Tawasul Kepada Rosulullah | al-uyeah.blogspot.com |
Bagi kaum muslimin yang “hobi” melakukan ziarah kubur, hampir dipastikan mereka juga memiliki agenda untuk melakukan tawassul.
Ritual doa melalui perantara ini sepertinya telah menjadi menu wajib dari rangkaian kegiatan ziarah kubur. Sayang, perbuatan tawassul itu mayoritas menjurus kepada amalan syirik yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Ketika diingatkan, mereka menolak dengan keras karena mereka ternyata juga punya “dalil”. Apa saja “dalil” mereka itu dan bagaimana bantahannya?
Tawassul yang diharamkan dan tidak disyariatkan oleh Allah.
Yaitu bertawassul kepada Allah Ta'ala dengan sesuatu yang bukan sebagai wasilah atau dengan sesutu yang tidak ditetapkan oleh syariat sebagai wasilah dan bentuk tawassul ini ada dua:
1. Tawassul kepada Allah Ta'ala dengan sesuatu yang tidak ada syariatnya.
Tawassul semacam ini di haramkan. Contohnya, bertawassul dengan jah (kedudukan) seseorang yang memiliki kedudukan di sisi Allah Ta'ala atau tawassul dengan dzat seseorang. Perbuatan ini menjadi bid’ah dari satu sisi dan syirik (kecil-red) dari sisi yang lain:
– Bid’ah karena hal ini tidak pernah dilakukan oleh para shahabat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam kepada diri Rasul Shallallahu'alaihiwasalam baik di saat beliau masih hidup, terlebih setelah beliau meninggal.
– Syirik (kecil, red) dari sisi menjadikan sesuatu perantara atau sebab yang tidak pernah ditentukan oleh Allah Ta'ala, maka hal ini termasuk dari kesyirikan kepada Allah Ta'ala.
2. Tawassul kaum musyrikin dengan berhala dan patung-patung, dan juga seperti tawassul para pengagung kuburan dengan wali-wali mereka yakni sesungguhnya mereka meminta-minta langsung kepada ahli kubur atau berhala dengan dalih bertawassul dan ini adalah tawassul syirik akbar.
Pertanyaan
1. Bagaimana hukum bertawassul dengan seseorang yang shalih?
Jawaban terhadap pertanyaan ini ada rinciannya yaitu:
a. Bila bertawassul dengan doa mereka kepada Allah Ta'ala dengan cara meminta agar dia mendoakan dirimu kepada Allah Ta'ala, maka hal ini diperbolehkan di dalam syariat dan telah dilakukan oleh para shahabat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam kepada beliau dan telah dilakukan pula oleh Umar bin Al-Khaththab kepada paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muththalib radiyallahu'anhu.
b. Bila bertawassul dengan kedudukan mereka dan dzat mereka maka ini termasuk dari kesyirikan (kecil, red) dari satu sisi dan kebidahan dari sisi yang lain, sebagaimana di atas.
2. Bagaimana hukum bertawassul kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam?
Bertawassul dengan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam termasuk dari sederetan fitnah yang besar, dan jawaban terhadap pertanyaan ini adalah:
a. Bila bertawassul dengan keimanannya kepada beliau maka hal ini termasuk dari ibadah kepada Allah Ta'ala dan disyariatkan oleh-Nya. Contohnya dengan mengatakan: “Ya Allah dengan imanku kepada Nabi-Mu aku memohon-Mu…
b. Bila tawassul dengan doa beliau artinya datang kepada beliau semasa masih hidup lalu meminta agar didoakan kepada Allah Ta'ala, maka hal ini adalah diperbolehkan sebagaimana di atas adapun setelah wafatnya maka tidak boleh bertawassul melainkan dengan mengikuti dan mengimani beliau.
c. Bila tawassul dengan kedudukan dan dzat beliau baik disaat beliau hidup atau setelah wafatnya maka hal ini termasuk dari kebid’ahan.
Beberapa Permasalahan Penting
Setelah mengetahui jenis-jenis tawassul baik yang disyariatkan ataupun yang mengundang murka Allah, ada beberapa permasalahan penting yang harus dipahami:
1. Bahwa ahli kebatilan tidak akan berdiam diri dan ridha, membiarkan kaum muslimin kembali kepada ajaran Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan mengamalkannya di tengah masyarakat yang menjadi mangsa mereka.
Sehingga mereka berusaha dengan segala cara untuk menghadapi segala kemungkinan pembaharuan akidah dengan cara apapun juga, walaupun dalam waktu yang cukup lama. Mereka akan memakai senjata-senjata kebatilan untuk membendung kebenaran dan pengikutnya, seperti dusta, tuduhan keji, menipu, janji-janji palsu, mencaci-maki, dan sebagainya.
2. Para penyesat selalu mengintai mangsanya, yang bila ada kesempatan mereka akan mengeluarkan manuver-manuver penyesatan dengan jembatan syubhat.
3. Betapa banyak dari kaum muslimin termakan manuver-manuver mereka, sadar atau tidak sadar. Sehingga bukan suatu keanehan lagi bila muncul dari kaum muslimin pembela-pembela kebatilan, penebar kesesatan. Allah Ta'ala berfirman:
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba`: 13)
4. Allah Ta'ala akan selalu menjaga agamanya dari rongrongan para penyesat dengan menampilkan para ulama Ahlus Sunnah untuk membendung kejahatan mereka. Bagaimanapun dan di manapun mereka bersembunyi dengan kebatilan mereka, niscaya Allah Ta'ala akan menampilkan sosok ulama yang akan menyeret mereka agar nampak di hadapan kaum muslimin bahwa ini adalah ahli kebatilan, berikut kebatilan yang mereka lakukan. Hal ini sebagai kebenaran janji Allah di dalam Al Qur`an:
“Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan Ad-Dzikr (Al-Qur`an) dan Kami yang akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9)
Tidak ada sekecil apapun kejahatan yang diperbuat di dalam agama-Nya atau mengatas namakan agama-Nya, melainkan Allah Ta'ala akan membongkar kedoknya. Dan tidak ada sekecil apapun makar yang dilakukan oleh ahli kebatilan secara sembunyi melainkan Allah Ta'ala akan mengbongkarnya walaupun mereka akan bersembunyi di lobang-lobang biawak sekalipun.
Tidak ada sesulit apapun syubhat yang mereka lontarkan melainkan Allah Ta'ala akan menampakkan kebatilannya. Itulah bentuk rahmat Allah atas hamba-hamba-Nya yang beriman. Itulah apa yang telah disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam sebuah sabdanya:
“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, niscaya Allah akan memberikan kefaqihan di dalam agama, dan sesungguhnya aku adalah sebagai pembagi (harta shadaqah) dan yang memberi adalah Allah. Terus menerus (sebagian) dari umat ini (Islam) tegak di atas perintah Allah, tidak akan membahayakan mereka siapapun yang menyelisihi mereka sampai datang keputusan Allah.”
Hadits ini diriwayatkan dari sejumlah shahabat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam seperti Mu’awiyah bin Abu Sufyan diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 71, Muslim no. 1037, dan Ahmad no. 16246, Tsauban, Al-Mughirah bin Syu’bah, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, Abu Hurairah, Mu’awiyah bin Qurrah, Zaid bin Arqam, ‘Imran bin Hushain, Uqbah bin ‘Amir, Abu Umamah radiyallahu'anhum dan selain mereka. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud di dalam Sunan beliau, juga At-Tirmidzi, Ibnu Majah.
Dalam lafadz yang lain, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam menjelaskan: “Mereka adalah golongan yang selalu memperjuangkan kebenaran dan selalu tertolong di atasnya sampai datang keputusan Allah.” Lalu siapakah yang dimaksud dengan sekelompok kecil tersebut?
Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah mengatakan: “Al-Imam Al-Bukhari telah memastikan bahwa yang dimaksud adalah ulama dan ahli hadits.” Dan Al-Imam Ahmad t mengatakan: “Kalau bukan ahli hadits yang dimaksud, maka saya tidak mengetahui siapa mereka.” Al-Qadhi ‘Iyadh trahimahullah mengatakan: “Yang dimaksud oleh Ahmad adalah Ahlus Sunnah dan orang-orang yang mengikuti madzhab mereka.” (Lihat Fathul Bari, 1/200, cet. Darul Hadits, Mesir)
Ritual doa melalui perantara ini sepertinya telah menjadi menu wajib dari rangkaian kegiatan ziarah kubur. Sayang, perbuatan tawassul itu mayoritas menjurus kepada amalan syirik yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Ketika diingatkan, mereka menolak dengan keras karena mereka ternyata juga punya “dalil”. Apa saja “dalil” mereka itu dan bagaimana bantahannya?
Tawassul yang diharamkan dan tidak disyariatkan oleh Allah.
Yaitu bertawassul kepada Allah Ta'ala dengan sesuatu yang bukan sebagai wasilah atau dengan sesutu yang tidak ditetapkan oleh syariat sebagai wasilah dan bentuk tawassul ini ada dua:
1. Tawassul kepada Allah Ta'ala dengan sesuatu yang tidak ada syariatnya.
Tawassul semacam ini di haramkan. Contohnya, bertawassul dengan jah (kedudukan) seseorang yang memiliki kedudukan di sisi Allah Ta'ala atau tawassul dengan dzat seseorang. Perbuatan ini menjadi bid’ah dari satu sisi dan syirik (kecil-red) dari sisi yang lain:
– Bid’ah karena hal ini tidak pernah dilakukan oleh para shahabat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam kepada diri Rasul Shallallahu'alaihiwasalam baik di saat beliau masih hidup, terlebih setelah beliau meninggal.
– Syirik (kecil, red) dari sisi menjadikan sesuatu perantara atau sebab yang tidak pernah ditentukan oleh Allah Ta'ala, maka hal ini termasuk dari kesyirikan kepada Allah Ta'ala.
2. Tawassul kaum musyrikin dengan berhala dan patung-patung, dan juga seperti tawassul para pengagung kuburan dengan wali-wali mereka yakni sesungguhnya mereka meminta-minta langsung kepada ahli kubur atau berhala dengan dalih bertawassul dan ini adalah tawassul syirik akbar.
Pertanyaan
1. Bagaimana hukum bertawassul dengan seseorang yang shalih?
Jawaban terhadap pertanyaan ini ada rinciannya yaitu:
a. Bila bertawassul dengan doa mereka kepada Allah Ta'ala dengan cara meminta agar dia mendoakan dirimu kepada Allah Ta'ala, maka hal ini diperbolehkan di dalam syariat dan telah dilakukan oleh para shahabat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam kepada beliau dan telah dilakukan pula oleh Umar bin Al-Khaththab kepada paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muththalib radiyallahu'anhu.
b. Bila bertawassul dengan kedudukan mereka dan dzat mereka maka ini termasuk dari kesyirikan (kecil, red) dari satu sisi dan kebidahan dari sisi yang lain, sebagaimana di atas.
2. Bagaimana hukum bertawassul kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam?
Bertawassul dengan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam termasuk dari sederetan fitnah yang besar, dan jawaban terhadap pertanyaan ini adalah:
a. Bila bertawassul dengan keimanannya kepada beliau maka hal ini termasuk dari ibadah kepada Allah Ta'ala dan disyariatkan oleh-Nya. Contohnya dengan mengatakan: “Ya Allah dengan imanku kepada Nabi-Mu aku memohon-Mu…
b. Bila tawassul dengan doa beliau artinya datang kepada beliau semasa masih hidup lalu meminta agar didoakan kepada Allah Ta'ala, maka hal ini adalah diperbolehkan sebagaimana di atas adapun setelah wafatnya maka tidak boleh bertawassul melainkan dengan mengikuti dan mengimani beliau.
c. Bila tawassul dengan kedudukan dan dzat beliau baik disaat beliau hidup atau setelah wafatnya maka hal ini termasuk dari kebid’ahan.
Beberapa Permasalahan Penting
Setelah mengetahui jenis-jenis tawassul baik yang disyariatkan ataupun yang mengundang murka Allah, ada beberapa permasalahan penting yang harus dipahami:
1. Bahwa ahli kebatilan tidak akan berdiam diri dan ridha, membiarkan kaum muslimin kembali kepada ajaran Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan mengamalkannya di tengah masyarakat yang menjadi mangsa mereka.
Sehingga mereka berusaha dengan segala cara untuk menghadapi segala kemungkinan pembaharuan akidah dengan cara apapun juga, walaupun dalam waktu yang cukup lama. Mereka akan memakai senjata-senjata kebatilan untuk membendung kebenaran dan pengikutnya, seperti dusta, tuduhan keji, menipu, janji-janji palsu, mencaci-maki, dan sebagainya.
2. Para penyesat selalu mengintai mangsanya, yang bila ada kesempatan mereka akan mengeluarkan manuver-manuver penyesatan dengan jembatan syubhat.
3. Betapa banyak dari kaum muslimin termakan manuver-manuver mereka, sadar atau tidak sadar. Sehingga bukan suatu keanehan lagi bila muncul dari kaum muslimin pembela-pembela kebatilan, penebar kesesatan. Allah Ta'ala berfirman:
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba`: 13)
4. Allah Ta'ala akan selalu menjaga agamanya dari rongrongan para penyesat dengan menampilkan para ulama Ahlus Sunnah untuk membendung kejahatan mereka. Bagaimanapun dan di manapun mereka bersembunyi dengan kebatilan mereka, niscaya Allah Ta'ala akan menampilkan sosok ulama yang akan menyeret mereka agar nampak di hadapan kaum muslimin bahwa ini adalah ahli kebatilan, berikut kebatilan yang mereka lakukan. Hal ini sebagai kebenaran janji Allah di dalam Al Qur`an:
“Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan Ad-Dzikr (Al-Qur`an) dan Kami yang akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9)
Tidak ada sekecil apapun kejahatan yang diperbuat di dalam agama-Nya atau mengatas namakan agama-Nya, melainkan Allah Ta'ala akan membongkar kedoknya. Dan tidak ada sekecil apapun makar yang dilakukan oleh ahli kebatilan secara sembunyi melainkan Allah Ta'ala akan mengbongkarnya walaupun mereka akan bersembunyi di lobang-lobang biawak sekalipun.
Tidak ada sesulit apapun syubhat yang mereka lontarkan melainkan Allah Ta'ala akan menampakkan kebatilannya. Itulah bentuk rahmat Allah atas hamba-hamba-Nya yang beriman. Itulah apa yang telah disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam sebuah sabdanya:
“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, niscaya Allah akan memberikan kefaqihan di dalam agama, dan sesungguhnya aku adalah sebagai pembagi (harta shadaqah) dan yang memberi adalah Allah. Terus menerus (sebagian) dari umat ini (Islam) tegak di atas perintah Allah, tidak akan membahayakan mereka siapapun yang menyelisihi mereka sampai datang keputusan Allah.”
Hadits ini diriwayatkan dari sejumlah shahabat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam seperti Mu’awiyah bin Abu Sufyan diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 71, Muslim no. 1037, dan Ahmad no. 16246, Tsauban, Al-Mughirah bin Syu’bah, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, Abu Hurairah, Mu’awiyah bin Qurrah, Zaid bin Arqam, ‘Imran bin Hushain, Uqbah bin ‘Amir, Abu Umamah radiyallahu'anhum dan selain mereka. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud di dalam Sunan beliau, juga At-Tirmidzi, Ibnu Majah.
Dalam lafadz yang lain, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam menjelaskan: “Mereka adalah golongan yang selalu memperjuangkan kebenaran dan selalu tertolong di atasnya sampai datang keputusan Allah.” Lalu siapakah yang dimaksud dengan sekelompok kecil tersebut?
Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah mengatakan: “Al-Imam Al-Bukhari telah memastikan bahwa yang dimaksud adalah ulama dan ahli hadits.” Dan Al-Imam Ahmad t mengatakan: “Kalau bukan ahli hadits yang dimaksud, maka saya tidak mengetahui siapa mereka.” Al-Qadhi ‘Iyadh trahimahullah mengatakan: “Yang dimaksud oleh Ahmad adalah Ahlus Sunnah dan orang-orang yang mengikuti madzhab mereka.” (Lihat Fathul Bari, 1/200, cet. Darul Hadits, Mesir)
dikutip dari "Tawassul, Syubhat dan Bantahannya"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi
AsySyariah.com
0 Komentar
Silakan tuliskan komentar, saran dan nasihat antum. Namun tidak semua akan tampilkan.