Tinggal Di Negeri Kafir | al-uyeah.blogspot.com |
Ada dua syarat pokok untuk tinggal di negeri kafir:
1. Orang yang tinggal merasa aman (tenang) di atas agamanya.
Dia memiliki ilmu dan iman serta kekuatan yang menenangkan dirinya untuk tetap kokoh di atas agamanya. Juga untuk berhati-hati dari berbagai penyimpangan. Dia juga bisa menanamkan permusuhan dan kebenciannya dalam qalbunya terhadap orang-orang kafir, serta menjauhkan diri dari loyalitas dan kecintaan terhadap mereka.
2. Merasa tenang dalam menampakkan syiar-syiar Islam tanpa ada penghalang.
Dia tidak dihalangi dari melakukan shalat lima waktu, shalat Jumat, zakat, puasa, haji, dan yang lainnya.
Macam-macam bentuk tinggal di negeri kafir
1. Tinggal di negeri kafir dalam rangka mendakwahkan Islam dan memberikan dorongan untuk (melaksanakan) syariat Islam.
Ini termasuk bagian dari jihad, hukumnya fardhu kifayah bagi orang yang mampu melakukannya, dengan syarat perwujudan dakwah tersebut nyata dan tidak ada yang menghalangi dari dakwah atau menghalangi penerimaan dakwah tersebut.
Karena sesungguhnya mendakwahkan Islam termasuk salah satu kewajiban agama. Itu adalah jalan para rasul. Nabi Shallallahu'alaihiwasalam memerintahkan untuk menyampaikan Islam ini pada setiap waktu dan tempat. Beliau Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
2. Tinggal untuk mempelajari keadaan orang-orang kafir dan mengetahui kehidupan mereka seperti rusaknya akidah, batilnya peribadatan, hilangnya akhlak, dan jeleknya perangai mereka, dalam rangka mengingatkan manusia agar tidak tertipu dengan mereka.
Juga untuk menjelaskan keadaan mereka yang sebenarnya kepada orang-orang yang mengagumi mereka.
Ini juga termasuk jihad, karena di dalamnya terkandung peringatan dari kekufuran dan para pemeluknya, yang juga meliputi dorongan untuk (melaksanakan syariat) Islam. Namun dengan syarat, tujuan yang hendak dicapai tersebut bisa terwujud tanpa mengakibatkan kerusakan yang lebih besar.
Apabila tujuan tersebut tidak bisa terwujud karena ada yang menghalanginya, maka tidak ada faedahnya dia tinggal di negeri kafir itu. Bahkan dia wajib menahan diri (untuk tidak tinggal di negeri itu) bila tujuan tercapai namun mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. Seperti, mereka membalas perbuatan tersebut dengan mencela Islam, utusan (duta) Islam, dan pemimpin Islam.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Al-An’am: 108)
Yang semisal dengan ini yaitu tinggal di negeri kafir untuk melihat keadaan kaum muslimin di negeri itu, supaya diketahui tipu daya mereka terhadap kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin berhati-hati dari mereka.
3. Tinggal di negeri kafir dalam rangka memenuhi kebutuhan pemerintah (negeri) muslim, serta pengaturan hubungan antara pemerintah muslim dengan pemerintah kafir, seperti kedutaan.
Hukumnya disesuaikan dengan alasan tinggal di negeri itu.
4. Tinggal di negeri kafir dalam rangka kebutuhan khusus yang mubah, seperti berbisnis dan berobat.
Yang seperti ini diperbolehkan tinggal di negeri itu sesuai dengan kebutuhan.
5. Tinggal di negeri kafir dalam rangka belajar.
Ini termasuk jenis tinggal (di negeri kafir) karena adanya kebutuhan. Namun ini lebih membahayakan agama dan akhlak pelajar tersebut.
Oleh karena itu, wajib untuk lebih berhati-hati dalam bentuk tinggal yang seperti ini daripada bentuk tinggal yang sebelumnya. Disyaratkan juga (selain dua syarat pokok di atas) beberapa hal berikut:
a. Pelajar tersebut memiliki kematangan akal yang dengannya dia bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang memudaratkan, serta berwawasan jauh ke depan.
b. Memiliki ilmu syariat, yang dengannya dia bisa membedakan antara yang haq (benar) dengan yang batil (salah), serta mampu mengalahkan kebatilan dengan kebenaran.
c. Memiliki agama yang menjaga (melindungi)nya dari kekufuran dan kefasikan.
d. Butuhnya terhadap ilmu itu, yaitu memberikan maslahat kepada kaum muslimin, dan tidak didapatkan ilmu yang semisalnya di institusi pendidikan di negerinya.
6. Tinggal dalam rangka menetap (menjadi penduduk)
Ini lebih berbahaya dari jenis sebelumnya karena kerusakan-kerusakan yang akan timbul dengan bercampur-baur bersama orang-orang kafir. Juga perasaan dia sebagai warga negara yang diwajibkan dengan tuntutan-tuntutan negara berupa kecintaan, loyalitas, dan memperbanyak jumlah orang kafir.
Dia juga mendidik keluarganya di tengah-tengah penduduk yang kafir. Sehingga keluarganya akan menyerap (meniru) akhlak dan kebiasaan orang kafir. Terkadang juga mengikuti mereka dalam permasalahan akidah dan peribadatan.
Oleh karena itu, datang (sebuah berita) dalam hadits Nabi Shallallahu'alaihiwasalam:
Hadits ini walaupun sanadnya dhaif, tetapi memiliki sisi untuk diperhitungkan. Karena tinggal bersama (seseorang) itu menuntut untuk menyerupainya.
Diriwayatkan dari Qais bin Hazim, dari Jarir bin Abdullah radiyallahu'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
At-Tirmidzi berkata: “Saya mendengar Muhammad –yakni Al-Bukhari– berkata: ‘Yang benar, hadits Qais dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam adalah mursal’.”
Bagaimana jiwa seorang mukmin akan merasa senang (bahagia) tinggal di negeri-negeri kafir yang ditampakkan kepadanya syiar-syiar kekufuran. Hukum yang berlaku di dalamnya adalah hukum selain Allah Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu'alaihiwasalam, dalam keadaan ia menyaksikan hal itu dengan mata kepalanya, mendengar dengan kedua telinganya serta ridha dengannya.
Bahkan ia menisbatkan diri kepada negeri tersebut. Dia tinggal di negeri tersebut bersama keluarga dan anak-anaknya. Dia merasa tenang dengan negeri tersebut sebagaimana ia merasa tenang dengan negeri-negeri muslimin.
Padahal di tempat itu terdapat bahaya besar yang mengintai dirinya, keluarga dan anak-anaknya, dalam hal agama serta akhlak mereka. (Diambil dari Syarh Tsalatsatil Ushul hal. 131-138, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, dengan beberapa perubahan). Wallahu a’lam.
dikutip dari "Penyimpangan-Penyimpangan dalam Safar"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar
AsySyariah.com
1. Orang yang tinggal merasa aman (tenang) di atas agamanya.
Dia memiliki ilmu dan iman serta kekuatan yang menenangkan dirinya untuk tetap kokoh di atas agamanya. Juga untuk berhati-hati dari berbagai penyimpangan. Dia juga bisa menanamkan permusuhan dan kebenciannya dalam qalbunya terhadap orang-orang kafir, serta menjauhkan diri dari loyalitas dan kecintaan terhadap mereka.
2. Merasa tenang dalam menampakkan syiar-syiar Islam tanpa ada penghalang.
Dia tidak dihalangi dari melakukan shalat lima waktu, shalat Jumat, zakat, puasa, haji, dan yang lainnya.
Macam-macam bentuk tinggal di negeri kafir
1. Tinggal di negeri kafir dalam rangka mendakwahkan Islam dan memberikan dorongan untuk (melaksanakan) syariat Islam.
Ini termasuk bagian dari jihad, hukumnya fardhu kifayah bagi orang yang mampu melakukannya, dengan syarat perwujudan dakwah tersebut nyata dan tidak ada yang menghalangi dari dakwah atau menghalangi penerimaan dakwah tersebut.
Karena sesungguhnya mendakwahkan Islam termasuk salah satu kewajiban agama. Itu adalah jalan para rasul. Nabi Shallallahu'alaihiwasalam memerintahkan untuk menyampaikan Islam ini pada setiap waktu dan tempat. Beliau Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” (HR. Al-Bukhari)2. Tinggal untuk mempelajari keadaan orang-orang kafir dan mengetahui kehidupan mereka seperti rusaknya akidah, batilnya peribadatan, hilangnya akhlak, dan jeleknya perangai mereka, dalam rangka mengingatkan manusia agar tidak tertipu dengan mereka.
Juga untuk menjelaskan keadaan mereka yang sebenarnya kepada orang-orang yang mengagumi mereka.
Ini juga termasuk jihad, karena di dalamnya terkandung peringatan dari kekufuran dan para pemeluknya, yang juga meliputi dorongan untuk (melaksanakan syariat) Islam. Namun dengan syarat, tujuan yang hendak dicapai tersebut bisa terwujud tanpa mengakibatkan kerusakan yang lebih besar.
Apabila tujuan tersebut tidak bisa terwujud karena ada yang menghalanginya, maka tidak ada faedahnya dia tinggal di negeri kafir itu. Bahkan dia wajib menahan diri (untuk tidak tinggal di negeri itu) bila tujuan tercapai namun mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. Seperti, mereka membalas perbuatan tersebut dengan mencela Islam, utusan (duta) Islam, dan pemimpin Islam.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Al-An’am: 108)
Yang semisal dengan ini yaitu tinggal di negeri kafir untuk melihat keadaan kaum muslimin di negeri itu, supaya diketahui tipu daya mereka terhadap kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin berhati-hati dari mereka.
3. Tinggal di negeri kafir dalam rangka memenuhi kebutuhan pemerintah (negeri) muslim, serta pengaturan hubungan antara pemerintah muslim dengan pemerintah kafir, seperti kedutaan.
Hukumnya disesuaikan dengan alasan tinggal di negeri itu.
4. Tinggal di negeri kafir dalam rangka kebutuhan khusus yang mubah, seperti berbisnis dan berobat.
Yang seperti ini diperbolehkan tinggal di negeri itu sesuai dengan kebutuhan.
5. Tinggal di negeri kafir dalam rangka belajar.
Ini termasuk jenis tinggal (di negeri kafir) karena adanya kebutuhan. Namun ini lebih membahayakan agama dan akhlak pelajar tersebut.
Oleh karena itu, wajib untuk lebih berhati-hati dalam bentuk tinggal yang seperti ini daripada bentuk tinggal yang sebelumnya. Disyaratkan juga (selain dua syarat pokok di atas) beberapa hal berikut:
a. Pelajar tersebut memiliki kematangan akal yang dengannya dia bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang memudaratkan, serta berwawasan jauh ke depan.
b. Memiliki ilmu syariat, yang dengannya dia bisa membedakan antara yang haq (benar) dengan yang batil (salah), serta mampu mengalahkan kebatilan dengan kebenaran.
c. Memiliki agama yang menjaga (melindungi)nya dari kekufuran dan kefasikan.
d. Butuhnya terhadap ilmu itu, yaitu memberikan maslahat kepada kaum muslimin, dan tidak didapatkan ilmu yang semisalnya di institusi pendidikan di negerinya.
6. Tinggal dalam rangka menetap (menjadi penduduk)
Ini lebih berbahaya dari jenis sebelumnya karena kerusakan-kerusakan yang akan timbul dengan bercampur-baur bersama orang-orang kafir. Juga perasaan dia sebagai warga negara yang diwajibkan dengan tuntutan-tuntutan negara berupa kecintaan, loyalitas, dan memperbanyak jumlah orang kafir.
Dia juga mendidik keluarganya di tengah-tengah penduduk yang kafir. Sehingga keluarganya akan menyerap (meniru) akhlak dan kebiasaan orang kafir. Terkadang juga mengikuti mereka dalam permasalahan akidah dan peribadatan.
Oleh karena itu, datang (sebuah berita) dalam hadits Nabi Shallallahu'alaihiwasalam:
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ فَهُوَ مِثْلُهُ
“Barangsiapa bergaul dengan orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka dia semisal dengannya.”Hadits ini walaupun sanadnya dhaif, tetapi memiliki sisi untuk diperhitungkan. Karena tinggal bersama (seseorang) itu menuntut untuk menyerupainya.
Diriwayatkan dari Qais bin Hazim, dari Jarir bin Abdullah radiyallahu'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَلِمَ؟ قَالَ: لَا تُرَاءَى نَارَهُمَا
“Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrikin.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah (yang dimaksud tinggal di tengah-tengah mereka itu)?” Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam menjawab: “Janganlah saling terlihat api (yang ada di rumah) keduanya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dan kebanyakan perawinya meriwayatkan secara mursal dari Qais bin Hazim, dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam)At-Tirmidzi berkata: “Saya mendengar Muhammad –yakni Al-Bukhari– berkata: ‘Yang benar, hadits Qais dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam adalah mursal’.”
Bagaimana jiwa seorang mukmin akan merasa senang (bahagia) tinggal di negeri-negeri kafir yang ditampakkan kepadanya syiar-syiar kekufuran. Hukum yang berlaku di dalamnya adalah hukum selain Allah Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu'alaihiwasalam, dalam keadaan ia menyaksikan hal itu dengan mata kepalanya, mendengar dengan kedua telinganya serta ridha dengannya.
Bahkan ia menisbatkan diri kepada negeri tersebut. Dia tinggal di negeri tersebut bersama keluarga dan anak-anaknya. Dia merasa tenang dengan negeri tersebut sebagaimana ia merasa tenang dengan negeri-negeri muslimin.
Padahal di tempat itu terdapat bahaya besar yang mengintai dirinya, keluarga dan anak-anaknya, dalam hal agama serta akhlak mereka. (Diambil dari Syarh Tsalatsatil Ushul hal. 131-138, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, dengan beberapa perubahan). Wallahu a’lam.
dikutip dari "Penyimpangan-Penyimpangan dalam Safar"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar
AsySyariah.com
0 Komentar
Silakan tuliskan komentar, saran dan nasihat antum. Namun tidak semua akan tampilkan.