Waktu Shalat Dhuha | al-uyeah.blogspot.com |
Zaid bin Arqam radiyallahu'anhum melihat orang-orang sedang shalat dhuha, maka ia berkata: Ketahuilah, orang-orang itu sungguh mengetahui bahwa shalat (dhuha) di selain waktu ini lebih utama. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
صَلاَةُ الْأَوَّابِيْنَ حِيْنَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
“Shalatnya awwabin adalah tatkala anak unta merasakan kakinya kepanasan karena terbakar panasnya pasir.” (HR. Muslim no. 1743)
Waktu yang demikian itu, kata Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah adalah ketika matahari telah tinggi dan panasnya terasa. (Subulus Salam, 3/50)
Al-Imam An Nawawi rahimahullah berkata, “Ar-Ramdha’ adalah pasir yang panasnya bertambah sangat karena terbakar matahari. Shalat awwabin adalah saat kaki-kaki anak unta yang masih kecil terbakar karena menapak/menginjak pasir yang sangat panas.
Awwab adalah orang yang taat. Ada yang mengatakan awwab adalah orang yang kembali dengan melakukan ketaatan.
Dalam hadits ini ada keutamaan shalat di waktu tersebut dan ia merupakan waktu yang paling utama untuk mengerjakan shalat dhuha, walaupun shalat dhuha boleh dikerjakan dari mulai terbitnya matahari sampai tergelincirnya.” (Al-Minhaj, 6/272)
Ucapan beliau rahimahullah bahwa waktu shalat dhuha yaitu mulai terbitnya matahari sampai zawal tentunya tidak persis saat terbitnya matahari, karena adanya larangan yang datang dalam hadits lain untuk mengerjakan shalat di waktu tersebut seperti hadits berikut ini:
Dari Ibnu Umar radiyallahu'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
وَلاَ تَحَرَّوْا بِصَلاَتِكُم طُلُوْعَ الشَّمْسِ وَلاَ غُرُوْبَهَا، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بِقَرْنَيْ شَيْطَانٍ
“Janganlah kalian memilih untuk mengerjakan shalat kalian ketika terbit matahari dan tidak pula ketika tenggelam matahari, karena matahari terbit di antara dua tanduk setan.” (HR. Al-Bukhari no. 582, 3272 dan Muslim no. 1922)
Uqbah bin Amir radiyallahu'anhum berkata:
ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ النَّبِيُّ n يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ…
“Ada tiga waktu di mana Nabi Shallallahu'alaihiwasalam melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi….” (HR. Muslim no. 1926)
Demikian pula hadits ‘Amr bin ‘Abasah radiyallahu'anhum yang menyebutkan sabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam kepadanya:
صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِيْنَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ….
“Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari….” (HR. Muslim no. 1927)
Adapun hadits Abud Darda’ dan Abu Dzar radiyallahu'anhu yang mengabarkan dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, dari Allah Ta'ala, bahwasanya Dia berfirman:
ابْنَ آدَم، اِرْكَعْ لِي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ، أَكْفِكَ آخِرَهُ
“Wahai anak Adam, ruku’lah (shalatlah) untuk-Ku empat rakaat dari awal siang niscaya Aku akan mencukupimu pada akhir siangmu.” (HR. At-Tirmidzi no. 475, ia berkata, “Hadits ini hasan gharib.” Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Maka yang dimaksud awal siang dalam hadits di atas bukan persis setelah shalat subuh, karena adanya hadits Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah menerangkan, “Ulama berbeda pendapat tentang waktu masuknya shalat dhuha. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Ar-Raudhah meriwayatkan dari para pengikut mazhab Asy-Syafi’i bahwa waktu dhuha mulai masuk dengan terbitnya matahari, akan tetapi disenangi mengakhirkannya sampai matahari tinggi. Sebagian dari mereka berpendapat, waktunya mulai masuk saat matahari tinggi. Pendapat ini yang ditetapkan oleh Ar-Rafi’i dan Ibnu Ar-Rif’ah.” (Nailul Authar, 2/329)
Dalam Zadil Mustaqni’ disebutkan, “Waktu dhuha mulai dari selesainya waktu larangan shalat sampai sesaat sebelum zawal.”
Kata pensyarahnya, “Yakni dari naiknya matahari seukuran tombak sampai masuknya waktu larangan shalat dengan matahari berada di tengah langit. Waktunya yang paling utama adalah apabila panas matahari terasa menyengat.” (Ar-Raudhul Murbi’, 1/176)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa ukuran satu tombak itu menurut penglihatan mata orang yang melihat dan ukurannya sekitar satu meter[1]. Kemudian beliau menyimpulkan bahwa waktu dhuha dimulai dari berakhirnya waktu larangan shalat di awal siang sampai datangnya waktu larangan di tengah siang (tengah hari). Mengerjakannya di akhir waktu lebih utama karena adanya hadits Nabi n tentang shalat awwabin. (Asy-Syarhul Mumti’, 4/88)
Nabi Shallallahu'alaihiwaslaam Mengerjakan Shalat Dhuha setelah Siang Meninggi
Dalam peristiwa Fathu Makkah, Ummu Hani radiyallahu'anha mengabarkan:
(artinya) “Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam datang pada hari Fathu Makkah setelah siang meninggi, lalu didatangkan kain untuk menutupi beliau yang hendak mandi. (Seselesainya dari mandi) beliau bangkit untuk mengerjakan shalat sebanyak delapan rakaat….” (HR. Muslim no. 1665)
"Waktu-wakktu Shalat Sunnah" ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
Asysyariah.com
0 Komentar
Silakan tuliskan komentar, saran dan nasihat antum. Namun tidak semua akan tampilkan.