Koreksi Ilmiah Terhadap Ikhwanul Muslimin | al-uyeah.blogspot.com |
Firqah Ikhwanul Muslimin memiliki prinsip yang terus didendangkan oleh para tokoh dan pengikut-pengikutnya yaitu prinsip: “Nata’awanu fii mattafaqna ‘alaihi wa ya’dzuru ba’dhuna ba’dhan fii mahtalafna fiihi (Kita saling tolong menolong dalam apa yang kita sepakati dan kita saling toleransi sebagian kita terhadap sebagian yang lain dalam apa yang kita berbeda).”
Prinsip ini Perlu Rincian
Prinsip ini terlihat enak didengar di telinga orang-orang awam. Namun ternyata prinsip ini mengandung efek yang sangat berbahaya yaitu matinya kaidah dasar Islam yang sangat besar yaitu amar ma’ruf nahi mungkar. Karena kalimat di atas sangat umum sifatnya, tidak dirincikan dalam perbedaan yang mana kita memaklumi dan perbedaan yang mana yang kita tidak boleh memakluminya.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah ketika ditanya tentang prinsip ini, berkata: “Ya, kita harus saling tolong menolong dalam apa yang kita sepakati seperti membela kebenaran, berdakwah kepadanya dan tahdzir memperingatkan kaum muslimin dari apa yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya.
Adapun toleransi sebagian terhadap sebagian yang lain dalam apa yang kita berbeda, maka ini tidak mutlak, bahkan di sini perlu rincian. Adapun masalah-masalah yang sifatnya ijtihadi yang tersamar dalil-dalilnya, maka tidak perlu kita mengingkari padanya sebagian kita terhadap sebagian yang lainnya. Adapun perkara yang menyelisihi kitab dan sunnah secara jelas, maka kita wajib mengingkarinya dengan hikmah, nasehat yang baik atau dengan bantahan-bantahan billati hiya ahsan. Yang demikian dalam rangka menerapkan ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Dan ayat Allah:
Dan ayat Allah:
Demikian pula hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan:
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Ayat-ayat dan hadits-hadits tentang masalah ini sangat banyak. (Majmu’ Fatawa, 3/58-59; lihat Zajrul Mutahaawin bi Dharar Qaidah al-Ma’dzirah wat Ta’awun, hal. 128)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, berkata tentang kaidah ini: “Kaidah ini perlu dirinci. Jika perkaranya merupakan perkara ijtihadi, maka sebagian kita perlu memaklumi sebagian yang lainnya dan tidak perlu hati-hati kita bertikai karena perbedaan ijtihad yang seperti ini.
Adapun jika perkaranya tidak ada tempat untuk ijtihad (yakni dalilnya sudah jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, -red.) maka kita tidak bisa memaklumi orang yang menyelisihinya dan wajib baginya tunduk pada kebenaran. Maka potongan pertama dari kaidah ini adalah benar, namun potongan berikutnya perlu rincian.” (Lihat Zajrul Mutahaawin bi Dharar Qaidah al-Ma’dzirah wat Ta’awun, hal. 129)
Syaikh Al-Albani rahimahullah, ketika mengkritik kaidah ini, berkata: “Mereka adalah orang-orang yang justru pertama kali menyelisihi fikrah ini. Kita tidak ragu bahwasanya potongan pertama dari padanya adalah kalimat yang benar yaitu ‘kita berta’awun atas apa yang kita sepakati’, karena kalimat pertama ini jelas diambil dari ucapan Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Adapun kalimat yang berikutnya: ‘memaklumi sebagian kita terhadap sebagian yang lainnya’, maka perlu ada rincian yaitu kapan? Ketika kita saling menasehati dan kita berkata kepada orang yang salah: “Engkau telah salah! Dalilnya demikian dan demikian.”
Jika kita melihat dia tidak bisa menerima pendalilan kita dan kita lihat dia seorang yang ikhlas, maka kita biarkan dia dengan pendapatnya dan kita tetap ta’awun dalam apa yang kita sepakati. Adapun jika kita melihat dia menentang dalil, sombong (menolak kebenaran, -pent.) dan berpaling maka ketika itu tidak benar kaidah tadi diterapkan. Dan kita tidak memberikan udzur (toleransi) sebagian kita terhadap sebagian yang lain pada apa yang kita berbeda dalam masalah ini.” (Lihat Zajrul Mutahaawin bi Dharar Qaidah al-Ma’dzirah wat Ta’awun, hal. 130)
Mengapa para ulama di atas memberikan syarat penerapan prinsip toleransi ini hanya pada masalah ijtihad? Karena para ulama ahlus sunnah berijtihad dengan ilmu: Al-Qur’an, sunnah dan ucapan-ucapan para salafush shalih, maka mereka tetap dalam keadaan mendapatkan pahala atas usahanya, lepas dari tepat atau tidak tepatnya ijtihad mereka.
Diriwayatkan dari ‘Amr bin Ash, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Maka yang dimaklumi adalah kesalahan yang muncul dari seorang yang berijtihad dengan ilmu dan cara yang syar’i. Adapun menolak kebenaran dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan akal dan hawa nafsu tidak dikatakan ijtihad dan tidak dapat dimaklumi.
Efek Jelek Prinsip ini
Apakah prinsip mereka ini mereka terapkan khusus dalam masalah-masalah ijtihadiyah atau mereka terapkan secara umum dalam perbedaan apa pun? Jawabannya cukup dengan kenyataan yang terjadi pada mereka.
Partai Ikhwanul Muslimin bisa berkoalisi dengan Partai Komunis di Mesir dan mereka juga bisa bertoleransi memaklumi kesesatan Syi’ah Rafidhah. Dan buku-buku yang ditulis oleh para tokoh Ikhwanul Muslimin tercampur di dalamnya berbagai macam aliran dan pemahaman, seperti Khawarij seperti buku-buku karya Sayyid Quthb, Sufi seperti kitab Tarbiyah Ruhiyyah karya Sa’id Hawa, Mu’tazilah seperti buku-buku Muhammad Ghazali dan lain-lain. Yang menunjukkan mereka saling memaklumi dan tidak membantah satu sama lain, bahkan tidak boleh saling menyalahkan. Karena yang demikian menurut mereka adalah “perpecahan”.
Padahal perpecahan menurut syari’at Islam adalah ketika kita masuk ke dalam berbagai macam aliran sesat tadi sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Sehingga tidak adanya pengingkaran sebagian mereka terhadap sebagian yang lain adalah mengekalkan perpecahan mereka.
Makna Kelenturan dan Keluasan dalam Ikhtilaf
Lagipula perbedaan (ikhtilaf) walaupun dalam masalah ijtihad bukan berarti kita bebas memilih atau apalagi menunjukkan lenturnya syari’at ini. Sebagaimana ucapan Imam Malik rahimahullaah bahwa perbedaan yang terjadi di kalangan para shahabat sekalipun tetap ada yang benar dan ada yang salah; ada yang rajih dan ada yang marjuh.
Imam Malik rahimahullah berkata: “Tidaklah perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para shahabat merupakan kelenturan, bahkan tetap ada yang benar atau salah.” (Dinukil dengan sanadnya oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/905-906; lihat Zajrul Mutahaawin bi Dharar Qaidah al-Ma’dzirah wat Ta’awun, hal. 65)
Kalaupun ada sebagian ulama yang menyebut tentang perbedaan para shahabat adalah tawassu’ah (keluasan), maka maknanya bukan bebas memilih mana yang cocok, tetapi tetap melihat mana yang rajih. Adapun dianggap keluasan karena banyaknya dalil-dalil dan ta’lil-ta’lil yang mereka sebutkan dalam ikhtilaf tersebut yang merupakan perbendaharaan ilmu kaum muslimin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Ketika seseorang menulis kitab (yang berisi perbedaan para ulama, -pent.), ia memberi judul kitabnya “Al-Ikhtilaf”, maka Imam Ahmad mengusulkan kepadanya untuk mengganti nama kitabnya dengan “As-Sa’ah” (keluasan); namun kebenaran tetap satu.” (Majmu’ Fatawa, 14/159)
Sebagian orang mengira bahwa makna ucapan ini adalah keluasan bagi manusia untuk memilih ucapan mana pun yang cocok dari ucapan-ucapan yang berbeda tersebut, padahal tidak demikian!
Berkata Isma’il Al-Qadhi: “Sesungguhnya keluasan dalam perbedaan pendapat para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah keluasan dalam berijtihad dan berpendapat. Adapun keluasan bagi manusia untuk memilih ucapan-ucapan tersebut tanpa melihat mana yang lebih dekat pada kebenaran, maka tidak benar! Namun ikhtilaf mereka menunjukkan bahwa mereka berijtihad kemudian terjadilah perbedaan.” (Zajrul Mutahaawin bi Dharar Qaidah al-Ma’dzirah wat Ta’awun, hal. 62)
Abu ‘Umar Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Ucapan Isma’il ini sangat bagus sekali.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/907)
Jika setiap orang bebas memilih di antara ikhtilaf para ulama sesuai dengan seleranya masing-masing, maka hilanglah hikmah diturunkannya syari’at yaitu agar kita tidak mengikuti hawa nafsu.
Imam Syathibi rahimahullah berkata: “Hikmah diturunkannya syari’at adalah agar seorang mukallaf terlepas dari tarikan-tarikan hawa nafsu, sedangkan membebaskan manusia untuk memilih di antara dua pendapat adalah bertentangan dengan prinsip tadi. Maka yang demikian tidak diperbolehkan.” (Al-Muwaafaqat, 4/121)
Beliau rahimahullah berkata juga: “Akibat akhir penerapan prinsip bebas memilih ini adalah bahwa seorang mukallaf kalau mau boleh mengerjakan, dan jika mau boleh meninggalkan. Ini sungguh merupakan pengguguran taklif (beban syari’at). Beda halnya jika kita berupaya mencari yang rajih dan mengikuti dalil yang lebih kuat, maka kita tidak mengikuti hawa nafsu dan tidak menggugurkan taklif (syari’at).
Wallahu a’lam.
(Dinukil dari Risalah Dakwah Manhaj Salaf, edisi 130/Th. III/28 Muharram 1428H/16 Februari 2007M, judul: Bahaya Prinsip Toleransi Ikhwanul Muslimin. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. Telp. (0231)222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan/Abu Urwah, HP 081564634143; Sirkulasi/pemasaran: Abu ‘Abdirrahman Arief Subekti, HP 081564690956)
Prinsip ini Perlu Rincian
Prinsip ini terlihat enak didengar di telinga orang-orang awam. Namun ternyata prinsip ini mengandung efek yang sangat berbahaya yaitu matinya kaidah dasar Islam yang sangat besar yaitu amar ma’ruf nahi mungkar. Karena kalimat di atas sangat umum sifatnya, tidak dirincikan dalam perbedaan yang mana kita memaklumi dan perbedaan yang mana yang kita tidak boleh memakluminya.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah ketika ditanya tentang prinsip ini, berkata: “Ya, kita harus saling tolong menolong dalam apa yang kita sepakati seperti membela kebenaran, berdakwah kepadanya dan tahdzir memperingatkan kaum muslimin dari apa yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya.
Adapun toleransi sebagian terhadap sebagian yang lain dalam apa yang kita berbeda, maka ini tidak mutlak, bahkan di sini perlu rincian. Adapun masalah-masalah yang sifatnya ijtihadi yang tersamar dalil-dalilnya, maka tidak perlu kita mengingkari padanya sebagian kita terhadap sebagian yang lainnya. Adapun perkara yang menyelisihi kitab dan sunnah secara jelas, maka kita wajib mengingkarinya dengan hikmah, nasehat yang baik atau dengan bantahan-bantahan billati hiya ahsan. Yang demikian dalam rangka menerapkan ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran….” (Al-Maa’idah: 2)Dan ayat Allah:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar….” (At-Taubah: 71)Dan ayat Allah:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik….” (An-Nahl: 125)Demikian pula hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَالْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ لإِيْمَانِ
“Barangsiapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia merubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka rubahlah dengan lisannya dan jika dia tidak mampu maka rubahlah dengan hatinya. Dan yang demikian selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala seperti pelakunya.” (HR. Muslim)Ayat-ayat dan hadits-hadits tentang masalah ini sangat banyak. (Majmu’ Fatawa, 3/58-59; lihat Zajrul Mutahaawin bi Dharar Qaidah al-Ma’dzirah wat Ta’awun, hal. 128)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, berkata tentang kaidah ini: “Kaidah ini perlu dirinci. Jika perkaranya merupakan perkara ijtihadi, maka sebagian kita perlu memaklumi sebagian yang lainnya dan tidak perlu hati-hati kita bertikai karena perbedaan ijtihad yang seperti ini.
Adapun jika perkaranya tidak ada tempat untuk ijtihad (yakni dalilnya sudah jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, -red.) maka kita tidak bisa memaklumi orang yang menyelisihinya dan wajib baginya tunduk pada kebenaran. Maka potongan pertama dari kaidah ini adalah benar, namun potongan berikutnya perlu rincian.” (Lihat Zajrul Mutahaawin bi Dharar Qaidah al-Ma’dzirah wat Ta’awun, hal. 129)
Syaikh Al-Albani rahimahullah, ketika mengkritik kaidah ini, berkata: “Mereka adalah orang-orang yang justru pertama kali menyelisihi fikrah ini. Kita tidak ragu bahwasanya potongan pertama dari padanya adalah kalimat yang benar yaitu ‘kita berta’awun atas apa yang kita sepakati’, karena kalimat pertama ini jelas diambil dari ucapan Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa.”Adapun kalimat yang berikutnya: ‘memaklumi sebagian kita terhadap sebagian yang lainnya’, maka perlu ada rincian yaitu kapan? Ketika kita saling menasehati dan kita berkata kepada orang yang salah: “Engkau telah salah! Dalilnya demikian dan demikian.”
Jika kita melihat dia tidak bisa menerima pendalilan kita dan kita lihat dia seorang yang ikhlas, maka kita biarkan dia dengan pendapatnya dan kita tetap ta’awun dalam apa yang kita sepakati. Adapun jika kita melihat dia menentang dalil, sombong (menolak kebenaran, -pent.) dan berpaling maka ketika itu tidak benar kaidah tadi diterapkan. Dan kita tidak memberikan udzur (toleransi) sebagian kita terhadap sebagian yang lain pada apa yang kita berbeda dalam masalah ini.” (Lihat Zajrul Mutahaawin bi Dharar Qaidah al-Ma’dzirah wat Ta’awun, hal. 130)
Mengapa para ulama di atas memberikan syarat penerapan prinsip toleransi ini hanya pada masalah ijtihad? Karena para ulama ahlus sunnah berijtihad dengan ilmu: Al-Qur’an, sunnah dan ucapan-ucapan para salafush shalih, maka mereka tetap dalam keadaan mendapatkan pahala atas usahanya, lepas dari tepat atau tidak tepatnya ijtihad mereka.
Diriwayatkan dari ‘Amr bin Ash, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَ إِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
“Jika seorang hakim berijtihad dalam menghukumi sesuatu kemudian tepat, maka baginya dua pahala. Dan jika seorang hakim berijtihad dalam menghukumi sesuatu kemudian salah, maka dia mendapatkan satu pahala.” (HR. Bukhari Muslim)Maka yang dimaklumi adalah kesalahan yang muncul dari seorang yang berijtihad dengan ilmu dan cara yang syar’i. Adapun menolak kebenaran dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan akal dan hawa nafsu tidak dikatakan ijtihad dan tidak dapat dimaklumi.
Efek Jelek Prinsip ini
Apakah prinsip mereka ini mereka terapkan khusus dalam masalah-masalah ijtihadiyah atau mereka terapkan secara umum dalam perbedaan apa pun? Jawabannya cukup dengan kenyataan yang terjadi pada mereka.
Partai Ikhwanul Muslimin bisa berkoalisi dengan Partai Komunis di Mesir dan mereka juga bisa bertoleransi memaklumi kesesatan Syi’ah Rafidhah. Dan buku-buku yang ditulis oleh para tokoh Ikhwanul Muslimin tercampur di dalamnya berbagai macam aliran dan pemahaman, seperti Khawarij seperti buku-buku karya Sayyid Quthb, Sufi seperti kitab Tarbiyah Ruhiyyah karya Sa’id Hawa, Mu’tazilah seperti buku-buku Muhammad Ghazali dan lain-lain. Yang menunjukkan mereka saling memaklumi dan tidak membantah satu sama lain, bahkan tidak boleh saling menyalahkan. Karena yang demikian menurut mereka adalah “perpecahan”.
Padahal perpecahan menurut syari’at Islam adalah ketika kita masuk ke dalam berbagai macam aliran sesat tadi sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (Al-An’aam: 153)Sehingga tidak adanya pengingkaran sebagian mereka terhadap sebagian yang lain adalah mengekalkan perpecahan mereka.
Makna Kelenturan dan Keluasan dalam Ikhtilaf
Lagipula perbedaan (ikhtilaf) walaupun dalam masalah ijtihad bukan berarti kita bebas memilih atau apalagi menunjukkan lenturnya syari’at ini. Sebagaimana ucapan Imam Malik rahimahullaah bahwa perbedaan yang terjadi di kalangan para shahabat sekalipun tetap ada yang benar dan ada yang salah; ada yang rajih dan ada yang marjuh.
Imam Malik rahimahullah berkata: “Tidaklah perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para shahabat merupakan kelenturan, bahkan tetap ada yang benar atau salah.” (Dinukil dengan sanadnya oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/905-906; lihat Zajrul Mutahaawin bi Dharar Qaidah al-Ma’dzirah wat Ta’awun, hal. 65)
Kalaupun ada sebagian ulama yang menyebut tentang perbedaan para shahabat adalah tawassu’ah (keluasan), maka maknanya bukan bebas memilih mana yang cocok, tetapi tetap melihat mana yang rajih. Adapun dianggap keluasan karena banyaknya dalil-dalil dan ta’lil-ta’lil yang mereka sebutkan dalam ikhtilaf tersebut yang merupakan perbendaharaan ilmu kaum muslimin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Ketika seseorang menulis kitab (yang berisi perbedaan para ulama, -pent.), ia memberi judul kitabnya “Al-Ikhtilaf”, maka Imam Ahmad mengusulkan kepadanya untuk mengganti nama kitabnya dengan “As-Sa’ah” (keluasan); namun kebenaran tetap satu.” (Majmu’ Fatawa, 14/159)
Sebagian orang mengira bahwa makna ucapan ini adalah keluasan bagi manusia untuk memilih ucapan mana pun yang cocok dari ucapan-ucapan yang berbeda tersebut, padahal tidak demikian!
Berkata Isma’il Al-Qadhi: “Sesungguhnya keluasan dalam perbedaan pendapat para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah keluasan dalam berijtihad dan berpendapat. Adapun keluasan bagi manusia untuk memilih ucapan-ucapan tersebut tanpa melihat mana yang lebih dekat pada kebenaran, maka tidak benar! Namun ikhtilaf mereka menunjukkan bahwa mereka berijtihad kemudian terjadilah perbedaan.” (Zajrul Mutahaawin bi Dharar Qaidah al-Ma’dzirah wat Ta’awun, hal. 62)
Abu ‘Umar Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Ucapan Isma’il ini sangat bagus sekali.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/907)
Jika setiap orang bebas memilih di antara ikhtilaf para ulama sesuai dengan seleranya masing-masing, maka hilanglah hikmah diturunkannya syari’at yaitu agar kita tidak mengikuti hawa nafsu.
Imam Syathibi rahimahullah berkata: “Hikmah diturunkannya syari’at adalah agar seorang mukallaf terlepas dari tarikan-tarikan hawa nafsu, sedangkan membebaskan manusia untuk memilih di antara dua pendapat adalah bertentangan dengan prinsip tadi. Maka yang demikian tidak diperbolehkan.” (Al-Muwaafaqat, 4/121)
Beliau rahimahullah berkata juga: “Akibat akhir penerapan prinsip bebas memilih ini adalah bahwa seorang mukallaf kalau mau boleh mengerjakan, dan jika mau boleh meninggalkan. Ini sungguh merupakan pengguguran taklif (beban syari’at). Beda halnya jika kita berupaya mencari yang rajih dan mengikuti dalil yang lebih kuat, maka kita tidak mengikuti hawa nafsu dan tidak menggugurkan taklif (syari’at).
Wallahu a’lam.
(Dinukil dari Risalah Dakwah Manhaj Salaf, edisi 130/Th. III/28 Muharram 1428H/16 Februari 2007M, judul: Bahaya Prinsip Toleransi Ikhwanul Muslimin. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. Telp. (0231)222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan/Abu Urwah, HP 081564634143; Sirkulasi/pemasaran: Abu ‘Abdirrahman Arief Subekti, HP 081564690956)
Kajian audionya di Koreksi Ilmiah Terhadap IM
"Bahaya Prinsip Toleransi Ikhwanul Muslimin"
Oleh: Al-Ustadz Muhammad ‘Umar As-Sewed hafizhahullah
0 Komentar
Silakan tuliskan komentar, saran dan nasihat antum. Namun tidak semua akan tampilkan.