Duduk di Atas Kuburan | al-uyeah.blogspot.com |
Ancaman Duduk Di Atas Kuburan. Dalam riwayat Muslim dari Jabir radhiyallaahu anhu : "Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melarang kuburan dari dikapur, diduduki di atasnya, dan dibangun atasnya".
Penjelasan :
Hadits ini menunjukkan larangan memperlakukan kubur secara ifrath (berlebihan/ melampaui batas) maupun tafrith (meremehkan/ menghinakan). Bentuk perlakuan yang berlebihan adalah dikapur dan dibangun bangunan di atasnya. Sedangkan bentuk sikap meremehkannya adalah duduk di atas kubur.
Dalam sebagian lafadz hadits juga terdapat larangan menginjak kubur.
Kubur tidak boleh dikapur atau disemen (syarh Sunan Abi Dawud li Abdil Muhsin al-Abbad (17/126)).
Kubur tidak boleh diduduki di atasnya. Bahkan termasuk dosa besar.
Larangan duduk di atas kubur juga mencakup larangan berdiri di atas kubur (syarh Sunan Abi Dawud li Abdil Muhsin al-Abbad (17/131)).
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan: Aku melihat para pemimpin di Makkah memerintahkan penghancuran bangunan-bangunan (di kuburan), dan aku tidak melihat para fuqohaa’ (ahli fiqh) mencela yang demikian (al-Haawi fii fiqhisy Syafi’i karya al-Mawardi (3/27)).
Al-Imam asy-Syaukany rahimahullah menyatakan:
Di antara perbuatan yang pertama kali masuk (larangannya) dalam hadits adalah membangun kubah-kubah dan cungkup-cungkup di atas kubur. Lagipula yang demikian itu termasuk menjadikan kubur sebagai masjid, padahal Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam telah mengutuk orang yang melakukan itu.
Banyak sudah kerusakan yang ditangisi Islam (kaum muslimin,pent) akibat dari pendirian bangunan-bangunan di atas kubur dan tindakan memperindahnya. Di antara kerusakan-kerusakan itu adalah kepercayaan orang-orang bodoh terhadap kubur seperti kepercayaan orang-orang kafir terhadap berhala.
Dan semakin menjadi-jadi sehingga mereka menganggap bahwa kubur tersebut mampu mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan. Lalu mereka menjadikan kubur-kubur itu sebagai tempat tujuan untuk mencari hal-hal yang dapat menutupi kebutuhan mereka dan untuk keberhasilan maksud-maksud mereka. Mereka meminta kepada kubur-kubur itu apa yang diminta oleh hamba kepada Tuhannya.
Mereka bersusah payah melakukan perjalanan ke kubur-kubur tersebut lalu mengusap-usapnya serta meminta tolong agar terhindar dari bahaya. Walhasil, mereka tidak meninggalkan satupun dari apa yang dilakukan orang-orang Jahiliyyah terhadap berhala, melainkan pasti mereka kerjakan juga. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’un.
Tetapi meski ada kemungkaran yang keji dan kekufuran yang nyata ini, kami tidak menemukan seorangpun yang marah karena Allah dan tersinggung demi menjaga agama Allah yang lurus. Baik ia Ulama’, pelajar, gubernur, Menteri, ataupun raja. Padahal telah sampai kepada kita berita-berita yang tidak diragukan lagi kebenarannya bahwa para penyembah kubur itu atau sebagian besarnya, apabila diminta bersumpah atas nama Allah oleh pihak lawannya, mereka akan bersumpah palsu atas nama-Nya. Tetapi kalau sesudah itu mereka diminta bersumpah atas nama syekhnya atau wali fulan yang diyakininya, mereka menjadi bimbang dan menolak bersumpah lalu mengakui kesalahannya.
Demikian ini merupakan bukti yang paling jelas yang menunjukkan bahwa kesyirikan mereka telah melampaui kesyirikan orang yang mengatakan Allah itu oknum kedua atau ketiga dari tiga tuhan (Nashrani, pent).
Hai Ulama Islam dan para penguasa muslim, bencana apakah yang lebih berbahaya dari kekufuran?! Cobaan manakah yang lebih menimbulkan mudharat (bahaya/kerugian) terhadap agama daripada penyembahan kepada selain Allah. Musibah macam manakah yang menimpa kaum muslimin yang dapat menyamai musibah ini, dan kemungkaran yang bagaimana yang wajib ditentang jika kesyirikan yang nyata ini tidak wajib diingkari?! (Nailul Authar karya asy-Syaukany (4/131)).
Judul Utama : "Syarh Kitab al-Janaiz Min Bulughil Maram (Bag ke-8)"
Subjudul : "Larangan Mengapur, Menduduki, dan Membangun Pada Kuburan"
Salafy.or.id
Penjelasan :
Hadits ini menunjukkan larangan memperlakukan kubur secara ifrath (berlebihan/ melampaui batas) maupun tafrith (meremehkan/ menghinakan). Bentuk perlakuan yang berlebihan adalah dikapur dan dibangun bangunan di atasnya. Sedangkan bentuk sikap meremehkannya adalah duduk di atas kubur.
Dalam sebagian lafadz hadits juga terdapat larangan menginjak kubur.
Kubur tidak boleh dikapur atau disemen (syarh Sunan Abi Dawud li Abdil Muhsin al-Abbad (17/126)).
Kubur tidak boleh diduduki di atasnya. Bahkan termasuk dosa besar.
لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ
"Seandainya seseorang duduk di atas bara api sehingga membakar pakaiannya sampai kulitnya, itu lebih baik baginya dibandingkan duduk di atas kubur" (H.R Muslim no 1612).Larangan duduk di atas kubur juga mencakup larangan berdiri di atas kubur (syarh Sunan Abi Dawud li Abdil Muhsin al-Abbad (17/131)).
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan: Aku melihat para pemimpin di Makkah memerintahkan penghancuran bangunan-bangunan (di kuburan), dan aku tidak melihat para fuqohaa’ (ahli fiqh) mencela yang demikian (al-Haawi fii fiqhisy Syafi’i karya al-Mawardi (3/27)).
Al-Imam asy-Syaukany rahimahullah menyatakan:
Di antara perbuatan yang pertama kali masuk (larangannya) dalam hadits adalah membangun kubah-kubah dan cungkup-cungkup di atas kubur. Lagipula yang demikian itu termasuk menjadikan kubur sebagai masjid, padahal Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam telah mengutuk orang yang melakukan itu.
Banyak sudah kerusakan yang ditangisi Islam (kaum muslimin,pent) akibat dari pendirian bangunan-bangunan di atas kubur dan tindakan memperindahnya. Di antara kerusakan-kerusakan itu adalah kepercayaan orang-orang bodoh terhadap kubur seperti kepercayaan orang-orang kafir terhadap berhala.
Dan semakin menjadi-jadi sehingga mereka menganggap bahwa kubur tersebut mampu mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan. Lalu mereka menjadikan kubur-kubur itu sebagai tempat tujuan untuk mencari hal-hal yang dapat menutupi kebutuhan mereka dan untuk keberhasilan maksud-maksud mereka. Mereka meminta kepada kubur-kubur itu apa yang diminta oleh hamba kepada Tuhannya.
Mereka bersusah payah melakukan perjalanan ke kubur-kubur tersebut lalu mengusap-usapnya serta meminta tolong agar terhindar dari bahaya. Walhasil, mereka tidak meninggalkan satupun dari apa yang dilakukan orang-orang Jahiliyyah terhadap berhala, melainkan pasti mereka kerjakan juga. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’un.
Tetapi meski ada kemungkaran yang keji dan kekufuran yang nyata ini, kami tidak menemukan seorangpun yang marah karena Allah dan tersinggung demi menjaga agama Allah yang lurus. Baik ia Ulama’, pelajar, gubernur, Menteri, ataupun raja. Padahal telah sampai kepada kita berita-berita yang tidak diragukan lagi kebenarannya bahwa para penyembah kubur itu atau sebagian besarnya, apabila diminta bersumpah atas nama Allah oleh pihak lawannya, mereka akan bersumpah palsu atas nama-Nya. Tetapi kalau sesudah itu mereka diminta bersumpah atas nama syekhnya atau wali fulan yang diyakininya, mereka menjadi bimbang dan menolak bersumpah lalu mengakui kesalahannya.
Demikian ini merupakan bukti yang paling jelas yang menunjukkan bahwa kesyirikan mereka telah melampaui kesyirikan orang yang mengatakan Allah itu oknum kedua atau ketiga dari tiga tuhan (Nashrani, pent).
Hai Ulama Islam dan para penguasa muslim, bencana apakah yang lebih berbahaya dari kekufuran?! Cobaan manakah yang lebih menimbulkan mudharat (bahaya/kerugian) terhadap agama daripada penyembahan kepada selain Allah. Musibah macam manakah yang menimpa kaum muslimin yang dapat menyamai musibah ini, dan kemungkaran yang bagaimana yang wajib ditentang jika kesyirikan yang nyata ini tidak wajib diingkari?! (Nailul Authar karya asy-Syaukany (4/131)).
Judul Utama : "Syarh Kitab al-Janaiz Min Bulughil Maram (Bag ke-8)"
Subjudul : "Larangan Mengapur, Menduduki, dan Membangun Pada Kuburan"
Salafy.or.id
0 Komentar
Silakan tuliskan komentar, saran dan nasihat antum. Namun tidak semua akan tampilkan.