Janganlah Mencela Sahabat

by admin aluyeah
Janganlah Mencela Sahabat | al-uyeah.blogspot.com
Para sahabat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- merupakan generasi terbaik yang dipilih oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- untuk menemani Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dalam memperjuangkan, dan menyebarkan Islam. Jasa mereka kepada Islam dan kaum muslimin amat besar.

Namun sangat disayangkan, pada hari ini mencul generasi yang jelek berusaha merendahkan sahabat, menghina, bahkan menganggap mereka munafiq dan kafir, na’udzu billah. Usaha merendahkan dan mencela sahabat, ini dengan berbagai macam. Ada yang menghina sahabat dengan alasan “Study Kritis Sejarah Islam”, “Pembelaan Terhadap Ahlul Bait”, dan berbagai macam slogan yang berakhir pada satu muara, yaitu mencela sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- .

Ini tentunya menyalahi adab dan aqidah ahlus sunnah yang memerintahkan kita memuliakan sahabat, memujinya, mendoakan kebaikan baginya, dan menahan lisan dan hati untuk benci kepada mereka. Mencela sahabat, apalagi sampai menganggapnya munafik, telah berbuat makar, dan mengkafirkannya adalah merupakan perkara yang berbahaya bagi aqidah seorang muslim. Seorang muslim harus membersihkan lisan dan hatinya dari kata-kata yang tidak layak, sifat benci dan dendam kepada para sahabat -radhiyallahu anhum ajma’in-, apakah ia dari kalangan orang-orang terdahulu masuk Islam ataukah belakangan. Yang jelas ia adalah sahabat Nabi-shollallahu alaihi wasallam-, maka kita harus beradab dan sopan kepada mereka dalam berkata dan bersikap.

Cinta para sahabat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, baik itu ahlul bait maupun bukan merupakan tanda keimanan seseorang, dan membenci mereka adalah tanda nifaq. Al-Imam Al-Bukhary -rahimahullah- berkata dalam kitab Shahih-nya (1/14/17),“Bab Tanda Keimanan Adalah Cinta Kepada Orang-Orang Anshar”. Setelah itu Al-Bukhary membawakan sebuah hadits dari Anas -radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, beliau bersabda,

آيَةُ الْمُنَافِقِ بُغْضُ اْلأَنْصَارِ وَآيَةُ الْمُؤْمِنِ حُبُّ اْلأََنْصَارِ

Tanda kemunafiqan itu adalah membenci orang-orang Anshar dan tanda keimanan itu adalah mencintai orang-orang Anshar”.

Imam As-Suyuthiy -rahimahullah- berkata dalam Ad-Dibaj (1/92) ketika menafsirkan hadits di atas, “Tanda-tanda orang beriman adalah mencintai orang-orang Anshar karena siapa saja yang mengerti martabat mereka dan apa yang mereka persembahkan berupa pertolongan terhadap agama Islam, jerih-payah mereka memenangkannya, menampung para sahabat (muhajirin,pen), cinta mereka kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, pengorbanan jiwa dan harta mereka di depan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, permusuhan mereka terhadap semua orang (kafir) karena mengutamakan Islam dan mencintainya, maka semua itu merupakan tanda kebenaran imannya, dan jujurnya dia dalam berislam. Barangsiapa yang membenci mereka dibalik semua pengorbanan itu, maka itu merupakan tanda rusak dan busuknya niat orang ini”.

Dalam sebuah hadits Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda dalam menerangkan martabat para sahabat,

لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَلَوْا أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ

Janganlah kalian mencela para sahabatku. Andaikan seorang di antara kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, niscaya infaq itu tak mampu mencapai satu mud infaq mereka, dan tidak pula setengahnya” . [HR.Al-Bukhary dalam Ash-Shahih (3470), Muslim dalam Ash-Shahih (2541) dan lainnya].

Dari dua hadits ini dan hadits lainnya yang semakna, Ahlis Sunnah menetapkan suatu aqidah: “Wajibnya mencintai para sahabat Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan tidak mencela mereka, bahkan memuliakan mereka serta membersihkan hati dan lisan dari membicarakan permasalahan di antara para sahabat, mencela, merendahkan dan menghina para sahabat”. Sebab merekalah yang memperjuangkan Islam dan menyebarkannya dengan mengorbankan harta dan jiwa mereka sampai kita juga bisa merasakan nikmat Islam.

Balasan Bunuh Diri

by admin aluyeah
Balasan Bunuh Diri | al-uyeah.blogspot.com
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah dari Tsabit bin Adl Dlahak dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa bersumpah dengan selain agama Islam secara dusta, maka dia seperti apa yang dia katakan, barangsiapa bunuh diri dengan sesuatu di dunia, maka dia akan disiksa di neraka Jahannam dengan sesuatu yang ia pergunakan untuk bunuh diri, barangsiapa melaknat seorang muslim maka ia seperti membunuhnya dan barangsiapa menuduh seorang muslim dengan kekafiran maka ia seperti membunuhnya." (HR Bukhari)

Koreksi Ilmiah Terhadap Ikhwanul Muslimin (IM) - Part 7/7

by admin aluyeah
Koreksi Ilmiah Terhadap Ikhwanul Muslimin | al-uyeah.blogspot.com
Ada sekelompok muslim yang mengikuti kaidah salaf dalam perkara Asma’ dan Sifat Allah, Iman dan Taqidr. Tapi, ada salah satu prinsip mereka yang sangat fatal yaitu mengkafirkan kaum muslimin. Mereka terpengaruh oleh prinsip Ikhwanul Muslimin. Pelopor aliran ini bernama Muhammad bin Surur.

Muhammad bin Surur yang lahir di Suriah dahulunya adalah anggota Ikhwanul Muslimin. Kemudian ia menyempal dari jamaah sesat ini dan membangung gerakannya sendiri berdasarkan pemikiran-pemikiran Sayyid Quthub (misalnya dalam masalah demontrasi, kudeta dan yang sejenisnya).

Dalam hal Asma dan Sifat, ia mengikut manhaj Salaf, sehingga dari sinilah ia dapat masuk ke kerajaan Saudi dan belajar disana.

Jama’ahnya dinamakan Quthbiyah, dinasabkan kepada Sayyid Quthub karena dia memperbarui manhaj Ikhwanul Muslimin dan menciptakan gerakan-gerakan dakwah yang sesat tersebut. Mereka bisa disebut Ikhwanul Muslimin apabila disandarkan kepada induknya atau Sururiyah bila disandarkan kepada dainya yang bergerak pertama kali di Saudi, yakni Muhammad Bin Surur. Jika tidak, maka Sururiyah adalah Quthbiyah dan Ikhwanul Muslimin itu sendiri.

Sururiyah memiliki prinsip-prinsip yang sama dengan Ikhwanul Muslimin dalam masalah takfir, demonstrasi, tanzhim, mobilisasi massa, dan mengikat pengikut dengan imamat (kepemimpinan seorang Imam, red). Bentuk mereka bermacam-ragam sesuai dengan kondisi negara setempat.

Contohnya di Mesir, sebelum diketahui mereka berprinsip ikhwani, sebagian anggota mereka memulai dengan membangun masjid-masjid. Setiap masjid memiliki penanggung-jawab, dan setiap penanggung-jawab harus melapor kepada ketua wilayah dan ketua wilayah melapor kepada ketua umum.

Sebagian mereka bergerak dalam pembangunan perpustakaan-perpustakaan, lalu hasilnya dilaporkan dan dikumpulkan sampai diketahui oleh pucuk pimpinan.

Sebagian lainnya membentuk halaqah Al Quran dan dipimpin oleh seorang ketua halaqah. Kemudian beberapa ketua halaqah dikumpulkan untuk melaporkan hasil-hasil gerakannya kepada ketua umum.

Inilah yang disebut pemikiran Hasan Al Banna, tapi beda nama! Sururiyah melakukan ini semua dan mereka adalah Ikhwanul Muslimin.

Diantara kesamaan-kesamaan Sururiyah dan Ikhwanul Muslimin ialah :

1. Sururiyah memegangi prinsip Ikhwanul Muslimin : “Kita saling tolong-menolong pada apa yang kita sepakati dan saling memaafkan pada apa yang kita perselisihkan.”, akan tetapi dengan cara yang berbeda.

Mereka merasa cocok dengan dakwah Ikhwanul Muslimin dan meniru Hasan Al Banna, Sayyid Quthub, AL Hadhami dan At Tilmisani yang beraqidah sufi dan asy’ari (Pengaruh Abul Hasan al Asy’ari, red). Tokoh-tokoh itu menamakan diri dengan apa? Dengan nama Ikhwanul Muslimin! Bukan dengan nama sufi dan asy’ari, walaupun pada dasarnya mereka adalah asy’ari dan sufi.

Oleh karena itu Sururiyah bekerjasama dengan firqah Jama’ah Tabligh dan Ikhwanul Muslimin, saling memaafkan pada apa yang mereka perselisihkan (termasuk dalam masalah aqidah). Jama’ah Sururiyah berada pada satu barisan dengan firqah (aliran) Tabligh. Ikhwanul Muslimin memasukkan ajaran sufi, asy’ari dan syi’ah. Sementara Sururiyah memiliki satu pemikiran yang sama dengan Ikhwanul Muslimin yaitu “saling memaafkan pada perkara yang mereka perselisihkan”.

2. Sururiyah memiliki satu pemikiran dengan Hasan al Banna dan Sayyid Quthub dalam masalah mengkafirkan golongan lain dan pemerintahan muslim.

3. Sururiyah satu ide dengan Ikhwanul Muslimin dalam masalah demonstrasi, mobilisasi dan selebaran-selebaran.

4. Sururiyah sama dengan Ikhwanul Muslimin dalam masalah pembinaan revolusi dalam rangka kudeta

5. Sururiyah sama dengan Ikhwanul Muslimin dalam hal tanzhim (aturan) dan sistem kepemimpinan yang mengkerucut (seperti piramid). Namanya berbeda, tapi hakikatnya satu.

6. Sururiyah sama dengan Ikhwanul Muslimin dalam masalah politik dan tenggelam dalam politik. Sehingga fatwa-fatwa mereka dibangun diatas dasar pertimbangan politik.

Apa yang bisa dimanfaatkan dari gerakan ini? Mereka berdalil dengan prinsip-prinsip Ikhwanul Muslimin dan mereka tidak bisa mengambil dalil-dalil syar’i. Dalam perang Afghanistan (melawan Russia, red), mereka meninggalkan Syaikh Jamilur Rahman. Padahal beliau seorang muwahid dan memerangi bid’ah.

Namun disebabkan politik kebid’ahan yang ada pada mereka, maka merekapun menahan hukum syariat (tidak ditegakkan, red). Mereka meninggalkan ahli tauhid dan tidak mau bekerjasama dengan ahli tauhid. Akan tetapi mereka tegak bersama ahli bid’ah, sementara Islam mewajibkan mereka untuk bekerjasama dengan ahli tauhid. Dan mereka tidak melakukannya.

Sururiyah yang ditokohi oleh Salman Al Audah dan Safar Hawali semuanya bekerjasama dengan kalangan sufi dan asy’ari seperti Hikmatiyar, Rabbani dan Syah Mahmud. Setelah ketiganya berselisih dan berpecah-belah, mereka menggandeng Hikmatiyar dan Abdur Rabb Ar Rasul Sayyaf karena mereka termasuk golongan Ikhwanul Muslimin dan tidak terpengaruh oleh buku-buku Sayyid Quthub.

Perlu diketahui bahwa Hikmatiyar ini pernah meminta bantuan kepada orang-orang komunis dan ini berlawanan dengan prinsip Sururiyah yang melarang meminta bantuan kepada orang-orang kafir. Namun karena alasan politis mereka membolehkan hal ini!

Ketika Hikmatiyar jatuh dan pemerintahan dipegang orang-orang Taliban, maka Sururiyah memandang negeri ini tidak bermanfaat, lalu mereka memalingkan perhatiannya ke arah lain dan tidak memuji negara yang dikuasai orang-orang Taliban.

Sekarang orang-orang Sururi memfokuskan perhatiannya kepada negara Chechnya yang sedang diserang orang-orang kafir (Rusia, red) – semoga ALLAH menolong para mujahidin dan kaum muslimin disana.

Demikianlah jalan dakwah mereka selalu diwarnai politik. Metode berpolitik ini mereka adopsi dari Hasan Al Banna. Al Banna, kita tahu, selalu menyikapi dalil-dalil syar’i secara politis. Walhasil, dia membiarkan ahli maksiat dan orang-orang fasik dan menyatukan mereka ke dalam satu golongan (partai) dalam rangka merealisasikan konsepnya. Ia mendiamkan ahli maksiat dan orang-orang fasik agar tercipta kondisi yang stabil dan mengokohkan golongannya.

Demikian juga muammalah mereka bersama para saudagar dan orang-orang kaya dengan cara “mendompleng” mereka dalam rangka mengumpulkan dana. Tanpa dana mereka tidak dapat berbuat apa-apa dalam menjalankan roda dakwah sebagaimana Ikhwanul Muslimin dakwahnya tergantung sekali dengan dana.

(Ditulis oleh Syaikh Ayyid asy Syamari, pengajar di Makkah al Mukaramah, dalam rangka menjawab pertanyaan sebagian jama’ah Ahlusunnah wal Jama’ah asal Belanda tentang perbedaan Ikhwanul Muslimin, Quthbiyyah, Sururiyah dan Yayasan Ihya ut Turats. Penerbit Maktabah As-Sahab 2003. Judul asli Turkah Hasan Al Banna wa Ahammul Waritsin. Penerjemah Ustadz Ahmad Hamdani Ibnul Muslim.)

"Kajian audionya di Koreksi Ilmiah Terhadap IM

Membongkar pikiran Hasan Al Banna – Sururiyah"
Salafy.or.id

Koreksi Ilmiah Terhadap Ikhwanul Muslimin (IM) - Part 6/7

by admin aluyeah
Koreksi Ilmiah Terhadap Ikhwanul Muslimin | al-uyeah.blogspot.com
Hitam putihnya sebuah organisasi tentu tak bisa dilepaskan dari orang-orang yang membesarkannya. Pasalnya, segala pemikiran tokoh-tokohnya merupakan cermin yang menunjukkan wajah organisasi.

Sosok Hasan Al-Banna dengan berbagai pemikiran dan manhajnya, benar-benar diwarisi tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin saat ini. Sehingga kita dapati antara mereka dengan Hasan Al-Banna setali tiga uang alias sama saja.

Gerakan Ikhwanul Muslimin, di manapun ia berada takkan jauh dari induknya. Berbagai ciri khas yang ada sedikit banyak melekat pada mereka, walaupun mungkin kadarnya berbeda. Sebagai bukti, akan kami sampai-kan di sini beberapa ucapan tokoh-tokoh mereka di berbagai negara, atau ucapan orang-orang yang sejalan dengan mereka.

Umar At-Tilmisani

Dia adalah pimpinan umum ketiga dari gerakan Ikhwanul Muslimin, setelah Hasan Al-Banna. Ia telah membuka lebar-lebar pintu menuju kepada kesyirikan dengan mengatakan:

“Sebagian mereka mengatakan, bahwa Rasul Shallallahu'alaihiwasalam memintakan ampun untuk orang-orang, bila mereka mendatangi beliau Shallallahu'alaihiwasalam ketika masih hidup saja. Sementara bagi saya, tidak jelas mengapa dikaitkannya ayat(1) dengan permintaan ampun tersebut saat Rasul Shallallahu'alaihiwasalam hidup saja. Sementara (menurut saya) dalam ayat tersebut tidak ada pembatasan semacam itu. Oleh karenanya saya mendapati diri saya cenderung untuk mengambil pendapat yang mengatakan bahwa Rasul Shallallahu'alaihiwasalam memintakan ampun untuk siapa saja yang datang kepada beliau, menuju ke hadapannya baik semasa hidup beliau atau setelah kematiannya. Sehingga, tidak ada alasan untuk bersikap keras dalam mengingkari orang yang meyakini karamah para wali, berlindung kepada mereka di kubur mereka yang suci, dan berdoa kepadanya saat kesempitan. Dan karamah para wali adalah termasuk dalil-dalil atas mukjizat para Nabi.” (Buku Syahidul Mihrab, karya Umar At-Tilmisani, hal. 225-226)

Anda lihat bagaimana ia membuka peluang untuk mereka yang ingin berdoa kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasalam (bukan mendoakan Nabi). Lebih parah dari itu, bahkan yang berdoa kepada para wali atau bertawassul dengan kubur mereka. Sementara pembaca tentu tahu bahwa berdoa adalah ibadah besar yang tidak pantas diperuntukkan kecuali hanya untuk Allah. Allah Ta'ala berfirman:

“Dan janganlah kamu menyembah selain Allah, yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang dzalim.” (Yunus: 106)

Tapi justru At-Tilmisani mengatakan: “Tidak ada alasan untuk bersikap keras dalam mengingkari orang yang berlindung kepada para wali di kuburan mereka.”

Musthafa As-Siba’i

Dia adalah Pimpinan Umum Ikhwanul Muslimin di Syria. Ia menulis sebuah qashidah (bait-bait syair) di Raudhah, dekat mimbar Nabi Shallallahu'alaihiwasalam di Masjid Nabawi setelah Ashar pada tanggal 10 Muharram 1284 H, lalu membacanya di depan kubur Nabi Shallallahu'alaihiwasalam sebelum dan setelah haji:

Wahai pemandu orang yang berjalan menuju Ka’bah dan tanah Al-Haram
Dan menuju Thayyibah (Madinah) tuk mencari pimpinan seluruh umat
Jika upayamu untuk menuju Al-Mukhtar (Nabi) hanya sunnah
Maka upaya orang semacamku adalah wajib, menurut orang yang memiliki keinginan tinggi
Wahai tuanku, wahai kekasih Allah, aku datang
Ke hadapan pintumu tuk mengadukan rasa sakit dari penyakitku
Wahai tuanku, terus menerus penyakit itu berada di tubuhku
Karena begitu sakit aku tak pernah lalai dan tak pernah tidur

(diambil dari majalah Hadharatul Islam, edisi khusus bertepatan dengan kematian Musthafa As-Siba’i hal. 562-563)

Pembaca, anda lihat bagaimana ia mengadukan sakitnya kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasalam dalam keadaan Nabi Shallallahu'alaihiwasalam telah wafat. Inikah tauhid? Bahkan inilah syirik akbar yang ditentang oleh Nabi Shallallahu'alaihiwasalam. Mengapa tidak ia adukan kepada Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dan minta kesembuhan dari-Nya? Sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim 'alaihisalam:

“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (Asy-Syu’ara`: 80)

Dalam bait-bait syair ini juga banyak terdapat penyelewengan. (lihat Al-Maurid Al-Adzb Az-Zulal hal. 172)

Hasan At-Turabi

Dia adalah pimpinan Ikhwanul Muslimin di Sudan. Yang bersangkutan juga meremehkan masalah syirik. Dia menga-takan kepada jamaah Ansharus Sunnah di Sudan: “Sesungguhnya mereka memper-hatikan masalah aqidah dan syirik terhadap kuburan, tapi mereka tidak memperhatikan syirik dalam hal polilik. Hendaknya kita biarkan para pemuja kuburan itu thawaf di sekitar kuburan mereka sampai kita mencapai kubah parlemen.” (Majalah Al-Istiqamah, Rabi’ul Awwal 1408 H, hal. 26)

Pembaca, sepanjang hayat Nabi Shallallahu'alaihiwasalam beliau memerangi para pemuja kuburan baik dengan lisan dan tangan beliau yang mulia, lalu At-Turabi mengatakan demikian? Apakah kamu pengikut Nabi Shallallahu'alaihiwasalam, wahai Turabi?

Thawaf itu hanya di Ka’bah wahai Turabi. Demikianlah menurut kitab Rabbi, firman-Nya:

“Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (Al-Hajj: 29)

Hasan At-Turabi juga merendahkan Nabi Shallallahu'alaihiwasalam. Ia mengatakan tentang Nabi Muhammad Shallallahu'alaihiwasalam: “Dia ini adalah sosok yang tinggi, tapi jangan kalian katakan bahwa beliau itu ma’shum, tidak melakukan kesalahan.” (dinukil dari Ar-Raddul Qawim, hal. 8)

Wahai Turabi, umat telah sepakat tentang kema’shuman Nabi Shallallahu'alaihiwasalam, sebagai-mana kata Adz-Dzahabi: “Sesungguhnya mereka (jumhur/ mayoritas ulama) bersepakat bahwa para nabi ma’shum dalam menyampaikan risalah, dan taat kepada mereka adalah wajib –kecuali menurut Khawarij–. Dan jumhur juga berpandangan bahwa bisa jadi mereka jatuh dalam dosa kecil, namun mereka tidak dibiarkan oleh Allah Ta'ala pada dosa tersebut.” (Al-Muntaqa min Mizanil I’tidal, hal. 165)

Barangkali karena keyakinannya di atas, ia mengatakan dalam ceramahnya di hadapan para mahasiswi di Diyum timur (12/8/1982) tentang hadits lalat yang masuk ke air(2): “Ini urusan kedokteran. Dalam hal ini, yang diambil adalah ucapan dokter kafir, dan ucapan Rasul tidak diambil karena ini bukan bidangnya.” (Ar-Raddul Qawim, hal. 83)

At-Turabi juga merendahkan para shahabat Nabi Shallallahu'alaihiwasalam. Ia mengatakan: “Semua shahabat itu adil? Kenapa?” (Ar-Raddul Qawim, hal. 84)

Padahal Ahlus Sunnah meyakini keadilan yakni keshalihan mereka dengan persaksian Allah Ta'ala. Betapa banyak Allah Ta'ala mengatakan dalam ayat Al-Qur‘an:

“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha terhadap Allah.”

Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H) mengatakan: “…Keadilan/keshalihan para shahabat telah pasti dan telah diketahui, yaitu dengan persaksian Allah Ta'ala terhadap keadilan/ keshalihan mereka, berita-Nya tentang kesucian mereka, serta pilihan Allah terhadap mereka, dalam nash Al-Qur`an.” (Al Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal. 46)

At-Turabi menjunjung tinggi bendera persatuan antar agama. Ia mengatakan: “Sesungguhnya persatuan kebangsaan merupakan salah satu cita-cita kita dan kami dalam partai Islam. Dengan partai tersebut akan menuju kepada Islam atas dasar prinsip-prinsip agama Ibrahim, yang mengumpulkan kami dengan orang-orang Kristen, karena adanya peninggalan sejarah keagamaan yang sama…” (Majalah Al-Mujtama’ Kuwait, edisi 763 tanggal 8/10/1985 M)

Padahal Allah Ta'ala mengatakan:

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)

Abdullah Azzam

Dia menganggap remeh masalah syirik yaitu peribadatan kepada berhala atau benda-benda yang dikeramatkan. Penulis buku Al-Jama’atul Umm mengisahkan: “Sebagai contoh atas masalah ini, apa yang dinukilkan oleh Dr. Basyir atau Barman dari Asy-Syaikh Abdullah Azzam –rahimahullah– ketika dia berdiri di kemah Hai`ah Kibar Ulama (Badan Ulama Besar Saudi Arabia) di musim haji dan mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya masalah memerangi syirik yang diserukan oleh ulama terdahulu semisal Muhammad bin Abdul Wahhab, dalam hal peribadatan kepada patung-patung dan mengusap-usap kuburan telah selesai. Yang menggantikannya adalah syirik dalam bentuk lain, yaitu syirik dalam hal berhukum dengan syariat manusia dan meninggalkan syariat Allah.” (dinukil dari buku Asy-Syaikh Abdullah Azzam, Al-’Alim wal Mujahid, hal. 34)

Bagaimana dikatakan telah selesai? Tidakkah engkau melihat syirik semacam itu  merekah di negeri pujaanmu, Afghanistan dan sekitarnya? Tolong, jangan menutup mata.

Sayyid Quthub

Demikian pula dengan Sayyid Quthub, dia katakan: “Sesungguhnya peribadatan kepada berhala, yang Nabi Ibrahim berdoa kepada Rabb-Nya untuk menjauhkan dirinya dan anak-anaknya dari perbuatan tersebut, tidak hanya terwujud dalam gambaran sederhana yang dulu dilakukan oleh orang-orang Arab saat Jahiliyyah mereka, atau yang dilakukan oleh banyak orang-orang animisme pada benda-benda yang berwujud batu atau pohon… Sesungguhnya gambaran sederhana ini semuanya tidak mencakup, menghabiskan bentuk syirik kepada Allah…” (Fi Zhilalil Qur`an, 4/2114)

Memang syirik bukan hanya dalam bentuk ibadah kepada berhala, tapi mengapa engkau sebut itu ‘sederhana’ (sadzaj), padahal itu termasuk bentuk syirik terbesar di umat ini, baik dulu maupun sekarang? Yang menguatkan bahwa ia meremehkan syirik dalam hal ini adalah bahwa dia banyak membesar-besarkan syirik dalam hal hukum dan salah dalam menafsirkan Laa ilaha illallah.

Sayyid Quthub juga mencela Nabi Musa 'alaihisalam di mana ia mengatakan: “…Anggaplah Musa, sesungguhnya dia merupakan contoh seorang tokoh yang emosional dan temperamen.” (dari bukunya yang berjudul At-Tashwirul Fanni, hal. 162-163)

Kaum muslimin tentu tahu kedudukan para nabi yang begitu tinggi. Kehormatannya tak boleh disentuh, bahkan harus dihargai. Terlebih, secara khusus Allah Ta'ala mengatakan tentang Nabi Musa 'alaihisalam:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.” (Al-Ahzab: 69)

Hal yang senada dengan ucapan Sayyid Quthub diucapkan pula oleh Abul A’la Al-Maududi. Dia adalah orang yang sejalan dengan Ikhwanul Muslimin dalam dakwahnya. Dia mengatakan: “Telah lewat 1300 tahun, dan Dajjal belum juga keluar. Ini menunjukkan bahwa perkiraan Nabi Shallallahu'alaihiwasalam tidak benar.” (Dinukil dari buku Ar-Rasa`il wal Masa`il, hal. 57)

Semoga Allah melindungi kita dari ucapan-ucapan semacam itu.

Sayyid Quthub juga menikam para shahabat. Ia mengatakan: “Sesungguhnya Mu’awiyah dan ‘Amr temannya, keduanya tidaklah mengalahkan ‘Ali karena keduanya lebih mengerti sesuatu yang dirahasiakan jiwa daripada ‘Ali atau karena lebih paham atas tindakan yang bermanfaat pada keadaan yang tepat. Akan tetapi karena keduanya bebas menggunakan segala senjata, sementara ‘Ali terikat dengan akhlaknya dalam hal memilih perangkat pertempuran. Dan ketika Mu’awiyah dan temannya cenderung kepada kedustaan, kecurangan, penipuan, kemunafikan, suapan, dan menjual janji (khianat), ‘Ali tidak bisa hanyut kepada tingkatan yang sangat rendah ini. Maka tidak heran jika keduanya berhasil sementara ‘Ali gagal, dan sungguh itu adalah kegagalan yang lebih mulia dari segala keberhasilan.” (dari bukunya Kutub wa Syakhshiyyat, hal. 242)

Pembaca, sangat tidak pantas ia ucapkan demikian kepada kedua shahabat tersebut. Dan sangat tidak pantas ia ikut campur dalam urusan mereka.

Ketahuilah bahwa aqidah Ahlus Sunnah tentang para shahabat adalah seperti kata Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Al-Wasithiyyah:

“Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bersihnya qalbu dan lisan mereka terhadap para shahabat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sebagaimana Allah Ta'ala sifatkan dalam firman-Nya:

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (Al-Hasyr: 10)

Senada dengan ucapan Sayyid adalah ucapan:

Muhammad Al-Ghazali (Mesir): “Sesungguhnya Abu Dzar adalah seorang sosialis, dan ia mengambil paham sosialisme ini dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam.” (dari buku Al-Islam Al-Muftara ‘alaihi, hal. 103)

Sayyid Quthub juga beranggapan bahwa masyarakat muslimin telah murtad, ia katakan: “…Sesungguhnya manusia telah kembali kepada jahiliyyah dan murtad dari la ilaha illallah. Sehingga mereka memberikan kekhususan ketuhanan kepada manusia, dan (mereka) belum kembali mentauhidkan Allah Ta'ala dan memurnikan loyalitas kepada-Nya… Manusia secara keseluruhan, termasuk di dalamnya adalah mereka yang mengulang-ulang di atas tempat adzan di belahan bumi timur maupun barat kalimat laa ilaha illallah tanpa ada makna dan realita… Mereka itu lebih berat dosa dan adzabnya di hari kiamat, karena mereka murtad menuju peribadatan kepada para hamba setelah jelas baginya petunjuk, dan setelah sebelumnya mereka dalam agama Allah Ta'ala. (Fi Zhilalil Qur`an, 2/1057 dinukil dari Adhwa` Islamiyyah, hal. 92)

Demikian ia memvonis murtad masyarakat muslim di belahan timur bumi maupun barat, hanya karena anggapannya bahwa mereka tidak berhukum dengan hukum Allah Ta'ala. Sungguh batil apa yang ia ucapkan. Ucapannya itu timbul karena dia melenceng dari aqidah Ahlus Sunnah dalam masalah ini.

Sa’id Hawwa

Sa’id Hawwa adalah salah satu tokoh Ikhwanul Muslimin. Ia begitu memuji aliran sufi, tarekat Rifa’iyyah dan begitu terheran-heran dengan akrobat syaithaniyyah yang ada pada mereka. Ia mengatakan: “Suatu ketika, seorang Nashrani memberitakan kepadaku tentang sebuah kejadian yang dialaminya sendiri. Dan itu sebuah kejadian yang masyhur dan telah sangat diketahui. Allah Ta'ala pertemukan aku dengannya setelah berita tentang kejadian itu sampai kepadaku melalui jalan lain. Ia memberitahuku bahwa ia menghadiri sebuah majelis dzikir. Salah satu peserta dzikir itu menusukkan pedang kepada yang lain di punggungnya sampai pedang tersebut tembus, dan sampai ia (yang ditusuk) memegangnya lalu pedang itu ditarik lagi. Tapi tidak berbekas sama sekali dan tidak mencelakakannya. Sungguh hal ini yang terjadi pada para pengikut tarekat (Rifa’iyyah). Dan terus melekatnya hal itu pada mereka merupakan keutamaan Allah Ta'ala yang terbesar atas umat ini…” (dari bukunya Tarbiyatuna Ar-Ruhiyyah, hal. 218]

Dia katakan juga: “Dan saya tulis buku saya Tarbiyatuna Ar-Ruhiyyah dengan tujuan menjelaskan salah satu dari dua macam tema fiqih yang besar dan yang terbesar, yaitu tema tasawwuf yang tertata. Supaya saya bisa meletakkan perkara-perkara pada tempatnya dalam masalah hakekat sufi, yang hal itu merupakan salah satu ciri pokok dakwah Al-Ustadz Hasan Al-Banna rahimahullah.” (dari buku Jaulaat, Al-Jaulatul Ula, hal. 17)

Duhai… tema sufi dan kisah-kisah sufi semacam kisah di atas yang amat bertentangan dengan aqidah yang shahih dianggap ‘fiqih yang besar dan yang terbesar’!!

Ia pun sangat memuji para ahli bid’ah, ia mengatakan: “Sesungguhnya kaum muslimin di sela-sela zaman memiliki para imam dalam hal aqidah, fiqih, tasawwuf dan jalan kepada Allah. Maka imam mereka dalam hal aqidah adalah Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi.” (dari buku Jaulaat fil Fiqhaini Al-Kabir Wal Akbar hal. 22)

Tahukan pembaca siapa kedua tokoh yang dia anggap sebagai imam dalam hal aqidah? Keduanya adalah pencetus aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang bertolak belakang dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tapi Abu Hasan akhirnya bertaubat dan kembali kepada Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Ucapan senada dengan ucapan Sa’id Hawwa diungkapkan Abdul Fattah Abu Ghuddah yang mengatakan tentang Zahid Al-Kautsari: “Ini sebagai hadiah kepada arwah ustadz para ahli tahqiq (peneliti), Al-Hujjah, Al-Muhaddits (Ahli Hadits), Ahli ushul fiqh, peneliti, ahli sejarah, Al-Imam Zahid Al-Kautsari.” (Ar-Raf’u wat Takmil, hal. 68)

Tahukah pembaca siapakah Zahid Al-Kautsari itu? Dia adalah pembawa bendera aliran Jahmiyyah di masa belakangan ini, dan sangat membenci Ahlus Sunnah wal Jamaah

Dr. Yusuf Al-Qardhawi

Dia adalah salah satu hasil didikan Hasan Al-Banna dan sangat terkesan dengan sosok Al-Banna. Sehingga tak heran bila ia mengajak untuk mengubur permusuhan dengan Yahudi dan Nashrani. Ia mengatakan: “Di antara manusia ada yang bersandar kepada sebagian nash dari ayat Al-Qur`an dan hadits Nabi, ia memahaminya dengan pemahaman yang dangkal, terburu-buru berdalil dengan-nya untuk berfanatik terhadap Islam dalam menghadapi musuhnya dari kalangan Yahudi dan Nashrani dan selain mereka. Contoh-contoh nyata dari nash dan ayat yang melarang untuk berloyal kepada selain mukminin di antaranya… (lalu ia sebut sebagiannya, di antaranya:)

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) -Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (Al-Mujadalah: 22)

Ternyata itu bukan hanya ucapan, bahkan ia buktikan dengan kehadirannya dalam muktamar pendekatan antar agama. Ungkapnya: “Pada tahun ini, bulan Mei yang lalu saya menghadiri sebuah muktamar di Moskow. Muktamar itu membahas tentang Islam dan bagaimana saling memahami antar agama dan masyarakat-masyarakat lain. Yang mengikutinya adalah orang-orang Nashrani dan Yahudi serta agama-agama selain mereka. Dan di akhir musim panas, saya menghadiri pesta penghormatan untuk pertemuan orang-orang Kristen dengan sebagian muslimin, yang diprakarsai oleh Majelis Gereja untuk Timur Tengah.” (Koran Asy-Syarqul Ausath, edisi 2789, Jumada Ats-Tsaniyah 1416, bertepatan dengan 1995 M)

Buah dari pernyataan dan perbuatannya itu, ia menyatakan siap untuk mengadakan pendekatan antar agama. Yang disayangkan, ia memposisikan dirinya sebagai juru bicara muslimin. Ia pun mencari titik temu antar agama dan mengatakan tidak ada jihad dalam Islam kecuali jihad untuk membela diri. Bahkan menyatakan peperangan dengan Yahudi bukan karena agama tapi karena tanah, katanya:

“Kami tidak memerangi Yahudi karena aqidah. Kami hanyalah memerangi mereka karena tanah. Kami tidak memerangi orang-orang kafir karena mereka kafir, tapi karena mereka merampas tanah dan rumah kami serta mengambilnya tanpa hak.” (Ar-Rayah, edisi 4696) [kutipan-kutipan ucapannya ada dalam dalam buku Raf’ul Litsam dan lainnya]

Demikianlah kesesatan demi kesesatan saling melengkapi, na’udzubillah min dzalik.
Iapun berpandangan bahwa antara demokrasi dan syura adalah serupa (Koran Asy-Syarq, edisi 2719), padahal keduanya seperti timur dan barat, tidak akan pernah ketemu.

Mengadakan Pendekatan antara Sunnah dengan Syi’ah

Asy-Syatti dari Kuwait mengatakan: “Syi’ah Imamiyyah termasuk umat Muhammad. Sedangkan Syah (Penguasa Iran waktu itu, red.) mengangkat bendera Majusi, sehingga tidak termasuk kebenaran bila kita mendukung bendera Majusi dan meninggalkan bendera umat Muhammad.” (Majalah Al-Mujtama’, edisi 455)

Al-Ghanusyi menukilkan ucapan Al-Banna: “Sesungguhnya kami ingin berhukum dengan Islam sebagaimana diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu'alaihiwasalam. Tidak ada perbedaan antara Sunnah dengan Syi’ah, karena madzhab-madzhab itu belum ada di jaman Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam.” (Al-Harakah Islamiyyah wat Tahdits hal. 21)

Demikianlah keadaan aqidah para tokoh gerakan ini. Pantaskah mereka ditokohkan, sementara berbagai macam kesesatan ada pada mereka?!!

Sumber Bacaan:
1. Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi
2. Haqiqatud Da’wah Ilallah, karya Sa’d Al-Hushayyin
3. Nadharat fi Manhaj Al-Ikhwanil Muslimin, karya A. Salam
4. dll

(1) Ayat yang dimaksud adalah surat An-Nisa ayat 64:

“Dan kami tidak mengutus seseorang rasul pun, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

As-Sa’di menyebutkan dalam Tafsir-nya, hal. 185 bahwa ini berlaku ketika hidupnya Nabi Shallallahu'alaihiwasalam.

(2) Yaitu hadits:

Dari Abu Hurairah radiyallahu'anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu'alaihiwasalam bersabda: “Apabila seekor lalat masuk ke minuman salah seorang di antara kalian maka hendaknya ia mencelupkannya lalu membuangnya, karena pada salah satu sayapnya ada penyakit dan pada sayapnya yang lain ada obatnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Bad’ul Khalq)

Kajian audionya di Koreksi Ilmiah Terhadap IM

"Ahli Waris Hasan Al-Banna"
ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc
AsySyariah.com

Koreksi Ilmiah Terhadap Ikhwanul Muslimin (IM) - Part 5/7

by admin aluyeah
Koreksi Ilmiah Terhadap Ikhwanul Muslimin | al-uyeah.blogspot.com
Firqah Ikhwanul Muslimin memiliki prinsip yang terus didendangkan oleh para tokoh dan pengikut-pengikutnya yaitu prinsip: “Nata’awanu fii mattafaqna ‘alaihi wa ya’dzuru ba’dhuna ba’dhan fii mahtalafna fiihi (Kita saling tolong menolong dalam apa yang kita sepakati dan kita saling toleransi sebagian kita terhadap sebagian yang lain dalam apa yang kita berbeda).”

Prinsip ini Perlu Rincian

Prinsip ini terlihat enak didengar di telinga orang-orang awam. Namun ternyata prinsip ini mengandung efek yang sangat berbahaya yaitu matinya kaidah dasar Islam yang sangat besar yaitu amar ma’ruf nahi mungkar. Karena kalimat di atas sangat umum sifatnya, tidak dirincikan dalam perbedaan yang mana kita memaklumi dan perbedaan yang mana yang kita tidak boleh memakluminya.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah ketika ditanya tentang prinsip ini, berkata: “Ya, kita harus saling tolong menolong dalam apa yang kita sepakati seperti membela kebenaran, berdakwah kepadanya dan tahdzir memperingatkan kaum muslimin dari apa yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya.

Adapun toleransi sebagian terhadap sebagian yang lain dalam apa yang kita berbeda, maka ini tidak mutlak, bahkan di sini perlu rincian. Adapun masalah-masalah yang sifatnya ijtihadi yang tersamar dalil-dalilnya, maka tidak perlu kita mengingkari padanya sebagian kita terhadap sebagian yang lainnya. Adapun perkara yang menyelisihi kitab dan sunnah secara jelas, maka kita wajib mengingkarinya dengan hikmah, nasehat yang baik atau dengan bantahan-bantahan billati hiya ahsan. Yang demikian dalam rangka menerapkan ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran….” (Al-Maa’idah: 2)

Dan ayat Allah:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar….” (At-Taubah: 71)

Dan ayat Allah:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik….” (An-Nahl: 125)

Demikian pula hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَالْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ لإِيْمَانِ

“Barangsiapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia merubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka rubahlah dengan lisannya dan jika dia tidak mampu maka rubahlah dengan hatinya. Dan yang demikian selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala seperti pelakunya.” (HR. Muslim)

Ayat-ayat dan hadits-hadits tentang masalah ini sangat banyak. (Majmu’ Fatawa, 3/58-59; lihat Zajrul Mutahaawin bi Dharar Qaidah al-Ma’dzirah wat Ta’awun, hal. 128)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, berkata tentang kaidah ini: “Kaidah ini perlu dirinci. Jika perkaranya merupakan perkara ijtihadi, maka sebagian kita perlu memaklumi sebagian yang lainnya dan tidak perlu hati-hati kita bertikai karena perbedaan ijtihad yang seperti ini.

Adapun jika perkaranya tidak ada tempat untuk ijtihad (yakni dalilnya sudah jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, -red.) maka kita tidak bisa memaklumi orang yang menyelisihinya dan wajib baginya tunduk pada kebenaran. Maka potongan pertama dari kaidah ini adalah benar, namun potongan berikutnya perlu rincian.” (Lihat Zajrul Mutahaawin bi Dharar Qaidah al-Ma’dzirah wat Ta’awun, hal. 129)

Syaikh Al-Albani rahimahullah, ketika mengkritik kaidah ini, berkata: “Mereka adalah orang-orang yang justru pertama kali menyelisihi fikrah ini. Kita tidak ragu bahwasanya potongan pertama dari padanya adalah kalimat yang benar yaitu ‘kita berta’awun atas apa yang kita sepakati’, karena kalimat pertama ini jelas diambil dari ucapan Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa.”

Adapun kalimat yang berikutnya: ‘memaklumi sebagian kita terhadap sebagian yang lainnya’, maka perlu ada rincian yaitu kapan? Ketika kita saling menasehati dan kita berkata kepada orang yang salah: “Engkau telah salah! Dalilnya demikian dan demikian.”

Jika kita melihat dia tidak bisa menerima pendalilan kita dan kita lihat dia seorang yang ikhlas, maka kita biarkan dia dengan pendapatnya dan kita tetap ta’awun dalam apa yang kita sepakati. Adapun jika kita melihat dia menentang dalil, sombong (menolak kebenaran, -pent.) dan berpaling maka ketika itu tidak benar kaidah tadi diterapkan. Dan kita tidak memberikan udzur (toleransi) sebagian kita terhadap sebagian yang lain pada apa yang kita berbeda dalam masalah ini.” (Lihat Zajrul Mutahaawin bi Dharar Qaidah al-Ma’dzirah wat Ta’awun, hal. 130)

Mengapa para ulama di atas memberikan syarat penerapan prinsip toleransi ini hanya pada masalah ijtihad? Karena para ulama ahlus sunnah berijtihad dengan ilmu: Al-Qur’an, sunnah dan ucapan-ucapan para salafush shalih, maka mereka tetap dalam keadaan mendapatkan pahala atas usahanya, lepas dari tepat atau tidak tepatnya ijtihad mereka.

Diriwayatkan dari ‘Amr bin Ash, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَ إِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ

“Jika seorang hakim berijtihad dalam menghukumi sesuatu kemudian tepat, maka baginya dua pahala. Dan jika seorang hakim berijtihad dalam menghukumi sesuatu kemudian salah, maka dia mendapatkan satu pahala.” (HR. Bukhari Muslim)

Maka yang dimaklumi adalah kesalahan yang muncul dari seorang yang berijtihad dengan ilmu dan cara yang syar’i. Adapun menolak kebenaran dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan akal dan hawa nafsu tidak dikatakan ijtihad dan tidak dapat dimaklumi.

Efek Jelek Prinsip ini

Apakah prinsip mereka ini mereka terapkan khusus dalam masalah-masalah ijtihadiyah atau mereka terapkan secara umum dalam perbedaan apa pun? Jawabannya cukup dengan kenyataan yang terjadi pada mereka.

Partai Ikhwanul Muslimin bisa berkoalisi dengan Partai Komunis di Mesir dan mereka juga bisa bertoleransi memaklumi kesesatan Syi’ah Rafidhah. Dan buku-buku yang ditulis oleh para tokoh Ikhwanul Muslimin tercampur di dalamnya berbagai macam aliran dan pemahaman, seperti Khawarij seperti buku-buku karya Sayyid Quthb, Sufi seperti kitab Tarbiyah Ruhiyyah karya Sa’id Hawa, Mu’tazilah seperti buku-buku Muhammad Ghazali dan lain-lain. Yang menunjukkan mereka saling memaklumi dan tidak membantah satu sama lain, bahkan tidak boleh saling menyalahkan. Karena yang demikian menurut mereka adalah “perpecahan”.

Padahal perpecahan menurut syari’at Islam adalah ketika kita masuk ke dalam berbagai macam aliran sesat tadi sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ

“Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (Al-An’aam: 153)

Sehingga tidak adanya pengingkaran sebagian mereka terhadap sebagian yang lain adalah mengekalkan perpecahan mereka.

Makna Kelenturan dan Keluasan dalam Ikhtilaf

Lagipula perbedaan (ikhtilaf) walaupun dalam masalah ijtihad bukan berarti kita bebas memilih atau apalagi menunjukkan lenturnya syari’at ini. Sebagaimana ucapan Imam Malik rahimahullaah bahwa perbedaan yang terjadi di kalangan para shahabat sekalipun tetap ada yang benar dan ada yang salah; ada yang rajih dan ada yang marjuh.

Imam Malik rahimahullah berkata: “Tidaklah perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para shahabat merupakan kelenturan, bahkan tetap ada yang benar atau salah.” (Dinukil dengan sanadnya oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/905-906; lihat Zajrul Mutahaawin bi Dharar Qaidah al-Ma’dzirah wat Ta’awun, hal. 65)

Kalaupun ada sebagian ulama yang menyebut tentang perbedaan para shahabat adalah tawassu’ah (keluasan), maka maknanya bukan bebas memilih mana yang cocok, tetapi tetap melihat mana yang rajih. Adapun dianggap keluasan karena banyaknya dalil-dalil dan ta’lil-ta’lil yang mereka sebutkan dalam ikhtilaf tersebut yang merupakan perbendaharaan ilmu kaum muslimin.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Ketika seseorang menulis kitab (yang berisi perbedaan para ulama, -pent.), ia memberi judul kitabnya “Al-Ikhtilaf”, maka Imam Ahmad mengusulkan kepadanya untuk mengganti nama kitabnya dengan “As-Sa’ah” (keluasan); namun kebenaran tetap satu.” (Majmu’ Fatawa, 14/159)

Sebagian orang mengira bahwa makna ucapan ini adalah keluasan bagi manusia untuk memilih ucapan mana pun yang cocok dari ucapan-ucapan yang berbeda tersebut, padahal tidak demikian!

Berkata Isma’il Al-Qadhi: “Sesungguhnya keluasan dalam perbedaan pendapat para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah keluasan dalam berijtihad dan berpendapat. Adapun keluasan bagi manusia untuk memilih ucapan-ucapan tersebut tanpa melihat mana yang lebih dekat pada kebenaran, maka tidak benar! Namun ikhtilaf mereka menunjukkan bahwa mereka berijtihad kemudian terjadilah perbedaan.” (Zajrul Mutahaawin bi Dharar Qaidah al-Ma’dzirah wat Ta’awun, hal. 62)

Abu ‘Umar Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Ucapan Isma’il ini sangat bagus sekali.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/907)

Jika setiap orang bebas memilih di antara ikhtilaf para ulama sesuai dengan seleranya masing-masing, maka hilanglah hikmah diturunkannya syari’at yaitu agar kita tidak mengikuti hawa nafsu.

Imam Syathibi rahimahullah berkata: “Hikmah diturunkannya syari’at adalah agar seorang mukallaf terlepas dari tarikan-tarikan hawa nafsu, sedangkan membebaskan manusia untuk memilih di antara dua pendapat adalah bertentangan dengan prinsip tadi. Maka yang demikian tidak diperbolehkan.” (Al-Muwaafaqat, 4/121)

Beliau rahimahullah berkata juga: “Akibat akhir penerapan prinsip bebas memilih ini adalah bahwa seorang mukallaf kalau mau boleh mengerjakan, dan jika mau boleh meninggalkan. Ini sungguh merupakan pengguguran taklif (beban syari’at). Beda halnya jika kita berupaya mencari yang rajih dan mengikuti dalil yang lebih kuat, maka kita tidak mengikuti hawa nafsu dan tidak menggugurkan taklif (syari’at).

Wallahu a’lam.

(Dinukil dari Risalah Dakwah Manhaj Salaf, edisi 130/Th. III/28 Muharram 1428H/16 Februari 2007M, judul: Bahaya Prinsip Toleransi Ikhwanul Muslimin. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. Telp. (0231)222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan/Abu Urwah, HP 081564634143; Sirkulasi/pemasaran: Abu ‘Abdirrahman Arief Subekti, HP 081564690956)

Kajian audionya di Koreksi Ilmiah Terhadap IM

"Bahaya Prinsip Toleransi Ikhwanul Muslimin"
Oleh: Al-Ustadz Muhammad ‘Umar As-Sewed hafizhahullah

Koreksi Ilmiah Terhadap Ikhwanul Muslimin (IM) - Part 4/7

by admin aluyeah
Koreksi Ilmiah Terhadap Ikhwanul Muslimin | al-uyeah.blogspot.com
Islam datang untuk meluruskan penyimpangan aqidah umat manusia di muka bumi. Allah Ta'ala pun melengkapinya dengan mengutus Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam agar dijadikan teladan bagi mereka yang menjadikan Islam sebagai agamanya. Sehingga dakwah pun menjadi keniscayaan. Maka amatlah naif jika ada gerakan yang mengaku Islam namun justru membiarkan penyimpangan tumbuh di dalam umat ini. Dakwah justru dikebiri atas nama toleransi, persamaan agama Samawi, dsb.

Ikhwanul Muslimin (untuk selanjutnya disingkat IM) bisa diibaratkan seperti lokomotif bagi gerbong-gerbong kelompok harakah (pergerakan) Islam dewasa ini(1). Pasalnya, IM tergolong kelompok paling tua dalam dunia harakah, bahkan telah banyak melahirkan kelompok-kelompok pergerakan yang muncul setelahnya.

Demikian pula para tokohnya. Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Hasan Al-Hudhaibi, Abdul Qadir Audah, Muhammad Ash-Shawwaf, Musthafa As-Siba’i, Umar At-Tilmasani, Muhammad Hamid Abu Nashr, Yusuf Qardhawi, Muhammad Al-Ghazali, Fathi Yakan, Hasan At-Turabi, Abul A’la Al-Maududi, Al-Ghanusyi, Sa’id Hawa dan yang lainnya adalah “orang-orang lama” yang dijadikan narasumber dan “tempat kembali” bagi para aktivis pergerakan.

Sontak, kondisi semacam ini cukup mengkhawatirkan. Terkhusus ketika fakta membuktikan bahwa penyimpangan telah terjadi dari dalam IM. Sebagaimana pernyataan Ali Asymawi (mantan tokoh IM yang pernah mendekam di balik terali besi selama 23 tahun dalam perjalanannya bersama mereka), “Menurutku IM (ketika itu) merupakan induk seluruh kelompok (tanzhim) Islam di dunia Arab, karena IM-lah yang paling tua dan yang melahirkan berbagai kelompok setelahnya. Segala bentuk penyimpangannya pun bersumber dari dalam IM sendiri.” (At-Tarikh As-Sirri Lijama’atil Ikhwanil Muslimin, hal. 4. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim Ibnu Sulthan Al-’Adnani, hal. 76)

Para pembaca, bahasan kali ini tidaklah menyingkap seluruh penyimpangan IM. Akan tetapi khusus penyimpangan mereka dalam hal Al-Wala` dan al-Bara` yang merupakan tali keimanan yang paling kokoh. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

“Tali keimanan yang terkokoh adalah berloyal karena Allah dan memusuhi karena Allah, cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir no. 11.537 dari shahabat Abdullah bin ‘Abbas c. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1.728)

Apa itu Al-Wala` dan Al-Bara`?

Al-Wala` adalah loyalitas dan kecintaan kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya serta kaum mukminin. Sedangkan al-Bara` adalah benci dan berlepas diri dari musuh-musuh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya serta musuh-musuh kaum mukminin.

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafi-zhahullah berkata: “Sesungguhnya, setelah mencintai Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, maka wajib mencintai wali-wali Allah Ta'ala dan memusuhi musuh-musuh-Nya. Dan di antara prinsip (aqidah) Islam yang terpenting adalah bahwa setiap muslim yang beraqidah Islam wajib loyal dan mencintai orang-orang yang berpegang teguh dengannya (aqidah Islam) dan memusuhi para penentangnya.

Sehingga diapun loyal dan mencintai orang-orang yang bertauhid lagi mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah Ta'ala semata, dan membenci/memusuhi orang-orang yang menyekutukan Allah Ta'ala. Prinsip ini telah ada dalam ajaran Nabi Ibrahim 'alaihisalam dan orang-orang yang bersama beliau yang kita diperintah untuk meneladani mereka. Allah Ta'ala berfirman:

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu ibadahi selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu, dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kamu selama-lamanya, sampai kamu mau beriman kepada Allah semata’.” (Al-Mumtahanah: 4) [Al-Wala` wal-Bara` Fil Islam, hal. 3]

Prinsip inipun terus berkesinam-bungan hingga masa Nabi Muhammad Shallallahu'alaihiwasalam. Allah Ta'ala berfirman tentang prinsip Al-Wala`:

“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa yang mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (Al-Ma`idah: 55-56)

“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya sangatlah keras terhadap orang-orang kafir, namun berkasih sayang terhadap sesama mereka.” (Al-Fath: 29)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara.” (Al Hujurat: 10)

Adapun firman Allah Ta'ala tentang prinsip al-Bara`:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin-pemimpin (mu), sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Al-Ma`idah: 51)

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia.” (Al-Mumtahanah: 1)

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu sebagai pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran di atas keimanan. Dan barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (At-Taubah: 23)

“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Al-Mujadilah: 22)

Slogan Peruntuh Al-Wala` Wal-Bara`

Mungkin anda sering mendengar slogan persatuan yang diproklamirkan Hasan Al-Banna, sang pendiri IM. Slogan yang berbunyi, “(Mari) kita saling tolong-menolong dalam perkara-perkara yang disepakati dan saling toleran dalam perkara-perkara yang diperselisihkan.”

Misi apakah yang terselubung di balik slogan tersebut?

Ali Asymawi berkata: “IM getol sekali mendengungkan slogan mereka yang amat terkenal di kalangan kelompok-kelompok dan ormas-ormas Islam ‘(Mari) kita saling tolong-menolong dalam perkara-perkara yang disepakati dan saling toleran dalam perkara-perkara yang diperselisihkan’. Sebuah slogan yang diluncurkan dalam upaya memegang tali kendali (umat) dan menggiring segala laju permasalahan untuk kepentingan mereka.” (At-Tarikh As-Sirri Lijama’atil Ikhwanil Muslimin, hal. 4. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 76)

Bagaimanakah aplikasi dari slogan tersebut di kalangan IM?

Ali Asymawi berkata: “(Dalam mengaplikasikannya, –pen.) tidak ada upaya pembenahan atau pembersihan hal-hal negatif ataupun meluruskan penyimpangan yang telah menggurita di tengah-tengah kelompok pergerakan Islam. Hingga akhirnya (penyimpangan itu pun, -pen.) bercokol dengan kokohnya di seluruh penjuru dunia. Faktor penyebabnya adalah terjatuhnya mayoritas mereka ke dalam sikap ekstrim (berlebihan) –ketika menerapkan slogan tersebut–.” (At-Tarikh As-Sirri Lijama’atil Ikhwanil Muslimin, hal. 4. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 76)

Fakta dan data di lapangan menunjukkan benarnya keterangan Ali Asymawi (akan dijelaskan secara rinci nantinya). Terlebih hari-hari ini, ketika slogan itu lebih dikongkritkan dalam bahasa-bahasa yang keren, lugas dan terkesan adem: “Islam Warna-warni”, “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”, dll, yang digandrungi oleh banyak kelompok, ormas, dan parpol. Selidik punya selidik, ternyata dalam realisasinya meruntuhkan prinsip al-wala` wal-bara`. Apa misi di balik itu?

Jawabnya adalah idem, seperti keterangan Ali Asymawi tentang IM. Atau, mungkin ada jawaban lain? Wallahul Musta’an.

Akibatnya, semakin bercokollah penyimpangan/kebatilan pada individu ataupun kelompok, karena tidak ada upaya pembenahan, pembersihan hal-hal negatif ataupun meluruskan penyimpangan yang telah menggurita (sebagaimana pernyataan Ali Asymawi).

Bahkan ketika ada yang berupaya meluruskan penyimpangan tersebut, justru malah mendapatkan serbuan komentar: “Kayak yang bener sendiri”, “Ndak usah ngurusi orang lain”, “Masing-masing kan punya dasar”, “Ribut terus, orang kafir sudah sampai ke bulan kita masih ngurusi khilafiyyah”, dan lain sebagainya. Padahal sering kali upaya pembenahan dan pelurusan itu berkaitan dengan masalah aqidah.

Saudara, contoh di atas erat kaitannya dengan internal kita kaum muslimin. Dan lebih mengherankan, ketika kaitannya dengan orang-orang Yahudi, Nashrani dan orang-orang kafir lainnya yang Allah Ta'ala wajibkan kita untuk bara` (berlepas diri/membenci) mereka sebagaimana dalam ayat-ayat yang disebutkan di awal bahasan. Berondongan komentar pun acap kali didengar, “Mereka itu saudara kita”, “Semua agama sama”, dan lain sebagainya.

Mungkin anda merasa janggal, khususnya kaitannya dengan IM. Bukankah pada tahun 1948, IM terlibat kontak senjata melawan orang-orang Yahudi Israel di Palestina?!

Jawabnya adalah: Benar. Namun apa motivasinya?

Hasan Al-Banna berkata (tentang kasus Palestina): “Untuk itu kami tetapkan bahwa permusuhan kami dengan Yahu-di bukanlah permusuhan agama. Karena Al-Qur`an telah menganjurkan untuk berga-bung dan berkawan dekat dengan mereka. Dan Islam merupakan syariat kemanusiaan sebelum menjadi syariat kaum tertentu. Islam pun telah memuji mereka dan menjadikan antara kita dengan mereka keter-kaitan yang kuat.” (Al-Ikhwanul Mus-limun Ahdatsun Shana’at Tarikh, I/409-410. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 59)

Kalau bukan karena agama, lalu apa?

Yusuf Qardhawi berkata: “Kami memerangi orang-orang Yahudi bukan karena urusan aqidah, akan tetapi karena urusan tanah. Kami memerangi mereka bukan karena statusnya sebagai orang-orang kafir, akan tetapi karena mereka merampas (tanah Palestina).” (Surat Kabar Ar-Rayah, Qatar edisi 4696, 25 Januari 1995. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha (lampiran) hal. 207)

Fatwa Ulama tentang Slogan IM Itu

Manakala para tokoh IM telah berlebihan dalam merealisasikan slogan mereka itu, maka jerit peringatan dari dalam tubuh IM pun terdengar, sebelum adanya fatwa para ulama. Lagi-lagi Ali Asymawi mengatakan: “Untuk itu, aku melihat bahwa sekaranglah saatnya memberi peringatan dan membuka jendela-jendela, agar sinar mentari dan udara segar bisa masuk ke lorong-lorong jamaah (IM) yang telah pengap dan membusuk aromanya.

Dan juga, agar pengalaman hidupku bersama mereka dapat menjadi pelajaran berharga bagi para pemuda untuk tidak gegabah dalam mencari jalan hidupnya, mempertim-bangkan secara matang ke mana kakinya hendak dilangkahkan, dan tidak mudah hanyut dalam memberikan loyalitas dan ketaatannya pada siapapun.

Karena Allah Ta'ala telah mengaruniakan kita akal fikiran sebagai kehormatan bagi anak manusia. Tidaklah sepantasnya kita menyia-nyiakannya, agar tidak mudah dijadikan bulan-bulanan oleh siapapun dan bergerak di bawah slogan apapun.” (At-Tarikh As-Sirri Lijama’atil Ikhwanil Muslimin, hal. 4. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 76)

Adapun fatwa para ulama, antara lain:

1.    Fatwa Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.
Beliau berkata: “Ya, wajib untuk saling tolong-menolong dalam perkara-perkara yang disepakati berupa kebenaran, dakwah kepada kebenaran tersebut dan memper-ingatkan (umat manusia) dari apa yang dilarang Allah Ta'ala dan Rasul-Nya.

Adapun saling toleran dalam perkara yang diperselisihkan, maka tidak bisa dibenarkan secara mutlak, bahkan harus dirinci. (Yaitu) di saat perkara tersebut termasuk masalah ijtihad yang tidak ada dalilnya secara jelas, maka tidak boleh di antara kita saling mengingkari. Sedangkan bila perkara tersebut jelas-jelas menyelisihi nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka wajib diingkari dengan hikmah, nasehat dan diskusi dengan cara terbaik.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 3/58-59. Lihat Zajrul Mutahawin Bidharari Qa’idah Al-Ma’dzirah wat Ta’awun, karya Hamd bin Ibrahim Al-Utsman, hal. 128)

2.    Fatwa Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
Beliau berkata ketika mengkritik para pengusung slogan di atas: “Merekalah orang yang pertama kali menyelisihinya. Kami yakin bahwa penggalan (pertama, -pen.) dari slogan tersebut benar, yaitu ‘(Mari) kita saling tolong-menolong dalam perkara-perkara yang disepakati’. Ini tentunya dipetik dari firman Allah Ta'ala:

Saling tolong-menolonglah dalam perkara kebaikan dan ketaqwaan.” (Al-Ma`idah: 2)

Adapun penggalan kedua ‘Dan saling toleran dalam perkara-perkara yang diperselisihkan’, maka harus dipertegas… Kapan? (Yaitu) ketika kita saling menasehati. Dan kita katakan kepada yang berbuat kesalahan: ‘Engkau salah, dalilnya adalah demikian dan demikian.’ Bila dia belum puas dan kita lihat dia seorang yang ikhlas (pencari kebenaran, -pen.) maka kita tolerir dia, dan saling tolong-menolong dengannya dalam perkara-perkara yang disepakati.

Adapun bila dia seorang penentang kebenaran lagi sombong dan berpaling darinya, maka saat itulah tidak berlaku penggalan kedua dari slogan tersebut dan tidak ada toleransi di antara kita dalam perkara yang diperselisihkan itu.” (Majalah Al-Furqan, Kuwait, edisi 77, hal. 22. Lihat Zajrul Mutahawin, hal. 130)

3.    Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin rahimahullah.
Beliau berkata: “Slogan mereka ‘(Mari) kita saling tolong-menolong dalam perkara-perkara yang disepakati’, ini benar. Adapun ‘Dan saling toleran dalam perkara-perkara yang diperselisihkan’, maka ini harus dirinci:

a. Bila termasuk perkara ijtihad yang memang dibolehkan berbeda, maka hendaknya kita saling toleran, dan tidak boleh ada sesuatu di hati karena perbedaan tersebut.
b. Adapun bila termasuk perkara yang tertutup pintu ijtihad, maka kita tidak boleh toleran kepada orang yang menyelisihinya. Dan diapun harus tunduk kepada kebenaran. Jadi bagian pertama benar, sedangkan bagian akhir harus dirinci.” (Ash-Shahwah Al-Islamiyyah, Dhawabith Wa Taujihat, I/218-219. Lihat Zajrul Mutahawin, hal. 129)

Fenomena Al-Wala` Wal Bara` Ala IM

Demikianlah koreksi para ulama atas slogan IM di atas. Lalu bagaimanakah fenomena IM di dalam merealisasikannya? Simaklah keterangan berikut ini!

1. Garis besar Al-Wala` wal-Bara` ala IM.
a. Hasan Al-Banna dalam momentum peringatan HUT IM yang ke-20 (5-9-1948) berkata: “Gerakan IM tidaklah memusuhi aqidah, agama, atau kelompok apapun.” (Qafilah Al-Ikhwan, karya As-Sisi, I/211. Lihat Ath-Thariq Ilal Jama’atil Um, hal. 132)

b. Muhammad Al-Ghazali berkata: “Selaras dengan sejarah lama, maka kamipun berkeinginan untuk membentangkan tangan-tangan kami dan membuka telinga dan hati kami untuk setiap seruan yang mempersatukan agama-agama, dan mendekatkan antar pemeluknya serta menghilangkan sebab-sebab perpecahan dari hati-hati mereka.” (Wamin Huna Na’lam, hal. 150. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 60)

2. Sikap IM terhadap Yahudi dan Nasrani
a. Hasan Al-Banna berkata (tentang kasus Palestina): “Untuk itu kami menetapkan bahwa permusuhan kami dengan Yahudi bukanlah permusuhan agama. Karena Al-Qur`an telah menganjurkan untuk bergabung dan berkawan dekat dengan mereka. Dan Islam merupakan syariat kemanusiaan sebelum menjadi syariat kaum tertentu. Islam pun telah memuji mereka dan menjadikan antara kita dengan me-reka keterkaitan yang kuat.” (Al-Ikhwanul Muslimun Ahdatsun Shana’at Tarikh, I/409-410. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 59)

b. Yusuf Qardhawi berkata: “Kami memerangi orang-orang Yahudi bukan karena urusan aqidah, akan tetapi karena urusan tanah. Kami memerangi mereka bukan karena statusnya sebagai orang-orang kafir, akan tetapi karena mereka merampas (tanah Palestina).” (Surat Kabar Ar-Rayah, Qatar edisi 4696, 25 Januari 1995. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha (lampiran) hal. 207)

c. Musthafa As-Siba’i berkata: “Islam bukanlah agama yang memerangi agama Nashrani, bahkan mengakui dan memuliakan agama Nashrani. Islam tidak membedakan antara muslim dan Nashrani. Islam tidak memberikan hak lebih terhadap muslim atas hak Nashrani dalam kedudukan di pemerintahan.” (Ath-Thariq Ilal Jama’atil Um, hal. 134)

d. Hasan At-Turabi dalam ceramahnya yang berjudul Ta’dilul Qawanin, berkata: “Boleh bagi seorang muslim untuk menjadi Yahudi atau Nashrani, seperti halnya mereka (Yahudi dan Nashrani) dibolehkan untuk menjadi muslim.”

Di kesempatan ceramahnya yang lain dengan tema Ad-Daulah Baina Nazha-riyyah Wa Tathbiq, berkata: “Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengkafirkan Yahudi dan Nashrani.” (Isyruna Ma’kha-dzan ‘Ala As-Sururiyyah, hal. 2. Lihat Majalah Asy Syari’ah edisi Fenomena Sinkretisme Agama, hal. 21)

3. Sikap IM terhadap Syi’ah Rafidhah.
Syi’ah Rafidhah adalah rintisan Abdullah bin Saba‘ seorang Yahudi dari Yaman. Di antara keyakinan kelompok ini adalah: Al-Qur`an (kaum muslimin) yang ada telah mengalami perubahan dan pengurangan sehingga tak tersisa lagi kecuali hanya 1/3 dari aslinya; para shahabat telah murtad (sepeninggal Nabi Shallallahu'alaihiwasalam) kecuali beberapa orang saja; para istri Nabi Shallallahu'alaihwahisalam adalah pelacur; imam-imam mereka ma’shum dan kedudukannya di atas malaikat dan nabi; dan lain sebagainya (untuk lebih rincinya, lihat Rubrik Manhaji Majalah Asy Syari’ah edisi Menyikapi Kejahatan Penguasa dan Syi’ah Menikam Keluarga Nabi)

Bagaimanakah sikap IM terhadap mereka? Simaklah keterangan tokoh-tokoh mereka:
a. Umar At-Tilmasani berkata: “Pada th 1940-an –sesuai apa yang kuingat– Sayyid Al-Qummi (tokoh Syi’ah) mengunjungi IM di markas besarnya, saat-saat Al-Imam Asy-Syahid (Hasan Al-Banna, -pen.) berjuang keras untuk mempersatukan seluruh madzhab… Kami pun bertanya kepadanya (Hasan Al-Banna, -pen.) tentang perbedaan antara Ahlus Sunnah dan Syi’ah. Maka dia melarang kami untuk masuk ke dalam masalah-masalah riskan semacam ini.” (Mauqif Ulama’ Al-Muslimin, karya Dr. Izzuddin Ibrahim hal. 5-21. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 56)

b. Salim Bahnasawi berkata: “Sejak terbentuknya lembaga pendekatan antara madzhab-madzhab Islam yang diprakarsai Al-Imam Al-Banna dan Al-Imam Al-Qummi, kerjasama antara IM dengan Syi’ah pun terus berlangsung, yang akhirnya membuahkan kunjungan Al-Imam Nuwab Shafawi (tokoh Syi’ah) ke Kairo pada tahun 1954 M.”

Dia juga berkata: “Dan itu bukan hal aneh, karena manhaj (prinsip) kedua kelompok sama-sama mendukung kerja sama tersebut.” (Mauqif Ulama’ Al-Muslimin, hal. 13. Lihat Tahafutusy Syi’arat Wa Suquthul Aqni’ah, karya Abdul ‘Aziz bin Syabib Ash-Shaqr, hal. 32)

Abdul Aziz bin Syabib Ash-Shaqr berkata: “Ketika Hasan Al-Banna wafat, warisan (pemikiran) yang busuk ini diambil oleh seluruh petinggi IM dan diterapkan di negerinya masing-masing. Sebagaimana yang dilakukan Umar At-Tilmisani –Mursyid Aam (pimpinan umum IM)– di Mesir, Musthafa As-Siba’i di Syria, Hasan At-Turabi di Sudan, Al-Ghanusyi di Tunis, Fathi Yakan di Lebanon dan Al-Maududi di Pakistan.” (Tahafutusy Syi’arat, hal. 33)

Bagaimanakah sikap IM terhadap kelompok-kelompok Islam sempalan lainnya?

Pembaca, jika sikap mereka terhadap Syi’ah demikian mesranya, bahkan juga sikap mereka terhadap Yahudi dan Nashrani yang jelas-jelas musuh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, maka bisa dipastikan jawabnya adalah: idem. Artinya, toleransi tinggi akan dipersembahkan IM untuk mereka. Demikianlah “GBHN” al-wala` wal-bara` ala mereka. Masih ingatkah perkataan Hasan Al-Banna dan Muhammad Al-Ghazali yang telah lalu?!

Penutup

Setelah menelusuri sebagian kecil (saja) perkataan tokoh-tokoh IM seputar sikap terhadap agama-agama kafir dan para pemeluknya (Yahudi, Nashrani dan yang lainnya), atau pun sikap terhadap kelompok-kelompok bid’ah dan sesat, maka sungguh mencolok sekali rapuhnya Al-Wala` wal-Bara` ala mereka. Padahal Al-Wala` wal-Bara` merupakan tali keimanan terkokoh. Tidak-kah ini cukup sebagai pelajaran bagi orang-orang yang berakal?!

Sebagai penutup simaklah nasehat Syaikh kami Al-’Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad –hafizhahullah– di bawah ini:
“Sudah sepatutnya –bahkan seharus-nya– bagi pengikut da’i tersebut (Hasan Al-Banna, -pen.) untuk tidak merealisasikan perkataannya (slogan di atas, -pen.) yang berujung pada toleransi terhadap kelompok-kelompok sesat, bahkan yang paling sesatnya semacam Syi’ah Rafidhah. (Dan) hendaknya memperhatikan penerapan kaidah ‘Cinta karena Allah Ta'ala dan benci karena Allah Ta'ala, berloyal karena Allah Ta'ala dan memusuhi karena Allah Ta'ala’ yang tidak ada ruang toleransi bagi orang-orang yang menyimpang lagi sesat dalam perkara-perkara yang menyelisihi Ahlus Sunnah Wal Jamaah.” (Zajrul Mutahawin, hal. 8)

Pembaca, demikianlah sajian kami sebagai bentuk tanggung jawab dan nasehat untuk kaum muslimin. Semoga hidayah Allah Ta'ala selalu mengiringi kita semua.
Amin.

1 IM didirikan oleh Hasan Al-Banna di kota Ismailiyyah Mesir, pada bulan Maret/April 1928 (Dzulqa’dah 1327 H). (Lihat Al-Mausu’ah Al-Muyassarah, hal. 23)

Kajian audionya di Koreksi Ilmiah Terhadap IM

"Al-Wala’ wal Bara’ Ikhwanul Muslimin"
ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc.
AsySyariah.com

Koreksi Ilmiah Terhadap Ikhwanul Muslimin (IM) - Part 3/7

by admin aluyeah
Koreksi Ilmiah Terhadap Ikhwanul Muslimin |  al-uyeah.blogspot.com
Shufi, Syi’ah, Pluralisme, Mu’tazilah, dan lain-lain masing-masingnya jelas berbeda. Namun apa jadinya jika semua kelompok menyimpang ini dijadikan satu? Jadilah ia Ikhwanul Muslimin (IM).

Gerakan Ikhwanul Muslimin yang mendominasi dakwah pergerakan-pergerakan di Mesir, gaungnya tidak hanya terdengar di negeri asalnya. Namun “dakwah”-nya telah mendunia, masuk ke penjuru-penjuru negeri di hamparan bumi ini. Termasuk tanah air kita, Indonesia, meski tentu saja dengan nama yang berbeda.

Pemikiran dan buku tokoh-tokoh mereka, semacam Hasan Al-Banna, Sayyid Quthub, Said Hawwa, Fathi Yakan, Yusuf Al-Qardhawi, At-Turabi tersebar luas dengan berbagai bahasa, sehingga sempat mewarnai gerakan-gerakan dakwah di berbagai negara.

Ikhwanul Muslimin, gerakan ini tidak bisa lepas dari sosok pendirinya, Hasan Al-Banna. Dialah gerakan Ikhwanul Muslimin dan Ikhwanul Muslimin adalah dia. Karismanya benar-benar tertanam di hati pengikut dan simpatisannya, yang kemudian senantiasa mengabadikan gagasan dan pemikiran Al-Banna di medan dakwah sepeninggalnya.

Untuk mengetahui lebih dekat hakikat gerakan ini, mari kita simak sejarah singkat Hasan Al-Banna dan berdirinya gerakan Ikhwanul Muslimin.

Kelahirannya

Hasan Al-Banna dilahirkan pada tahun 1906 M, di sebuah desa bernama Al-Mahmudiyyah, yang masuk wilayah Al-Buhairah. Ayahnya seorang yang cukup terkenal dan memiliki sejumlah peninggalan ilmiah seperti Al-Fathurrabbani Fi Tartib Musnad Al-Imam Ahmad Asy-Syaibani, beliau adalah Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna yang lebih dikenal dengan As-Sa’ati.

Pendidikannya

Ia mulai pendidikannya di Madrasah Ar-Rasyad Ad-Diniyyah dengan menghafal Al-Qur`an dan sebagian hadits-hadits Nabi serta dasar-dasar ilmu bahasa Arab, di bawah bimbingan Asy-Syaikh Zahran seorang pengikut tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Al-Banna benar-benar terkesan dengan sifat-sifat gurunya yang mendidik, sehingga ketika Asy-Syaikh Zahran menyerahkan kepemim-pinan Madrasah itu kepada orang lain, Hasan Al-Banna pun ikut meninggalkan madrasah.

Selanjutnya ia masuk ke Madrasah I’dadiyyah di Mahmudiyyah, setelah berjanji kepada ayahnya untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur`an-nya di rumah. Tahun ketiga di madrasah ini adalah awal perke-nalannya dengan gerakan-gerakan dakwah melalui sebuah organisasi, Jum’iyyatul Akhlaq Al-Adabiyyah, yang dibentuk oleh guru matematika di madrasah tersebut. Bahkan Al-Banna sendiri terpilih sebagai ketuanya. Aktivitasnya terus berlanjut hingga ia bergabung dengan organisasi Man’ul Muharramat.

Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Al-Mu’allimin Al-Ula di kota Damanhur. Di sinilah ia berkenalan dengan tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Ia terkagum-kagum dengan majelis-majelis dzikir dan lantunan nasyid yang didendangkan secara bersamaan oleh pengikut tarekat tersebut. Lebih tercengang lagi ketika ia dapati bahwa di antara pengikut tarekat tersebut ada guru lamanya yang ia kagumi, Asy-Syaikh Zahran.

Akhirnya Al-Banna bergabung dengan tarekat tersebut. Sehingga ia pun aktif dan rutin mengamalkan dzikir-dzikir Ar-Ruzuqiyyah pagi dan petang hari. Tak ketinggalan, acara maulud Nabipun rutin ia ikuti: “…Dan kami pergi bersama-sama di setiap malam ke masjid Sayyidah Zainab, lalu melakukan shalat ‘Isya di sana. Kemudian kami keluar dari masjid dan membuat barisan-barisan. Pimpinan umum Al-Ustadz Hasan Al-Banna maju dan melantunkan sebuah nasyid dari nasyid-nasyid maulud Nabi, dan kamipun mengikutinya secara bersamaan dengan suara yang nyaring, membuat orang melihat kami,” ujar Mahmud Abdul Halim dalam bukunya. (Al-Ikhwanul Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/109)

Di antara aktivitas selama bergabung dengan tarekat ini ialah pergi bersama teman-teman se-tarekat ke kuburan, untuk mengingatkan mereka tentang kematian dan hisab (perhitungan amal). Mereka duduk di depan kuburan yang masih terbuka, bahkan salah seorang mereka terkadang masuk ke liang kubur tersebut dan berbaring di dalamnya agar lebih menghayati hakekat kematian nanti.

Al-Banna terus bergabung dengan tarekat tersebut sampai pada akhirnya ia berbai’at kepada syaikh tarekat saat itu yaitu Asy-Syaikh Basyuni Al-’Abd. Jabir Rizq mengatakan: “…(Hasan Al-Banna) sangat berkeinginan mengambil ajaran tarekat itu, sampai-sampai ia meningkat dari sekedar simpatisan ke pengikut yang berbai’at.”

Sepeninggal Basyuni, Al-Banna berbai’at kepada Asy-Syaikh Abdul Wahhab Al-Hashafi, pengganti pendiri tarekat tersebut. Ia diberi ijazah wirid-wirid tarekat tersebut. Dengan bangga Al-Banna mengungkapkan: “Dan saya berteman dengan saudara-saudara dari tarekat Al-Hashafiyyah di Damanhur. Saya rutin mengikuti acara al-hadhrah di Masjid Taubah setiap malam… Sayyid Abdul Wahhab-pun datang, dialah yang memberikan ijazah di kelompok tarekat Hashafiyyah Syadziliyyah, dan saya mendapat ajaran tarekat ini darinya. Ia juga memberi saya wirid dan amalan tarekat itu.”

Karena faktor tertentu, akhirnya kelompok tarekat ini mendirikan sebuah organisasi, bernama Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah yang diketuai oleh teman lamanya, Ahmad As-Sukkari. Sementara Hasan Al-Banna menjadi sekretarisnya. Al-Banna mengatakan: “Di saat-saat ini, nampak pada kami untuk mendirikan organisasi perbaikan yaitu Al-Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah, dan aku terpilih sebagai sekretarisnya… Lalu dalam perjuangan ini, aku menggantikannya dengan organisasi Ikhwanul Muslimin setelah itu.”

Al-Banna menghabiskan waktunya di madrasah Al-Mu’allimin dari tahun 1920-1923 M. Di sela-sela masa itu, ia juga banyak membaca majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha, salah seorang tokoh gerakan Ishlahiyyah yang banyak dipengaruhi pemikiran Mu’tazilah. Di sisi lain, iapun suka mendatangi Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib di perpustakaan salafinya.

Al-Banna, ketika ingin melanjutkan pendidikannya ke Darul Ulum, sempat bimbang antara melanjutkan atau menekuni dakwah dan amal. Ini dikarenakan interaksinya dengan buku Ihya‘ Ulumud-din. Namun bermodalkan nasehat dari salah seorang gurunya, ia mantap untuk melanjutkan pendidikan.

Ia akhirnya memutuskan melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum. Di sini, ia sangat giat membentuk jamaah-jamaah dakwah, sehingga di tengah-tengah aktivitasnya tercetus dalam benaknya, ide untuk menjalin hubungan dengan orang-orang yang duduk di warung-warung kopi dan di desa-desa terpencil untuk mendakwahi mereka. Pada akhirnya Al-Banna lulus dari Darul Ulum pada tahun 1927 M.

Usai pendidikannya di Darul Ulum, ia diangkat menjadi guru di daerah Al-Isma’iliyyah. Iapun mengajar di sekolah dasar selama 19 tahun. Sebelumnya, ia datang ke daerah itu pada tanggal 19 September 1927 dan tinggal di sana selama 40 hari untuk mempelajari seluk-beluk lingkungan tersebut.

Ternyata, ia dapati banyak terjadi perselisihan di antara masyarakat, sementara ia berkehendak agar dapat berkomunikasi, bergaul dengan semua pihak, dan mempersatukannya. Usai berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan untuk menjauh dari semua kelompok yang ada dan berkonsentrasi mendakwahi mereka yang berada di warung-warung kopi. Lambat laun dakwahnyapun tersebar dan semakin bertambah jumlah pengikutnya.

Pembentukan Gerakan Ikhwanul Muslimin

Pada bulan Dzulqa’dah 1347 H yang bertepatan dengan Maret 1928, enam orang dari pengikutnya mendatangi rumahnya, membai’atnya demi beramal untuk Islam dan sama-sama bersumpah untuk menjadikan hidup mereka untuk dakwah dan jihad. Dengan itu muncullah tunas pertama gerakan Ikhwanul Muslimin.

Selang empat tahun, dakwahnya meluas, sehingga ia pindah ke ibukota Kairo, bersama markas besar Ikhwanul Muslimin. Dengan bergulirnya waktu, jangkauan dakwah semakin lebar. Kini saatnya bagi Al-Banna untuk mengajak anggotanya melakukan jihad amali.

Dengan situasi yang ada saat itu, ia membentuk pasukan khusus untuk melindungi jamaahnya. Pada tahun 1942 M, Hasan Al-Banna menetapkan untuk mencalonkan dirinya dalam pemilihan umum, tapi ia mencabutnya setelah maju, karena ada ancaman dari Musthafa Al-Basya, yang waktu itu menjabat sebagai pimpinan Al-Wizarah (Perdana Menteri, ed.). Dua tahun kemudian, ia mencalonkan diri kembali, namun Inggris memanipulasi hasil pemilihan umum.

Wafatnya

Pada tahun 1949 M, Al-Banna mendapat undangan gelap untuk hadir di kantor pusat organisasi Jum’iyyatusy Syubban Al-Muslimin beberapa saat sebelum maghrib. Ketika ia hendak naik taksi bersama Abdul Karim Manshur, tiba-tiba lampu penerang jalan tersebut dipadamkan. Bersamaan dengan itu peluru-peluru beterbangan meng-arah ke tubuhnya. Ia sempat dievakuasi dengan ambulans. Namun karena pendarahan yang hebat, ajal menjemputnya. Dengan itu, tertutuplah lembaran kehidupannya.

Demikian sejarah ringkas Hasan Al-Banna bersama gerakan dakwah yang ia dirikan. Pembaca mungkin berbeda-beda dalam menanggapi sejarah tersebut, sesuai dengan sudut pandang yang digunakan. Namun bila kita melihatnya dengan kacamata syar’i, menimbangnya dengan timbangan Ahlus Sunnah, maka kita akan mendapatinya sebagai sejarah yang suram. Mengapa?

Karena kita melihat, ternyata gerakan tersebut lahir dari sebuah sosok yang berlatar belakang aliran shufi Hashafi dengan berbagai kegiatan bid’ahnya, seperti bai’at kepada syaikh tarekat dan kepada Al-Banna sendiri sebagai pimpinan gerakan, amalan wirid-wirid Ruzuqiyyah yang diada-adakan, dzikir berjamaah, maulud Nabi, ziarah-ziarah kubur dengan cara bid’ah sampai pada praktek politik praktis di atas asas demokrasi. Gurunyapun campur aduk, dari syaikh tarekat, seorang yang terpengaruh madzhab Mu’tazilah, dan seorang yang berakidah salafi.

Warna-warni sosok pendiri tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan corak gerakan tersebut, sehingga warnanyapun tidak jelas, buram. Tidak seperti Ash-Shirathul Mustaqim yang Nabi Shallallahu'alaihiwasalam katakan:

“Aku tinggalkan kalian di atas yang putih bersih, malamnya seperti siangnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Hakim, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah no. 33)

Untuk melihat lebih dekat dan jelas buktinya mari kita simak pembahasan berikutnya.

Pandangan Umum terhadap Gerakan Ikhwanul Muslimin

Sekilas, dari sejarah singkat Hasan Al-Banna tampak jati diri gerakan yang didirikannya. Namun itu tidak cukup untuk mengungkap lebih gamblang. Untuk itu perlu kami nukilkan di sini beberapa kesimpulan yang didasari oleh komentar Al-Banna sendiri atau tokoh-tokoh gerakan ini atau simpatisannya.

Pertama: Menggabung Kelompok-kelompok Bid’ah

Tentu pembaca tahu, bahwa bid’ah tercela secara mutlak dalam agama:

“Semua bid’ah itu sesat.” (HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002)

Kata-kata ini senantiasa Nabi Shallallahu'alaihiwasalam ucapkan dalam pembukaan khutbahnya. Bahkan Nabi Shallallahu'alaihiwasalam juga katakan:

“Allah melaknati orang yang melindungi bid’ah.” (HR. Muslim, Kitabul Adhahi, Bab Tahrim Adz-Dzabh Lighairillah, no. 5096)

Yakni ridha terhadapnya dan tidak mengingkarinya. Dan banyak lagi hadits yang lain. Tapi anehnya, Al-Banna justru menaungi kelompok-kelompok bid’ah sebagaimana dia sendiri ungkapkan: “Sesungguhnya dakwah Ikhwanul Muslimin adalah dakwah salafiyyah… tarekat sunniyah… hakekat shufiyyah…dan badan politik…” (Majmu’ah Rasa`il, hal. 122)

Ini menggambarkan usaha untuk mencampur antara al-haq dan al-bathil. Dan ini adalah cara yang batil. Jika memang dakwahnya adalah salafiyyah yang sesungguhnya –dan itulah kebenaran– tidak mungkin dipadukan dengan shufiyyah dengan berbagai bid’ahnya dan praktek politik praktis yang diimpor dari Barat.

Karena prinsip ini, maka realita membuktikan bahwa: “Ratusan ribu manusia telah bergabung dengan kelompok Ikhwanul Muslimin. Mereka dari kelompok yang bermacam-macam, paham yang berbeda-beda. Di antara mereka ada sekelompok Shufi yang menyangka bahwa kelompok ini adalah Shufi gaya baru…,” demikian ungkap Muhammad Quthub dalam bukunya Waqi’una Al-Mu’ashir (hal. 405).

Bahkan dengan kelompok Syi’ah-pun berpelukan. Itu terbukti dengan usaha Al-Banna untuk menyatukan antara Sunnah dengan Syi’ah, dan tak sedikit anggota gerakan yang beraliran Syi’ah. Umar At-Tilmisani, murid Al-Banna sekaligus pimpinan umum ketiga gerakan ini, mengungkapkan:

“Pada tahun empat-puluhan seingat saya, As-Sayyid Al-Qummi, dan ia berpaham Syi’ah, singgah sebagai tamu Ikhwanul Muslimin di markas besarnya. Dan saat itu Al-Imam Asy-Syahid (Al-Banna) berusaha dengan serius untuk mendekatkan antar berbagai paham, sehingga musuh tidak menjadikan perpecahan paham sebagai celah, yang dari situ mereka robek-robek persatuan muslimin. Dan kami suatu hari bertanya kepadanya, sejauh mana perbedaan antara Ahlus Sunnah dengan Syi’ah, maka ia pun melarang untuk masuk dalam permasalahan semacam ini. Kemudian mengatakan: ‘Ketahuilah bahwa Sunnah dan Syi’ah adalah muslimin, kalimat La ilaha illallah Muhammad Rasulullah menyatukan mereka, dan inilah pokok aqidah. Sunnah dan Syi’ah dalam hal itu sama dan sama-sama bersih. Adapun perbedaan antara keduanya adalah pada perkara-perkara yang mungkin bisa didekatkan.” (Dzikrayat la Mudzakkirat, karya At-Tilmisani, hal. 249-250)

Benarkah dua kelompok itu sama dan bersih dalam dua kalimat syahadat? Tidakkah Al-Banna tahu, bahwa di antara kelompok Syi’ah ada yang menuhankan ‘Ali bin Abi Thalib? Tidakkah dia tahu bahwa Syi’ah menuhankan imam-imam mereka, dengan menganggap mereka mengetahui perkara-perkara ghaib? Tidakkah dia tahu bahwa di antara Syi’ah ada yang meyakini bahwa Malaikat Jibril keliru menyampaikan risalah –mestinya kepada Ali, bukan kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasalam–? Seandainya hanya ini saja (penyimpangan) yang dimiliki Syi’ah, mungkinkah didekatkan antara keduanya? Lebih-lebih dengan segudang kekafiran dan bid’ah Syi’ah.

Kedua: Lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`

Pembaca, tentu anda tahu bahwa Al-Wala` (loyalitas kepada kebenaran) dan Al-Bara` (antipati terhadap kebatilan) merupakan prinsip penting dalam agama kita, Islam.

Abu ‘Utsman Ash-Shabuni (wafat 449 H) mengatakan: “Dengan itu, (Ahlus Sunnah) seluruhnya bersepakat untuk merendahkan dan menghinakan ahli bid’ah, dan menjauhkan serta menjauhi mereka, dan tidak berteman dan bergaul dengan mereka, serta mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhi mereka.” (‘Aqidatussalaf Ashabil Hadits, hal. 123, no. 175)

Tapi prinsip ini menjadi luntur dan benar-benar luntur dalam manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Itu terbukti dari penjelasan di atas. Juga sambutan hangatnya terhadap pimpinan aliran Al-Marghiniyyah, sebuah aliran wihdatul wujud yang menganggap Allah menjadi satu dengan makhluk (lihat Qafilatul Ikhwan Al-Muslimin, 1/259, karya As-Sisi).

Lebih dari itu –dan anda boleh kaget– Al-Banna mengatakan: “Maka saya tetapkan bahwa permusuhan kita dengan Yahudi bukan permusuhan karena agama. Karena Al-Qur`an menganjurkan untuk bersahabat dengan mereka. Dan Islam adalah syariat kemanusiaan sebelum syariat kesukuan. Allah-pun telah memuji mereka dan menjadikan kesepakatan antara kita dengan mereka… dan ketika Allah ingin menyinggung masalah Yahudi, Allah menyinggung mereka dari sisi ekonomi, firman-Nya….” (Al-Ikhwanul Al-Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/409 dinukil dari Al-Maurid, hal. 163-164)

Apa yang pantas kita katakan wahai pembaca? Barangkali tepat kita katakan di sini:

“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?” (Al-Baqarah: 85)

Ke mana hafalan Al-Qur`an-nya? Siapapun yang membaca pasti tahu bahwa Allah telah mengkafirkan Yahudi, mereka membunuh para nabi, mencela Allah, tidak mau beriman kepada Nabi Muhammad Shallallahu'alaihiwasalam, dan beberapa kali berusaha membunuh Nabi Shallallahu'alaihiwasalam. Apakah ini semua tidak pantas menimbulkan permusuhan antara muslimin dengan Yahudi dalam pandangannya?

Bukti lain tentang lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`, bahwa sebagian penasehatnya adalah Nashrani. Menurut pengakuan Yusuf Al-Qardhawi, katanya: “Saya tumbuh di sebuah lingkungan yang berkorban untuk Islam. Madrasah ini, yang memimpinnya adalah seorang yang mempunyai ciri khas keseimbangan dalam pemikiran, gerakan, dan hubungannya. Itulah dia Hasan Al-Banna. Orang ini sendiri adalah umat diri sisi ini, di mana dia bisa bergaul dengan semua manusia, sampai-sampai sebagian penasehatnya adalah orang-orang Qibthi –yakni suku bangsa di Mesir yang beragama Nashrani– dan ia masukkan mereka ke dalam departemen politiknya…” (Al-Islam wal Gharb, ma’a Yusuf Al-Qardhawi, hal. 72, dinukil dari Dhalalat Al-Qardhawi, hal. 4))

Padahal Allah Ta'ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (Ali ‘Imran: 118)

Ketiga: Tidak Perhatian terhadap Aqidah

Pembaca, aqidah adalah hidup matinya seorang muslim. Bagi muslim sejati, yang berharga menjadi murah demi membela aqidah. Aqidah adalah segala-galanya, tidak bisa main-main, tidak bisa coba-coba.

Tapi tidak demikian adanya dengan kelompok yang kita bicarakan ini. Itu terbukti dari keterangan di atas, ditambah keadaan Al-Banna sendiri yang tidak beraqidah salaf dalam mengimani Asma`ul Husna dan sifat-sifat Allah. Salah jalan, ia terangkan aqidah salaf tapi ternyata itu aqidah khalaf (yang datang belakangan dan menyelisihi salaf).

Ungkapnya: “Adapun Salaf, mereka mengatakan: Kami beriman dengan ayat-ayat dan hadits-hadits sebagaimana datangnya, dan kami serahkan keterangan tentang maksudnya kepada Allah tabaraka wa ta’ala, sehingga mereka menetapkan sifat Al-Yad (tangan) dan Al-’Ain (mata)… Semua itu dengan makna yang tidak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya…” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 292, 324)

Tauhid Al-Asma` dan Sifat, adalah salah satu dari tiga unsur penting dalam ilmu-ilmu tentang Allah Ta'ala Intinya adalah mengimani nama-nama Allah Ta'ala dan sifat-sifat-Nya sebagaimana Allah Ta'alasebutkan dalam Al-Qur`an atau Nabi Shallallahu'alaihiwasalam sebutkan dalam hadits yang shahih.

Aqidah Ahlussunnah dalam hal ini tergambar dalam jawaban Imam kota Madinah saat itu, Al-Imam Malik bin Anas Al-Ashbuhi rahimahullah, ketika ditanya oleh seseorang: “Allah naik di atas ‘Arsy-Nya, bagaimana di atas itu?” Dengan bercucuran keringat karena kaget, beliau menjawab: “Naik di atas itu diketahui maknanya. Caranya tidak diketahui. Iman dengannya adalah wajib. Dan bertanya tentang itu adalah bid’ah!”

Ucapan Al-Imam Malik ini minimalnya mengandung empat hal:

1. Naik di atas itu diketahui maknanya: Demikian pula nama, sifat dan perbuatan Allah yang lain seperti, murka, cinta, melihat, dan sebagainya. Semuanya diketahui maknanya, dan semua itu dengan bahasa Arab yang bisa dimengerti.

2. Tapi caranya tidak diketahui: yakni kaifiyyah, cara dan seperti apa tidaklah diketahui, karena Allah Ta'ala tidak memberitahukan perincian tentang hal ini. Demikian pula sifat-sifat yang lain.

3. Iman dengannya adalah wajib: karena Allah memberitakannya dalam Al-Qur`an dan Nabi Shallallahu'alaihiwasalam mengabarkan dalam haditsnya yang shahih.

4. Dan bertanya tentang itu adalah bid’ah: yakni bertanya tentang tata caranya dan seperti apa sifat-sifat tersebut adalah bid’ah, tidak pernah dilakukan oleh generasi awal. Mereka beriman apa adanya, karena Allah Ta'ala tidak pernah memberitakan perincian tata caranya. Berbeda dengan ahli bid’ah yang melakukan takyif yakni mereka-reka kaifiyyah sifat tersebut, atau bertanya untuk mencari tahu dengan pertanyaan: Bagaimana?

Dengan penjelasan di atas, maka ucapan Hasan Al-Banna: …”Semua itu dengan makna yang tidak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya”, adalah ucapan yang menyelisihi kebenaran.

Dan ini tentu bukan manhaj salaf. Bahkan ini adalah manhaj Ahluttafwidh atau Al-Mufawwidhah, yang menganggap ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah itu bagaikan huruf muqaththa’ah, yakni huruf-huruf di awal surat seperti alif lam mim, yang tidak diketahui maknanya.

Madzhab ini sangat berbahaya, yang konsekuensinya adalah menganggap Nabi Shallallahu'alaihiwasalam dan para shahabatnya bodoh, karena mereka tidak mengetahui makna ayat-ayat itu. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa: “Al-Mufawwidhah termasuk sejahat-jahat ahli bid’ah.” (lihat Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql karya Ibnu Taimiyyah, 1/201-205, dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 71)

Bukti lain, ia hadir di salah satu sarang kesyirikan terbesar di Mesir yaitu kuburan Sayyidah Zainab, lalu memberikan wejangan di sana, tetapi sama sekali tidak menyinggung kesyirikan-kesyirikan di sekitar kuburan itu (lihat buku Qafilatul Ikhwan, 1/192).

Jika anda heran, maka akan lebih heran lagi ketika dia mengatakan: “Dan berdoa apabila diiringi dengan tawassul kepada Allah Ta'ala dengan perantara seseorang dari makhluk-Nya, adalah perbedaan pendapat yang sifatnya furu’ (cabang) dalam hal tata cara berdoa dan bukan termasuk perkara aqidah.” (Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270)

Pembaca, jika anda mengikuti kajian-kajian majalah kesayangan ini, pada dua edisi sebelumnya dalam Rubrik Aqidah akan anda dapati pembahasan tentang tawassul. Tawassul (menjadikan sesuatu sebagai perantara untuk menyampaikan doa kepada Allah) telah dibahas panjang lebar oleh ulama dan sangat erat kaitannya dengan aqidah. Di antara tawassul itu ada yang sampai kepada derajat syirik akbar, adapula yang bid’ah. Dari sisi ini, bisa pembaca bandingkan antara nilai aqidah menurut para ulama dan menurut Hasan Al-Banna.

Keempat: Menganggap Sepele Bid’ah dalam Agama

Sekilas telah anda ketahui tentang bahaya bid’ah yang Nabi Shallallahu'alaihiwiasalam katakan:

“Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan.” (HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002)

Oleh karenanya, Nabi Shallallahu'alaihiwasalam berpesan:

“Dan jauhi oleh kalian perkara-perkara baru (yakni dalam agama) karena semua bid’ah itu sesat, dan semua kesesatan di neraka.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Namun berbeda keadaannya dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, sebagaimana anda baca dalam sejarah ringkas Al-Banna. Berbagai macam bid’ah ia kumpulkan, kelompok-kelompok bid’ah ia rangkul, acara bid’ah ia datangi seperti maulud Nabi dan dzikir bersama dengan satu suara, bahkan sebagian bacaannya mengandung aqidah wihdatul wujud.

Tentu itu bukan secara kebetulan, terbukti dengan penegasannya: “Dan bid’ah idhafiyyah, tarkiyyah, dan iltizam pada ibadah-ibadah yang bersifat mutlak adalah perbedaan fiqih, yang masing-masing punya pendapat dalam masalah itu…” (Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270)

Ia hanya anggap bid’ah-bid’ah itu layaknya perbedaan fiqih biasa. Coba bandingkan dengan wasiat Nabi Shallallahu'alaihiwasalam di atas. Oleh karenanya, muncul kaidah mereka yang sangat populer: “Kita saling membantu pada perkara yang kita sepakati, dan saling mamaklumi pada apa yang kita perse-lisihkan.”

Pada prakteknya, mereka saling memaklumi dengan Syi’ah, Shufi yang ekstrim, bahkan Yahudi dan Nashrani, apalagi ahli bid’ah yang belum sederajat dengan mereka.

Sedikit penjelasan terhadap ucapan Al-Banna, bid’ah idhafiyyah adalah sebuah amalan yang pada asalnya disyariatkan, tapi dalam pelaksanaannya ditambah-tambah dengan sesuatu yang bid’ah. Termasuk di dalamnya yaitu sebuah ibadah yang mutlak, artinya tidak terkait dengan waktu, jumlah, tata cara, atau tempat tertentu. Tetapi dalam pelaksanaannya, seseorang mengaitkan dengan tata cara tertentu dan iltizam (terus-menerus) dengannya. Contoh dzikir dengan ucapan La ilaha Illallah, dalam sebuah hadits dianjurkan secara mutlak, tapi ada orang yang membatasi dengan jumlah tertentu (500 kali, misalnya) dan beriltizam dengannya.

Bid’ah tarkiyyah, adalah mening-galkan sesuatu yang Allah halalkan atau mubahkan dengan niat ber-taqarrub, mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah dengan itu. Contohnya adalah orang yang tidak mau menikah dengan tujuan semacam itu, seperti yang dilakukan pendeta Nashrani dan sebagian muslimin yang mencontoh mereka. (lihat Mukh-tashar Al-I’tsham, hal. 11 dan 72)

Kelima: Bai’at Bid’ah

Bai’at adalah sebuah ibadah. Layaknya ibadah yang lain, tidak bisa dibenarkan kecuali dengan dua syarat: ikhlas dan sesuai dengan ajaran Nabi Shallallahu'alaihiwasalam. Dalam sejarah Nabi dan para shahabatnya, bahkan para imam Ahlus Sunnah setelah mereka, mereka tidak pernah memberikan bai’at kepada selain khalifah, imam, atau penguasa muslim.

Maka, sebagaimana dikatakan Sa’id bin Jubair –seorang tabi’in–: “Sesuatu yang tidak diketahui oleh para Ahli Badr (shahabat yang ikut Perang Badr), maka hal itu bukan bagian dari agama.” (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal. 165). Al-Imam Malik mengatakan: “Sesuatu yang di masa shahabat bukan sebagai agama, maka hari ini juga bukan sebagai agama.” (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal. 165)

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya tentang bai’at, beliau menjawab: “Bai’at tidak diberikan kecuali kepada waliyyul amr (penguasa) kaum muslimin. Adapun bai’at-bai’at yang ada ini adalah bid’ah, dan merupakan akibat dari adanya ikhtilaf (perselisihan). Yang wajib dilakukan oleh kaum muslimin yang berada di satu negara atau satu kerajaan, hendaknya bai’at mereka hanya satu dan untuk satu pim-pinan…” (Fiqh As-Siyasah As-Syar’iy-yah hal. 281 dan lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 214). Lebih rinci tentang hukum bai’at, silakan anda buka-buka kembali Asy-Syariah edisi-edisi sebelumnya.

Sementara, Hasan Al-Banna sendiri berbai’at kepada syaikh tarekat shufi. Dan ketika mendirikan gerakan ini, ia dibai’at oleh enam tunas gerakan ini, bahkan Al-Banna menjadikan bai’at sebagai unsur penting manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Dia katakan: “Wahai saudara-saudara yang jujur, rukun bai’at kita ada sepuluh, hafalkanlah: 1. Paham, 2. Ikhlas, 3. Amal, 4. Jihad, 5. Pengorbanan, 6. Taat, 7. Kokoh, 8. Konsentrasi, 9. Persaudaraan, 10. Percaya.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 268)

Untuk mengkaji kritis secara tuntas point-point itu tentu butuh berlembar-lembar kertas. Namun cukup untuk mengetahui batilnya, bahwa rukun-rukun bai’at ini berdiri di atas asas bai’at yang salah. Sebagai tambahan, tahukah anda apa yang dimaksud ketaatan pada point keenam?

Silahkan anda simak penuturan Al-Banna: “…Dan pada periode kedua yaitu periode takwin (menyusun kekuatan), aturan dakwah dalam periode ini adalah keshufian yang murni dari sisi rohani dan militer murni dari sisi amal. Dan selalu, motto dua sisi ini adalah ‘komando’ dan ‘taat’ tanpa ragu, bimbang, bertanya, segan.” (Risalah Ta’lim, karya Al-Banna, hal. 274)

Yakni taat komando secara mutlak, bagaikan mayat di hadapan yang memandikan. Sedangkan Nabi Shallallahu'alaihiwasalam saja, dalam bai’at yang sah mensyaratkan ketaatan dengan dua syarat:
1. Pada perkara yang sesuai syariat.
2. Sebatas kemampuan.
(lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 217)

Tahukah pula anda, apa yang dimaksud dengan paham pada point pertama? Mari kita simak penuturan sang imam ini: “Hanyalah yang saya maukan dengan ‘paham’ ini, adalah engkau harus yakin bahwa pemikiran kami adalah Islami dan benar, dan agar engkau memahami Islam sebagaimana kami memahaminya dalam batas 20 prinsip yang kami ringkas seringkas-ringkasnya.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 356)

Pembaca, haruskah seseorang berbai’at untuk membenarkan pemikiran Al-Banna yang sedemikian rupa, seperti anda baca? Haruskah kita memahami Islam seperti dia pahami, hanya berkutat pada 20 prinsip yang ia buat, itu pun bila prinsip-prinsip itu benar?

Anehnya juga, ketika menyebutkan 38 kewajiban muslim berkaitan dengan bai’at tersebut, salah satunya adalah: “Jangan berlebih-lebihan minum kopi, teh dan minuman-minuman sejenis yang membuat susah tidur.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 277, dinukil dari Haqiqatud Da’wah, karya Al-Hushayyin, hal. 80), namun dia tidak menyinggung masalah pembenahan aqidah.

Pembaca yang saya muliakan, dari penjelasan di atas tentu anda merasakan, bagaimana sosok Hasan Al-Banna begitu mewarnai corak gerakan yang ia dirikan. Sekaligus anda dapat mengetahui betapa jauhnya gerakan ini dari Ash-Shirathul Mustaqim, jalan yang digariskan Nabi Shallallahu'alaihiwasalam dan kita diperintahkan menelusurinya serta berhati-hati dari selainnya.

Lebih-lebih, gerakan ini juga, tidak kurang-kurangnya memuji musuh-musuh Allah seperti, Al-Khomeini, dan tokoh-tokoh Syi’ah yang lain, Al-Marghini tokoh wihdatul wujud, memusuhi Muwahhidin, melakukan pembunuhan-pembunuhan kepada aparatur negara yang dianggap merugikan dengan cara yang tidak syar’i, berdemo, melakukan kudeta tanpa melalui prosedur syar’i, nasyid ala shufi dan sandiwara. Dan betapa pengikutnya berlebihan dalam menyanjung Al-Banna sampai menjulukinya Asy-Syahid (yang mati syahid), dan dengan yakin salah satu di antara mereka mengatakan: “Bahwa ia (yakni Hasan Al-Banna) hidup di sisi Rabbnya dan mendapat rizki di sana.” (lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 206, 165, 208, 226, 229, 117, 228)

Padahal, Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan sebuah bab dalam bukunya Shahih Al-Bukhari berjudul: “Tidak boleh dikatakan bahwa fulan adalah syahid”, lalu beliau sebutkan dalilnya. Beliau juga menyebutkan hadits dalam bab lain: “…Bahwa Ummul ‘Ala berkata: ‘Utsman bin Mazh’un dapat bagian di rumah kami (setelah diundi), maka ketika ia sakit kami merawatnya. Tatkala wafat, aku katakan: ‘Persaksianku atas dirimu wahai Abu Sa`ib (Utsman bin Mazh’un) bahwa Allah telah memuliakanmu’. Maka Nabi Shallallahu'alaihiwasalam mengatakan: ‘Darimana engkau tahu bahwa Allah telah memuliakannya?’ Saya katakan: ‘Ayah dan ibuku tebusanmu, wahai Rasulullah. Demi Allah, saya tidak tahu.’ Maka Nabi Shallallahu'alaihiwasalam mengatakan: ‘Sesungguhnya aku, demi Allah, dan aku ini adalah utusan Allah, aku tidak tahu apa yang akan Allah perlakukan kepadaku dan kepada kalian’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)

Wahai saudaraku, sadarlah dan ambillah pelajaran.

Kajian audionya di Koreksi Ilmiah Terhadap IM

"Sejarah Suram Ikhwanul Muslimin"
ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.
AsySyariah.com