Shalat Sunnah Rawatib | al-uyeah.blogspot.com |
1. Sunnah Muthlaqah (sunnah mutlak)
Yaitu shalat sunnah yang dilakukan tanpa terkait dengan waktu, shalat wajib maupun sebab tertentu. Shalat ini dilakukan 2 rakaat tanpa ada batas maksimal jumlah rakaatnya. Shalat ini dapat dilakukan di siang maupun malam hari.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya): “Shalat malam dan siang hari itu (dilakukan) 2 rakaat 2 rakaat.” [H.R Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Dishahihkan asy-Syaikh al-Albani].
Hanya saja shalat sunnah muthlaqah ini tidak boleh dilakukan di 3 waktu:
a. Setelah menunaikan shalat Subuh sampai matahari terlihat naik setinggi 1 atau 2 tombak (kira-kira 1 atau 2 meter) dari permukaan tanah. Matahari mulai berposisi demikian kira-kira 15 menit setelah terbitnya.
b. Ketika matahari tepat berada di tengah langit, sejenak sebelum masuk waktu Zhuhur. Posisi matahari yang demikian ini dapat diketahui dari tidak adanya bayangan dari sebuah benda yang berdiri tegak, bayangan lurus benda tersebut ke arah utara atau lurus ke arah selatan.
c. Setelah matahari berwarna kekuningan sampai terbenamnya.
2. Sunnah Muqayyadah (sunnah yang terkait)
Yaitu shalat sunnah yang terkait dengan waktu tertentu seperti shalat Dhuha (setelah matahari terlihat naik lebih dari 2 tombak sampai sebelum posisi matahari tepat di tengah langit) atau shalat witir (setelah menunaikan shalat ‘Isya’ sampai sebelum masuk waktu Subuh).
Termasuk dari jenis sunnah muqayyadah ini adalah shalat sunnah yang terkait dengan sebab tertentu seperti shalat tahiyyatul masjid saat masuk masjid –menurut pendapat yang mengatakan sunnah-, shalat 2 rakaat setelah wudhu, shalat gerhana –menurut yang berpendapat sunnah-, dan shalat sunnah rawatib.
Faedah Menunaikan Shalat Sunnah
Shalat sunnah dan ibadah sunnah lainnya memiliki faedah besar yaitu menutupi kekurangan yang ada pada shalat atau ibadah wajib.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya):
“Sesungguhnya (amalan) yang pertama kali dihitung dari seorang muslim pada hari kiamat adalah shalat wajib. Apabila nilai shalat wajibnya sempurna maka sempurna pula balasannya. Namun apabila tidak sempurna maka dikatakan: Lihatlah! Apakah orang ini memiliki perhitungan shalat sunnah? Apabila ia memiliki perhitungan shalat sunnah maka kekurangan pada shalat wajibnya akan disempurnakan oleh shalat sunnahnya. Selanjutnya berlaku demikian pada seluruh amalan wajib lainnya.” [H.R Ibnu Majah. Lihat Abu Dawud, an Nasa’i, dan at-Tirmidzi. Hadits ini dishahihkan asy-Syaikh al-Albani].
Dengan demikian tidak sepantasnya kita meremehkan ibadah-ibadah sunnah setelah dapat menunaikan ibadah-ibadah wajib. Terlebih, sangat besar kemungkinan –kalau tidak dikatakan mesti- ibadah wajib kita masih jauh dari nilai sempurna baik secara lahir maupun batin.
Keutamaan Shalat Sunnah Rawatib
Keutamaan shalat sunnah rawatib bisa diperoleh dengan menunaikan seluruh shalat tersebut atau sebagiannya.
Terkait dengan seluruh shalat sunnah rawatib, disebutkan dalam hadits Ummu Habibah Ramlah bintu Abi Sufyan radhiyallahu ‘anha, berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya):
“Tidaklah seorang muslim yang mengerjakan shalat sunnah bukan wajib di setiap hari sebanyak 12 rakaat semata-mata karena Allah melainkan akan dibuatkan baginya sebuah rumah di surga (Al Jannah).” [H.R Muslim]
Disebutkan dalam hadits lain bahwa 12 rakaat tersebut adalah 4 rakaat sebelum Zhuhur dan 2 rakaat setelahnya, 2 rakaat setelah Maghrib, 2 rakaat setelah ‘Isya’ dan 2 rakaat sebelum Subuh. [Lihat an-Nasa’i, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah yang dishahihkan asy-Syaikh al-Albani].
Adapun terkait sebagian shalat sunnah rawatib, disebutkan dalam hadits Ummu Habibah juga, berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah bersabda (artinya):
“Barangsiapa menjaga 4 rakaat sebelum Zhuhur dan 4 rakaat setelahnya maka ia akan dijauhkan dari neraka (An-Naar).” [H.R Abu Dawud dan dishahihkan asy-Syaikh al-Albani].
Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, bersabda (artinya):
“2 rakaat (sebelum) Subuh itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” [H.R Muslim].
Atas dasar riwayat-riwayat yang telah disebutkan, maka jumlah rakaat shalat sunnah rawatib maksimalnya sebanyak 14 rakaat. Wallahu a’lam.
Namun bila seseorang memang tidak mampu untuk menunaikan shalat sunnah rawatib sebanyak 14 rakaat di setiap harinya, maka ia hendaknya menunaikan sebatas kemampuannya. Terutama 2 rakaat sebelum Subuh, maka jangan sampai ia tinggalkan. Beberapa hadits yang shahih menunjukkan bahwa 2 rakaat sebelum shalat Subuh adalah shalat sunnah rawatib yang paling ditekankan dibandingkan shalat-shalat sunnah rawatib yang lainnya.
Hukum-hukum Tentang Shalat Sunnah Rawatib
Beberapa hukum tentang shalat sunnah rawatib yang perlu kita ketahui adalah :
1. Shalat sunnah rawatib lebih utama (afdhal) untuk dikerjakan di rumah bukan di masjid.
Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu (artinya): “….maka hendaklah kalian menunaikan shalat di rumah-rumah kalian. Sesungguhnya sebaik-baik shalat seseorang adalah shalat di rumahnya, kecuali shalat wajib.” [H.R al-Bukhari dan Muslim].
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata: “(Keutamaan) yang demikian itu disebabkan kemanfaatan-kemanfaatan yang ditimbulkan darinya seperti: jauh dari riya’ dan merasa kagum terhadap shalatnya, menyembunyikan amalan dari pandangan manusia, dapat menyebabkan kesempurnaan khusyu’ dan ikhlas. Diantaranya pula untuk memakmurkan rumah dengan zikrullah dan shalat, sehingga turun rahmat Allah terhadap penghuni rumah tersebut sekaligus syaithan menjauh dari rumah tersebut …” [al-Mulakhash al-Fiqhi].
2. Apabila telah usai menunaikan shalat wajib maka jangan langsung menunaikan shalat sunnah rawatib tanpa disela dengan zikir setelah shalat wajib, pembicaraan tertentu atau beranjak ke tempat lain.
Disebutkan oleh seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam pernah menunaikan shalat ‘Ashr. Lalu seseorang berdiri untuk (langsung) menunaikan shalat. Ternyata Umar melihat orang tersebut dan berkata: “Duduklah! Sesungguhnya celakanya Ahlul Kitab itu karena tidak adanya sela di antara shalat mereka.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda (artinya): “Ibnul Khaththab telah berbuat baik.” [ash-Shahihah 2549).
3. Apabila seseorang sedang menunaikan shalat sunnah rawatib kemudian mendengar suara iqamah maka hendaknya dia putuskan shalat sunnahnya tersebut.
Hal ini berlandaskan hadits Abu Hurairah secara marfu’ (artinya): “Bila telah dikumandangkan iqamah maka tidak ada shalat kecuali shalat yang dikumandangkan iqamah untuknya.” [Al Irwa’ dan dishahihkan asy-Syaikh al-Albani].
4. Bila seseorang dalam keadaan sebagai musafir maka dirinya dituntunkan untuk tidak melakukan shalat sunnah rawatib.
Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan al-Imam Muslim rahimahullah. Dikecualikan dari shalat sunnah rawatib tersebut adalah 2 rakaat sebelum shalat Subuh. Seorang musafir tetap ditekankan untuk menunaikan 2 rakaat sebelum Subuh.
Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan al-Imam al-Bukhari rahimahullah. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Diantara bimbingan beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam ketika safar yaitu mencukupkan dengan menunaikan shalat wajib saja. Tidak teriwayatkan bahwa beliau menunaikan shalat sunnah baik sebelum maupun sesudah shalat wajib. Dikecualikan dari hal ini adalah shalat witir dan shalat sunnah sebelum Subuh.” [Zaadul Ma’ad yang dinukil dari al-Mulakhash al-Fiqhi].
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Tidak teriwayatkan sebuah dalil tentang ditinggalkannya shalat sunnah sepanjang yang kami ketahui kecuali shalat sunnah rawatib Zhuhur, Maghrib, dan ‘Isya’.” [Shifatul Hajj hal.13]
Wallahu a’lamu bish-Shawaab
assunnahmadiun.wordpress.com
0 Komentar
Silakan tuliskan komentar, saran dan nasihat antum. Namun tidak semua akan tampilkan.