Doa Mustajab Ketika Safar

by admin aluyeah
Doa Mustajab Ketika Safar | al-uyeah.blogspot.com
Dari Abu Hurairah radiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta'ala adalah Dzat Yang Maha Baik dan Allah Ta'ala tidaklah menerima amalan kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah Ta'ala telah memerintahkan kaum mukminin sebagaimana perintah-Nya kepada segenap Rasul:

‘Wahai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ (Al-Mu’minun: 51)

Allah Ta'ala juga berfirman:

‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu’.” (Al-Baqarah: 172)

Setelah itu Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam menceritakan keadaan seseorang yang telah lama safar, rambutnya kusut penuh dengan debu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke arah langit sembari berdoa, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal makanannya haram, minumannya pun haram, pakaiannya juga haram, serta ia dibesarkan dari yang haram. Lantas bagaimana mungkin doa yang ia panjatkan akan dikabulkan?”

Makna Mufradat Hadits

وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ

Padahal makanannya haram.

Artinya menunjukkan bahwa dia dibesarkan semenjak kecil dengan makanan yang haram. Adapula ulama yang membedakan maknanya. Apabila huruf dzal tanpa tasydid maka maksudnya dia sendiri yang mencari makanan tersebut. Jika menggunakan tasydid maksudnya ia diberi makan oleh orang lain. (Tuhfadzul Ahwadzi, dalam syarah hadits ini)

فَأَنَّى

“Lantas bagaimana mungkin…”

Ini adalah kalimat yang digunakan untuk sesuatu yang sangat jauh kemungkinan terjadinya. Maksudnya, dari mana dia akan dikabulkan doanya ,dan bagaimana mungkin dikabulkan doanya sementara keadaan dia seperti ini? (Tuhfadzul Ahwadzi, dalam syarah hadits ini)

يُطِيلُ السَّفَرَ

“Yang telah lama safar.”
Dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah bahwa orang tersebut melakukan safar untuk melaksanakan ketaatan. Seperti haji, ziarah yang mustahab, silaturahmi, dan yang semisalnya. (Syarah Shahih Muslim tentang hadits ini)

Mustajabnya Doa Musafir

Kehidupan seorang muslim tidak akan terlepas dari doa. Semenjak pertama kali ia membuka mata dari tidur malamnya sampai ia kembali ke peraduannya selalu dihiasi dengan doa. Karena doa adalah senjata sekaligus benteng pertahanan yang ampuh dan kokoh. Doa akan benar-benar bermanfaat bila disertai keyakinan penuh bahwa Allah Ta'ala akan mengabulkannya. Karena Allah Maha Mendengar. 

Allah Ta'ala berfirman:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah:186)

Di antara faktor yang harus diperhatikan ketika berdoa adalah mencari waktu-waktu yang dinashkan (disebutkan oleh dalil) sebagai saat yang mustajab. Di antara waktu yang dinashkan adalah di saat safar. 

Ketika menjelaskan tentang hadits di atas, Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah di dalam Jami’ul Ulum wal Hikam menyatakan bahwa sabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam ini merupakan keterangan tentang adab-adab di dalam berdoa. Selain itu juga diterangkan tentang sebab-sebab terkabulnya doa sekaligus hal-hal yang dapat menghalangi terkabulkannya doa.

Pembahasan kita saat ini adalah safar  di mana menjadi salah satu sebab doa yang dipanjatkan seorang hamba akan dikabulkan. Safar adalah salah satu sebab makbulnya doa. Berdasarkan hadits Abu Hurairah radiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Ada tiga macam doa yang mustajab, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Doa orangtua, doa seorang musafir, dan doa orang yang terzalimi.” (HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad [no. 32], Abu Dawud [no. 1536], At-Tirmidzi [2/256], Ibnu Majah [no. 3862], Ibnu Hibban [no. 2406], dan Ahmad [2/258]. Hadits ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah. Silakan merujuk As-Silsilah Ash-Shahihah no. 598)

Al-Imam An Nawawi rahimahullah di dalam Riyadh Ash-Shalihin membuat bab dengan judul Disunnahkannya Berdoa Ketika Safar. Kemudian beliau membawakan hadits di atas.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa seorang musafir adalah orang yang meninggalkan kampung halamannya. Ia tetap dikatakan sebagai musafir hingga kembali ke negerinya. 

Beliau menambahkan, pada umumnya doa seorang musafir adalah doa orang yang benar-benar dalam kesulitan. Seorang hamba jika dalam kesulitan dan berdoa kepada Rabbnya tentu akan dikabulkan karena Allah Ta'ala menjawab doa orang yang mengkhawatirkan mudarat dan kesulitan.

Lalu beliau menegaskan, seorang musafir yang berdoa agar Allah Ta'ala memudahkan safarnya atau memberikan pertolongan kepadanya atau doa yang lain, maka sungguh Allah Ta'ala akan mengabulkannya. 

Oleh karena itu, sepatutnya seorang musafir mempergunakan kesempatan di dalam safar untuk berdoa. Apabila safar yang dia lakukan dalam rangka ketaatan seperti umrah dan haji, tentu akan menambah kekuatan dikabulkannya doa. (Syarah Riyadh Ash-Shalihin)

Doa seorang musafir termasuk doa orang yang sedang mengalami kesulitan. Allah Ta'ala menjanjikan, doa orang yang mengalami kesulitan akan dikabulkan. Allah Ta'ala berfirman:

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada ilah (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingat(Nya).” (An-Naml: 62)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini Allah Ta'ala mengingatkan bahwa hanya Dia yang berhak untuk diminta ketika terjadi kesulitan. Hanya Dia yang diharap di saat muncul persoalan. Sebagaimana firman-Nya:

“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih.” (Al-Isra’: 67)

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudaratan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (An-Nahl: 53)

Maka, semakin berat dan jauh safar seseorang semakin besar pula kemungkinan untuk dikabulkannya doa. Karena safar akan menjadi sebab bertambahnya kepasrahan hati disebabkan jauhnya ia dari kampung halaman.

Doa seorang musafir akan bertambah besar kemungkinan dikabulkan apabila dia menengadahkan kedua tangannya. Hal ini diperkuat dengan hadits Salman radiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا

“Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala Dzat Yang Maha Malu dan Maha Memberi, Allah malu apabila seorang hamba mengangkat kedua tangannya kepada-Nya kemudian mengembalikannya dalam keadaan hampa.” (HR. Abu Dawud no. 1488, At-Tirmidzi no. 3556, Ibnu Majah no. 3865, dan Ahmad, 5/438)

Ketika Asy Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahhullah ditanya tentang hikmah dikabulkannya doa seorang musafir, beliau menjawab, “Hikmah di balik itu bahwa seorang musafir akan terpusat hatinya. (Pikiran) ia tidak sesibuk sebagaimana ketika menetap di kota maupun desa. Kemudian lagi, pada umumnya seorang musafir akan berdoa seperti doa orang yang mengalami kesulitan dan benar-benar membutuhkan Allah Ta'ala karena ia sedang berada di dalam perjalanan. Lebih-lebih jika safarnya adalah safar yang dilingkupi ketakutan dan rasa cemas. Tentu orang yang berdoa akan bertambah besar harapan dan kepasrahan hatinya kepada Allah Ta'ala dibandingkan dengan keadaan sebaliknya. Hal inilah yang menjadi sebab dikabulkannya doa.” (Nur ‘Ala Ad-Darb)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menerangkan tentang mustajabnya doa seorang musafir. Beliau berkata, “Doa itu mustajab ketika turunnya hujan, berkecamuk peperangan, ketika adzan dan iqamat, di akhir shalat, ketika sujud, doa orang yang berpuasa, doa seorang musafir, doa orang yang dizalimi, dan yang semisalnya. Semua ini  berdasarkan hadits-hadits yang dikenal di dalam kitab-kitab shahih dan sunan.” (Majmu’ Fatawa 27/129)

Beberapa Contoh Doa yang Dikabulkan Ketika Safar

Al-Imam Ibnu Al-Qayyim rahimahullah di dalam Zadul Ma’ad (1/462) menjelaskan bahwa berjihad, haji, umrah, dan hijrah termasuk bagian dari safar. Berikut ini beberapa peristiwa yang menjadi ibrah bagi kita, betapa doa sungguh luar biasa. Subhanallah.

1. Hadits Anas bin Malik radiyallahu'anhu yang diriwayatkan Al-Bukhari (7/294), Muslim (2009), yang mengisahkan perjalanan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam menuju kota Madinah ditemani oleh Abu Bakr Ash-Shiddiq radiyallahu'anhu dalam rangka berhijrah. Di dalam perjalanan panjang itu, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dikejar oleh seorang penunggang kuda yang bermaksud jahat yaitu Suraqah bin Malik. Ketika Suraqah mulai nampak mendekat, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berdoa:

اللَّهُمَّ اصْرَعْهُ

Ya Allah, jatuhkanlah dia di atas tanah.” Kuda itu pun menjatuhkan Suraqah lalu berdiri kembali sambil meringkik. Suraqah berseru, “Wahai Nabi Allah, silakan perintahkan kepada saya apa yang anda inginkan!” Rasulullah menjawab, “Tetaplah engkau di tempatmu, jangan biarkan seorang pun menyusul kami.”

Allah Ta'ala mengabulkan  doa Nabi-Nya hingga Suraqah yang semula hendak mencelakai Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam justru berubah menjadi pelindung dan menyelamatkan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dari pengejaran mata-mata.

Kisah ini merupakan contoh Allah Ta'ala mengabulkan doa seorang musafir dalam rangka hijrah.

2. Hadits Ibnu Abbas radiyallahu'anhu yang diriwayatkan Al-Bukhari (no. 3953) tentang perang Badar. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam tiada henti memanjatkan doa. Meminta dengan sepenuh hati agar Allah Ta'ala menurunkan pertolongan dan memenangkan kaum muslimin. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَنْشُدُكَ عَهْدَكَ وَوَعْدَكَ اللَّهُمَّ إِنْ شِئْتَ لَمْ تُعْبَدْ

Ya Allah, sesungguhnya aku benar-benar meminta jaminan dan janji-Mu. Ya Allah, jikalau Engkau kehendaki, Engkau tidak lagi akan diibadahi.

Di dalam riwayat Ahmad (1/30) disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam ketika berdoa, selendang beliau terjatuh. Lalu datanglah Abu Bakr memungut selendang itu dan memakaikannya kembali di pundak Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Abu Bakr berkata, “Cukup wahai Nabi Allah, doa yang anda pinta. Karena sesungguhnya Rabbmu pasti akan mewujudkan janji-Nya.”

Kisah ini adalah contoh Allah Ta'ala mengabulkan doa seorang musafir dalam rangka berjihad.

3. Sebuah atsar yang diriwayatkan Al-Imam Ahmad rahimahullah lengkap dengan sanadnya, dalam Az-Zuhud (hal. 257), Ibnu Sa’d di dalam Ath-Thabaqat (7/135), serta Ibnu Abi Ad-Dunya di dalam Mujab Ad-Da’wah, tentang kisah perjalanan Shilah bin Asy-yam.

Ketika itu Shilah sedang melintasi daerah Ihwaz(1) di atas hewan tunggangannya dalam keadaan benar-benar lapar. Tidak ada seorang manusia pun yang ia temui. Hingga pada akhirnya, Shilah berdoa kepada Allah Ta'ala dan memohon agar diberi makanan. Shilah bertutur, “Tiba-tiba aku mendengar suara keras di belakangku seperti ada sesuatu yang jatuh. Ketika aku menoleh, aku melihat kain berwarna putih. Lalu aku pun turun dari kendaraan untuk mengambil kain tersebut. Ternyata di dalam bungkusan itu terdapat sekantong kurma matang. Aku pun membawa kurma tersebut dan kembali menaiki kendaraanku.”

Kisah ini merupakan contoh makbulnya doa seorang musafir dalam rangka menuntut ilmu syar’i.

4. Al-Imam Ibnu Sa’d rahimahullah di dalam Ath-Thabaqat ketika membawakan biografi Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah, meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-Hasan bin ‘Imran, keponakan Sufyan bin ‘Uyainah. Ia berkata: Aku menemani pamanku, Sufyan, pada haji terakhir yang ia tunaikan pada tahun 197 H. Ketika kami tiba di Muzdalifah, beliau mendirikan shalat. Setelah itu dia beristirahat di atas pembaringannya lalu berkata, “Sungguh, aku telah mendatangi tempat ini selama 70 tahun (untuk menunaikan ibadah haji).

Setiap tahun aku selalu berdoa, ‘Ya Allah, hamba memohon agar haji kali ini bukanlah haji untuk yang terakhir kalinya.’ Sungguh, aku benar-benar merasa malu kepada Allah karena seringnya aku mengucapkan doa ini.” Lalu, Sufyan bin ‘Uyainah kembali ke kediamannya di pinggiran kota Makkah. Tahun berikutnya, Sufyan bin ‘Uyainah meninggal dunia di hari Sabtu bulan Rajab tahun 198 H.

Beberapa Doa yang Diajarkan untuk Seorang Musafir

Safar adalah sebuah perjalanan yang penuh dengan ujian. Tidak sedikit halangan yang menghadang. Dalam keadaan seperti inilah, setan selalu menggoda hendak menjerumuskan anak keturunan Adam ke dalam dosa. Oleh karenanya, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mengajarkan untuk kita sebuah doa yang mulia:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan dan disesatkan, dari ketergelinciran dan digelincirkan, kezaliman dan dizalimi, serta dari kebodohan atau dibodohi.” (HR. Ahmad, 6/306, Ibnu Majah no. 3884, An-Nasa’i, 8/268, At-Tirmidzi no. 3427, Abu Dawud no. 5094 dari Ummu Salamah x)

Safar bukan saja sebuah perjalanan yang melelahkan. Safar pun merupakan bagian amaliah yang sarat dengan nilai-nilai ibadah. Sebelum memulai safar, kita diingatkan untuk tetap menjaga tauhid dalam bentuk menyerahkan diri sebagai tawakkal kita kepada Allah Ta'ala. Kita pun mesti meyakini bahwa safar yang dilakukan tidak akan tercapai melainkan dengan kehendak-Nya. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mengajarkan doa untuk kita:

بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ

“Dengan menyebut asma Allah, aku benar-benar bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan upaya melainkan milik Allah.” (HR. Abu Dawud no. 5094, At-Tirmidzi no. 3426 dari Anas bin Malik radiyallahu'anhu)

Doa semacam ini sangat bermanfaat sekali bagi seorang muslim sehingga ia dianjurkan untuk mengucapkannya setiap kali keluar meninggalkan rumah untuk menyelesaikan urusan dunia maupun ibadahnya. Ia akan selalu mendapatkan perlindungan di dalam perjalanan, memperoleh pertolongan untuk menunaikan kepentingan dan memperoleh taufiq.

Seorang musafir pun semestinya bertekad untuk berbuat kebajikan dan ketakwaan. Ia  harus selalu berkeinginan untuk melaksanakan amalan yang diridhai Allah Ta'ala. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam membimbing kita untuk memohon pertolongan dari Allah Ta'ala agar mampu beramal dan bertakwa di dalam safar. Beliau berdoa:

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى

Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kebaikan dan takwa dari-Mu di dalam safar kami, demikian pula kami meminta amalan yang Engkau ridhai.” (HR. Muslim dari sahabat Abdullah bin Umar radiyallahu'anhu no. 1342)

Safar memang perjalanan yang melelahkan. Terkadang banyak kesulitan yang dihadapi. Sehingga seorang musafir membutuhkan perlindungan agar selamat hingga tiba di tempat tujuan. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalan mengajarkan untuk kita sebuah doa:

اللَّهُمَّ بَلاَغًا يَبْلُغُ خَيْرًا مَغْفِرَةً مِنْكَ وَرِضْوَانًا بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ، اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا السَّفَرَ وَاطْوِ لَنَا الْأَرْضَ، اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْقَلِبِ

“Ya Allah, aku memohon agar aku sampai dan mendapatkan kebaikan, maghfirah dari-Mu dan keridhaan. Hanya di tangan-Mu segala kebaikan, sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, Engkau adalah teman di dalam safar dan pengganti dalam keluarga. Ya Allah, permudahlah safar ini untuk kami dan gulunglah bumi untuk kami. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan safar dan kejelekan dari tempat kembali.” (HR. Abu Ya’la di dalam Musnad-nya, 3/226, dari Al-Barra’)

Sebagai bentuk syukur seorang musafir ketika dia kembali ke kampung halaman, hendaknya ia berdoa:

آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ

“Kami kembali, sebagai orang yang bertaubat, senantiasa beribadah, dan memuji Rabb kami.” (HR. Muslim dari sahabat Abdullah bin Umar radiyallahu'ahu)

Alangkah indahnya perjalanan seorang muslim. Dimulai dengan doa, sepanjang safar dihiasi doa, dan diakhiri dengan doa pula. Benar-benar membingkai safar dengan doa.

Beberapa Faedah Lain dari Hadits

Hadits ini termasuk dasar kaidah-kaidah penting di dalam Islam. Banyak sekali faedah yang dapat diambil dari hadits ini, di antaranya:

1. Di dalam hadits ini dijelaskan tentang dianjurkannya berinfaq dengan barang yang halal.

2. Dijelaskan juga tentang disyariatkannya serius di dalam berdoa, dalam bentuk memerhatikan makanan, minuman, dan pakaian. Al-Imam Wahb bin Munabbih rahimahullah menyatakan, “Barangsiapa ingin doanya dikabulkan Allah Ta'ala hendaknya dia memilih makanan yang baik.” (Jami’ Al-’Ulum wal Hikam)

3. Hendaknya seorang musafir dirinya sendiri, orangtua, keluarga, dan orang-orang yang dicintai. Hendaknya pula ia memilih doa yang bersifat umum dan menyeluruh. Disertai dengan khudhu’ (ketundukan) dan harapan besar. Karena doa musafir mustajab, maka tidak layak bila disia-siakan.

4. Pada dasarnya, terdapat kesamaan hukum syar’i antara para nabi dan rasul. Kecuali ada dalil yang menjelaskan perbedaannya.

5. Syariat Islam memerintahkan umat untuk mengonsumsi makanan yang halal. Hal ini merupakan sifat para nabi dan pengikut mereka. Makanan yang halal akan memengaruhi ibadah seorang hamba, doa, dan diterimanya amalan yang ia lakukan.

6. Tanggung jawab orangtua untuk memberi nafkah yang halal kepada anak dan istri sebagai perwujudan firman Allah Ta'ala:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)
Wallahu a’lam.

"Membingkai Safar dengan Do’a"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar
AsySyariah.com

Peyebab Perpecahan Umat

by admin aluyeah
Perpecahan | al-uyeah.blogspot.com
Berikut adalah penjelasan mengenai perpecahan umat yang ditulis oleh Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُوْنِ. فَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُم بَيْنَهُمْ زُبُراً كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah-belah menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (Al-Mukminun: 52-53)

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat

وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu”

Yaitu agama kalian –wahai para Nabi– adalah agama yang satu, dan ajaran yang satu yaitu menyeru untuk beribadah hanya kepada Allah Ta'ala, tidak ada sekutu bagi-Nya (Tafsir Ibnu Katsir, 3/248). Maka lafadz ‘umat’ yang dimaksud dalam ayat ini adalah agama.

فَتَقَطَّعُوا

Maknanya adalah 

افْتَرَقُوا

(berpecah belah).
Yaitu, para umat menjadikan agama mereka yang satu menjadi beberapa agama, setelah mereka diperintahkan untuk bersatu. (Tafsir Al-Qurthubi, 12/129)

زُبُراً

Makna zubur dalam ayat ini diperselisihkan.

Ada yang mengatakan bahwa zubur adalah jamak dari zabuur yang berarti kitab-kitab, yaitu mereka mengarang kitab-kitab dan kesesatan yang mereka susun. Ini adalah pendapat Ibnu Zaid.

Adapula yang mengatakan bahwa mereka memecah belah kitab-kitab, satu kelompok mengikuti shuhuf (lembaran-lembaran), satu kelompok lagi mengikuti Taurat, kelompok lainnya mengikuti Zabur, dan yang lain mengikuti Injil. Kemudian mereka mengubah semua (kitab) tersebut. Pendapat ini disebutkan oleh Qatadah.

Ada pula yang berkata bahwa maknanya adalah setiap kelompok beriman dengan satu kitab dan mengingkari kitab-kitab lainnya.

Adapula yang membaca dengan mem-fathah-kan huruf zay (زَبُراً), yang maknanya adalah potongan-potongan seperti potongan besi. Dan ini termasuk qira‘ah (bacaan) Al-A’masy dan Abu ‘Amr. (lihat Tafsir Al-Qurthubi, 12/130)

كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ

“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).”

Yaitu setiap kelompok suka dengan kesesatan yang ada padanya karena mereka menyangka bahwa mereka adalah orang-orang yang diberi petunjuk. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/248)

Penjelasan Makna Ayat

Al-Allamah As-Sa’di rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya ini adalah umat kalian, yaitu jamaah kalian –wahai sekalian para rasul– adalah jamaah yang satu, yang bersepakat di atas satu agama, dan Rabb kalian pun hanyalah satu. Maka bertakwalah kalian kepada-Ku, dengan menjalankan perintah-Ku dan menjauhi larangan-Ku. Dan sungguh Allah Ta'ala telah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada para rasul, karena para rasul-lah yang mereka jadikan sebagai panutan, dan di belakang rasul pula mereka berjalan. Sehingga Allah Ta'ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (Al-Baqarah: 172)

Oleh karena itu, wajib bagi setiap orang yang menisbahkan dirinya kepada para nabi dan juga yang lainnya untuk mematuhi hal ini dan mengamalkannya. Namun orang-orang dzalim dan memecah-belah tidaklah menghendaki melainkan penyimpangan. 

Oleh karena itu Allah Ta'ala menyatakan selanjutnya: “Mereka telah berpecah belah dalam perkara mereka menjadi kelompok-kelompok”. Setiap kelompok merasa senang dengan ilmu dan agama yang ada pada mereka dan mengklaim bahwa merekalah yang benar, sedangkan yang lainnya tidak di atas kebenaran. Padahal yang berada di atas kebenaran di antara mereka adalah yang berada di atas jalan para rasul, dengan memakan makanan yang baik dan halal, beramal shalih. Sedangkan yang selain itu, maka mereka berada di atas kebatilan.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 554)

Nampak dari ayat ini, bahwa ada dua hal pokok yang menjadi prinsip dakwah para nabi dan rasul pada setiap zaman dan generasi, yaitu:

Pertama: mentauhidkan Allah Ta'ala dalam beribadah kepada-Nya

Kedua: menyatukan umat manusia agar berjalan di atasnya dan tidak berpecah-belah.

Adapun tauhidullah, maka hal ini diambil dari firman-Nya “dan Aku adalah Rabbmu, maka bertakwalah kepada-Ku”. Allah Ta'ala telah menjadikannya sebagai asas dakwah para nabi dan Rasul, sehingga tidaklah terjadi perbedaan di antara mereka dalam hal mengajak manusia untuk memurnikan segala bentuk ibadah kepada Allah 'Azza wa Jalla, dan meninggalkan segala bentuk praktek kesyirikan yang terjadi di tengah-tengah umatnya. Allah Ta'ala berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (An-Nahl: 36)

Dan firman-Nya:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian.” (Al-Anbiya`: 25)

Dan firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada sesembahan bagimu selain-Nya.’ Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah Ta'ala), aku takut kamu akan ditimpa adzab hari yang besar (kiamat).” (Al-A’raf: 59)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Allah Ta'ala yang menguatkan dakwah tauhid tersebut.

Adapun yang kedua, yaitu mempersatukan umat di atas tauhid dan menghindari perpecahan, maka diambil dari firman-Nya  “Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu”, dan juga firman-Nya  “Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah-belah menjadi beberapa pecahan.”

Ayat Allah Ta'ala yang mulia ini menjelaskan bahwa hakekat persatuan umat adalah dengan menyembah Allah Ta'ala berdasarkan syariat yang dibawa oleh para rasul, baik dalam akidah maupun ibadah. Dan umat disatukan di atas syariat tersebut, sehingga Rabb mereka satu, agama mereka satu, akidah mereka satu, dan Nabi mereka pun satu, yang dijadikan sebagai imam yang mereka berjalan di atas syariatnya. Dan tujuan mereka pun satu yaitu untuk meninggikan kalimat Allah Ta'ala dalam diri-diri mereka dan juga dalam diri orang lain. Dan dengan harapan yang satu, yaitu memperoleh keridhaan Allah Ta'ala dan jannah (surga)-Nya, serta selamat dari kemurkaan dan neraka-Nya.

Namun yang terjadi, kebanyakan umat mengamalkan selain apa yang telah diperintahkan kepada mereka. Sehingga mereka pun terpecah menjadi berkelompok-kelompok, dan masing-masingnya memiliki pengikut. 

Dan mereka menjadi kelompok-kelompok yang saling membenci satu sama lain, saling memusuhi, di mana setiap kelompok mengklaim bahwa dialah yang berada di atas kebenaran, dan selainnya di atas kebatilan. Setiap kelompok berbangga diri terhadap apa yang ada pada mereka.

Padahal perselisihan tidaklah selalu membuahkan perpecahan dan tidak selalu memberi pengaruh yang negatif dalam persatuan umat, kecuali apabila hal tersebut terjadi dalam perkara prinsip-prinsip agama dan akidah, seperti tauhid dengan tiga pembagiannya. 

Maka barangsiapa yang berkeyakinan bolehnya beristighatsah kepada makhluk dalam perkara yang tidak ada sesuatupun yang mampu melakukannya kecuali Allah Ta'ala, atau tidak ambil pusing (masa bodoh) dengan orang-orang yang thawaf di kuburan, dan bahkan memberi kesempatan kepada orang-orang yang ber-taqarrub (mendekatkan diri) dan bernadzar kepada kuburan, lalu menyeru para penyembah kubur untuk mendatanginya dan memberikan dorongan kepadanya untuk mengambil kebaikan dan menolak kejahatan, dan menganggap bahwa orang yang melakukan hal tersebut tidak mengeluarkannya dari Islam, bahkan tetap mengang-gapnya sebagai saudara, menjadikannya sebagai salah satu anggota dalam berdakwah, maka sesungguhnya dengan hal tersebut dia telah menggugurkan tauhid uluhiyyah.

Dan barangsiapa yang menakwilkan sifat-sifat Allah Ta'ala dengan sesuatu yang membatalkan maknanya yang hakiki yang dikehendaki oleh Allah Ta'ala dalam Kitab-Nya, dan yang dikehendaki oleh Nabi-Nya sebagai penyampai dari-Nya, dengan persangkaan bahwa zhahir ayat tersebut bukanlah yang diinginkan –karena bila memahami secara zhahir maka menyebabkan terjadinya penyerupaan dengan makhluk– seperti anggapan kaum Asy’ariyyah, atau meniadakan sifat-sifat Allah Ta'ala secara keseluruhan seperti anggapan kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah, atau menyangka bahwa Al-Qur`an bukanlah firman Allah Ta'ala, namun hanyalah makhluk seperti makhluk yang lainnya, dan berpendapat bahwa Allah Ta'ala tidak dilihat oleh kaum mukminin di akhirat seperti anggapan kaum Mu’tazilah; 

Dan barangsiapa yang menganggap bahwa seorang hamba menciptakan perbuatannya sendiri seperti anggapan kaum Qadariyyah yang mengingkari takdir, atau mengatakan bahwa seorang hamba tidak punya kehendak, seperti batu yang didorong atau seperti ranting yang digerakkan oleh angin seperti kaum Jabriyyah yang ekstrem dalam menetapkan taqdir dan perbuatan-perbuatan Allah Ta'ala, atau menyangka bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan kekal dalam neraka seperti anggapan kaum Khawarij, atau berkata bahwa dia (yaitu pelaku dosa besar) tidak mukmin dan tidak pula kafir, sedangkan di akhirat dia akan kekal dalam neraka, seperti anggapan kaum Mu’tazilah; 

Atau menganggap bahwa iman tidaklah dipengaruhi dengan adanya dosa, atau iman itu hanya sekedar pembenaran, walaupun tidak diucapkan dan tidak diamalkan seperti anggapan kaum Murji’ah; Atau menganggap bahwa bacaan dan cara-cara tarekat si fulan atau tarekat syaikh fulan lebih afdhal dari membaca Al-Qur`an, atau lebih afdhal dari membaca hadits Nabi dan bahwa tarekat itulah yang benar, atau lebih menguta-makan tarekat Sufiyyah daripada akidah Salafiyyah; Atau meyakini bahwa 12 imam terpelihara dari kesalahan, dan meyakini kekafiran para shahabat, sebab mereka lebih mengutamakan Abu Bakr, Umar dan Utsman daripada Ali dalam kekhilafahan, dan membolehkan mencela para shahabat radiyallahu'anhum seperti anggapan kaum Rafidhah; 

Maka semua keyakinan ini dan yang semisalnya dengan berbagai tingkatannya, inilah yang memecah belah umat. Dan inilah yang menyebabkan terjadinya perpecahan yang tercela sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Qur`an.

Adapun perselisihan dalam perkara furu’, maka tidaklah menyebabkan adanya tafriq (berpecah-belah) dan tidak pula berakibat saling mencela satu sama lain. 

Karena hal ini terjadi pada zaman Nabi Shallallahu'alaihiwasalam, dan tidak menyebabkan saling mencela antara yang satu dengan yang lainnya, dan tidak pula bersikap keras antara yang satu dengan yang lainnya.

Dalam Shahih Al-Bukhari dari Ibnu ‘Umar radiyallahu'anhum, dia berkata: Nabi Shallallahu'alaihhiwasalam bersabda pada saat perang Ahzab: “Janganlah salah seorang kalian shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah”. Kemudian sebagian shahabat mendapati waktu shalat Ashar di perjalanan. Sebagian shahabat berkata: ‘Kami tidak mengerjakan shalat sampai kami tiba (di Bani Quraizhah).’ Sebagian yang lain berkata: ‘Kita tetap shalat (pada waktunya). Bukan itu (shalat Ashar di Bani Quraizhah) yang beliau inginkan dari kita.’ Lalu perkara ini disebutkan kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan beliau tidak mencela seorangpun dari mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Maghazi, 30/4119)

Juga dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Muhammad bin Abi Bakr bertanya kepada Anas bin Malik radiyallahu'anhu dalam keadaan keduanya sedang berangkat dari Mina menuju Arafah: “Apa yang kalian dulu kerjakan (berupa dzikir, pen.) bersama Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam pada hari ini?” Beliau radiyallahu'anhu menjawab: “Di antara kami ada yang bertalbiyah, dan beliau tidak mengingkarinya. Dan di antara kami ada pula yang bertakbir, dan beliau pun tidak mengingkarinya.” (HR. Al-Bukhari, 86/1659)

Dan para shahabat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam telah berbeda pendapat dalam berbagai masalah furu’ dan mereka tidak saling mencela. Tidak pula memunculkan celaan, pemboikotan, dan perpecahan. Kemudian pula, bahwa merupakan tabiat manusia, mereka berselisih dalam perkara yang diperbolehkan untuk ijtihad berupa hukum-hukum furu’, dipandang dari perbedaan pandangan akal dan kesiapan fitrahnya. Dengan sebab inilah tidak ada celaan atasnya.

Adapun jika telah menyentuh agama, akidah dihinakan, maka sesungguhnya mereka (para shahabat) sangat marah, walaupun orang tersebut termasuk kerabatnya yang terdekat. 

Telah shahih dari Ibnu ‘Umar radiyallahu'ahu tatkala beliau radiyallahu'anhu menyebutkan hadits Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam:

“Jika istri salah seorang kalian meminta izin kepada kalian untuk pergi ke masjid maka hendaklah dia mengizinkannya. Janganlah kalian mencegah hamba-hamba wanita Allah (keluar menuju) masjid-masjid Allah.”

Maka Bilal (salah seorang anak Ibnu ‘Umar radiyallahu'anhu, -pen.) berkata: “Demi Allah, kami akan mencegah mereka, jika tidak maka dia akan membuat kerusakan.”

Perawi hadits ini berkata: “Maka (Ibnu ‘Umar radiyallahu'anhu) mencelanya dengan celaan yang buruk, yang aku tidak pernah mendengar (celaan) seperti itu sebelumnya. Dan beliau berkata: ‘Aku memberitakan kepadamu hadits Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, lalu kamu berkata: ‘Demi Allah, kami akan mencegahnya’?!” (HR. Al-Bukhari no. 865 dan Muslim no. 442)

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkata: “(Kisah ini) terdapat dalam riwayat Ibnu Abi Najih dari Mujahid. Adapun menurut riwayat Al-Imam Ahmad, disebutkan bahwa Abdullah bin ‘Umar tidak mengajaknya bicara sampai beliau meninggal.”

Dan dalam Musnad Al-Imam Ahmad disebutkan bahwa Abu Bakrah radiyallahu'anhum berkata:

“Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam melarang melempar dengan kerikil.”

Maka salah seorang anak pamannya berkata: “Melarang dari ini?”, sambil melempar kerikil dengan dua jarinya. Maka Abu Bakrah radiyallahu'anhu berkata: “Apakah engkau tidak melihatku memberitakan kepadamu hadits Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bahwa beliau melarang, lalu engkau melakukannya?! Demi Allah Ta'ala, aku tidak akan mengajakmu berbicara selama hidupku!”, atau (kalimat) yang semisal dengan ini.” (Musnad Al-Imam Ahmad, 5/46)

Demikian pula yang dialami oleh Abdullah bin Mughaffal radiyallahu'anhu bersama seorang kerabatnya dalam masalah melempar kerikil dengan dua jari, disebutkan dalam Musnad (5/55). (Lihat kitab Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, An-Najmi, hal. 99-102)

Al-Wala` wal Bara` Hanyalah di atas Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya

Kita memetik faedah dari ayat ini bahwa tolak ukur kebenaran hanyalah yang datang dari Allah Ta'ala, Rasul-Nya, dan apa yang telah menjadi kesepakatan pendahulu umat ini. Adapun selain itu maka hal tersebut adalah kesesatan, perpecahan dan penyimpangan dari jalan Allah Ta'ala. Firman-Nya:

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Agama kaum muslimin dibangun di atas ittiba’ (ikut) terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta apa yang telah disepakati oleh umat ini. Ketiga perkara ini merupakan prinsip-prinsip yang tetap terjaga (dari kesesatan). 

Dan apa saja yang diperselisihkan umat ini, maka mereka kembalikan kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Dan tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk mengangkat seseorang lalu mengajak kepada jalan orang itu, dan ber-wala` dan bara` di atasnya, kecuali kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasalam. 

Dan tidak boleh seseorang memegang suatu perkataan, lalu ber-wala` dan bara` di atas per-kataan tersebut, kecuali bila itu perkataan Allah Ta'ala dan perkataan Rasul-Nya Shallallahu'alaihiwasalam. Dan apa yang disepakati umat ini. 

Bahkan (ber-sikap wala` dan bara` bukan di atas tiga perkara ini) termasuk perbuatan ahli bid’ah, yang mereka mengangkat seseorang atau suatu perkataan lalu memecah belah umat dengannya, bersikap loyal dan memusuhi di atas perkataan atau penisbatan tersebut.” (Dar`ut Ta’arudh, 1/272; Mauqif Ibnu Taimiyyah, 1/269-270)

Jika kita perhatikan ayat ini, maka jelaslah bahwa apa yang selama ini di-amalkan oleh kelompok-kelompok sesat, baik itu Ikhwanul Muslimin, Jamaah Tabligh, Islam Jamaah, tarekat Shufiyyah, Hizbut Tahrir, dan yang lainnya adalah kesesatan yang nyata.
Maka perhatikanlah, semoga kita termasuk di antara hamba-hamba yang diberi hidayah.
Amin.

"Penyebab Terjadinya Perpecahan"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi
AsySyariah.com

Punuk Unta

by admin aluyeah
Punuk Unta | al-uyeah.blogspot.com
Rambut yang tumbuh di kepala adalah salah satu nikmat Allahlyang diberikan kepada kita. Penampilan kita menjadi bagus, indah, dan cantik karenanya. Untuk seorang lelaki saja, rambut merupakan perhiasan, apalagi bagi seorang wanita.

Mungkin kita masih ingat dengan kisah tiga orang dari kalangan Bani Israil: si abrash atau orang yang berpenyakit sopak/belang, si a’ma atau orang yang buta, dan si aqra’. Ya, salah satu dari tiga orang yang beroleh kesulitan dan kesempitan tersebut adalah si aqra’, seseorang yang sama sekali tidak tumbuh rambut di atas kepalanya.

Ia merasa, kebotakan yang dideritanya menyebabkan manusia menjauhinya dan tidak suka melihatnya. Oleh karena itu, tatkala malaikat datang sebagai utusan Allah Subhanahuwata'ala dengan menyamar (dalam rupa manusia) guna menguji mereka bertiga, siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur, si aqra’ meminta dihilangkan penyakitnya dan diberi rambut yang bagus. (Lihat kelengkapan kisahnya dalam hadits yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain)

Karena pentingnya rambut dalam berhias, terutama bagi wanita(1), tak heran apabila rambut disebut mahkota wanita karena fungsinya sebagai hiasan di atas kepala.

Tentang masalah rambut, syariat memiliki ketentuan yang mengaturnya. Ada hukum-hukum yang berkaitan dengan rambut wanita.
Berikut ini rangkuman hukum rambut wanita dari fatwa ulama yang mulia, yang dibawakan secara makna lagi ringkas(2).

1. Mengumpulkan rambut (mengikat jadi satu) di bagian paling atas dari kepala si wanita tidaklah dibolehkan.

Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا: قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهِ النَّاسَ؛ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُؤُوسَهُنَّ كَأَسْنَمَةِ الْبُخْتِ المْاَئِلَةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan dari penduduk neraka yang aku belum melihat mereka sekarang. (Yang pertama,) suatu kaum yang bersama mereka ada cambuk-cambuk seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk mencambuk manusia. (Yang kedua,) para wanita yang berpakaian tapi hakikatnya telanjang, mereka miring lagi membuat orang lain miring. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan bisa mencium bau wangi surga, padahal wanginya bisa tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian’.” (HR. al-Imam Muslim no. 5547) (Fatwa dari al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta’)

Mailatun” maknanya miring dari menaati Allah Subhanahuwata'ala dan dari urusan yang semestinya mereka jaga. Adapun mumilatun maknanya mereka mengajari orang lain untuk berbuat seperti perbuatan mereka yang tercela.

Ada pula yang mengatakan, “mailatun” adalah wanita yang berjalan dengan berlagak sombong, menggoyang-goyangkan atau memiring-miringkan pundak-pundak mereka. Ada pula yang mengatakan, maknanya adalah wanita yang menyisir rambutnya dengan sisiran/model miring atau belahan samping, yang merupakan model sisiran wanita pelacur. Adapun mumilatun maknanya mereka menyisir wanita-wanita lain dengan model sisiran tersebut.

Kepala-kepala mereka seperti punuk unta”, maknanya mereka membesarkan kepala mereka dengan melilitkan imamah, bebat kepala, atau yang semisalnya. (al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, an-Nawawi, 14/336)

2. Mengumpulkan rambut atau melilitkan/melingkarkannya di sekitar kepala si wanita hingga tampak seperti imamah/sorban yang biasa dipakai lelaki.

Hal ini tidak diperbolehkan dengan alasan ada unsur tasyabbuh (meniru/menyerupai) lelaki3. (Fatwa al-Lajnah ad-Daimah)

3. Mengumpulkan rambut dan menjadikannya satu ikatan/kepangan ataupun lebih, lalu dibiarkan tergerai tidaklah menjadi masalah (boleh saja) selama rambut tersebut tertutup dari pandangan mata yang tidak halal melihatnya.

Mengapa dibolehkan? Karena tidak ada larangan tentang hal ini. (Fatwa al-Lajnah ad-Daimah)

Catatan Kaki:
(1) Sesuai kodratnya, wanita diciptakan senang berhias, sebagaimana firman Allah l:
“Apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedangkan dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.” (az-Zukhruf: 18)
(2) Diambil dari website Mu’assasah ad-Da’wah al-Khairiyyah, KSA.

Kutipan dari tulisan : Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah)
Judul asli : Rambut Wanita
Sumber : AsSyariah.com

Hukum Mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru

by admin aluyeah
Hukum Mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru | al-uyeah.blogspot.com
Sesungguhnya di antara konsekuensi terpenting dari sikap membenci orang-orang kafir ialah menjauhi syi’ar dan ibadah mereka. Sedangkan syi’ar mereka yang paling besar adalah hari raya mereka, baik yang berkaitan dengan tempat maupun waktu. Maka orang Islam berkewajiban menjauhi dan meninggalkannya.

Ada seorang lelaki yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan kepadanya (yang artinya) : ” Apakah disana ada berhala, dari berhala-berhala orang Jahiliyah yang disembah?” Dia menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya, “Apakah di sana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari raya mereka?” Dia menjawab, “Tidak”. Maka Nabi bersabda, “Tepatillah nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam” [Hadits Riwayat Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim]

Hadits diatas menunjukkan, tidak bolehnya menyembelih untuk Allah di bertepatan dengan tempat yang digunakan menyembelih untuk selain Allah ; atau di tempat orang-orang kafir merayakan pesta atau hari raya. 

Sebab hal itu berarti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam mengagungkan syi’ar-syi’ar mereka, dan juga karena menyerupai mereka atau menjadi wasilah yang mengantarkan kepada syirik. Begitu pula ikut merayakan hari raya (hari besar) mereka mengandung wala’ (loyalitas) kepada mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi’ar-syi’ar mereka.

Di antara yang dilarang adalah menampakkan rasa gembira pada hari raya mereka, meliburkan pekerjaan (sekolah), memasak makanan-makanan sehubungan dengan hari raya mereka (kini kebanyakan berpesiar, berlibur ke tempat wisata, konser, acara musik, diakhiri mabuk-mabukan atau perzinaan, red).

Dan diantaranya lagi ialah mempergunakan kalender Masehi, karena hal itu menghidupkan kenangan terhadap hari raya Natal bagi mereka. Karena itu para shahabat menggunakan kalender Hijriyah sebagai gantinya.

Syaikhul Islam Ibnu Timiyah berkata, “Ikut merayakan hari-hari besar mereka tidak diperbolehkan karena dua alasan”.

Pertama. Bersifat umum, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa hal tersebut berarti mengikuti ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran kita dan tidak ada dalam kebiaasaan Salaf. Mengikutinya berarti mengandung kerusakan dan meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi mereka. Bahkan seandainya kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu ketetapan semata, bukan karena mengambilnya dari mereka, tentu yang disyari’atkan adalah menyelisihiya karena dengan menyelisihinya terdapat maslahat seperti yang telah diisyaratkan di atas. Maka barangsiapa mengikuti mereka, dia telah kehilangan maslahat ini sekali pun tidak melakukan mafsadah (kerusakan) apapun, terlebih lagi kalau dia melakukannya.

Alasan Kedua. Karena hal itu adalah bid’ah yang diada-adakan. Alasan ini jelas menunjukkan bahwa sangat dibenci hukumnya menyerupai mereka dalam hal itu”.

Beliau juga mengatakan, “Tidak halal bagi kaum muslimin ber-Tasyabuh (menyerupai) mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka ; seperti, makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan kebiasaan seperti bekerja dan beribadah ataupun yang lainnya. Tidak halal mengadakan kenduri atau memberi hadiah atau menjual barang-barang yang diperlukan untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan anak-anak ataupun yang lainnya melakukan permainan pada hari itu, juga tidak boleh menampakkan perhiasan.

Ringkasnya, tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas dari syi’ar mereka pada hari itu. (Dalam Iqtidha Shirathal Mustaqim, pentahqiq Dr Nashir Al-‘Aql 1/425-426).

Hari raya mereka bagi umat Islam haruslah seperti hari-hari biasanya, tidak ada hal istimewa atau khusus yang dilakukan umat Islam. Adapun jika dilakukan hal-hal tersebut oleh umat Islam dengan sengaja [1] maka berbagai golongan dari kaum salaf dan khalaf menganggapnya makruh. Sedangkan pengkhususan seperti yang tersebut di atas maka tidak ada perbedaan di antara ulama, bahkan sebagian ulama menganggap kafir orang yang melakukan hal tersebut, karena dia telah mengagungkan syi’ar-syi’ar kekufuran.

Segolongan ulama mengatakan. “Siapa yang menyembelih kambing pada hari raya mereka (demi merayakannya), maka seolah-olah dia menyembelih babi”. Abdullah bin Amr bin Ash berkata, “Siapa yang mengikuti negera-negara ‘ajam (non Islam) dan melakukan perayaan Nairuz [2] dan Mihrajan [3] serta menyerupai mereka sampai ia meninggal dunia dan dia belum bertobat, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka pada Hari Kiamat.

(Dinukil dari tulisan Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, dalam kitab At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy[Edisi Indonesia, Kitab Tauhid 1])

Bagaimana semestinya sikap Muslim yang tepat menyikapi hari raya Natal/Tahun Baru/Non Muslim lainnya?


Berikut nasihat dari Komisi Tetap Saudi Arabia

“Sesungguhnya nikmat terbesar yang diberikan oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya adalah nikmat Islam dan iman serta istiqomah di atas jalan yang lurus. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah memberitahukan bahwa yang dimaksud jalan yang lurus adalah jalan yang ditempuh oleh hamba-hamba-Nya yang telah diberi nikmat dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhadaa dan sholihin (Qs. An Nisaa :69).

Jika diperhatikan dengan teliti, maka kita dapati bahwa musuh-musuh Islam sangat gigih berusaha memadamkan cahaya Islam, menjauhkan dan menyimpangkan ummat Islam dari jalan yang lurus, sehingga tidak lagi istiqomah.

Hal ini diberitahukan sendiri oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, diantaranya, yang artinya: “Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguh-Nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. 2:109)

Firman Allah Subhannahu wa Ta’ala yang lain, artinya: Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan”. Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS. 3:99)

Firman Allah Ta'ala (yang artinya) : ” Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menta’ati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu kebelakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi”. (QS. 3:149)

Salah satu cara mereka untuk menjauhkan umat Islam dari agama (jalan yang lurus)yakni dengan menyeru dan mempublikasikan hari-hari besar mereka ke seluruh lapisan masyara-kat serta dibuat kesan seolah-oleh hal itu merupakan hari besar yang sifatnya umum dan bisa diperingati oleh siapa saja.

Oleh karena itu, Komisi Tetap Urusan Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi telah memberikan fatwa berkenaan dengan sikap yang seharusnya dipegang oleh setiap muslim terhadap hari-hari besar orang kafir.

Secara garis besar fatwa yang dimaksud adalah:

Sesungguhnya kaum Yahudi dan Nashara menghubungkan hari-hari besar mereka dengan peristiwa-peritiwa yang terjadi dan menjadikannya sebagai harapan baru yang dapat memberikan keselamatan, dan ini sangat tampak di dalam perayaan milenium baru (tahun 2000 lalu), dan sebagian besar orang sangat sibuk memperangatinya, tak terkecuali sebagian saudara kita -kaum muslimin- yang terjebak di dalamnya. Padahal setiap muslim seharusnya menjauhi hari besar mereka dan tak perlu menghiraukannya.

Perayaan yang mereka adakan tidak lain adalah kebatilan semata yang dikemas sedemikian rupa, sehingga kelihatan menarik. Di dalamnya berisikan pesan ajakan kepada kekufuran, kesesatan dan kemungkaran secara syar’i seperti: Seruan ke arah persatuan agama dan persamaan antara Islam dengan agama lain. 

Juga tak dapat dihindari adanya simbul-simbul keagamaan mereka, baik berupa benda, ucapan ataupun perbuatan yang tujuannya bisa jadi untuk menampakkan syiar dan syariat Yahudi atau Nasrani yang telah terhapus dengan datangnya Islam atau kalau tidak agar orang menganggap baik terhadap syariat mereka, sehingga biasnya menyeret kepada kekufuran. Ini merupakan salah satu cara dan siasat untuk menjauhkan umat Islam dari tuntunan agamanya, sehingga akhirnya merasa asing dengan agamanya sendiri.

Telah jelas sekali dalil-dalil dari Al Quran, Sunnah dan atsar yang shahih tentang larangan meniru sikap dan perilaku orang kafir yang jelas-jelas itu merupakan ciri khas dan kekhususan dari agama mereka, termasuk di dalam hal ini adalah Ied atau hari besar mereka.

Ied di sini mencakup segala sesuatu baik hari atau tempat yang diagung-agungkan secara rutin oleh orang kafir, tempat di situ mereka berkumpul untuk mengadakan acara keagamaan, termasuk juga di dalam hal ini adalah amalan-amalan yang mereka lakukan. Keseluruhan waktu dan tempat yang diagungkan oleh orang kafir yang tidak ada tuntunannya di dalam Islam, maka haram bagi setiap muslim untuk ikut mengagungkannya.

Larangan untuk meniru dan memeriahkan hari besar orang kafir selain karena adanya dalil yang jelas juga dikarenakan akan memberi dampak negatif, antara lain:

1. Orang-orang kafir itu akan merasa senang dan lega dikarenakan sikap mendukung umat Islam atas kebatilan yang mereka lakukan.

2. Dukungan dan peran serta secara lahir akan membawa pengaruh ke dalam batin yakni akan merusak akidah yang bersangkutan secara bertahap tanpa terasa.

3. Yang paling berbahaya ialah sikap mendukung dan ikut-ikutan terhadap hari raya mereka akan menumbuhkan rasa cinta dan ikatan batin terhadap orang kafir yang bisa menghapuskan keimanan. Ini sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala, (yang artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (QS. 5:51)

Dari uraian di atas, maka tidak diperbolehkan bagi setiap muslim yang mengakui Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai nabi dan rasul, untuk ikut merayakan hari besar yang tidak ada asalnya di dalam Islam, tidak boleh menghadiri, bergabung dan membantu terselenggaranya acara tersebut.

Karena hal ini termasuk dosa dan melanggar batasan Allah. Dia telah melarang kita untuk tolong-menolong di dalam dosa dan pelanggaran, sebagaimana firman Allah, (yang artinya) : “Dan tolong-menolonglah kamu di dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. 5:2)

Tidak diperbolehkan kaum muslimin memberikan respon di dalam bentuk apapun yang intinya ada unsur dukungan, membantu atau memeriahkan perayaan orang kafir, seperti : iklan dan himbauan; menulis ucapan pada jam dinding atau fandel; menyablon/membuat baju bertuliskan perayaan yang dimaksud; membuat cinderamata dan kenang-kenangan; membuat dan mengirimkan kartu ucapan selamat; membuat buku tulis; memberi keistimewaan seperti hadiah/diskon khusus di dalam perdagangan, ataupun (yang banyak terjadi) yaitu mengadakan lomba olah raga di dalam rangka memperingati hari raya mereka. Kesemua ini termasuk di dalam rangka membantu syiar mereka.

Kaum muslimin tidak diperbolehkan beranggapan bahwa hari raya orang kafir seperti tahun baru (masehi), atau milenium baru sebagai waktu penuh berkah (hari baik) yang tepat untuk memulai babak baru di dalam langkah hidup dan bekerja, di antaranya adalah seperti melakukan akad nikah,memulai bisnis, pembukaan proyek-proyek baru dan lain-lain. Keyakinan seperti ini adalah batil dan hari tersebut sama sekali tidak memiliki kelebihan dan keistimewaan di atas hari-hari yang lain.

Dilarang bagi umat Islam untuk mengucapkan selamat atas hari raya orang kafir, karena ini menunjukkan sikap rela terhadapnya di samping memberikan rasa gembira di hati mereka. Berkaitan dengan ini Ibnul Qayim rahimahullah pernah berkata, “Mengucapkan selamat terhadap syiar dan simbol khusus orang kafir sudah disepakati kaharamannya seperti memberi ucapan selamat atas hari raya mereka, puasa mereka dengan mengucapkan, “Selamat hari raya (dan yang semisalnya), meskipun pengucapnya tidak terjerumus ke dalam kekufuran, namun ia telah melakukan keharaman yang besar, karena sama saja kedudukannya dengan mengucapkan selamat atas sujudnya mereka kepada salib.

Bahkan di hadapan Allah, hal ini lebih besar dosanya daripada orang yang memberi ucapan selamat kapada peminum khamar, pembunuh, pezina dan sebagainya. Dan banyak sekali orang Islam yang tidak memahami ajaran agamanya, akhirnya terjerumus ke dalam hal ini, ia tidak menyadari betapa besar keburukan yang telah ia lakukan. Dengan demikian, barang siapa memberi ucapan selamat atas kemaksiatan, kebid’ahan dan lebih-lebih kekufuran, maka ia akan berhadapan dengan murka Allah”. Demikian ucapan beliau rahimahullah!

Setiap muslim harus merasa bangga dan mulia dengan hari rayanya sendiri termasuk di dalam hal ini adalah kalender dan penanggalan hijriyah yang telah disepakati oleh para shahabat Radhiallaahu'anhu, sebisa mungkin kita pertahankan penggunaannya, walau mungkin lingkungan belum mendukung. Kaum muslimin sepeninggal shahabat hingga sekarang (sudah 14 abad), selalu menggunakannya dan setiap pergantian tahun baru hijriyah ini, tidak perlu dengan mangadakan perayaan-perayaan tertentu.

Demikianlah sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap mukmin, hendaknya ia selalu menasehati dirinya sendiri dan berusaha sekuat tenaga menyelamatkan diri dari apa-apa yang menyebabkan kemurkaan Allah dan laknatNya. Hendaknya ia mengambil petunjuk hanya dari Allah dan menjadikan Dia sebagai penolong.

(Dinukil dari Fatwa Komisi Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi tentang Perayaan Milenium Baru tahun 2000.

Tertanda

Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh

Anggota: Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Al-Ghadyan, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Syakh Shalih bin Fauzan Al Fauzan)

(Dikutip dari terjemah Kitab At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy, Edisi Indonesia, Kitab Tauhid, Penulis Dr Shalih bin Fauzan)

Footnote :

[1] Mungkin yang dimaksud (yang benar) adalah ‘tanpa sengaja’.
[2] Nairuz atau Nauruz (bahasa Persia) hari baru, pesta tahun baru Iran yang bertepatan dengan tanggal 21 Maret -pent.
[3] Mihrajan, gabungan dari kata mihr (matahari) dan jan (kehidupan atau ruh), yaitu perayaan pada pertengahan musim gugur, di mana udara tidak panas dan tidak dingin. Atau juga merupakan istilah bagi pesta yang diadakan untuk hari bahagia -pent.

Salafy.or.id

Sampaikan Sunnah Dan Jangan Berdebat

by admin aluyeah
Sampaikanlah Sunnah | al-uyeah.blogspot.com
Bismillah, mamen. Sering kali kita dalam menyampaikan tauhid dan sunnah, dalam menegakkantauhid dan sunnah. Kita menemui halang dan rintangan. Dan salah satu akibat dari hati yang menolak sunnah adalah memperdebatkan sunnah yang kita sampaikan. Perdebatan akhirnya justru mengarahkan kita kepada syubhat-syubhat, caci maki, kebencian, dll. Yuk kita perhatikan nasihat berikut mamen, bagaimana kita menghadapi hal itu.

Salah satu kaidah dalam penerapan Sunnah adalah menyampaikan Sunnah dan tidak memperdebatkannya. Karena memperdebatkan Sunnah hanya akan membawa pada pertikaian yang berbuntut pelecehan terhadap Sunnah Nabawiyah itu sendiri. Berkata Imam Malik rahimahullah: “Perdebatan hanyalah akan membawa pada pertikaian dan menghilangkan cahaya ilmu dari dalam hati, serta mengeraskan hati dan melahirkan kedengkian. (Syiar a’lamin Nubala’, 8/ 106). Demikian pula dikatakan oleh Imam Syafii dan lain-lain. (Syiar A’lamin Nubala’, 10/28)

Dalam pengamalan atau penyampaian sunnah kita hanya diperintahkan untuk menyampaikan dengan jelas dan bukan memperdebatkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Dan ta'atlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (al-Maidah: 92)

Sampaikanlah Sunnah dengan menjelaskan dalil-dalilnya secara ilmiah yaitu dengan menunjukkan keshahihan haditsnya dan menjelaskan ucapan para Ulama tentang maknanya. Dengan kata lain kita hanya menegakkan hujjah (dalil/keterangan, red) dan menunjukkan kebenarannya secara riwayat dan dirayah (memastikan kebenaran istinbat (pengambilan, red) hukumnya). Adapun masalah hidayah ada di tangan Allah. 

Kita tidak bisa memaksa setiap orang untuk menerima hidayah. Sehingga jika ada sebagian manusia yang membantah atau memperdebatkan Sunnah setelah jelas baginya hujjah, maka itu hanyalah salah satu dari beberapa cara penolakan terhadap Sunnah. Untuk itu mereka harus kita tinggalkan dan kita tidak perlu sibuk melayaninya. Jika kita melayani mereka, maka hal itu hanyalah akan membuang- buang waktu dan tidak akan memberikan faedah sama sekali, bahkan hanya akan menimbulkan madlarat.

Allah mengancam mereka yang menolak sunnah setelah jelas baginya dengan Adzab neraka Jahanam, sebagaimana firman-Nya:

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (an-Nisaa’: 115)

Pada suatu hari, Imam Malik pernah ditanya oleh seorang yang bernama Haitsam bin Jamil: “Wahai Abu Abdillah (yakni imam Malik), seorang yang memiliki ilmu tentang sunnah apakah boleh dia berdebat untuk membelanya?” Imam Malik menjawab: “Jangan! Tetapi hendaklah dia menyampaikan sunnah tersebut. Jika diterima, itulah yang diharapkan; namun jika ditolak, maka diamlah”. (Jami’ Bayanul Ilmih wa Fadlihi, juz 2 hal. 94)

Demikian pula Imam Ahmad menyatakan: “Sampaikanlah sunnah dan jangan kalian memperdebatkannya”. (Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la, melalui nukilan Syaikh Barjas dalam Dlaruratul Ihtimam, hal. 89)

Para ulama telah mengingatkan kaum muslimin agar mereka jangan memperdebatkan masalah agama. Yang diperintahkan kepada mereka adalah mengamalkan hal-hal yang telah diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya dan meninggalkan hal-hal yang telah dilarang. Kebinasaan yang telah menimpa orang- orang sebelum kita adalah karena banyaknya perdebatan, protes dan pertentangan serta perselisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Apa yang aku larang, tinggalkanlah. Dan apa yang aku perintahkan, kerjakanlah sebisa kalian. Karena sesungguhnya kebinasaan orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya perselisihan dan pertentangan mereka terhadap para nabinya. (HR. Bukhari Muslim)

Oleh karena itu, kewajiban bagi kita kepada umat adalah menyampaikan sunnah dengan menjelaskan keshahihan riwayatnya dan kejelasan maknanya menurut ulama salaf. Jika mereka menerima dakwah kita, kita ucapkan “Alhamdulillah”. Dan kalau mereka menolak dengan mempermasalahkan dan memperdebatkannya dengan akal dan perasaan mereka, maka tinggalkanlah!.

Penulis : Ust. Muhammad Umar As Sewed
Judul Asli : Kaidah Penerapan Sunnah | Kaidah Kedua 
Diambil Dari : Pembelaan Terhadap Sunnah

Ahlul Bait

by admin aluyeah
Mencintai Ahlul Bait | al-uyeah.blogpsot.com
Istilah Ahlul Bait mungkin terdengar agak asing di telinga sebagian orang. Bisa dimaklumi, mengingat keadaan kaum muslimin yang memang semakin kurang peduli terhadap agamanya. Padahal ketika seseorang tidak dibimbing secara benar dalam memahami persoalan Ahlul Bait, ia sangat rentan terjatuh pada penyimpangan. Realita menunjukkan, pemahaman yang keliru terhadap kedudukan Ahlul Bait telah melahirkan demikian banyak kelompok menyimpang.

Seluruh Ulama Ahlus Sunnah mengakui keutamaan Ahlul Bait Rasulullah, karena telah jelas dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan mereka dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.Di antaranya adalah apa yang Allah Subhanahuwata’ala katakan tentang mereka dalam ayatnya:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

“Dan hendaklah kalian tetap di rumahmu,  janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu. Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlul Bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)

Kemudian dalam hadits Ghadir Khum sebagai berikut:

“Zaid ibnu Arqam berkata: Rasulullah pada suatu hari pernah berdiri di depan kami sebagai khatib di daerah mata air yang bernama Khum(1)–daerah antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Beliau memberi nasehat dan memberi peringatan, kemudian berkata:

‘Amma ba’du, wahai manusia, sesungguhnya aku adalah manusia biasa yang sebentar lagi akan datang utusan Rabbku (malaikat maut) dan aku akan menyambutnya. Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara yang berat. Pertama adalah Kitab Allah, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Ambillah dengan Kitab Allah ini dan berpeganglah dengannya”.

Zaid berkata: Maka Rasulullah menganjurkan dan memberi semangat untuk berpegang dengan kitab Allah. Kemudian beliau berkata:

“Yang kedua Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku, aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan syarah Al-Imam An-Nawawi, juz 15/174-175)

Siapakah Ahlul Bait?

Alangkah baiknya kita mengenal siapa sebenarnya Ahlul Bait sebagaimana dimaksud dalam ayat dan hadits di atas. Para ulama Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa Ahlul Bait adalah keluarga Nabi yang diharamkan memakan shadaqah. Mereka terdiri dari keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqil, keluarga Abbas, serta para istri beliau n dan anak-anak mereka. Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam :

Zaid ibnu Arqam berkata: Rasulullah  pernah berdiri di depan kami pada suatu hari sebagai khatib di daerah mata air yang bernama Khum –daerah antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Beliau memberi nasehat dan memberi peringatan, kemudian berkata:

‘Amma ba’du, wahai manusia, sesungguhnya aku adalah manusia biasa yang sebentar lagi akan datang utusan Rabbku (malaikat maut), dan aku akan menyambutnya. Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara yang berat.

Pertama kitab Allah, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Ambillah kitab Allah ini dan berpeganglah dengannya’. Berkata Zaid, maka Rasulullah menganjurkan dan memberi semangat untuk berpegang dengan kitab Allah. Kemudian beliau berkata:

“Yang kedua Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku, Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku, Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku.” Maka Hushain berkata kepada Zaid:

“Siapakah Ahlul Baitnya, ya Zaid? Bukankah istri-istrinya termasuk Ahlul Bait?”

Zaid menjawab: “Istri-istri beliau termasuk Ahlul Baitnya. Ahlul Bait adalah orang yang diharamkan menerima shadaqah setelah beliau.”

Hushain berkata: “Siapakah (lagi) mereka?”

Zaid menjawab: “Mereka adalah keluarga Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga ‘Abbas.” Hushain bertanya lagi: “Apakah semua mereka diharamkan menerima shadaqah?” Zaid menjawab:”Ya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan Syarh An-Nawawi juz 15/174-175  no. 6175)

Dalam hadits ini dapat dipahami beberapa kaidah, di antaranya:

Pertama, menunjukkan tentang keutamaan Ahlul Bait yang sangat tinggi. Nabi mewasiatkan kepada kita untuk memuliakan dan menghormati mereka.

Kedua, kita dapat mengetahui bahwa Ahlul Bait Nabi adalah semua yang tidak boleh menerima shadaqah (zakat). Mereka terdiri dari keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga ‘Abbas.

Ketiga, istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait yang harus kita hormati pula. Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait Dengan hadits di atas kita mengetahui pula bahwa istri-istri Nabi adalah termasuk Ahlul Bait, yang juga diwasiatkan oleh Rasulullah untuk kita hormati dan kita muliakan. Oleh karena itu jika kaum Syi’ah konsekuen dalam menghormati Ahlul Bait, maka mereka harus menghormati pula semua turunan Ja’far, Aqil dan Abbas serta para istri Nabi Shallallahu'alaihiwasalam  terutama yang paling beliau cintai, yaitu Aisyah dan Khadijah.

Hanya saja istri-istri Nabi  tidak termasuk yang diharamkan untuk menerima shadaqah. Keterangannya sebagai berikut:

Pada hadits di atas Zaid bin Arqam  ketika ditanya tentang istri-istri Nabi beliau menjawab:

“Istri-istri beliau termasuk Ahli Baitnya tetapi…”. Sedangkan dalam hadits berikutnya dalam Shahih Muslim, Zaid bin Arqam ketika ditanya siapakah yang dimaksud Ahlul Baitnya, apakah istri-istri Nabi?

Beliau menjawab: “Tidak…, Ahlul Baitnya adalah yang tidak boleh menerima shadaqah setelahnya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan Syarh Nawawi juz 15/174-175  no. 6178)

Maka Al-Imam An-Nawawi mengomentari dua lafadz hadits yang kelihatannya bertentangan ini sebagai berikut:

“Ucapan Zaid dalam riwayat di atas: “Istri-istri beliau termasuk Ahli Baitnya” bermakna bahwa istri-istri Nabi termasuk keluarga beliau, yang tinggal di rumah beliau, yang diperintahkan untuk kita hormati dan kita muliakan, yang Rasulullah menamakannya tsaqalain (sesuatu yang berat dan penting, pen.). Dan yang Nabi menasihati dan memperingatkan manusia untuk memenuhi hak-hak mereka.

Maka istri-istri Nabi masuk dalam semua itu. Namun mereka tidak termasuk yang diharamkan untuk memakan shadaqah. Inilah yang diisyaratkan pada riwayat pertama: “Istri-istri Nabi termasuk Ahli Baitnya, tetapi Ahli Baitnya adalah yang diharamkan menerima shadaqah.” (Syarh Shahih Muslim, Al-Imam An-Nawawi, juz 15/174-175  no. 6178)

Namun, kaum Syi’ah justru mengeluarkan istri-istri Nabi dari Ahlul Bait kemudian melecehkannya. Dalil terkuat yang dijadikan sandaran oleh mereka adalah hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Abi Salamah, sebagai berikut:

Ketika turun kepada Nabi ayat Allah:

(Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai Ahlul Bait  dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya) di rumah Ummu Salamah, beliau memanggil Fathimah, Hasan dan Husain, kemudian beliau menyelimuti mereka dengan selimut (kisa`). Dan ‘Ali berada di belakang beliau lalu beliau juga menyelimutinya dengan selimut, beliau berkata: “Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku, hilangkanlah kotoran dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya.” Maka Ummu Salamah berkata : “Apakah aku bersama dengan mereka, ya Nabi Allah?”Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam menjawab: “Engkau tetaplah pada tempatmu dan engkau berada dalam kebaikan.” (HR. At-Tirmidzi no. 3205)

Kaum Syi’ah menganggap ditolaknya Ummu Salamah untuk masuk dalam selimut menunjukkan bahwa para istri Nabi Shallallahu'alaihiwasalam tidak termasuk Ahlul Bait. Para ulama membantah ucapan mereka di atas sebagai berikut:

Pertama, disebutkan dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi bahwa tidak dimasukkannya Ummu Salamah dalam selimut bersama mereka, karena adanya ‘Ali bin Abi Thalib (‘Ali bukanlah mahram Ummu Salamah, pen.), dan bukan berarti bahwa Ummu Salamah tidak termasuk Ahlul Bait. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, juz 9 hal. 48)

Kedua,  konteks ayat dalam surat Al-Ahzab sangat jelas sekali, yakni menunjukkan bahwa yang dimaksud Ahlul Bait adalah istri-istri Nabi. Karena pada awal ayat dibuka dengan kalimat:

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاءِ

“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain.…” (Al-Ahzab: 32)

Kemudian diakhiri pada ayat berikutnya dengan kalimat:

إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)

Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini tentang istri-istri Nabi adalah pendapat Ibnu  Abbas, Ikrimah, ‘Atha`, Al-Kalbi, Muqatil, Sa’id bin Jubair, dan lain-lain. Bahkan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Asakir dari jalan Ikrimah, bahwa Ibnu Abbas  mengatakan ayat ini turun tentang istri-istri Nabi. Kemudian Ikrimah berkata:

“Barangsiapa yang mau, aku akan bermubahalah (saling mendoakan kebinasaan) dengannya bahwa ayat ini turun tentang istri-istri Nabi.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, juz 9 hal. 48)

Keempat, memang diriwayatkan dari beberapa orang dari kalangan Salaf bahwa yang dimaksud juga Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Yang demikian bukan merupakan pertentangan karena disebutkan pula dalam hadits di atas bahwa mereka adalah Ahlul Bait juga. (lihat sumber yang sama)

Kelima, alasan lain kaum Syi’ah adalah ucapan mereka: “Apabila kita meneliti secara cermat, tampak perbedaan antara ayat tath-hir (  ) dengan ayat lastunna () yang ditujukan kepada istri-istri Nabi, dalam penggunaan dhamir (kata ganti). Dalam ayat tath-hir digunakan dhamir jamak untuk laki-laki (kum), sedangkan kepada istri-istri Nabi digunakan dhamir jamak untuk perempuan yang ditandai dengan nun ta`nits (). Maka pensucian (that-hir) tersebut bukan untuk istri-istri Nabi .”

Kita jawab, bahwasanya dhamir jamak untuk laki-laki dalam ayat tath-hir digunakan karena kembalinya kepada kalimat Ahlul Bait. Sedangkan kalimat ahli dapat dipakai untuk mu’anats dan mudzakar.  Seperti ucapan seseorang: “Kaifa ahluka?” yang dimaksud adalah: “Bagaimana istrimu?” Ini dapat dipahami oleh orang-orang yang mengerti bahasa Arab dengan dzauqul ‘Arabi. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, Al-Imam Muhammad Abdurrahman Ibnu Abdurrahim Al-Mubarakfuuri, juz 9 hal. 48-49).

Keenam, baik sekali pendapat para Ulama Ahlus Sunnah seperti Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir yang menyatakan bahwa ucapan yang bijaksana dalam masalah ini adalah: “Ayat ini mencakup istri-istri Nabi dan mencakup pula Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain. Adapun istri-istri Nabi karena konteks ayatnya tentang mereka, dan karena mereka tinggal di rumah-rumah Nabi.

Adapun masuknya Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain karena mereka adalah kerabat Nabi dalam nasab. Maka barangsiapa yang mengkhususkan ayat ini untuk salah satunya berarti dia telah mengabaikan kewajibannya terhadap yang lainnya. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, juz 9 hal. 49)

Karena telah jelas bahwa ayat ini tentang istri-istri Nabi, maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwaslam mengumpulkan Fathimah, Ali, Hasan dan Husain dan menyatakan bahwa mereka juga Ahlul Bait, walaupun tidak disebut secara jelas dalam ayat di atas. Keutamaan Al-Hasan dan Al-Husain

Al-Hasan dan Al-Husain adalah putera dari Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah dari anak perempuannya Fathimah.

Mereka termasuk kalangan Ahlul Bait Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam yang memiliki keutamaan-keutamaan yang besar dan mendapatkan pujian-pujian Rasulullah . Diantaranya beliau Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

“Sesungguhnya Al-Hasan dan Al-Husain adalah kesayanganku dari dunia.” (HR. Al-Bukhari, At-Tirmidzi dan Ahmad dari Ibnu ‘Umar )

Beliau Shallallahu'alaihiwasalam  juga bersabda:

Al-Hasan dan Al-Husain adalah sayyid (penghulu) para pemuda ahlul jannah.” (HR. Tirmidzi, Hakim, Thabrani, Ahmad dan lain-lain dari Abu Sa’id Al-Khudri; Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Albani t dalam Silsilah Hadits Ash-Shahihah, hal. 423, hadits no. 796)

Keutamaan Al-Hasan di atas Keutamaan Al-Husain

Sedangkan khusus tentang keutamaan Al-Hasan, diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam  bersabda:

“Al-Hasan dariku dan Al-Husain dari Ali.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ath-Thabrani dari Miqdam Ibnu Ma’dikarib; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah, hal. 450, hadits no. 711)

“Dari Al-Bara` bin ‘Azib, dia berkata: Aku melihat Al-Hasan bin ‘Ali di atas pundak Nabi Shallallahu'alaihiwasalam dan beliau bersabda: “Ya Allah sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah dia.” (HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 464, hadits no. 3749 dan Muslim dengan Syarh Nawawi, juz XV, hal. 189, hadits no. 6208)

“Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai dia, maka cintailah dia serta cintailah siapa yang mencintainya.” (HR. Muslim dengan Syarh Nawawi, juz XV, hal. 188, hadits no. 6206)

Dan dari Anas bin Malik radiyallahu'anhu, ia berkata:

“Tidaklah seorang pun yang lebih mirip dengan Nabi daripada Al-Hasan bin ‘Ali .” (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 464, hadits no. 3752)

Dari Al-Hasan , dia mendengar Abu Bakrah berkata: “Aku mendengar (ceramah) Nabi  di atas mimbar, sedangkan Al-Hasan berada di sampingnya, beliau sesekali melihat kepada manusia dan sesekali kepada Al-Hasan, dan bersabda:

“Anakku ini adalah sayyid dan semoga Allah akan mendamaikan dengannya dua kelompok dari kalangan muslimin.” (HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 463, hadits no. 3746)

Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah dalam hadits di atas. Setelah ayah beliau, Ali bin Abi Thalib terbunuh, sebagian kaum muslimin membai’at beliau, tetapi bukan karena wasiat dari Ali. Asy-Syaikh Muhibbudin Al-Khatib berkata bahwa diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya juz ke-1 hal. 130 –setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib akan terbunuh – mereka berkata kepadanya: “Tentukanlah penggantimu bagi kami.” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi aku tinggalkan kalian pada apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam…” (Lihat ta’liq kitab Al-‘Awashim Minal Qawashim, Ibnul Arabi, ha. 198-199). Akan tetapi setelah itu Al-Hasan menyerahkan ketaatannya kepada Mu’awiyyah untuk mencegah pertumpahan darah di antara kalangan muslimin.

Kisah tersebut diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Ash-Shulh dari Imam Al-Hasan Al-Bashri. Di akhir hadits, Al-Hasan radiyallahu'anhu meriwayatkan hadits dari Abu Bakrah bahwa ia berkata: “Aku mendengar (ceramah) Nabi di atas mimbar, sedangkan Al-Hasan berada di sampingnya, beliau melihat kepada manusia sesekali dan kepadanya sesekali yang lain dan bersabda:

“Anakku ini adalah sayyid dan semoga Allah akan mendamaikan dengannya dua kelompok dari kalangan muslimin.” (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 463, hadits no. 3746)

Demikianlah keutamaan Al-Hasan yang paling besar yang dipuji oleh Rasulullah.  Beliau berhasil mempersatukan kaum muslmin, hingga tahun tersebut dikenal dengan tahun jama’ah. Kaum muslimin selamat dari pertumpahan darah antara sesamanya. Dan kekhalifahan Mu’wiyah akhirnya berlangsung dengan persatuan kaum muslimin, dengan keutamaan dari Allah, kemudian sebab pengorbanan Al-Hasan bin Ali yang besar.

Namun yang mengherankan adalah kaum Syi’ah Rafidhah  –yang mengaku pencinta Ahlul Bait– justru menyesali kejadian ini, hingga menjuluki Al-Hasan radiyallahu'anhu sebagai ‘pencoreng wajah-wajah kaum mukminin’. Sebagian di antara mereka menganggap beliau fasik, bahkan sebagian yang lain mengkafirkannya.

Asy-Syaikh Muhibbudin Al-Khatib berkata mengomentari ucapan Syi’ah Rafidhah ini sebagai berikut:

“Padahal termasuk dari dasar-dasar keimanan Rafidhah –bahkan dasar keimanan yang paling utama– adalah keyakinan mereka bahwa Al-Hasan, ayah, saudara dan sembilan keturunannya adalah ma’shum. Dan dari konsekuensi kema’shuman mereka, tentu mereka tidak akan berbuat kesalahan. Demikian pula, segala sesuatu yang bersumber dari mereka berarti benar dan tidak akan terbatalkan. Sedangkan apa yang bersumber dari Al-Hasan bin Ali  yang paling besar adalah pembai’atan terhadap Amirul Mukminin Mu’awiyah. Maka mestinya merekapun masuk dalam baiat ini dan beriman bahwa ini adalah hak, karena ini adalah amalan seorang yang ma’shum menurut mereka.“ (Lihat catatan kaki kitab Al-Awashim minal Qawashim, hal. 197-198)

Demikianlah keculasan kaum Syi’ah Rafidhah. Mereka menyelisihi imam mereka –yang mereka anggap ma’shum– menyalahkan, memfasikkan bahkan mengkafirkannya. Maka hanya terdapat dua kemungkinan bagi mereka:

Pertama, mereka berdusta atas ucapan mereka sendiri tentang kema’shuman dua belas imam mereka, maka hancurlah agama mereka (agama Syi’ah Itsna ‘Asyariyah).

Kedua, jika mereka meyakini kema’shuman Al-Hasan, maka mereka adalah para pengkhianat yang menyelisihi imam –yang mereka anggap ma’shum– dengan permusuhan dan kesombongan serta kekufuran.

Berbeda dengan Ahlus Sunnah yang beriman dengan kenabian kakek Al-Hasan dan berpendapat bahwa berita perdamaian dan bai’at Al-Hasan radiyallahu'ahu kepada Mu’awiyah radiyallahu'anhu adalah salah satu bukti kenabian beliau Shallallahu'alaihiwasalam dan amal terbesar Al-Hasan serta mereka bergembira dengannya. Beliau mengganggap Al-Hasan yang memutihkan wajah kaum muslimin (yakni tidak mencoreng wajah-wajah kaum muslimin seperti anggapan Syi’ah, pent.).(lihat sumber yang sama).

Wallahu a’lam.

1 Riwayat tentang wasiat Rasululah Shallallahu'alaihiwasalam di Ghadir Khum yang shahih hanya ini, dan tidak disebutkan adanya wasiat agar ‘Ali menjadi khalifah.

"Keutamaan Ahlul Bait"
ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
AsySyariah.com