Syiah Sesat

by admin aluyeah
Syiah Sesat | al-uyeah.blogspot.com
Serupa tapi tak sama. Barangkali ungkapan ini tepat untuk menggambarkan Islam dan kelompok Syi’ah. Secara fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam dengan penganut Syi’ah. Namun jika ditelusuri –terutama dari sisi aqidah- perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga, tidak mungkin disatukan.

Apa Itu Syi’ah?

Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang bersatu/berkumpul di atas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah 3/61)

Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang berkedok dengan slogan kecintaan kepada Ali bin Abi Thalib beserta anak cucunya bahwasanya Ali bin Abi Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucunya sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa` Wan Nihal 2/113, karya Ibnu Hazm)

Syi’ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat dan Isma’iliyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (Al-Milal Wan Nihal hal.147, karya Asy-Syihristani)

Namun, tampaknya yang terpenting untuk diangkat pada edisi kali ini adalah sekte Imamiyyah atau yang dikenal dengan nama lain yaitu Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok sempalan ini terus menerus menebarkan berbagai macam kesesatannya. Terlebih lagi kini didukung dengan negara Iran-nya.

Siapakah Pencetusnya?

Pencetus pertama bagi faham Syi’ah Rafidhah adalah seorang Yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin Saba` Al-Himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Asal usul faham ini dari munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran –pent). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba` Az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrim di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa –pent).” (Majmu’ul Fatawa 4/435)

Kesesatan Syi’ah Rafidhah

Menengok latar belakang kemunculannya dan kondisi agama pencetusnya yaitu Abdullah bin Saba`, maka tidak samar lagi bahwa sekte yang satu ini sesat. Namun, berakhirnya riwayat hidup Abdullah bin Saba` yang dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib sendiri tidaklah menghentikan sepak terjang para pewarisnya untuk menebarkan kesesatan yang lebih banyak dan lebih berbahaya.

Dengan berbekal kedustaan dan kesesatan, mereka mencoba meruntuhkan pondasi-pondasi Islam. Al-Qur`an –rujukan suci kaum muslimin- mereka usik keabsahannya, manusia-manusia terbaik umat ini dari para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mereka rendahkan martabatnya. Lalu, Islam manakah yang ada pada mereka ketika kitab suci dan orang-orang mulia kaum muslimin mereka injak-injak kehormatannya?!!

Al-Qur`an dalam Tinjaun Syi'ah Rafidhah

Perlu pembaca ketahui bahwasanya Al-Qur`an yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai kitab suci dan referensi terbesar umat Islam merupakan kitab suci terakhir yang telah Allah jamin kemurniannya dari berbagai macam usaha pengubahan dan penyelewengan. Allah berfirman yang artinya: "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al- Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (Al-Hijr:9)

Bahkan Allah telah menegaskan dalam firman-Nya yang artinya: "Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur`an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain." (Al-Israa`:88)

Dan juga firman-Nya yang artinya: "Atau (patutkah) mereka mengatakan: "Muhammad membuat- buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kalian katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kalian panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar." (Yuunus:38)

Namun orang-orang Syi'ah Rafidhah dengan beraninya menyatakan bahwa Al-Qur`an yang ada di tangan kaum muslimin ini telah mengalami perubahan dari yang semestinya. 

Di dalam kitab Ushul Al-Kaafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih Al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja'far Muhammad bin Ya'qub Al-Kulaini (2/634), dari Abu Abdillah (Ja'far Ash-Shadiq), ia berkata: "Sesungguhnya Al-Qur`an yang dibawa Jibril kepada Muhammad ada 17.000 ayat." Kalau demikian 2/3 dari Al-Qur`an telah hilang karena jumlah ayat di dalam Al- Qur`an di sisi kaum muslimin tidak lebih dari 6666 ayat !!!

Di dalam juz 1, hal.239-240, dari Abu Abdillah ia berkata: "Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah, namun mereka tidak tahu apa mushaf Fathimah itu." Abu Bashir bertanya: "Apa mushaf Fathimah itu?" Abu Abdillah menjawab: "Sebuah mushaf 3 kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian (umat Islam). Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari Al-Qur`an kalian…."

Bahkan salah seorang ahli hadits mereka yang bernama Husain bin Muhammad Ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak riwayat dari para imam mereka yang ma'shum (menurut mereka), di dalam kitabnya Fashlul Khithab yang menjelaskan bahwa Al-Qur`an yang ada di tangan kaum muslimin telah mengalami perubahan dan penyimpangan.

Ini merupakan suatu bentuk pelecehan terhadap Al-Qur`an sekaligus sebagai penghinaan kepada Allah, bahwa Dia tidak mampu merealisasikan jaminan-Nya untuk menjaga Al-Qur`an. Ini merupakan salah satu misi Yahudi yang berbajukan Syi'ah Rafidhah sebagai bentuk konspirasi jahat mereka untuk merusak dan mengkaburkan referensi utama umat Islam. Pernyataan kufur mereka ini sama sekali belum pernah dilontarkan sekte-sekte sesat sekalipun seperti Mu'tazilah, Khawarij ataupun Murji`ah.

Beberapa Fakta Pemalsuan dan Penyelewengan Al-Qur`an oleh Syi’ah

Ketika mereka tidak mampu membuat kitab yang semisal dengan Al-Qur`an, maka tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali menambah, memalsukan dan menyelewengkan apa yang terdapat di dalam kitab suci Al-Qur`an sesuai dengan hawa nafsu mereka.

Perbuatan tercela ini tidaklah beda dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap kitab suci mereka. Allah berfirman yang artinya:

Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu.” (Al-Baqarah:79)

Diantara contoh kedustaan dan penyelewengan mereka terhadap mushaf Al-Qur`an:

1. Dalam Surat Al-Baqarah:257

وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ …

“Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan….”

Namun dalam Al-Qur`an palsu mereka:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِوِلاَيَةِ عَلِيّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ …

“Dan orang-orang yang kafir terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib itu, pelindung-pelindung mereka adalah syaithan….”

2. Dalam Surat Al-Lail:12-13

(13)إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَى(12) وَإِنَّ لَنَا لَلآخِرَةَ وَالأُولَى

“Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk, dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia.”

Namun dalam Al-Qur`an palsu mereka:

(إِنَّ عَلِيًّا لَلْهُدَى(12) وَإِنَّ لَهُ لَلآخِرَةَ وَالأُولَى(13

“Sesungguhnya Ali benar-benar sebuah petunjuk dan kepunyaan dialah akhirat dan dunia.”

3. Dalam Surat Al-Insyiraah:7

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ

“Maka apabila kamu (Muhammad) telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”

Sedangkan dalam Al-Qur`an palsu mereka:

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصِبْ عَلِيًّا لِلْوِلاَيَةِ

“Maka apabila kamu (Muhammad) telah selesai (dari suatu urusan), maka berilah Ali kepemimpinan.”

Bahkan sebelum ayat ini ada tambahan:

وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ بِعَلِيٍّ صِهْرِكَ

“Dan Kami angkat penyebutanmu (Muhammad) dengan Ali sang menantumu.”

Para pembaca, bila kita telusuri keyakinan atau aqidah bathil ini, ternyata merupakan sebuah kesepakatan yang ada pada mereka. Tidak satupun di antara ulama-ulama jahat mereka yang menyelisihi kesepakatan ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang ulama mereka yaitu Al-Mufid bin Muhammad An-Nu’man dalam kitab Awai’ilul Maqalaat hal 49.

Adapun bila ditemukan pendapat sebagian kecil ulama mereka tentang tidak adanya perubahan dan penyimpangan Al-Qur`an, maka hal itu hanyalah upaya penyembunyian aqidah kufur mereka di hadapan umat Islam. Maka janganlah sekali-kali seorang muslim mempercayainya. Karena mereka adalah orang-orang yang beragama dengan taqiyyah (kedustaan). Wallaahu A’lam.

"Syi’ah dan Al Quran"
Darussalaf.or.id

Aqidah Manunggaling Kawula Gusti

by admin aluyeah
Aqidah Manunggaling Kawula Gusti | al-uyeah.blogspot.com
Puncak kekufuran yang terdapat pada sekte sesat ini adalah adanya keyakinan atau aqidah bahwa siapa saja yang menelusuri ilmu laduni (ilmu batin) maka pada terminal akhir ia akan sampai pada tingkatan fana (melebur/menyatu dengan Dzat Allah). Sehingga ia memiliki sifat- sifat laahuut (ilahiyyah) dan naasuut (insaniyyah). Secara lahir ia bersifat insaniyyah namun secara batin ia memiliki sifat ilahiyyah.  Aqidah ini populer di tengah masyarakat kita dengan istilah manunggaling kawula gusti.

Hal ini dapat dilihat dari ucapan para tokohnya seperti Al Hallaj, Ibnul Faridh, Ibnu Sabi’in dan masih banyak lagi yang lainnya di dalam karya-karya mereka. Cukuplah dengan ini sebagai saksi atas kebenaran bukti-bukti tadi.

Abu Yazid Al Busthami berkata:

Paling sempurnanya sifat seseorang yang telah mencapai derajat ma’rifat adalah adanya sifat- sifat Allah pada dirinya. (Demikian pula) sifat ketuhanan ada pada dirinya.” (An Nuur Min Kalimati Abi Thaifut hal. 106 karya Abul Fadhl Al Falaki)

Lebih daripada itu, dia menuturkan pula aqidah ini kepada orang lain tatkala seseorang datang dan mengetuk rumahnya. Dia bertanya: “Siapa yang engkau cari? Orang itu menjawab: “Abu Yazid.” Diapun berkata: “Pergi! Tidaklah yang ada di rumah ini kecuali Allah.” (An Nuur hal. 84)

Pada hal. 110 dia pernah ditanya tentang perihal tasawuf maka dia menjawab: “Sifat Allah telah dimiliki oleh seorang hamba”.

Aqidah Manunggaling Kawula Gusti membawa kaum sufi kepada keyakinan yang lebih rusak yaitu wihdatul wujud. Berarti tidak ada wujud kecuali Allah itu sendiri, tidak ada dzat lain yang tampak dan kelihatan ini selain dzat yang satu, yaitu dzat Allah.

Dalil-Dalil Yang Dijadikan Kaum Sufi Sebagai Penopang Akidah Manunggaling Kawula Gusti

Sepintas, seorang awampun mampu menolak atau bahkan mengutuk aqidah mereka ini dengan sekedar memakai fitrah dan akalnya yang sehat. Namun, bagaimana kalau ternyata kaum Sufi membawakan beberapa dalil baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah bahwa akidah Manunggaling Kawula Gusti benar-benar diajarkan di dalam agama ini – tentunya menurut sangkaan mereka?!

Mampukah orang tersebut membantah ataukah sebaliknya, justru tanpa terasa dirinya telah digiring kepada pengakuan akidah ini ketika mendengar dalil-dalil tersebut? Dali-dalil tersebut adalah:

1. Surat Al Hadid 5 :

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ

yang artinya: “Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian berada.

2. Surat Qaaf 16 :

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

yang artinya: “Dan Kami lebih dekat kepadanya (hamba) daripada urat lehernya sendiri".

3. Sabda Rasulullah dalam hadits Qudsi: “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kapada- Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku pun mencintainya Bila Aku mencinatainya maka jadilah Aku sebagai telinganya yang dia mendengar dengannya, mata yang dia melihat dengannya, tangan yang dia memegang sesuatu dengannya, dan kaki yang dia berjalan dengannya." (H.R. Al Bukhari)

Bantahan Terhadap Syubhat (Kerancuan Berfikir) Mereka Dalam Mengambil Dalil-Dalil diatas

Dengan mengacu kepada Al Qur’an dan As Sunnah di bawah bimbingan para ulama terpercaya, maka kita akan dapati bahwa syubhat mereka tidak lebih daripada sarang laba-laba yang sangat rapuh.

1. Tentang firman Allah di dalam surat Al Hadid 5, para ulama telah bersepakat bahwa kebersamaan Allah dengan hamba-hamba-Nya tersebut artinya ilmu Allah meliputi keberadaan mereka, bukan Dzat Allah menyatu bersama mereka. Al Imam Ath Thilmanki rahimahullah berkata: “Kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa makna firman Allah yang artinya: “Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian berada” adalah ilmu-Nya. (Dar’ut Ta’arudh 6/250)

2. Yang dimaksud dengan lafadz “kami” di dalam surat Qaaf: 16 tersebut adalah para malaikat pencatat-pencatat amalan. Hal ini ditunjukkan sendiri oleh konteks ayat setelahnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath Thabari, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir dan para ulama yang lainnya. Sedangkan Ath Thilmanki dan Al Baghawi memilih pendapat bahwa yang dimaksud lafadz “lebih dekat” adalah ilmu dan kekuasaan-Nya lebih dekat dengan hambanya-Nya daripada urat lehernya sendiri.

3. Al Imam Ath Thufi ketika mengomentari hadits Qudsi tersebut menyatakan bahwa ulama telah bersepakat kalau hadits tersebut merupakan sebuah ungkapan tentang pertolongan dan perhatian Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Bukan hakikat Allah sebagai anggota badan hamba tersebut sebagaimana keyakinan Wihdatul Wujud. (Fathul Bari)

Bahkan Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan bahwa barangsiapa mengarahkan pembicaraannya di dalam hadits ini kepada Wihdatul Wujud maka Allah dan rasul-Nya berlepas diri dari itu. (Jami’ul Ulum wal Hikam hal. 523-524 bersama Iqadhul Himam)

Beberapa Ucapan Batil Yang Terkait Erat Dengan Akidah Ini

1. Dzat Allah ada dimana-mana. 
Ucapan ini sering dikatakan sebagian kaum muslimin ketika ditanya: “Dimana Allah berada?” Maka sesungguhnya jawaban ini telah menyimpang dari Al Qur’an dan As Sunnah serta kesepakatan Salaf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Barang siapa yang mengatakan bahwa Dzat Allah ada di setiap tempat maka dia telah menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan Salaf. Bersamaan dengan itu dia menyelisihi fitrah dan akal yang Allah tetapkan bagi hamba-hambanya. (Majmu’ Fatawa 5/125)

2. Dzat Allah ada di setiap hati seorang hamba.
Ini adalah jawaban yang tak jarang pula dikatakan sebagian kaum muslimin tatkala ditanya tentang keberadaan Allah. Beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) juga berkata; “Dan adapun keyakinan bahwa Dzat Allah ada di dalam hati setiap orang kafir maupun mukmin maka ini adalah batil. Tidak ada seorang pun dari pendahulu (Salaf) umat ini yang berkata seperti itu. Tidak pula Al Qur’an ataupun As Sunnah, bahkan Al Qur’an, As Sunnah, kesepakatan Salaf dan akal yang bersih justru bertentangan dengam keyakinan tersebut. (Syarhu Haditsin Nuzuul hal 375)

Penulis: Buletin Islam Al Ilmu,Jember Edisi 30/II/I/1425

Demonstrasi Pertama Dalam Sejarah Islam

by admin aluyeah
Demonstrasi Pertama Dalam Sejarah Islam | al-uyeah.blogspot.com
Kasus terbunuhnya Utsman bin Affan radliyallahu 'anhu dan timbulnya pemikiran Khawarij sangat erat hubungannya dengan demonstrasi. Kronologis kisah terbunuhnya Utsman radliyallahu 'anhu adalah berawal dari isu-isu tentang kejelekan Khalifah Utsman yang disebarkan oleh Abdullah bin Saba’ di kalangan kaum Muslimin.

Abdullah bin Saba’ adalah seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam[2]. Sedangkan kita telah maklum bagaimana karakter Yahudi itu karena Allah telah berfirman :

Niscaya engkau akan dapati orang yang paling memusuhi (murka) kepada orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrikin.” (Al Maidah : 82)

Permusuhan kaum Yahudi terlihat sejak berkembangnya Islam, seperti mengkhianati janji mereka terhadap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, merendahkan kaum Muslimin, mencerca ajaran Islam, dan banyak lagi (makar-makar busuk mereka). Setelah Islam kuat, tersingkirlah mereka dari Madinah. (Lihat Sirah Ibnu Hisyam juz 3 halaman 191 dan 199)

Pada zaman Abu Bakar dan Umar radliyallahu 'anhuma, suara orang-orang Yahudi nyaris hilang. Bahkan Umar mengusir mereka dari Jazirah Arab sebagai realisasi perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang pernah bersabda :

Sungguh akan aku keluarkan orang-orang Yahudi dan Nashara dari Jazirah Arab sampai aku tidak sisakan padanya kecuali orang Muslim.” Juga Ucapan beliau : “Keluarkanlah orang-orang musyrikin dari Jazirah Arab.” (HR. Bukhari)

Di tahun-tahun terakhir kekhalifahan Utsman radliyallahu 'anhu di saat kondisi masyarakat mulai heterogen, banyak muallaf dan orang awam yang tidak mendalam keimanannya, mulailah orang- orang Yahudi mengambil kesempatan untuk mengobarkan fitnah.

Mereka berpenampilan sebagai Muslim dan di antara mereka adalah Abdullah bin Saba’ yang dijuluki Ibnu Sauda. Orang yang berasal dari Shan’a ini menebarkan benih-benih fitnah di kalangan kaum Muslimin agar mereka iri dan benci kepada Utsman radliyallahu 'anhu.

Sedangkan inti dari apa yang dia bawa adalah pemikiran-pemikiran pribadinya yang bernafaskan Yahudi. Contohnya adalah qiyas-nya yang bathil tentang kewalian Ali radliyallahu 'anhu. Dia berkata : “Sesungguhnya telah ada seribu Nabi dan setiap Nabi mempunyai wali. Sedangkan Ali walinya Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.” Kemudian dia berkata lagi : “Muhammad adalah penutup para Nabi sedangkan Ali adalah penutup para wali.”

Tatkala tertanam pemikiran ini dalam jiwa para pengikutnya, mulailah dia menerapkan tujuan pokoknya yaitu melakukan pemberontakan terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan radliyallahu 'anhu. Maka dia melontarkan pernyataan pada masyarakat yang bunyinya : “Siapa yang lebih dhalim daripada orang yang tidak pantas mendapatkan wasiat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (kewalian Rasul), kemudian dia melampaui wali Rasulullah (yaitu Ali) dan merampas urusan umat (pemerintahan)!” 

Setelah itu dia berkata : “Sesungguhnya Utsman mengambil kewalian (pemerintahan)!” Setelah itu dia berkata : “Sesungguhnya Utsman mengambil kewalian (pemerintahan) yang bukan haknya, sedang wali Rasulullah ini (Ali) ada (di kalangan kalian). Maka bangkitlah kalian dan bergeraklah. Mulailah untuk mencerca pejabat kalian tampakkan amar ma’ruf nahi munkar. Niscaya manusia serentak mendukung dan ajaklah mereka kepada perkara ini.” (Tarikh Ar Rasul juz 4 halaman 340 karya Ath Thabary melalui Mawaqif)

Amar ma’ruf nahi mungkar ala Saba’iyah ini sama modelnya dengan amar ma’ruf menurut Khawarij yakni keluar dari pemerintahan dan memberontak, memperingatkan kesalahan aparat pemerintahan di atas mimbar-mimbar, forum-forum, dan demonstasi-demonstasi yang semua ini mengakibatkan timbulnya fitnah.

Masalah pun bukan semakin reda, bahkan tambah menyala-nyala. Fakta sejarah telah membuktikan hal ini. Amar ma’ruf nahi mungkar ala Saba’iyah dan Khawarij ini mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan radliyallahu 'anhu, peperangan sesama kaum Muslimin, dan terbukanya pintu fitnah dari zaman Khalifah Utsman sampai zaman kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib radliyallahu 'anhu. (Tahqiq Mawaqif Ash Shahabati fil Fitnati min Riwayat Al Imam Ath Thabari wal Muhadditsin juz 2 halaman 342)

Sebenarnya amar ma’ruf nahi mungkar yang mereka gembar-gemborkan hanyalah sebagai label dan tameng belaka. Buktinya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda kepada Utsman :

Hai Utsman, nanti sepeninggalku Allah akan memakaikan pakaian padamu. Jika orang-orang ingin mencelakakanmu pada waktu malam --dalam riwayat lain :-- Orang-orang munafik ingin melepaskannya, maka jangan engkau lepaskan. Beliau mengucapkannya tiga kali.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya juz 6 halaman 75 dan At Tirmidzi dalam Sunan-nya dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi 3/210 nomor 2923)

Syaikh Muhammad Amhazurn berkomentar : “Hadits ini menunjukkan dengan jelas bahwa orang Khawarij tidaklah menuntut keadilan dan kebenaran akan tetapi mereka adalah kaum yang dihinggapi penyakit nifaq sehingga mereka bersembunyi dibalik tabir syiar perdamaian dan amar ma’ruf nahi mungkar.

Tidak diketahui di satu jamanpun adanya suatu jamaah atau kelompok yang lebih berbahaya bagi agama Islam dan kaum Muslimin daripada orang-orang munafik.” (Tahqiq Mawaqif Ash Shahabati juz 1 halaman 476)

Inilah hakikat amar ma’ruf nahi mungkar kaum Saba’iyah dan Khawarij. Alangkah serupanya kejadian dulu dan sekarang?!

Di jaman ini ternyata ada Khawarij Gaya Baru yaitu orang-orang yang mempunyai pemikiran Khawarij. Mereka menjadikan demonstrasi, unjuk rasa, dan sebagainya sebagai alat dan metode dakwah serta jihad. Di antara tokoh-tokoh mereka adalah Abdurrahman Abdul Khaliq yang mengatakan (Al Fushul minas Siyasah Asy Syar’iyyah halaman 31-32) : “Termasuk metode atau cara Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam berdakwah adalah demonstrasi atau unjuk rasa.”

dikutip dari "Demonstrasi Bukan Metode Salafus Sholih"
salafy.or.id

Mengkafirkan Sesama Muslim

by admin aluyeah
Mengkafirkan Sesama Muslim | al-uyeah.blogspot.com
Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah berkata: “Tidak boleh bermudah-mudah dalam mengkafirkan seseorang karena hal ini akan berdampak atau berakibat kepada dua perkara yang besar:

Pertama, mengadakan kedustaan terhadap Allah ta`ala di dalam hukum, di mana dia menghukumi kafir terhadap orang yang tidak dihukumi kafir oleh Allah ta`ala. Hal ini sama keadaannya dengan orang yang mengharamkan apa yang Allah halalkan, karena menghukumi kafir tidaknya seseorang hanya berada di tangan Allah saja sebagaimana hukum halal dan haram hanya berada di tangan Allah.

Kedua, mengadakan kedustaan terhadap orang yang dihukumi kafir tersebut dengan sifat yang dituduhkan kepadanya, di mana ia mensifati seorang muslim dengan sifat yang berlawanan dengan keadaan sebenarnya. Ia mengatakan: dia kafir, padahal orang ini berlepas diri dari kekafiran, sehingga pantaslah sifat kekafiran itu dikembalikan padanya (orang yang menuduh) berdasarkan hadits di dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin 'Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya maka sungguh akan kembali sebutan kekafiran tersebut kepada salah seorang dari keduanya.”

Dalam satu riwayat:

Bila orang yang disebut kafir itu memang kafir adanya maka sebutan itu pantas untuknya, bila tidak maka sebutan kafir itu kembali kepada yang mengucapkan."

Masih dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"Siapa yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia mengatakan: 'Wahai musuh Allah', sementara orang yang dituduhnya itu tidak demikian maka sebutan tersebut kembali kepadanya.”

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Ibnu 'Umar:

Bila orang tersebut memang kafir keadaannya,” (yakni) sesuai dengan hukum Allah.

Demikian pula ucapan beliau dalam hadits Abu Dzar:

Sementara orang yang dituduhnya itu tidaklah demikian,” (yakni bila ditimbang dengan) hukum Allah ta`ala.

Pensifatan kekufuran itu kembali kepadanya bila saudaranya itu terlepas dari tuduhan tersebut. Dan dikhawatirkan sekali ia terjatuh padanya. Karena kebanyakan orang yang begitu bersegera mensifatkan seorang muslim itu kafir merasa bangga dengan amalannya dan memandang remeh amalan orang lain, hingga akhirnya tergabunglah dengannya antara sifat ujub atas amalannya yang terkadang akan mengantarkan pada batalnya amalannya tersebut dan sifat sombong yang menyebabkan ia diazab oleh Allah ta`ala di dalam api neraka.

Sebagaimana datang dalam hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Allah Azza wa Jalla berfirman: Kesombongan itu adalah pakaian-Ku dan keagungan itu adalah kain-Ku maka siapa yang menentang-Ku pada salah satu dari keduanya niscaya akan Aku campakkan dia ke dalam neraka.”(Syarhu Kasyfisy Syubuhat, hal. 41-42)

Tidak diragukan lagi, orang yang suka mengkafirkan kaum muslimin maka mereka sendirilah yang kafir, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa bila seseorang mengatakan kepada saudaranya sesama kaum muslimin: “Wahai kafir”, maka kekafiran itu mesti akan kembali kepada salah seorang dari keduanya. Bila memang orang yang dituduh kafir itu sebagaimana kenyataannya maka ia memang kafir, bila tidak maka yang kafir adalah pengucapnya, na'udzubillah.

Karena itu wajib bagi seseorang untuk membersihkan lisan dan hatinya dari mengkafirkan muslimin, jangan ia berbicara dengan perkataan: “Dia kafir.” Dan jangan pula ia meyakini dalam hatinya bahwa seseorang itu kafir semata-mata karena hawa nafsu. Hukum pengkafiran bukan berada di tangan si Zaid, bukan pula di tangan si 'Amr akan tetapi yang berhak dalam hal ini hanyalah Allah dan Rasul-Nya.

Siapa yang dikafirkan Allah dan Rasul-Nya maka ia memang kafir walaupun kita mengatakan dia muslim. Sebaliknya, siapa yang tidak dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya maka ia tidak kafir walaupun orang mengatakan ia kafir.

Oleh karena itu kita katakan terhadap orang yang mengucapkan, “Wahai kafir,” “Wahai musuh Allah,” kalau memang demikian keadaannya, maka dia seperti yang dikatakan. Namun apabila tidak demikan, maka (ucapan itu) kembali kepada si pengucap, dialah yang kafir, wal ‘iyadzu billah. Dengan demikian ucapan ini termasuk dosa besar bila orang yang dikatakan kafir itu tidaklah demikian keadaannya. (Syarhu Riyadhush Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin, 4/376)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah ketika menjelaskan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

"Tidaklah seseorang menuduh orang lain fasik dan tidak pula ia menuduh orang lain dengan kekafiran kecuali sebutan itu akan kembali kepadanya, apabila orang yang dituduhkan tidak demikian keadaannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6045)

Beliau menyatakan: "Hadits ini mengandung konsekuensi bahwa siapa yang mengatakan kepada orang lain, “Engkau fasik,” atau “Engkau kafir,” sementara orang yang dicela tersebut tidak seperti yang dikatakan si pencela maka si pencela itulah yang berhak untuk mendapatkan sifat yang ia sebutkan (fasik atau kafir). Namun bila memang orang tersebut seperti yang ia katakan, maka tidak kembali sesuatu pun kepadanya karena ia benar dalam ucapannya. Namun, walaupun perkataan itu tidak dikembalikan padanya, apakah ia kafir atau fasik, bukan berarti dia tidak berdosa dengan penggambarannya terhadap seseorang: “Engkau fasik.” 

Di dalam permasalahan ini perlu perincian.
1. Bila ia berucap dengan tujuan menasehati orang tersebut atau menasehati orang selainnya dengan menerangkan keadaannya maka hal ini dibolehkan.
2. Bila tujuannya untuk mencela, memasyhurkannya dengan sebutan demikian dan semata hendak menyakiti maka hal ini tidak dibolehkan karena ia diperintah untuk menutup aib orang lain, mengajari dan menasehatinya dengan cara yang baik. Bila memungkinkan baginya untuk menasehati dengan cara yang lembut maka ia tidak boleh melakukannya dengan kekerasan dan kekakuan, karena hal itu dapat menyebabkan orang tersebut menjadi keras kepala dan terus menerus dalam perbuatannya sebagaimana hal ini merupakan tabiat kebanyakan manusia. Terlebih bila orang yang memerintahkan (menasehati) itu derajatnya lebih rendah daripada orang yang dinasehati. (Fathul Bari, 10/480-481)

Apabila ada seorang yang berkata, “Bagaimana bisa perkataan kafir itu dikembalikan kepadanya dalam keadaan ia mengkafirkan seseorang karena kecemburuannya terhadap agama Allah?” Jawabannya: Dia kafir karena dia menjadikan dirinya sebagai penetap syariat bersama Allah. Dia mengkafirkan orang itu sementara Allah tidak mengkafirkannya, dengan (perbuatan itu) dia mengangkat dirinya sebagai tandingan bagi Allah dalam pengkafiran saudaranya. Di sisi lain, Allah akan menutup hatinya hingga akhirnya ia akan kafir kepada Allah dengan kekafiran yang nyata dan jelas." (Fitnatut Takfir, hal. 43-44)

Ciri Khawarij

by admin aluyeah
Ciri Khawarij | al-uyeah.blogspot.com
Kaum muslimin hidup dalam kenikmatan yang agung dan merekapun berbahagia dengannya pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sampai munculnya benih-benih perselisihan, yaitu ketika Abdullah bin Saba dan para pengikutnya merongrong pemerintahan 'Utsman radhiyallahu 'anhu (inilah ciri khas kelompok khawarij sepanjang sejarah, yakni menentang pemerintahan yang sah, -pent.).

Cikal bakal munculnya khowarij pun telah ada sebelumnya saat penentangan yang dilakukan Dzul Khuwaisiroh At-Tamimiy atas pembagian ghanimah yang dilakukan oleh nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari perang Hunain, dimana Dzul Khuwaisiroh berkata, "Adillah hai Muhammad, karena engkau belum adil", dia juga mengatakan bahwa pembagian itu tidak di atas keridhoan Allah. Kemudian nabi menjawab, "Celaka! Siapa yang akan berbuat 'adil jika Aku tidak 'adil, tidakkah kalian percaya kepadaku, sedang Aku dipercaya oleh yang di langit."

Tatkala Umar hendak membunuhnya, nabi melarangnya seraya berkata, "Tahan! Sungguh akan keluar dari turunannya orang ini suatu kaum yang kalian merasa shalat kalian itu rendah bila dibanding shalatnya mereka, demikian pula shaum kalian bila dibanding shaum mereka, mereka kaum yang senantiasa membaca Al-Qur`an namun tidak sampai tenggorokannya, mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari bagian tubuh hewan buruan yang telah dibidik bagian tubuh lainnya."

Arus perselisihan kian memanas dengan semaraknya hizb (kelompok) pembangkang yang menghembuskan gelombang fitnah, perpecahan dan tikaman terhadap Islam pun semakin tajam. Khawarij itulah biang keladinya, mereka memerangi sahabat 'Ali radhiyallahu 'anhu, menghalalkan darah kaum muslimin dan hartanya dan menyamarkan jalan yang lurus serta memerangi Allah dan RosulNya.

Maka Ali radhiyallahu 'anhu segera membungkam fitnahnya, memerangi mereka bahkan Dzul Khuwaisiroh pun terbunuh, kemudian mereka merencanakan untuk membunuh sejumlah para sahabat hingga Ali radhiyallahu 'anhu pun berhasil mereka bunuh.

Orang-orang yang berpemikiran khawarij ini, menyebarkan kebatilannya dengan menempuh beberapa cara, di antaranya:

1. Meremehkan dakwah kepada tauhid, dengan alasan urusan aqidah telah diketahui banyak orang dan mungkin dapat memahaminya dalam jangka sepuluh menit. Lebih dari itu, merekapun enggan untuk mendakwahkan aqidah yang benar dengan sangkaan akan memecah belah umat.

2. Mencela ulama umat, merendahkan ilmunya dan memalingkan pendengarannya dari para ulama dengan dalih mereka tidak faham kondisi dan bukan ahlinya untuk menyelesaikan problema umat dan mengemban urusan-urusannya. (sering sekali mereka mengatakan ulama tidak paham trik-trik politik atau ulama hanya sibuk dengan tumpukan-tumpukan kitab, -pent)

3. Menjauhkan para pemuda dari ilmu yang syar'i yang berlandaskan kitab dan sunnah serta menyibukan mereka dengan nasyid-nasyid provokasi yang disebar di sana sini lewat media elektronik yang dibaca, dilihat ataupun didengar.

4. Meremehkan keberadaan wulatul umur / pemerintah dan menjelaskan 'aib-aibnya di atas mimbar atau lewat tindakan-tindakan yang meresahkan serta mentakwil nash-nash yang ditujukan untuk ta'at terhadap waliyyul amri / pemerintah, bahwa nash-nash tersebut untuk imamul a'dhom yakni khalifah kaum muslimin seluruhnya. (Mereka lupa atau pura-pura lupa dengan apa yang telah menjadi konsensus ulama bahwa dalam keadaan berbilangnya wilayah-wilayah Islam, maka setiap wilayah itu punya hak dan kewajiban- kewajibannya terhadap penguasanya, karena itu wajib untuk ta'at dalam hal yang ma'ruf dan haram untuk memeberontaknya selama menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah umat).

5. Menghadirkan para pemikir yang berpemahaman khawarij lalu mengumpulkan para pemuda dalam satu halaqoh, mencuci otak mereka dalam pertemuan tertutup, menjauhkan para pemuda dari ulamanya dan dari pemerintahnya serta mengikatkan mereka dengan tokoh-tokoh yang mana pemberontakan dan pengkafiran menjadi jalan pikirannya.

6. Mengajak untuk berjihad, yang dalam pandangan mereka adalah menghalalkan darah kaum muslimin dan hartanya, memprovokasi untuk membuat pengrusakan dan pengeboman (di sejumlah tempat) dengan anggapan bahwa negeri muslimin adalah negeri kafir (alasan mereka mengklaim demikian karena, hukum pemerintahan yang diberlakukannya bukan hukum Islam). (Ini jelas pemahaman yang keliru dan membahayakan, -pent.) karena itu menurut mereka negeri muslimin yang demikian keadaannya adalah negeri jihad, negeri perang.

Mereka tanamkan pemikirannya ini lewat sebagian nasyid-nasyid, bahkan sampai pada tahap melatih para pemuda menggunakan segala macam jenis senjata di tempat-tempat yang jauh dari penglihatan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. (Benarlah sabda nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyebutkan, kalau mereka itu memerangi ahlil islam dan membiarkan ahlil autsaan / musyrikin. HR. Muslim 4/389 no. 1064. Ibnu Umar berkata, "Mereka bertolak dari ayat- ayat yang diturunkan untuk orang-orang kafir lalu diterapkan pada orang-orang mukmin." HR. Bukhari 14/282, -pent)

7. Menyebarkan buku-buku, selebaran-selebaran dan berkas-berkas serta kaset-kaset yang mengajak pada pemikiran khawarij, pengkafiran kaum muslimin lebih-lebih ulama dan pemerintah, di antara buku-buku tersebut adalah:

a. Karya-karya Sayyid Qutb. Buku yang paling berbahayanya, yang di dalamnya terdapat pengkafiran umat dan celaan terhadap sahabat bahkan terhadap para nabi ialah seperti Fi Zhilalil Qur`an, Kutub wa Syakhsiyat, Al-Adalah Al-Ijtima'iyyah, Ma'alim fi Thariq.

b. Buku-buku Abul A'la Al-Maududy, buku-buku Hasan Al-Banna, Said Hawa, 'Isham Al-'Atthar, Abu Al-Fathi Al-Bayanuni, Muhammad Ali As-Shabuniy, Muhammad Hasan Hanbakah Al-Maidani, Hasan At-Turaby, Al-Hadiby, At-Tilmisani, Ahmad Muhammad Rosyid, Isham Al-Basyir, (juga buku-buku DR. Abdullah Azzam Al-Mubarok, Fathi Yakan, dan buku "Aku Melawan Teroris" Imam Samudra, -pent.)

c. Buku-buku dan kaset-kaset Muhammad Surur bin Nayif Zaenal Abidin pendiri / pimpinan Yayasan Al-Muntada -London- (dulu di indonesia pun ada yayasan yang bernama Al-Muntada - Jakarta-, namun kini telah berubah nama menjadi Al-Shafwah -Jakarta-).

Buku-buku seperti ini bila dibaca oleh pemuda yang belum matang pemikirannya dan tidak punya kemampuan ilmu, akan dapat merusak akalnya. Ia akan berjalan di belakang angan-angan, siap untuk menjalankan tuntutan-tuntutannya walaupun harus membunuh dirinya, atau lainnya dari kaum muslimin, atau membunuh orang-orang yang mendapat jaminan keamanan, demi untuk mencapai tujuan SYAHID DI JALAN ALLAH dan SURGA, seperti yang digambarkan oleh para tokoh-tokohnya bahwa inilah jalan yang benar, siapa yang menempuhnya ia akan mendapatkan cita-citanya dan sukses meraih ridlo Allah.

Maka pengkafiran, pengeboman, pengrusakan di negeri kaum muslimin dan keluar dari manhaj salafusshalih adalah jalan petunjuk. (walaupun banyak dari mereka saat ini mengaku pengikut manhaj salaf, namun itu semua hanya kedustaan semata, dan usianya pun takkan lama, -pent).


Orang-orang yang picik akalnya lagi muda usianya diprovokasi oleh tandzim-tandzim yang menipu, tulisan-tulisan yang tidak bertanggung jawab dan fatwa-fatwa yang menyesatkan sehingga menyulap mereka menjadi para perusak, memerangi kaum muslimin dan merampas hartanya dan membunuh orang-orang yang mendapat jaminan keamanan serta merampas hartanya. Mereka namakan yang demikian itu dengan nama JIHAD.

Penulis: Fadhilatus-Syaikh Dr. Sholeh bin Sa'ad As-Suhaimi Al-Harbi (Diringkas dan ditranskrip oleh Abu Hamzah)

"Terorisme dan Faham Khawarij"
Darussalaf.or.id

Khawarij

by admin aluyeah
Khawarij | al-uyeah.blogspot.com
Khawarij. Khawarij, tahukah Anda apa pemahaman Khawarij itu? Pemahaman Khawarij adalah pemahaman yang sesat! Pemahamannya telah memakan banyak korban. Yang menjadi korbannya adalah orang-orang jahil, tidak berilmu, dan berlagak punya ilmu atau berilmu tapi masih sedikit pemahamannya tentang Dien ini.Mereka kafirkan ayah, ibu, dan saudara-saudara mereka yang tidak sealiran atau tidak sepengajian dengan mereka. 

Siapa Khawarij Itu?

Imam Al Barbahari berkata : “Setiap orang yang memberontak kepada imam (pemerintah) kaum Muslimin adalah Khawarij. Dan berarti dia telah memecah kesatuan kaum Muslimin dan menentang sunnah. Dan matinya seperti mati jahiliyah.” (Syarhus Sunnah karya Imam Al Barbahari, tahqiq Abu Yasir Khalid Ar Raddadi halaman 78)

Para pengikut orang ini termasuk orang-orang yang memerangi Ali bin Abi Thalib. Itu terjadi ketika peperangan antara Ali dengan Muawiyah telah berlarut-larut. Pasukan Muawiyah mengangkat mushaf-mushaf dan memanggil pasukan Ali untuk bertahkim (mengadakan perundingan). 

Maka mereka berkata : "Kalian memilih satu orang dan kami juga memilih satu orang. Kemudian kita minta keduanya untuk memutuskan perkara berdasarkan Kitabullah." Maka manusia (yang terlibat dalam peperangan itu) berkata : "Kami setuju." Maka pasukan Muawiyah mengirim 'Amr bin Al 'Ash. 

Dan pasukan Ali berkata kepadanya : "Kirimlah Abu Musa Al Asy'ari." Ali berkata : "Aku tidak setuju kalau Abu Musa, ini Ibnu Abbas, dia saja." Mereka berkata : "Kami tidak mau dengan orang yang masih ada hubungan kekeluargaan denganmu.

Maka akhirnya dia mengirim Abu Musa dan keputusan diundur sampai Ramadlan. Maka Urwah bin Udzainah berkata : "Kalian telah berhukum kepada manusia pada perintah Allah. Tidak ada hukum kecuali milik Allah." (Slogan ini yang selalu didengungkan oleh Khawarij sampai sekarang. Ucapan ini benar, tetapi makna yang dimaukan tidak benar, pent.) ]

Ali kemudian pulang dari Shiffin dan masuk ke Kufah, tapi orang-orang Khawarij tidak mau masuk bersamanya. Mereka pergi ke suatu tempat yang bernama Harura’ sebanyak dua belas ribu orang kemudian berdomisili di situ. Mereka meneriakkan slogan : “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah!!”

Itulah awal tumbuhnya mereka. Dan mereka memproklamirkan bahwa komandan perang adalah Syabats bin Rib’i At Tamimi dan imam shalat adalah Abdullah bin Al Kawwa’ Al Yasykuri. Khawarij adalah orang yang sangat kuat beribadah, tapi mereka meyakini bahwa mereka lebih berilmu dari Ali bin Abi Thalib. Dan ini adalah penyakit yang berbahaya.

Ibnu Abbas berkata : Ketika Khawarij memisahkan diri, mereka masuk ke suatu daerah. Ketika itu jumlah mereka enam ribu orang. Mereka semua sepakat untuk memberontak kepada Ali bin Abi Thalib. Dan selalu ada beberapa orang datang kepada Ali sambil berkata : “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya kaum ini ingin memberontak kepadamu.” 

Maka Ali berkata : “Biarkan mereka, karena aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka dulu yang memerangiku dan mereka akan tahu nanti.” Maka suatu hari aku datangi dia (Ali) di waktu shalat Zhuhur dan kukatakan kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin, segerakanlah shalat, aku ingin mendatangi mereka dan berdialog dengan mereka.” Maka Ali berkata : “Aku mengkhawatirkan keselamatan dirimu.” Aku katakan : “Jangan takut, aku seorang yang baik akhlak dan tidak menyakiti seseorang pun.” 

Maka dia akhirnya mengijinkanku. Kemudian aku memakai kain yang bagus buatan Yaman dan bersisir. Kemudian aku datangi mereka di tengah hari. Maka aku memasuki suatu kaum yang belum pernah aku lihat hebatnya mereka dalam beribadah. Jidat mereka menghitam karena sujud. Tangan-tangan mereka kasar seperti lutut unta. Mereka memakai gamis yang murah dan dalam keadaan tersingsing. Wajah mereka pucat karena banyak bergadang di waktu malam. Kemudian aku ucapkan salam kepada mereka. 

Maka mereka berkata : “Selamat datang Ibnu Abbas, ada apakah?” Maka aku katakan kepada mereka : “Aku datang dari sisi kaum Muhajirin dan Anshar serta dari sisi menantu Nabi. Kepada mereka Al Qur’an turun dan mereka lebih tahu tentang tafsirnya daripada kalian.” Maka sebagian mereka berkata : Jangan kalian berdebat dengan orang Quraisy karena Allah telah berfirman :

Tapi mereka adalah kaum yang suka berdebat.” (Az Zukhruf : 58)

Maka ada tiga orang yang berkata : “Kami akan tetap berbicara dengannya.” Maka kukatakan kepada mereka : “Keluarkan apa yang membuat kalian benci kepada menantu Rasulullah, Muhajirin, dan Anshar! Kepada mereka Al Qur’an turun. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang ikut bersama kelompok kalian. Mereka adalah orang yang lebih tahu tentang tafsir Al Qur’an.”

Mereka berkata : “Ada tiga hal.” Aku berkata : “Sebutkan!” Mereka berkata : “Pertama, dia (Ali) berhukum kepada manusia dalam perintah Allah, sedangkan Allah telah berfirman :

Sesungguhnya hukum hanya milik Allah.’ (QS. Al An’am : 57)

Maka apa gunanya orang-orang itu kalau Allah sendiri telah memutuskan hukum?!” Aku berkata : “Ini yang pertama, apa lagi?” Mereka berkata : “Kedua, dia (Ali) telah berperang dan membunuh tapi mengapa dia tidak mau mengambil wanita sebagai tawanan perang dan harta rampasan musuhnya? Jika mereka (orang-orang yang diperangi Ali, pent.) memang kaum Muslimin, mengapa dia (Ali) membolehkan kita untuk memerangi dan membunuh mereka tapi dia melarang kita untuk mengambil tawanan?” Aku berkata : “Apa yang ketiga?” Mereka berkata : “Dia (Ali) telah menghapus dari dirinya gelar Amirul Mukminin (pemimpin kaum Mukminin) maka kalau dia bukan Amirul Mukminin berarti dia adalah Amirul Kafirin (pemimpin orang kafir).” Aku berkata : “Apakah ada selain ini lagi?” Mereka berkata : “Cukup ini saja.”

Aku katakan kepada mereka : “Adapun ucapan kalian tadi, dia berhukum kepada manusia dalam memutuskan hukum Allah, akan aku bacakan kepada kalian ayat yang membantah argumen kalian. Jika argumen kalian telah gugur apakah kalian akan ruju’?” Mereka berkata : “Tentu.” Aku berkata : “Sesungguhnya Allah sendiri telah menyerahkan hukum-Nya kepada beberapa orang tentang seperempat dirham harga kelinci dan ayatnya :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan ketika kalian sedang ihram. Barangsiapa yang di antara kalian membunuhnya dengan sengaja maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian.’ (QS. Al Maidah : 59)

Dan juga tentang seorang istri dengan suaminya :

Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.’ (QS. An Nisa’ : 35)

Maka aku sumpah kalian dengan nama Allah, manakah yang lebih baik kalau mereka berhukum dengan manusia untuk memperbaiki hubungan antara mereka dan untuk menahan darah mereka agar tidak tertumpah atau yang lebih utama hukum yang mereka putuskan dalam harga seekor kelinci dan seorang wanita? Manakah antara keduanya yang lebih utama?” Mereka berkata : “Tentu yang pertama.” Aku berkata : “Apakah kalian keluar dari kesalahan ini.” Mereka berkata : “Baiklah.”

Aku berkata : “Adapun ucapan kalian, dia (Ali) tidak mau mengambil tawanan dan ghanimah (rampasan perang). Apakah kalian akan menawan ibu kalian, Aisyah? Demi Allah, kalau kalian berkata, dia bukan ibu kami, berarti kalian telah keluar dari Islam. Dan demi Allah, kalau kalian berkata, kami tetap akan menawannya dan menghalalkan (kemaluan)nya untuk digauli seperti wanita lain (karena dengan demikian ibu kita, Aisyah berstatus budak dan budak hukumnya boleh digauli oleh pemiliknya, pent.), berarti kalian telah keluar dari Islam. Maka kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah telah berfirman :

Nabi itu lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari diri-diri mereka sendiri. Dan istri-istri Nabi adalah ibu-ibu mereka.’ (QS. Al Ahzab : 6)

Maka apakah kalian keluar dari kesalahan ini?” Mereka berkata : “Baiklah.”

Aku berkata : “Adapun ucapan kalian, dia telah menghapus dari dirinya gelar Amirul Mukminin. Aku akan membuat contoh dengan orang yang kalian ridlai, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada perjanjian Hudaibiyah, beliau berdamai dengan kaum musyrikin. Abu Sufyan bin Harb dan Suhail bin ‘Amr. Beliau berkata kepada Ali : ‘Tulis untuk mereka sebuah tulisan yang berbunyi : Ini apa yang telah disepakati oleh Muhammad Rasulullah. Maka kaum musyrikin berkata : ‘Demi Allah, kami tidak mengakuimu sebagai Rasulullah. Kalau kami mengakuimu sebagai Rasulullah, untuk apa kami memerangimu?!’ Maka beliau berkata : ‘Ya Allah, Engkau yang tahu aku adalah Rasul-Mu. Hapuslah kata itu, hai Ali!’ (HR. Bukhari nomor 2699 dan Muslim nomor 1783). Dan tulislah : ‘Ini apa yang disepakati oleh Muhammad bin Abdullah.’

Maka demi Allah, tentu Rasulullah lebih baik dari Ali, tapi beliau sendiri menghapus gelar itu dari dirinya hari itu.”

Ibnu Abbas berkata : “Maka bertaubatlah 2000 (dua ribu) orang dari mereka dan selainnya tetap memberontak, maka mereka pun akhirnya dibunuh.” (Talbis Iblis halaman 116-119)

Allah Bersemayam Di Atas 'Arsy

by admin aluyeah
Allah Bersemayam Di Atas 'Arsy | al-uyeah.blogspot.com
Allah yang menciptakan kita mewajibkan kita untuk mengetahui di mana Dia, sehingga kita dapat menghadap kepada-Nya dengan hati, do’a dan shalat kita. Orang yang tidak tahu di mana Tuhannya akan selalu sesat dan tidak akan mengetahui bagaimana cara beribadah yang benar.

Sifat atas atau tinggi yang dimiliki Allah atas makhluk-Nya tidak berbeda dengan sifat-sifat Allah yang lainnya sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur`an dan hadits yang shahih, seperti “Mendengar”, “Melihat”, “Berbicara”, “Turun” dan lain-lain.

‘Aqidah para ‘ulama salaf yang shalih dan golongan yang selamat yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah mempunyai keyakinan yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya tanpa ta`wiil (menggeser makna yang asal ke makna yang lain), ta’thiil (meniadakan seluruh atau sebagian sifat-sifat Allah), takyiif (menanyakan hakekat sifat-sifat Allah) dan tasybiih (menyamakan Allah dengan makhluk-Nya). Hal ini berdasarkan firman Allah:

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuuraa:11)

Sifat-sifat Allah ini antara lain sifat atas atau tinggi tadi mengikuti Dzat Allah. Oleh karena itu iman kepada sifat-sifat Allah tersebut juga wajib sebagaimana juga iman kepada Dzat Allah.

Al-Imam Malik ketika ditanya tentang makna istiwa` dalam firman Allah: “Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thaahaa:5)

Beliau menjawab: “Istiwa` itu sudah diketahui maknanya, yaitu “tinggi”. Sedangkan bagaimananya, tidak diketahui. Beriman dengannya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah.”

Perhatikanlah jawaban Al-Imam Malik tersebut yang menetapkan bahwa iman kepada istiwa` itu wajib diketahui oleh setiap muslim. Tetapi bagaimana tingginya Allah itu hanya Allah saja yang mengetahui.

Orang yang mengingkari sifat Allah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur`an dan Hadits -antara lain sifat ketinggian Allah yang mutlak dan Allah di atas langit- maka orang itu berarti telah mengingkari ayat Al-Qur`an dan Hadits yang menetapkan adanya sifat-sifat tersebut. Sifat-sifat tersebut meliputi sifat-sifat kesempurnaan, keluhuran dan keagungan yang tidak boleh diingkari oleh siapa pun.

Ada sekelompok ‘ulama yang datang belakangan yang sudah terpengaruh oleh filsafat yang merusak ‘aqidah Islam, berusaha untuk mena`wilkan ayat-ayat Al-Qur`an yang berhubungan dengan sifat Allah, sehingga mereka menghilangkan sifat-sifat Allah yang sempurna dari Dzat-Nya.

Mereka bertentangan dengan metode ‘ulama salaf yang lebih selamat, lebih tahu dan lebih kuat argumentasinya. Alangkah indahnya pendapat yang mengatakan:

segala kebaikan itu terdapat dalam mengikuti jejak ‘ulama salaf
dan segala keburukan itu terdapat dalam bid’ahnya orang-orang khalaf (yang menyelisihi salaf).

Kesimpulan Mengenai Sifat-sifat Allah

Beriman kepada seluruh sifat-sifat Allah yang diterangkan dalam Al-Qur`an dan Hadits adalah wajib. Tidak boleh membeda-bedakan antara sifat yang satu dengan sifat yang lain, sehingga kita hanya mau beriman kepada sifat yang satu dan ingkar kepada sifat yang lain.

Orang yang percaya bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan percaya bahwa mendengar dan melihatnya Allah tidak sama dengan mendengar dan melihatnya makhluk, maka ia juga harus percaya bahwa Allah itu tinggi di atas langit dengan cara dan sifat yang sesuai dengan keagungan Allah dan tidak sama dengan tingginya makhluk, karena sifat tingginya itu adalah sifat yang sempurna bagi Allah.

Hal itu sudah ditetapkan sendiri oleh Allah dalam Kitab-Nya dan sabda-sabda Rasulullah. Fithrah dan cara berfikir yang sehat juga mendukung kenyataan tersebut.

Allah Berada di atas ‘Arsy

Al-Qur`an, hadits shahih dan fithrah yang bersih serta cara berfikir yang sehat adalah dalil-dalil yang qath’i yang mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas ‘Arsy.

Dalil-dalil tersebut adalah:

1. Firman Allah Ta’ala:

“Allah Yang Maha Pengasih itu beristiwa` di atas ‘Arsy.” (Thaahaa:5) Keterangan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy terdapat dalam tujuh surat, yaitu: Al-A’raaf:54, Yuunus:3, Ar-Ra’d:2, Thaahaa:5, Al-Furqaan:59, As-Sajdah:4 dan Al-Hadiid:4.

Para tabi’in menafsirkan istiwa` dengan naik dan tinggi, sebagaimana diterangkan dalam hadits Al-Bukhariy, yang merupakan bantahan terhadap orang yang mena`wilkan istiwa` dengan istaula (menguasai). (Lihat Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah, Asy-Syaikh Al-Fauzan hal.73-75 cet. Maktabah Al-Ma’aarif)

2. “Apakah kalian merasa aman terhadap “Yang di langit” bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian?” (Al-Mulk:16)

Menurut Ibnu ‘Abbas yang dimaksud dengan “Yang di langit” adalah Allah seperti disebutkan dalam kitab Tafsir Ibnul Jauziy.

3. “Mereka takut kepada Tuhan mereka yang (ada) di atas mereka.” (An-Nahl:50)

4. Firman Allah tentang Nabi ‘Isa: “Tetapi (yang sebenarnya), Allah mengangkatnya kepada-Nya.” (An-Nisaa:158)

Maksudnya Allah menaikkan Nabi ‘Isa ke langit.

5. “Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi.” (Al-An’aam:3)

Ibnu Katsir mengomentari ayat ini sebagai berikut: “Para ahli tafsir sepakat bahwa kita tidak akan mengucapkan seperti ucapannya Jahmiyyah (golongan yang sesat) yang mengatakan bahwa Allah itu berada di setiap tempat. Maha Suci Allah dari ucapan mereka terebut.”

Adapun firman Allah: “Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada.” (Al-Hadiid:4), maka yang dimaksud adalah Allah itu selalu bersama kita, dalam artian mendengar dan melihat kita, seperti diterangkan dalam tafsir Ibnu Katsir dan Jalalain.

6. Rasulullah mi’raj ke langit ketujuh dan berdialog dengan Allah serta diwajibkan untuk melakukan shalat lima waktu. (Muttafaqun ‘alaih)

7. Rasulullah bersabda: “Kenapa kamu tidak mempercayaiku, padahal aku ini dipercaya oleh Allah yang ada di langit?” (Muttafaqun ‘alaih)

8. Rasulullah bersabda: “Sayangilah orang-orang yang ada di bumi maka Yang di langit (yaitu Allah) akan menyayangi kalian.” (HR. At-Tirmidziy)

9. Abu Bakr Ash-Shiddiq berkata: “Barangsiapa menyembah Allah maka Allah berada di atas langit, Ia hidup dan tidak mati.” (Riwayat Ad-Darimiy dalam Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah)

10. ‘Abdullah Ibnul Mubarak pernah ditanya: “Bagaimana kita mengetahui Tuhan kita?” Maka beliau menjawab: “Tuhan kita di atas langit, di atas ‘Arsy, berbeda dengan makhluk-Nya.” Maksudnya Dzat Allah berada di atas ‘Arsy, berbeda dan berpisah dengan makhluk-Nya dan keadaannya di atas ‘Arsy tersebut tidak sama dengan makhluk.

11. Al-Imam Abu Hanifah menulis kitab kecil berjudul “Sesungguhnya Allah itu di atas ‘Arsy.” Beliau menerangkan hal itu seperti dalam kitabnya “Al-‘Ilm wal Muta’allim.”

12. Seseorang yang tengah shalat berucap di dalam sujudnya: “Subhaana Rabbiyal A’laa” (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi).

13. Seseorang ketika berdo’a juga mengangkat kedua tangannya dan menadahkannya ke langit.

14. Anak kecil ketika ditanya: “Di mana Allah?”, niscaya mereka akan segera menjawab berdasarkan fithrah mereka yang masih bersih bahwa Allah berada di atas langit.

15. Hewan buruan seperti kijang dan lainnya ketika hendak dibidik/dibunuh oleh sang pemburu, menengadahkan kepalanya ke langit meminta kepada Rabb-nya yang ada di atas langit agar menyelamatkannya.

Hal ini menunjukkan bahwa hewan tersebut tahu bahwa Rabb-nya di atas langit. Demikian juga hewan-hewan yang lainnya mengetahui bahwa Rabb mereka berada di atas langit. Kalau ada orang yang masih belum mengetahui di mana Rabb-nya maka dia lebih hina dan lebih rendah daripada hewan.

16. Akal yang sehat juga mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas langit. Seandainya Allah berada di setiap tempat, niscaya Rasulullah pernah menerangkan dan mengajarkan kepada para shahabatnya. Kalau Allah berada di segala tempat berarti Allah juga di tempat-tempat yang najis dan kotor. Maha Suci Allah dari anggapan itu.

Kisah Seorang Wanita Penggembala

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa Allah di atas langit adalah kisah seorang budak wanita penggembala. Kisahnya adalah sebagai berikut:

Dari Mu’awiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy berkata: “Dulu aku mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan kambing-kambingku di daerah Uhud dan Jawwaaniyyah.

Suatu hari aku menengoknya, tiba-tiba ada seekor serigala membawa pergi salah satu kambingnya. Sedangkan aku adalah seorang laki-laki dari Bani Adam. Aku bisa marah sebagaimana orang lain pun bisa marah. Maka aku pun memukulnya sekali.

Kemudian aku mendatangi Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, maka beliau menganggap besar perbuatan yang telah kulakukan.

Aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah aku merdekakan saja dia?” Beliau menjawab: “Bawa dia kepadaku!”

Maka setelah budak wanita tersebut dibawa ke hadapan beliau, beliau bertanya kepadanya: “Di mana Allah?” Dia menjawab: “Di atas langit.” Beliau bertanya lagi: “Siapa aku?” Budak itu pun menjawab: “Engkau adalah Utusan Allah.”

Setelah mendengar jawaban tersebut, beliau Shallallahu'alaihiwasalam bersabda: “Merdekakan dia, karena dia adalah seorang wanita yang beriman.” (HR. Muslim no.537)

Dari hadits dan kisah tersebut, kita bisa mengambil beberapa faidah, di antaranya:

1. Adalah kebiasaan para shahabat ketika menghadapi suatu permasalahan meskipun kecil, selalu merujuk kepada Rasulullah agar mereka mengetahui bagaimana hukum Allah di dalam permasalahan tersebut.

2. Wajibnya berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sampai mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisaa`:65)

3. Pengingkaran Rasulullah terhadap shahabat tersebut yang memukul budaknya dan beliau menganggapnya sebagai perkara besar.

4. Memerdekakan budak hanya boleh dilakukan terhadap budak yang beriman, bukan budak yang kafir. Karena Rasulullah menguji budak tadi dan ketika beliau mengetahui bahwa budak itu beriman, beliau memerintahkan untuk memerdekakannya. Jadi seandainya dia kafir, beliau tidak akan memerintahkan hal tersebut.

5. Kewajiban bertanya tentang tauhid, di antaranya tentang tingginya Allah di atas ‘Arsy-Nya. Mengetahui hal ini adalah wajib.

6. Disyari’atkannya memberikan pertanyaan: “Di mana Allah?”. Hal ini adalah sunnah karena Rasulullah juga menanyakannya. Hal ini juga sebagai bantahan terhadap orang yang mengatakan: “Tidak boleh bertanya di mana Allah!”

7. Disyari’atkannya (bahkan wajib untuk) menjawab bahwa Allah ada di langit (yaitu di atas langit). Karena Nabi membenarkan jawaban budak tadi dan juga karena sesuainya jawaban tersebut dengan Al-Qur`an yang mengatakan: “Apakah kalian merasa aman terhadap “Yang di langit” bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian?” (Al-Mulk:16)

Yang dimaksud dengan “Yang di langit” adalah Allah, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas. Sedangkan makna fis samaa` (di langit) adalah ‘alas samaa` (di atas langit).

8. Benarnya keimanan dapat terwujud dengan adanya persaksian terhadap Muhammad Shallallahu'alaihiwasalam dengan risalah beliau.

9. Keyakinan bahwa Allah ada di atas langit adalah bukti yang menunjukkan benarnya keimanan dan keyakinan ini harus ada pada setiap orang yang beriman.

10. Hadits ini merupakan bantahan terhadap kesalahan orang yang mengatakan bahwa Allah ada di setiap tempat dengan Dzat-Nya, sedangkan yang benar adalah Allah bersama kita dengan ilmu-Nya, bukan dengan Dzat-Nya.

11. Permintaan Rasulullah agar budak itu dibawa ke hadapan beliau sehingga beliau dapat mengujinya menunjukkan bahwa beliau tidak mengetahui perkara ghaib, yaitu keimanan budak tersebut. Hal ini sebagai bantahan terhadap golongan shufi yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mengetahui perkara ghaib. Wallaahu A’lam.

Diringkas dari kitab Taujiihaat Islaamiyyah li Ishlaahil Fard wal Mujtama’ dan Kaifa Nurabbii Aulaadanaa karya Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu dengan beberapa tambahan.

Pernyataan Para Imam tentang Istiwa`

Berkata Al-Imam Abu Hanifah: “Siapa yang berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku itu di mana, di langit ataukah di bumi.”, maka orang tersebut kafir. Demikian pula orang yang berkata: “Tuhanku itu di atas ‘Arsy, tetapi saya tidak tahu ‘Arsy itu di langit ataukah di bumi.” (Al-Fiqhul Absath hal.46; Lihat juga Majmuu’ul Fataawaa 5/48; Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah, Ibnu Abil ‘Izz hal.301;)

Abu Nu’aim menuturkan dari Ja’far bin ‘Abdillah, dia berkata: “Kami berada di rumah Malik bin Anas, kemudian ada orang datang dan bertanya, “Wahai Abu ‘Abdillah, Allah Yang Maha Pengasih istiwa` (bersemayam) di atas ‘Arsy, bagaimana caranya Allah beristiwa`?”

Mendengar pertanyaan itu, Al-Imam Malik marah. Beliau tidak pernah marah seperti itu. Kemudian beliau melihat ke tanah sambil memegang kayu di tangannya, lalu beliau mengangkat kepalanya dan melempar kayu tersebut, kemudian berkata: “Istiwa` itu sudah diketahui maknanya sedangkan bagaimana caranya Allah beristiwa` tidaklah dapat dicerna oleh akal. Beriman dengannya adalah wajib sedangkan menanyakannya adalah bid’ah. Dan saya kira kamulah pelaku bid’ah tersebut.” Kemudian Al-Imam Malik menyuruh orang itu agar dikeluarkan dari rumah beliau.” (Al-Hilyah 6/325-326; ‘Aqiidatus Salaf Ash-Haabul Hadiits hal.17-18; At-Tamhiid 7/151; Fathul Baarii 13/406-407)

Wallaahu A’lam.

Dinukil dari kitab I’tiqaadul A`immah Al-Arba’ah, Dr. Muhammad Al-Khumais
"Mengenal Ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala"
Salafy.or.id

Demonstrasi

by admin aluyeah
Demonstrasi | al-uyeah.blogspot.com
Tidak samar bagi siapa pun, demonstrasi di negeri ini menjadi budaya yang terus dihidupkan dan dikembangkan, seolah-olah ia menjadi senjata ampuh untuk keluar dari sebuah permasalahan. Siapa yang tidak ada keinginan untuk itu dicap sebagai pengecut dan tidak ada kemauan untuk memperbaiki keadaan. Lalu, benarkah demo menjadi solusi untuk bisa keluar dari kesulitan dan masalah?

Kalau mau jujur, akibat yang ditimbulkan dari berdemonstrasi jauh lebih rusak dan mengerikan dibandingkan problem yang terjadi. Anda lihat, bagaimana aksi-aksi yang dilakukan para demonstran akhir-akhir ini, sungguh di luar kewajaran dan melampaui batasan, seperti aksi jahit mulut hingga aksi bunuh diri. Aksi-aksi ini akan terus berlangsung, bahkan bisa jadi semakin mengerikan. Nas’alullah as-salamah.

Siapa yang rugi? Apakah masalah selesai setelah itu? Justru masalah kian membesar dan akan bertambah. Kondisi seperti ini diperparah dengan adanya fatwa-fatwa dari pihak yang tidak bertanggung jawab dengan menyatakan bahwa demonstrasi adalah wasilah dakwah, bagian dari bentuk amar ma’ruf nahi munkar, bahkan jihad di jalan Allah Subhanahu wata’ala.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Saya tidak melihat aksi demonstrasi dengan berjalan kaki atau longmarch sebagai solusi. Justru, saya melihatnya hanya sebagai sebab timbulnya fitnah dan kejelekan serta sebab tindakan zalim dan aniaya kepada sebagian pihak. Cara yang disyariatkan adalah mengirim surat, menyampaikan nasihat dan berdakwah kepada kebaikan dengan metode yang syar’i yang telah diuraikan oleh para ulama. Jadi, dengan mengirim tulisan (surat), berbicara langsung kepada pemimpin/pemerintah, atau melalui telepon, dan menyampaikan nasihat. Tidak mengumbar kejelekan-kejelekan pemerintah di atas mimbar-mimbar. Wallahulmusta’an.” (Fatawa al-’Ulama al-Akabir)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang wajib bagi kita adalah menasihati pemerintah sesuai kemampuan. Adapun aksi turun ke jalan dan melakukan protes secara terang-terangan, maka ini menyelisihi petunjuk para salaf, dan aksi-aksi tadi sama sekali tidak nyambung dengan syariat. Tidak pula dengan upaya perbaikan. Semua itu hanyalah kemudaratan. Tidak boleh mendukung aksi demonstrasi dan semisalnya, karena upaya perbaikan dapat dilakukan dengan selainitu.” (Fatawa al-Ulama al-Akabir)

Di lain kesempatan, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menegaskan, “Penting kiranya untuk memahami manhaj salaf dalam bermuamalah dengan pemerintah, jangan sampai kesalahan pemerintah dijadikan celah untuk memprovokasi manusia dan menjauhkannya dari pemerintah karena ini adalah kerusakan dan satu penyebab utama munculnya fitnah.

Berpalingnya hati dari pemerintah akan mendatangkan fitnah, kejelekan, dan kekacauan. Begitu pun berpalingnya hati dari para ulama akan mendatangkan sikap meremehkan para ulama dan lebih jauhnya lagi meremehkan syariat. 

Maka, yang wajib adalah melihat apa yang telah ditempuh oleh para salaf dalam menghadapi pemerintahnya. Seseorang harus berhati-hati dan selalu melihat apa akibat yang akan timbul. Penting diketahui bahwa orang yang gemar melakukan provokasi pada hakikatnya sedang membantu musuh-musuh Islam.

Yang jadi patokan bukanlah dengan provokasi, bukan pula dengan menampakkan emosi yang meluap-luap. Akan tetapi, patokannya adalah adanya hikmah, dan saya tidak memaksudkan kata hikmah berarti mendiamkan kesalahan, namun memperbaiki kesalahan agar hukum/keadaan menjadi lebih baik.” (Mu’amalatul Hukkam)

dikutip dari ” Sikap-sikap yang Salah Terhadap Pemerintah “
Oleh : al Ustadz Abu Hamzah Yusuf
AsySyariah.com

Mencium Mushaf Al Quran

by admin aluyeah
Mencium Mushaf Al Quran | al-uyeah.blogspot.com
Bagaimana hukum mencium mushaf Al Quran?

Perkara ini –menurut keyakinan kami– adalah masuk kedalam keumuman hadits “Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru karena setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat”, dalam hadits lain “Setiap kesesatan dalam Neraka.

Banyak kalangan punya pendirian tertentu dalam menyikapi hal ini, mereka mengatakan “

"Ada apa dengan mencium mushaf? Bukankah ini hanya untuk menampakkan sikap membesarkan dan mengagungkan Al Qur’an?"” 

kita katakana kepada mereka, 

“Kalian benar, tak ada apa-apa melainkan hanya pengagungan terhadap Al Qur’anul Karim, tetapi perhatikanlah, apakah sikap pengagungan ini luput atas generasi umat yang pertama, yang mereka tiada lain adalah para sahabat Rosulullah demikian pula para tabi'’in dan para tabi'’ut tabi'’in setelahnya ?” Tidak ragu lagi jawabannya adalah seperti jawaban Ulama Salaf, ” Jika perkara itu baik, tentu mereka akan mendahului kita padanya ” .

Ini satu masalah, masalah yang lainnya adalah apa hukum asal mencium sesuatu, bolehkah atau terlarang ?

Disini perlu kami paparkan suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sahabat Abbas bin Rabi’ah ia berkata, “Aku melihat Umar bin Khotob mencium hajar aswad dan berkata, “Sesungguhnya aku tahu engkau adalah batu, tidak dapat memberi mudharat tidak pula memberi manfa’at, sekiranya bukan karena Aku telah melihat Rasulullah mencium-mu Aku tak akan mencium-mu””.

Kalau demikian, kenapa Umar mencium hajar aswad ?” apakah karena filsafat yang muncul darinya ?
Jadi asal hukum mencium ini hendaknya berjalan diatas sunnah yang dulu. ingatlah sikap Zaid bin Tsabit beliau telah berkata, “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah?”

Jika ditanyakan kepada yang mencium mushaf, “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah?”, ia akan mengarahkan jawaban yang aneh sekali, seperti 

“"wahai saudaraku ada apa dengan ini? Ini mengagungkan Alqur’an!”" 

maka katakana padanya, “Hai sadaraku, apakah Rasulullah tidak mengagungkan Al Qur’an? Tidak ragu lagi bahwa beliau mengagungkan Al Quran, walau demikian beliau tidak menciumnya”.

Saya katakan, “Tidak ada jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah kecuali dengan apa yang telah disyari’atkanNya, oleh karena itu kita bertindak sesuai dengan apa yang disyari’atkan untuk kita dari keta’atan dan ibadah-ibadah, tidak menambahinya walau satu kata, karena hal ini seperti ucapan Nabi, “Tidak aku tinggalkan sesuatupun yang Allah telah perintahkan kalian, kecuali aku telah perintahkan kalian dengannya””.

Oleh karena itu maka mencium mushaf (Al Qur’an) adalah bid’ah, dan setiap kebid’ahan adalah sesat, setiap kesesatan tempatnya di neraka.

Sumber : “”Kaifa Yajibu ‘Alaina An-Nufassirol Qur’an”
Ditulis oleh Ustadz Abu Hamzah Al-Atsary
Salafy.or.id

Karomah dan Syafa'at Wali

by admin aluyeah
Karomah dan Syafa'at Wali | al-uyeah.blogspot.com
Tanya : Apakah para wali memiliki karomah, apakah mereka mengatur alam raya di langit dan di bumi dan apakah mereka dapat memberikan syafaat –sementara mereka di alam barzakh- kepada penghuni dunia atau tidak ?

Jawab : Karomah adalah perkara yang terjadi di luar kebiasaan yang Allah tampakkan lewat seorang hamba yang shaleh baik dalam keadaan hidup atau mati, sebagai pertanda kemuliaannya yang dengannya dia dapat menolak bahaya atau mendatangkan manfaat atau memenangkan yang haq. 

Hal tersebut tidak dimiliki hamba yang shaleh tadi kecuali jika Allah memberinya. Sebagaimana Rasulullahe tidak dapat mendatangkan mu’jizat dari dirinya, tetapi semua itu dari Allah semata. Allah ta’ala berfirman:
Dan orang-orang kafir Mekkah berkata: “ Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?”, katakanlah : Sesung-guhnya mukjizat-mukjizat itu terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata (Al Ankabut 50)

Demikian juga orang shalih tidak mengatur jagad raya baik yang di langit maupun di bumi, kecuali apa yang Allah berikan lewat sebab-sebab sebagaimana manusia pada umumnya, seperti bertani, membangun, berdagang dan yang semacamnya dari perbuatan manusia atas izin Allah ta’'ala. Dan tidak mungkin mereka memberikan syafa’'at sedang mereka di alam barzakh kepada seseorang makhluk baik dia dalam keadaan hidup atau telah meninggal.

Allah ta’ala berfirman:
“Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa’at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini (nya) “ (Az Zukhruf 86)

Tiada yang dapat memberi syafa'’at di sisi Allah kecuali seizin-Nya “ (Al Baqarah 255)

Siapa yang berkeyakinan bahwa mereka (para wali) mengatur alam raya ini atau bahwa mereka mengetahui hal yang ghaib maka dia kafir berdasarkan firman Allah Ta’ala :

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada didalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu “ (Al Maidah 120)

“Katakanlah : “ Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah “ (An Naml 65)

Firman Allah ta’ala memerintah-kan nabi-Nya yang dapat menghilang-kan kerancuan dan memperjelas yang haq :

Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku, tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanya pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang beriman “ (An Naml 188).

(Dinukil dari terjemah Kumpulan Fatwa al Lajnah ad Daimah li al Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al Ifta, Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan riset fatwa Saudi Arabia. P.O. Box 1419 Riyadh 11431)

Mengungkapkan Rasa Syukur

by admin aluyeah
Mengungkapkan Rasa Syukur | al-uyeah.blogspot.com
“Wahai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi? Tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain dia, maka mengapa kalian berpaling?” (Fathir: 3)

Di dalam ayat tersebut Allah Ta'ala memerintahkan kepada seluruh manusia agar mereka mengingat nikmat-nikmat-Nya. Karena yang demikian ini akan mendorong seseorang untuk bersyukur kepada Allah Ta'ala.

Ketahuilah, bahwa bersyukur kepada Allah Ta'ala akan menyebabkan terjaganya nikmat yang dikaruniakan kepada seseorang dan menyebabkan datangnya nikmat-nikmat Allah Ta'ala yang lainnya.

Namun sebagaimana diterangkan oleh Al-Imam Ibnu Al-Qayyim rahimahullah, syukur itu tidak akan terwujud kecuali jika terbangun di atas lima perkara. Yaitu dengan merendahkan dirinya kepada Allah Ta'ala, mencintai-Nya, mengakui bahwa nikmat tersebut merupakan karunia dari Allah Ta'ala, memuji Allah Ta'ala dengan lisannya, dan tidak menggunakan nikmat tersebut untuk perkara yang dibenci oleh Allah Ta'ala.

Oleh karena itu, sudah semestinya bagi kita untuk melihat kembali usaha kita dalam mewujudkan rasa syukurnya kepada Allah Ta'ala. Karena apabila salah satu dari lima perkara yang harus dipenuhi tersebut tidak dilakukan, maka belum dikatakan orang tersebut telah bersyukur.

Dengan demikian, bersyukur itu tidaklah cukup dengan mengucapkan alhamdulillah atau dengan sekadar menyadari bahwa nikmat tersebut datangnya dari Allah Ta'ala. Bahkan tidak cukup pula meskipun kemudian dia tunjukkan dengan menghinakan diri serta tidak menyombongkan dirinya kepada Allah Ta'ala. Akan tetapi harus dilengkapi dengan mencintai Allah Ta'ala dan membuktikan cintanya tersebut dengan menggunakan nikmat-nikmat tersebut di jalan yang diridhai-Nya.

Allah Ta'ala telah memberitakan dalam ayat-Nya, bahwa keridhaan-Nya hanya akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang bersyukur, sebagaimana dalam firman-Nya:

Dan jika kalian bersyukur, niscaya Dia akan meridhai kalian (dari perbuatan syukur tersebut).” (Az-Zumar: 7)

Oleh karena itu, sudah semestinya bagi orang-orang yang mengharapkan surga Allah Ta'ala untuk memperbaiki dirinya dalam bersyukur kepada Allah Ta'ala. Karena kalau tidak demikian, maka bisa jadi seseorang menyangka dirinya telah bersyukur namun ternyata tidak demikian kenyataannya.

Padahal Allah Ta'ala sebagaimana dalam firman-Nya, telah membagi manusia menjadi dua kelompok. Yaitu kelompok orang-orang yang bersyukur dan kelompok orang-orang yang kufur, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; maka (manusia) ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (Al-Insan: 3)

Maka marilah kita berusaha melihat pada diri kita masing-masing. Pada kelompok yang mana kita berada? Sudahkah kita mensyukuri nikmat waktu, nikmat sehat, penglihatan, pendengaran, lisan dan lain-lainnya dengan menggunakannya untuk beribadah di jalan Allah Ta'ala? Sudahkah kita mensyukuri nikmat yang dikaruniakan-Nya kepada kita, kemudahan dalam sarana transportasi dan komunikasi serta yang semisalnya untuk digunakan di jalan Allah Ta'ala? Ataukah justru sarana tersebut digunakan untuk bermaksiat kepada Allah Ta'ala?

Ingatlah, bahwa nikmat-nikmat Allah Ta'ala yang dikaruniakan kepada kita sangat banyak dan kita akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. 

Oleh karena itu, marilah kita mensyukuri nikmat-nikmat Allah Ta'ala dan jangan mengkufurinya. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam telah mencontohkan kepada umatnya dan menganjurkan umatnya untuk mensyukuri nikmat.

Tersebut di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah dalam Shahih keduanya, melalui jalan sahabat Anas radiyallahu'anhu: Bahwasanya Nabi Shallallahu'alaihiwasalam melewati sebiji kurma ketika sedang berjalan, maka beliau Shallallahu'alaihwiasalam bersabda:

لَوْلاَ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الصَّدَقَةِ لَأَكَلْتُهَا

Kalaulah bukan (karena aku takut) kurma tersebut dari shadaqah, sungguh aku akan memakannya.”

Dari satu hadits ini saja, kita bisa mengetahui betapa besarnya perhatian Nabi Shallallahu'alaihiwasalam terhadap nikmat Allah Ta'ala, sehingga tidak membiarkan meskipun hanya sebiji kurma untuk dibuang dan rusak tanpa dimanfaatkan.

Kalau kita bandingkan dengan keadaan sebagian kita, akan kita dapatkan perbedaan yang sangat jauh. Makanan yang dibuang sia-sia merupakan pemandangan yang mungkin setiap hari dijumpai di sebagian rumah kita. Baik karena berlebihan dalam memasaknya atau membelinya yang kemudian menjadi rusak dan busuk sehingga kemudian dibuang sia-sia.

Padahal terkadang makanan tersebut bukanlah makanan yang murah harganya atau mudah mendapatkannya. Sementara di sekitar rumahnya banyak orang-orang fakir miskin yang tidak memiliki makanan. Sudah semestinya bagi kita semua untuk berusaha memperbaiki dirinya dalam bersyukur kepada Allah Ta'ala.

Ketahuilah, bahwa seseorang apabila tidak mensyukuri nikmat Allah Ta'ala, maka dia akan berada pada satu dari dua keadaan. 

Kemungkinan yang pertama, Allah Ta'ala akan mengambil nikmat tersebut darinya dan kemungkinan yang kedua, nikmat tersebut akan terus bersamanya namun akan menambah beratnya siksa di akhirat kelak. Maka tentunya kita semua tidak ingin terjatuh pada salah satu dari kedua keadaan tersebut.

“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa dibiarkannya mereka (terus mendapat nikmat) adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami membiarkan mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka nantinya adzab yang menghinakan.” (Ali ‘Imran: 178)

Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku, dan bersyukurlah kalian kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah: 152)

Ketahuilah, bahwa nikmat yang paling besar yang Allah Ta'ala karuniakan kepada hamba-hamba-Nya adalah nikmat ber-Islam dan memahaminya dengan pemahaman yang benar. 

Yaitu memahaminya sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam kepada para sahabatnya. Karena seseorang yang telah mendapatkan nikmat tersebut berarti dia telah mengikuti satu-satunya jalan yang diridhai oleh Allah Ta'ala, yang akan mengantarkan dirinya pada kebahagiaan yang selamanya. Allah Ta'ala berfirman:

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Ma`idah: 3)

Besarnya nikmat ber-Islam dan memahaminya dengan pemahaman yang benar tersebut akan dirasakan oleh seseorang, ketika dia melihat bagaimana keadaan orang-orang yang tidak mendapatkan nikmat ini.

Betapa banyak orang-orang yang tersesat sehingga mengikuti akidah orang-orang kafir dan musyrikin. Betapa banyak orang-orang yang menyimpang karena mengikuti aturan-aturan yang diada-adakan oleh pemimpinnya atau pendiri kelompoknya sendiri.

Begitu pula, betapa banyak orang-orang yang tersesat karena hanya mengikuti kebiasaan atau tradisi masyarakatnya yang mengada-adakan amal ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan para sahabatnya. Maka, orang-orang yang benar-benar mengikuti ajaran Islam dan memahaminya dengan pemahaman yang benar, sungguh dirinya telah diselamatkan oleh Allah Ta'ala dari berbagai bentuk kesesatan.

Besarnya nikmat Islam dan hidayah memahami agama Islam dengan benar juga akan dirasakan manakala seseorang mengetahui janji Allah Ta'ala bagi orang-orang yang mendapatkan nikmat ini dan ancaman-Nya bagi orang-orang yang tidak mendapatkannya. Sebagaimana dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang aman. (Yaitu) di dalam taman-taman dan mata air-mata air. Mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan. Demikian pula Kami berikan kepada mereka bidadari. Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman (dari segala kekhawatiran). Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia dan Allah memelihara mereka dari adzab neraka. Sebagai karunia dari Rabbmu. Yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar.” (Ad-Dukhan: 51-57)

Allah Ta'ala menyebutkan balasan bagi orang-orang yang tidak mendapatkan nikmat Islam di dalam firman-Nya:

Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang dan neraka Jahannam adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad: 12)

Maka marilah kita berusaha untuk mensyukuri nikmat yang paling besar ini. Meskipun nikmat yang lainnya pun tidak boleh disepelekan. Namun nikmat mengikuti agama Islam merupakan nikmat yang paling besar dan tidak bisa dikalahkan oleh nikmat apapun.

Sekalipun dibandingkan dengan orang mendapatkan nikmat dunia dan seisinya, namun tidak mendapatkan nikmat Islam. Marilah kita bersungguh-sungguh dalam mempelajari dan mengamalkannya. Tidak sekadar mengikuti kebanyakan atau keumuman orang. Tidak pula dengan mengandalkan semangat tanpa dilandasi ilmu.

Namun harus didasarkan kepada Al-Qur`an dan hadits Nabi Shallallahu'alaihiwasalam serta memahami keduanya dengan bimbingan para ulama yang mengikuti jalan generasi terbaik umat ini. Yaitu jalannya para sahabat Nabi Shallallahu'alaihiwasalam. Karena mereka adalah orang-orang yang telah mempelajari agama ini dari lisan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan mengetahui bagaimana Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mempraktikkan agama ini.

Dengan demikian kita akan diselamatkan dari berbagai ajaran yang menyimpang dan selanjutnya mendapatkan janji Allah Ta'ala, yaitu kenikmatan surga pada kehidupan yang selamanya nanti. Wallahu a’lam bish-shawab.

"Kewajiban Mensyukuri Nikmat"
AsySyariah.com