ar-Rahman: 55—58)

Mereka menundukkan pandangan dari melihat selain suami-suami mereka sehingga mereka tidak pernah melihat sesuatu yang lebih bagus daripada suami-suami mereka. Demikian yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas radiyallahu'anhum dan lainnya.

Diriwayatkan bahwa salah seorang dari mereka berkata kepada suaminya, “Demi Allah! Aku tidak pernah melihat di dalam surga ini sesuatu yang lebih bagus daripada dirimu. Tidak ada di dalam surga ini sesuatu yang lebih kucintai daripada dirimu. Segala puji bagi Allah yang Dia menjadikanmu untukku dan menjadikanku untukmu.” (Tafsir Ibni Katsir, 7/385)

Bidadari yang menjadi pasangan hamba yang beriman tersebut adalah gadis perawan yang tidak pernah digauli oleh seorang pun sebelum suami-suami mereka dari kalangan manusia dan jin. Mereka diibaratkan permata yakut yang bersih bening dan marjan yang putih karena bidadari surga memang berkulit putih yang bagus lagi bersih. (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 385)

4. Surat ar-Rahman ayat 70

Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik (akhlaknya) lagi cantik-cantik parasnya.” (ar-Rahman: 70)

Terkumpullah kecantikan lahir dan batin pada bidadari atau wanita surga itu. (Taisir al-Karimir Rahman hlm. 832)

5. Surat ar-Rahman ayat 72

(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dan dipingit di dalam rumah.” (ar-Rahman: 72)

Rumah mereka dari mutiara. Mereka menyiapkan diri untuk suami mereka. Namun, bisa jadi mereka pun keluar berjalan-jalan di kebun-kebun dan taman-taman surga, sebagaimana hal ini biasa dilakukan oleh para putri raja dan yang semisalnya. (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 832)

6. Surat ad-Dukhan ayat 51—54

Sesungguhnya orang-orang bertakwa berada dalam tempat yang aman, (yaitu) di dalam taman-taman dan mata air-mata air. Mereka memakai sutra yang halus dan sutra yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan, demikianlah. Dan Kami nikahkan mereka dengan bidadari-bidadari.” (ad-Dukhan: 51—54)

Wanita yang berparas jelita dengan kecantikan yang luar biasa sempurna, dengan mata-mata mereka yang jeli, lebar, dan berbinar. (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 775)

7. Surat ash-Shaffat ayat 48—49

Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya (qashiratuth tharf) dan jeli matanya, seakan-akan mereka adalah telur burung unta yang tersimpan dengan baik.” (ash-Shaffat: 48—49)

Qashiratuth tharf adalah afifat, yakni wanita-wanita yang menjaga kehormatan diri. Mereka tidak memandang lelaki selain suami mereka. Demikian kata Ibnu Abbas, Mujahid, Zaid bin Aslam, Qatadah, as-Suddi, dan selainnya.

Mata mereka bagus, indah, lebar, dan berbinar-binar. Tubuh mereka bersih dan indah dengan kulit yang bagus. Ibnu Abbas radiyallahu'anhum berkata, “Mereka ibarat mutiara yang tersimpan.”(2)

Al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Mereka terjaga, tidak pernah disentuh oleh tangan.” (Tafsir Ibni Katsir, 7/11)

Ini menunjukkan ketampanan lelaki dan kecantikan wanita di surga. Sebagiannya mencintai yang lain dengan cinta yang membuatnya tidak memiliki hasrat kepada yang lain. Hal ini juga menunjukkan bahwa mereka seluruhnya menjaga kehormatan diri, tidak ada hasad di dalam surga, tidak ada saling benci dan permusuhan, karena tidak adanya sebab yang bisa memicu ke sana. (Taisir al-Karimir ar-Rahman, hlm. 703)

Semoga Allah Ta'ala memberi taufik kepada kita untuk beramal dengan amalan yang dapat menyampaikan kepada ridha-Nya dan memasukkan kita ke negeri kemuliaan-Nya. Amin.

Catatan Kaki:

1 Ini adalah dalil bahwa jin yang beriman pun akan masuk surga.

2 Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala tentang kenikmatan yang diperoleh penduduk surga,

“Dan bidadari surga yang bermata jeli. Mereka seperti mutiara yang tersimpan.” (al-Waqi’ah: 22—23)

"Bidadari Surga dalam Penggambaran al-Qur’an"
ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah

Definisi Al Jama'ah

by admin aluyeah
Definisi Al Jama'ah | al-uyeah.blogspot.com
Firqah (dengan huru fa' dikasrahkan) artinya sekelompok manusia. la disifati dengan an-najiyah, (yang selamat), dan Al-Manshurah, (yang mendapat pertolongan), berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang tegar di atas al-haq, yang tidak akan terkena mudharat dari orang yang enggan menolong atau menentang mereka, sehingga datanglah keputusan Allah sedangkan mereka tetap dalam keadaan begitu."[1]

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama'ah, adalah merupakan pengganti atau nama lain dari kelompok tersebut. Yang dimaksud dengan As-Sunnah adalah Thariqah (cara/jalan ) yang dianut oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam para sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka hingga Hari Kiamat.

Adapun al-jama'ah, makna asalnya adalah sejumlah orang yang mengelompok. Tetapi, yang dimaksud dengan al-jama'ah dalam pembahasan aqidah ini adalah Salaf (pendahulu) dari umat ini dari kalangan shahabat dan orang-orang yang mengikuti kebaikan mereka, sekalipun hanya seorang yang berdiri di atas kebenaran yang telah dianut oleh jama 'ah tersebut. [2]

Abdullah bin Mas'ud Radhiyalahu anhu berkata :

"Artinya : Jama'ah adalah apa yang selaras dengan kebenaran, sekalipun engkau seorang diri.

Dari 'Auf bin Malik yang berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Umat Yahudi berpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, satu golongan di jannah sedangkan tujuh puluh golongan di naar. Umat Nasrani berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, tujuh puluh satu golongan di naar sedangkan satu golongan di jannah. Demi Allah, yang jiwaku di tangan-Nya, umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, satu golongan di jannah sedangkan tujuh puluh dua golongan di naar."[3]

Foote Note
[1]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dengan lafazhnya dari Mughirah RA, IV/187 dan Muslim III/1523.
[2]. Ar-Raudah An-Nadiyyah Syarh Al-Aqidah Al-Washitiyyah‌, hal. 14 Zaid bin
Fayyadh dan Muhammad Khalil Al-Haras, hal 16.
[3]. Ibnul Qayyim, ighasatul Lahfan Min Mashayid Asy-Syaithan‌, I/70 

Syarah Aqidah Al-Wasithiyah
Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthaniy
Definisi Al Firqah An Najiyah (Ahlus Sunnah Wal Jama'ah)
AsySyariah.com

Darah Istihadhah

by admin aluyeah
Darah Istihadhah | al-uyeah.blogspot.com
Istihadhah berbeda dengan haidh. Perbedaan ini menuntut banyak hal. Terutama terkait dengan praktek ibadah. Pembahasan ringkas berikut insya Allah memberikan kemudahan untuk memahami apa sesungguhnya istihadhah itu

Sebagian wanita ada yang mengeluarkan darah dari farji (kemaluan) di luar kebiasaan bulanannya (haidh) dan bukan karena melahirkan. Darah ini diistilahkan dengan darah istihadhah. Al Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan, istihadhah adalah darah yang mengalir dari farji wanita di luar waktunya dan berasal dari urat yang dinamakan ‘adzil (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, 4/17).

Al Imam Al Qurthubi rahimahullah mensifatinya dengan darah yang keluar dari farji wanita di luar kebiasaan bulanannya, disebabkan urat yang terputus. (Al Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 3/57)

Keluarnya darah istihadhah ini merupakan hal yang lazim dijumpai para wanita. Bukan hanya di masa sekarang, namun sejak dulu dan dialami pula oleh para wanita dari kalangan shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Menurut Al Imam Ash Shan`ani rahimahullah, jumlah shahabiyyah yang mengalami istihadhah di masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mencapai sepuluh orang, demikian menurut perhitungan ahlul ilmi, (Subulus Salam, 1/161). Bahkan ada yang menghitungnya lebih dari sepuluh.

Di antara mereka adalah Fathimah bintu Abi Hubaisy radliallahu anha. Ia pernah datang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

Wahai Rasulullah! Aku adalah seorang wanita yang ditimpa istihadhah maka aku tidak suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat?”.(Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam kitab Shahih-nya no. 228, 306, 320, 325, 331 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 333)

Bahkan di antara Ummul Mukminin (istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), ada pula yang ditimpa istihadhah seperti yang diberitakan Aisyah radliallahu anha:

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah i`tikaf bersama sebagian istrinya, (ada di antara mereka) yang sedang istihadhah dalam keadaan ia melihat keluarnya darah…” (HR. Al Bukhari no. 309, 310)

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengkisahkan, tiga orang putri Jahsyin semuanya mengalami istihadhah. Mereka adalah Zainab Ummul Mukminin, Hamnah istri Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan Ummu Habibah istri ‘Abdurrahman bin Auf, semoga Allah meridhai mereka semuanya. (Syarah Muslim 1/23, Fathul Bari, 1/513)

Bahkan ada di antara shahabiyyah yang mengalami istihadhah selama bertahun-tahun, seperti dialami Ummu Habibah bintu Jahsyin radliallahu anha. Ia istihadhah selama 7 tahun, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Al Bukhari no. 327 dan Muslim no. 334.

Ada pula di antara mereka yang keluar darah istihadhah dengan deras dan sangat banyak seperti Hamnah bintu Jahsyin radliallahu anha. Ia pernah datang menemui Nabi Shallallahu'alaihiwasalam mengadukan keadaan dirinya:

“Aku ditimpa istihadhah yang sangat banyak dan deras…” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan ia menshahihkannya. Dinukilkan penshahihan Al Imam Ahmad terhadap hadits ini, sedangkan Al Imam Al Bukhari menghasankannya. Lihat Subulus Salam, 1/159-160)

Keadaan Wanita yang Istihadhah

Keadaan pertama: 

Dia memiliki ‘adat (kebiasaan haidh) yang tertentu setiap bulannya sebelum ditimpa istihadhah. Ketika keluar darah dari farjinya, untuk membedakan apakah darah tersebut darah haidh atau darah istihadhah, kembali kepada kebiasaan haidhnya. 

Dia meninggalkan shalat dan puasa di hari-hari kebiasaan haidhnya dan berlaku padanya hukum wanita haidh. Adapun di luar waktu itu bila masih keluar darah, berarti ia mengalami istihadhah dan berlaku pada dirinya hukum wanita suci (yakni suci dari haidh/ nifas).

Misalnya: seorang wanita ‘adatnya 6 hari di tiap awal bulan. Kemudian ia ditimpa istihadhah yang menyebabkan darah keluar terus menerus dari farjinya. Maka 6 hari di awal bulan itu dianggap haidh, selebihnya istihadhah. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radliallahu anha. Fathimah menyangka, ia harus meninggalkan shalat karena istihadhah yang dialaminya. Maka beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan tuntunan:

“Engkau tidak boleh meninggalkan shalat. (Apa yang kau alami) itu hanyalah darah dari urat bukan haidh. Apabila datang haidhmu maka tinggalkanlah shalat dan bila telah berlalu hari-hari haidhmu, cucilah darah darimu (mandilah) dan shalatlah.” (HR. Al Bukhari no. 228, 306, 320, 325, 331 dan Muslim no. 333)

Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga mengatakan kepada Ummu Habibah bintu Jahsyin radiyallahu'anha :

“Tinggalkanlah shalat sekadar hari-hari haidhmu kemudian mandilah.” (HR. Muslim no. 334)

Keadaan kedua: 

Ia tidak memiliki ‘adat tertentu sebelum ditimpa istihadhah ataupun ia lupa ‘adatnya, namun ia bisa membedakan darah. Maka untuk membedakan darah haidh dengan istihadhah ia memakai cara tamyiz (mengenali sifat darah). Bila ia dapatkan bau tidak sedap dari darah yang keluar dan sifat-sifat lain yang ia kenali, berarti ia sedang haidh, selain dari itu berarti ia istihadhah.

Misalnya: seorang wanita keluar darah dari kemaluannya secara terus menerus, namun 10 hari yang awal darah yang keluar berwarna hitam selebihnya berwarna merah. Maka 10 hari yang awal itu dihitung haidh, selebihnya istihadhah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radliallahu anha:

Apabila darah itu darah haidh, maka dia berwarna hitam yang dikenal. Bila demikian darah yang keluar darimu, berhentilah shalat. Namun bila tidak demikian keadaannya, berwudhulah dan shalatlah.” (HR. Abu Dawud, An Nasa’i, dan lainnya. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Abi Dawud no. 283, 284)

Muncul permasalahan, bagaimana bila wanita yang istihadhah punya ‘adat haidh dan bisa membedakan sifat darah (tamyiz)? Mana yang harus dia dahulukan, ‘adat atau tamyiz ?

Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Al Imam Malik, Asy Syafi‘i dan satu riwayat dari Al Imam Ahmad berpendapat tamyiz didahulukan. Mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam :

“Apabila darah itu darah haidh maka dia berwarna hitam yang dikenal. Bila demikian darah yang keluar darimu berhentilah shalat. Namun bila tidak demikian keadaannya berwudlulah dan shalatlah”. (HR. Abu Dawud, An Nasa’i, dan lainnya. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Abi Dawud no. 283, 284)

Mereka juga beralasan tamyiz merupakan tanda yang jelas sekali, maka sepantasnya kembali kepadanya.

Adapun Abu Hanifah berpendapat ‘adat didahulukan. Pendapat ini dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan berdalil sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam :

“Tinggalkanlah shalat sekadar hari-hari haidhmu kemudian mandilah.” (HR. Muslim no.334)

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyuruh Ummu Habibah untuk melihat kebiasaan haidhnya, meski Ummu Habibah bisa saja membedakan darah tersebut. Namun ternyata beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak meminta perincian, misalnya dengan bertanya: “Apakah darah yang keluar itu warnanya berubah?”. Jadi jelaslah, bahwa `adat-lah yang dipegangi bukan tamyiz.

Pendapat terakhir ini yang lebih benar, kata Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, dengan alasan:

1. Hadits yang di dalamnya ada penyebutan tamyiz diperselisihkan keshahihannya.
2. Penetapan dengan ‘adat lebih meyakinkan bagi seorang wanita karena sifat darah itu terkadang
berubah atau keluarnya bergeser ke akhir bulan atau awal bulan atau terputus-putus sehari berwarna hitam, hari berikutnya berwarna merah. (Asy Syarhul Mumti‘, 1/427)

Dengan demikian, bila seorang wanita ‘adatnya 5 hari, pada hari ke-4 dari masa haidhnya keluar darah berwarna merah seperti darah istihadhah, namun pada hari ke 5 kembali darahnya berwarna hitam, maka ia berpegang dengan ‘adatnya yang 5 hari sehingga hari ke-4 yang keluar darinya darah berwarna merah, tetap terhitung dalam masa haidhnya. Wallahu a‘lam.

Keadaan ketiga: 

Wanita itu tidak memiliki kebiasaaan haidh (‘adat) dan tidak pula dapat membedakan darah. Sementara, darah keluar terus menerus dari farjinya dan sifat darah itu sama (tidak berubah) atau tidak jelas. 

Maka cara membedakannya dengan melihat kebiasaan umumnya wanita, yaitu menganggap dirinya haidh selama enam atau tujuh hari pada setiap bulannya, dimulai sejak awal dia melihat keluarnya darah. Adapun selebihnya berarti istihadhah.

Misalnya: seorang wanita melihat pertama kali keluar darah dari vaginanya pada hari Kamis bulan Ramadhan dan darah itu terus keluar tanpa dapat dibedakan apakah darah haidh atau bukan. Maka dia menganggap dirinya haidh selama 6 atau 7 hari dimulai hari Kamis. Hal ini berdasarkan sabda Rasululah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Hamnah:

“Yang demikian itu hanyalah satu gangguan dari syaitan, maka anggaplah dirimu haidh selama enam atau tujuh hari. Setelah lewat dari itu mandilah, maka apabila engkau telah suci shalatlah selama 24 atau 23 hari, puasalah dan shalatlah. Hal ini mencukupimu, demikianlah engkau lakukan setiap bulannya sebagaimana para wanita biasa berhaidh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan ia menshahihkannya. Dinukilkan pula penshahihan Al Imam Ahmad terhadap hadits ini, sedangkan Al Imam Al Bukhari menghasankannya. Lihat Subulus Salam, 1/159-160)

Al Imam Ash Shan‘ani rahimahullah berkata bahwa hadits ini menunjukkan, untuk menentukan haidh dengan yang selainnya, dikembalikan kepada kebiasaan umumnya wanita. (Subulus Salam, 1/159)

Beliau rahimahullah juga menyatakan: “Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits di atas: “Anggaplah dirimu haidh selama 6 atau 7 hari” bukanlah keraguan dari rawi (yakni rawi ragu apakah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan 6 atau 7 hari–pent.) dan bukan pula disuruh memilih antara 6 atau 7 hari. 

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan demikian untuk mengajarkan bahwasanya kaum wanita memiliki dua `adat, di antara mereka ada yang haidh selama 6 hari dan ada yang 7 hari. Maka seorang wanita mengembalikan kebiasaannya kepada wanita yang sebaya, dan memiliki keserupaan dengannya.” (Subulus Salam, 1/160)

Dan tentunya lebih pantas bagi wanita ini untuk melihat kerabatnya yang paling dekat seperti ibunya, saudara perempuannya, dan semisal mereka. Bukan kembalinya kepada kebiasaan umumnya wanita yang haidh, karena persamaan seorang wanita dengan kerabatnya lebih dekat daripada persamaannya dengan keumuman wanita. Demikian dikatakan Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Asy Syarhul Mumti` (1/434).

"Darah Istihadhah"
Penulis: Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah
Majalah AsySyariah

Berprasangka Buruk Terhadap Orang Yang Mumayyi'

by admin aluyeah
Berprasangka Buruk Terhadap Orang Yang Mumayyi' | al-uyeah.blogspot.com
Berprasangka Buruk Terhadap Orang Yang Mumayyi' (Lembek Membela Manhaj Ahlus Sunnah) Dalam Menghadapi Ahli Bid'ah

Berkata Al ‘allamah as-Syaikh Zaid Al Madkhali -rahimahullahu Ta’ala- :

“Boleh berprasangka buruk (su’udzhon) terhadap seseorang yang melakukan sebab-sebab tamyi’ (lembek dalam membela Sunnah). Seperti orang yang engkau lihat dia marah apabila disebut (kerusakan) ahli bid’ah, disebutkan kritikan-kritikan tehadap mereka, dan manusia diperingatkan (ditahdzir) dari mereka dengan peringatan secara terang-terangan.

Atau engkau mendengarnya membela mereka (ahlul bid’ah) secara umum atau individu. Atau ada tanda-tanda yang menunjukkan, yang menjadi jelas dari tanda-tanda tersebut, bahwa orang tersebut bersifat mumayyi’ dalam manhaj Ahlus sunnah.

Maka jangan engkau turut melariskan peredarannya, dan jangan engkau mengarahkan (orang-orang) untuk mengambil (ilmu) darinya.

Hingga menjadi jelas bagimu keselamatannya, barulah engkau arahkan para penuntut ilmu untuk mengambil ilmu darinya.

Atau hingga jelas bagimu dukungannya kepada ahli bid’ah. 

Walaupun (hanya) dengan penyebaran milik mereka (ahlul bid’ah) dan tidak adanya pengingkaran terhadap mereka (ahlul bid’ah). Maka peringatkan dia dan peringatkanlah (orang-orang) darinya”.
Referensi: al-Ajwibah al-Atsariyah (halaman 93)

Alih Bahasa: Syabab Forum Salafy Indonesia

Forumsalafy.net

Batasan Kufu Dalam Pernikahan

by admin aluyeah
Batasan Kufu Dalam Pernikahan | al-uyeah.blogspot.com
Apakah batasan kufu dalam pernikahan? Apakah adanya kecocokan hati, perasaan, cara berpikir, cara pandang dan kefaqihan dalam agama termasuk dalam kekufuan ?

Dianwati
ummuyusuf@myquran.com

Jawab :
Para ahli fiqih (fuqaha) berbeda pendapat tentang kafa’ah (kufu) dalam pernikahan, namun yang benar sebagaimana dijelaskan Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma‘ad (4/22), yang teranggap dalam kafa’ah adalah perkara dien (agama). Beliau t berkata tentang permasalahan ini diawali dengan menyebutkan beberapa ayat Al Qur’an, di antaranya :

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berkabilah-kabilah agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (Al Hujurat: 13)

Orang-orang beriman itu adalah bersaudara.” (Al Hujurat: 10)

Kaum mukminin dan kaum mukminat sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.” (At Taubah: 71)

Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik…” (An Nur: 26)

Kemudian beliau lanjutkan dengan beberapa hadits, di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam:

“Tidak ada keutamaan orang Arab dibanding orang ajam (non Arab) dan tidak ada keutamaan orang ajam dibanding orang Arab. Tidak pula orang berkulit putih dibanding orang yang berkulit hitam dan sebaliknya orang kulit hitam dibanding orang kulit putih, kecuali dengan takwa. Manusia itu dari turunan Adam dan Adam itu diciptakan dari tanah”.

Nabi Shallallahu'alaihiwasalam bersabda kepada Bani Bayadlah: “Nikahkanlah wanita kalian dengan Abu Hindun”.

Maka merekapun menikahkannya sementara Abu Hindun ini profesinya sebagai tukang bekam.

Nabi Shallallahu'alaihiwasalam sendiri pernah menikahkan Zainab bintu Jahsyin Al Qurasyiyyah, seorang wanita bangsawan, dengan Zaid bin Haritsah bekas budak beliau. Dan menikahkan Fathimah bintu Qais Al Fihriyyah dengan Usamah bin Zaid, juga menikahkan Bilal bin Rabah dengan saudara perempuan Abdurrahman bin `Auf.

Dari dalil yang ada dipahami bahwasanya penetapan Nabi dalam masalah kufu adalah dilihat dari sisi agama. Sebagaimana tidak boleh menikahkan wanita muslimah dengan laki-laki kafir, tidak boleh pula menikahkan wanita yang menjaga kehormatan dirinya dengan laki-laki yang fajir (jahat/jelek).
Al Qur’an dan As Sunnah tidak menganggap dalam kafa’ah kecuali perkara agama, adapun perkara nasab (keturunan), profesi dan kekayaan tidaklah teranggap. Karena itu boleh seorang budak menikahi wanita merdeka dari turunan bangsawan yang kaya raya apabila memang budak itu seorang yang ‘afif (menjaga kehormatan dirinya) dan muslim. Dan boleh pula wanita Quraisy menikah dengan laki-laki selain suku Quraisy, wanita dari Bani Hasyim boleh menikah dengan laki-laki selain dari Bani Hasyim. (Zaadul Ma‘ad, 4/22) .

"Wanita Haidh Masuk ke Masjid dan batasan Kufu Dalam pernikahan"
Penulis: Pengasuh Rubrik Muslimah Bertanya
Sakinah, Muslimah Bertanya, 05 - Juli - 2003

Qalbu Mengeras Karena Jauh Dari Allah

by admin aluyeah
Qalbu Mengeras Karena Jauh Dari Allah | al-uyeah.blogspot.com
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka celakalah bagi mereka yang keras qalbunya dari berdzikir kepada Allah. Mereka berada dalam kesesatan yang nyata.” (Az-Zumar: 22)

Tidaklah Allah memberikan hukuman yang lebih besar kepada seorang hamba selain darikerasnya qalbu dan jauhnya dari Allah subhanahu wa ta’ala. An-Naar (neraka) adalah diciptakan untuk melunakkan qalbu yang keras. 

Qalbu yang paling jauh dari Allah adalah qalbu yang keras, dan jika qalbu sudah keras mata pun terasa gersang. Qalbu yang keras ditimbulkan oleh empat hal yang dilakukan melebihi kebutuhan: makan, tidur, bicara, dan pergaulan.

Sebagaimana jasmani jika dalam keadaan sakit tidak akan bermanfaat baginya makanan dan minuman, demikian pula qalbu jika terjangkiti penyakit-penyakit hawa nafsu dan keinginan-keinginan jiwa, maka tidak akan mempan padanya nasehat.

Barangsiapa hendak mensucikan qalbunya maka ia harus mengutamakan Allah dibanding keinginan dan nafsu jiwanya.

Karena qalbu yang tergantung dengan hawa nafsu akan tertutup dari Allah subhanahu wa ta’ala, sekadar tergantungnya jiwa dengan hawa nafsunya.

Banyak orang menyibukkan qalbu dengan gemerlapnya dunia. Seandainya mereka sibukkan dengan mengingat Allah subhanahu wa ta’ala dan negeri akhirat tentu qalbunya akan berkelana mengarungi makna-makna Kalamullah dan ayat-ayat-Nya yang nampak ini, dan ia pun akan menuai hikmah-hikmah yang langka dan faedah-faedah yang indah. Jika qalbu disuapi dengan berdzikir dan disirami dengan berfikir serta dibersihkan dari kerusakan, ia pasti akan melihat keajaiban dan diilhami hikmah.

Tidak setiap orang yang berhias dengan ilmu dan hikmah serta memeganginya akan masuk dalam golongannya. Kecuali jika mereka menghidupkan qalbu dan mematikan hawa nafsunya.

Adapun mereka yang membunuh qalbunya dengan menghidupkan hawa nafsunya, maka tak akan muncul hikmah dari lisannya.

Rapuhnya qalbu adalah karena lalai dan merasa aman, sedang makmurnya qalbu karena takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dzikir. Maka jika sebuah qalbu merasa zuhud dari hidangan-hidangan dunia, dia akan duduk menghadap hidangan-hidangan akhirat. Sebaliknya jika ia ridha dengan hidangan-hidangan dunia, ia akan terlewatkandari hidangan akhirat.

Kerinduan bertemu Allah subhanahu wa ta’ala adalah angin semilir yang menerpa qalbu, membuatnya sejuk dengan menjauhi gemerlapnya dunia. Siapapun yang menempatkan qalbunya disisi Rabb-nya, ia akan merasa tenang dan tentram. Dan siapapun yang melepaskan qalbunya di antara manusia, ia akan semakin gundah gulana.

Ingatlah! Kecintaan terhadap Allah tidaklah akan masuk ke dalam qalbu yang mencintai dunia kecuali seperti masuknya unta ke lubang jarum (sesuatu yang sangat mustahil).

Jika Allah subhanahu wa ta’ala cinta kepada seorang hamba, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan memilih dia untuk diri-Nya sebagai tempat pemberian nikmat-nikmat-Nya, dan Ia akan memilihnya di antara hamba-hamba-Nya, sehingga hamba itu pun akan menyibukkan harapannya hanya kepada Allah. Lisannya senantiasa basah dengan berdzikir kepada-Nya, anggota badannya selalu dipakai untuk berkhidmat kepada-Nya.

Qalbu bisa sakit sebagaimana sakitnya jasmani, dan kesembuhannya adalah dengan bertaubat. Qalbu pun bisa berkarat sebagaimana cermin, dan cemerlangnya adalah dengan berdzikir. Qalbu bisa pula telanjang sebagaimana badan, dan pakaian keindahannya adalah taqwa. Qalbu pun bisa lapar dan dahaga sebagaimana badan, maka makanan dan minumannya adalah mengenal Allah subhanahu wa ta’ala, cinta, tawakkal, bertaubat dan berkhidmat untuk-Nya.

"Qalbu Mengeras Karena Jauh Dari Allah"
(diterjemahkan dan diringkas dari kitab Al-Fawaid karya Ibnul Qayyim rahimahullah hal 111-112)
Penulis: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Taqlid Dan Fanatisme Golongan

by admin aluyeah
Taqlid Dan Fanatisme Golongan | al-uyeah.blogspot.com
“Kiai-ku lebih pintar dari kamu!”, “Imamku-lah yang paling benar!”, ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasehat disampaikan. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme golongan, penyakit yang telah lama menjangkiti umat.

Hancurnya kaum muslimin dan jatuhnya mereka ke dalam kehinaan tidak lain disebabkan kebodohan mereka terhadap Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta tidak memahami pengertian dan pelajaran yang terdapat pada keduanya.

Demikian pula yang menjatuhkan umat Islam ke dalam perbuatan bid’ah serta khurafat. Bahkan kebodohan terhadap agamanya ini merupakan faktor utama yang menumbuhsuburkan taqlid.

Berbagai kebid’ahan tumbuh dengan subur di atas ketaqlidan dan kebodohan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini juga disebabkan adanya para dajjal (pembohong besar) dari berbagai golongan (sempalan) yang menyandarkan dirinya kepada imam-imam madzhab yang telah dikenal. Padahal pengakuan mereka yang menyebutkan bahwa mereka adalah pengikut para imam tersebut adalah pengakuan dusta.

Kita dapati dalam kitab-kitab tentang tafsir, fiqih, tasawwuf ataupun syarh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbagai kebid’ahan bahkan khurafat yang ditulis oleh mereka yangmenyatakan dirinya bermadzhab Fulani. Innaa lillah wa Innaa ilaihi raji’un.

Begitu hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan-akan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini. Dan akibat taqlid ini, muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan orang dari madzhab lain, tidak mau pula shalat di belakang imam yang berbeda madzhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling mengkafirkan.

Inilah sesungguhnya penyakit yang mula-mula menimpa makhluk ciptaan Allah. Iblis yang terkutuk, makhluk pertama yang mendurhakai Allah, tidak lain disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana dia merasa unggul karena unsur yang menjadi asal dia diciptakan. Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan hal ini:

Aku lebih baik daripadanya. Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” (Al A’raf: 12)

Definisi Taqlid

Taqlid secara bahasa diambil dari kata () yang bermakna mengikatkan sesuatu di leher. Jadi orang yang taqlid kepada seorang tokoh, ibarat diberi tali yang mengikat lehernya untuk ditarik seakan-akan hewan ternak.

Sedangkan menurut istilah, taqlid artinya beramal dengan pendapat seseorang atau golongan tanpa didasari oleh dalil atau hujjah yang jelas.

Dari pengertian ini, jelaslah bahwa taqlid bukanlah ilmu dan ini hanyalah kebiasaan orang yang awam (tidak berilmu) dan jahil. Dan Allah subhanahu wa ta’ala telah mencela sikap taqlid ini dalam beberapa tempat dalam Al Qur’an. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

Atau adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum Al Qur’an lalu mereka berpegang dengan kitab itu? Bahkan mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.’ Dan demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapak kalian menganutnya?’ Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’ Maka Kami binasakan mereka, maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (Az-Zukhruf: 21-25)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah sebagaimana dinukil oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah, mengatakan: “Ayat-ayat ini adalah dalil terbesar tentang batil dan jeleknya taqlid. Karena sesungguhnya orang-orang yang taqlid ini, mengamalkan ajaran agama mereka hanyalah dengan pendapat para pendahulu mereka yang diwarisi secara turun temurun. 

Dan apabila datang seorang juru dakwah yang mengajak mereka keluar dari kesesatan, kembali kepada al-haq, atau menjauhkan mereka dari kebid’ahan yang mereka yakini dan warisi dari para pendahulu mereka itu tanpa didasari dalil yang jelas –hanya berdasarkan katanya dan katanya-, mereka mengatakan kalimat yang sama dengan orang-orang yang biasa bermewah-mewah: ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ Atau ungkapan lain yang semakna dengan ini.”

Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan ahli-ahli ibadah mereka sebagai Rabb selain Allah.” (At-Taubah: 31)

Maksudnya, mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah di kalangan mereka sebagai Rabb selain Allah. Artinya, ketika para ulama dan ahli ibadah itu menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan oleh Allah, mereka mengikuti penghalalan tersebut. Dan ketika mereka mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah mereka juga mengikuti pengharaman tersebut. 

Bahkan ketika para ulama dan ahli ibadah tersebut menetapkan suatu syariat yang baru dalam agama mereka yang bertentangan dengan ajaran para Rasul itu, mereka juga mengikutinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya? Mereka menjawab: ‘Kami dapati bapak-bapak kami menyembahnya’.” (Al-Anbiya’: 52-53)

Dan perhatikanlah bagaimana jawaban yang mereka berikan. Walhasil, taqlid ini menghalangi mereka untuk menerima kebenaran, sebagaimana disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala:

Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (Az-Zukhruf: 24)

Dan para ulama menjadikan ayat-ayat ini dan yang semakna dengannya sebagai hujjah (pedoman hukum) tentang batilnya taqlid. Tidaklah menjadi halangan bagi mereka untuk berhujjah dengan ayat ini meskipun ayat ini berbicara tentang orang-orang kafir, karena kesamaan yang terjadi bukan pada kekufuran satu golongan atau keimanan yang lain, akan tetapi kesamaannya adalah bahwa taqlid itu terjadi karena keduanya sama-sama mengikuti suatu keyakinan atau pendapat tanpa hujjah atau dalil yang jelas.

Demi Allah Yang Maha Agung, sesungguhnya kaum muslimin itu, ketika benar-benar sebagai kaum muslimin yang sempurna dan benar keislaman mereka, keadaan mereka senantiasa mendapat pertolongan dan menjadi pahlawan-pahlawan yang membebaskan berbagai negara dan menundukkannya di bawah kedaulatan muslimin. 

Akan tetapi ketika mereka mengubah-ubah perintah-perintah Allah, maka Allah-pun memberi balasan kepada mereka dengan mengganti nikmat-Nya kepada mereka, dan menghentikan kekhalifahan yang ada di tangan mereka. Dan inilah kenyataan yang kita saksikan dan kita rasakan.

Al-‘Allamah Al-Ma’shumi mengatakan bahwa termasuk yang berubah adalah adanya prinsip dan kewajiban harusnya seorang muslim bermadzhab dengan satu madzhab tertentu dan bersikap fanatik meskipun dengan alasan yang batil. 

Padahal madzhab-madzhab ini baru muncul sesudah berakhirnya masa tiga generasi terbaik umat ini. Dan akhirnya dengan bid’ah ini tercapailah tujuan Iblis memecah-belah kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari hal itu.

Beliau juga menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan harusnya seseorang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu sesungguhnya dibangun di atas satu kepentingan politik tertentu, dan ambisi-ambisi atau tujuan pribadi. Dan sesungguhnya madzhab yang haq dan wajib diyakini dan diikuti adalah madzhab junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan Imam yang Agung yang wajib diikuti, kemudian para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

Dan apa-apa yang datang dari Rasul kepada kamu maka ambillah dia, dan apa yang kamu dilarang mengerjakannya maka jauhilah!” (Al-Hasyr: 7)

Dan adapun yang dimaksud dengan Sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin yang harus diikuti tidak lain adalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Daftar bacaan:
1 Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu ‘Abdil Barr
2 Riyadhul Jannah, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i
3 Hadiyyatus Sulthan, Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi
4 Al-Hadits Hujjatun Binafsihi, Asy-Syaikh Al-Albani
5 Ma’na Qaulil Imam Al-Muththalibi, As-Subki
6 Irsyadun Nuqqad, Al-Imam Ash-Shan’ani
7 Al-Mudzakkirah, Asy-Syinqithi
8 Al-Ihkam, Ibnu Hazm
9 Al-Ihkam, Al-Amidi

"Taqlid Dan Fanatisme Golongan"
Penulis: Al-Ustadz Idral Harits