Tawasul Dengan Perantara Orang Shalih

Tawasul Dengan Perantara Orang Shalih | al-uyeah.blogspot.com
“Sesungguhnya ‘Umar bin Al-Khaththab beristisqa` (minta turun hujan) melalui ‘Abbas bin Abdul Muththalib bila ditimpa musim kering (yang berakibat terjadinya paceklik). Beliau (‘Umar) berkata: “Ya Allah, sesungguhnya kami dulu bertawassul dengan Nabi Engkau dan Engkau menurunkan air hujan. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi Engkau, maka turunkanlah atas kami hujan, beliau berkata: ‘Lalu turun hujan buat mereka’.”

Mereka (ahli kebatilan) mengatakan: “Dari hadits ini, ‘Umar bertawassul dengan jah (kedudukan), dan dia memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah. Dan tawassul ‘Umar hanya sebatas menyebut nama Al-‘Abbas di dalam doa beliau dan meminta kepada Allah untuk menurunkan hujan. Ditambah lagi, para shahabat menyetujui hal itu. Adapun sebab ‘Umar berpaling dari bertawassul dengan Rasulullah hanyalah sebatas ingin menjelaskan bolehnya bertawassul dengan “mafdhul” (orang yang lebih rendah kedudukannya) bersamaan dengan adanya yang lebih afdhal.”

Bantahannya: Pemahaman mereka tentang hadits di atas dengan maksud demikian sangatlah keliru dari banyak sisi:

1. Kaidah di dalam syariat mengatakan bahwa nash-nash itu saling menjelaskan sebagiannya atas sebagian yang lain. Tidak boleh memahami sebuah nash dengan melepaskan keterkaitannya dengan nash yang lain. 

Berdasarkan hal ini, hadits ‘Umar harus dipahami dengan riwayat-riwayat yang lain yang menjelaskan tentang tawassul. Dan keterangan riwayat-riwayat yang banyak tersebut menjelaskan, bahwa para shahabat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam ketika ditimpa oleh paceklik, mereka bertawassul dengan doa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dengan cara mendatangi beliau ketika masih hidup dan meminta agar beliau berdoa kepada Allah agar diturunkan hujan, dan bukan dengan kepribadian (zat) dan kedudukan beliau yang tinggi di sisi Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Anas bin Malik radiyallahu'anhu yang shahih:

“Ketika Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba seseorang datang lalu berkata: ‘Ya Rasulullah, hujan tertahan (menyebabkan paceklik). Berdoalah kepada Allah agar menurunkan hujan untuk kami.’

Lalu Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berdoa dan hujan turun atas kami, hampir-hampir kami tidak bisa pulang ke rumah-rumah kami, dan hujan tersebut berlangsung sampai Jum’at berikutnya. (Anas) berkata: “Orang tersebut atau –yang selain dia– bangkit dan berkata: ‘Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Allah memalingkan hujan dari kami.’

Lalu Rasululah Shallallahu'alaihiwasalam berdoa: ‘Ya Allah, palingkan hujan itu dari kami dan jangan dijadikan sebagai bahaya bagi kami.’ Anas berkata: “Sungguh aku menyaksikan gumpalan awan terpisah-pisah ke arah kanan dan kiri lalu turun hujan untuk mereka (selain penduduk Madinah), dan hujan tidak turun bagi penduduk Madinah.”

Berarti ucapan ‘Umar:

“Sesungguhnya kami dulu bertawassul dengan Nabi Engkau dan Engkau menurunkan air hujan. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi Engkau…”

Dalam ucapan tersebut ada sebuah kata yang terbuang yang dengannya akan sempurna dan sesuai dengan nash-nash lain yang shahih dan kata yang terbuang itu harus didatangkan. Dan kata yang terbuang itu ada dua kemungkinan, pertama: “Kami bertawassul kepada-Mu dengan jah(1) (kedudukan) Nabi-Mu dan jah (kedudukan) paman Nabi-Mu”, atau kedua: “Kami bertawassul kepada-Mu dengan doa(2) Nabi-Mu dan dengan doa paman Nabi-Mu”.

Untuk menghukumi mana yang benar dari dua kemungkinan ini, kita harus kembali kepada As Sunnah dan yang sesuai dengan riwayat-riwayat yang shahih. Dan yang benar dan sesuai dengan riwayat yang shahih adalah kemungkinan yang kedua.

2. Tawassul secara bahasa dan yang difahami oleh ‘urf (kebiasaan yang sudah berlangsung) melalui lisan-lisan orang Arab adalah seperti apa yang telah dipahami dan yang dilakukan oleh para shahabat kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. 

Bentuknya adalah bila engkau memiliki hajat kepada seseorang dan orang ini memiliki kedudukan (misalnya) sebagai pimpinan, lalu engkau mendatangi seseorang yang lebih didengar suaranya oleh pimpinan tersebut, maka engkau mengutarakan hajatmu kepadanya untuk disampaikan kepada pimpinan. Demikianlah definisi tawassul di kalangan orang Arab sejak dahulu.

Dan bukan makna tawassul adalah bila kamu datang kepada pimpinan itu lalu mengatakan: ‘Hai pimpinan, karena jah (kedudukan) orang tersebut dan dekatnya posisinya di sisimu, maka tunaikanlah hajatku.’

3. Ucapan mereka (ahli kebatilan): “Bahwa para shahabat merestui perbuatan ‘Umar”

Mereka merestuinya karena memang perbuatan ‘Umar tidak menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Dan jika perbuatan ‘Umar menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, niscaya mereka (para shahabat) akan menentang perbuatan ‘Umar.

Dan mustahil mereka akan sepakat di dalam kebatilan sedangkan mereka adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan bagi manusia, menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Dan perbuatan ‘Umar sesuai dengan riwayat-riwayat yang shahih di atas dimana beliau datang kepada Al-‘Abbas dan meminta agar beliau (Al-‘Abbas) berdoa kepada Allah agar Dia menurunkan hujan, sebagaimana permintaan yang terjadi di masa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam masih hidup.

Makna hadits ‘Umar di atas telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah di dalam kitab beliau Fathul Bari (2/571, cet. Darul Hadits, Mesir): “Telah dijelaskan oleh Az-Zubair bin Bakkar di dalam kitab Al-Ansab, tentang sifat doa Al-‘Abbas dalam peristiwa ini dan waktu terjadi hal itu. Beliau meriwayatkan dengan sanad beliau, di saat ‘Umar bertawassul dengan Al-’Abbas dalam istisqa`, Al-’Abbas berdoa:

“Ya Allah, sesungguhnya tidaklah turun bala` melainkan karena sebuah dosa dan tidak akan dihilangkan melainkan dengan bertaubat. Dan kaum itu telah mendatangiku untuk menyampaikan hajat mereka kepada-Mu karena kedudukan diriku di hadapan Nabi-Mu, dan ini tangan-tangan kami berlumuran dengan dosa dan ubun-ubun kami (mengiqrarkan) taubat. Turunkanlah kepada kami hujan. Kemudian turun hujan dari langit sehingga bumi menjadi subur dan manusia bisa hidup.”

4. Ucapan ahli kebatilan: “Ini bukti bahwa ‘Umar bertawassul dengan jah (kedudukan) Al-‘Abbas.”

Kalau benar ‘Umar bertawassul dengan jah (kedudukan) Al-‘Abbas niscaya beliau tidak akan meninggalkan bertawassul dengan jah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam walaupun beliau telah wafat. Karena bertawassul dengan jah beliau Shallallahu'alaihiwasalam bisa dilakukan sekalipun beliau Shallallahu'alaihiwasalam telah wafat. Dan tentu para shahabat yang lain akan menegur ‘Umar, kenapa meninggalkan bertawassul dengan jah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam lalu berpaling kepada Al-‘Abbas. Dan sungguh kita mengetahui semangat para shahabat untuk melakukan sesuatu yang lebih utama.

5. Mereka mengatakan: “Umar berpaling dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam bertawassul kemudian menuju Al-‘Abbas, untuk menjelaskan tentang kebolehan bertawassul dengan yang mafdhul (kurang utama) bersamaan dengan adanya yang afdhal (lebih utama).”

Alasan ini adalah batil dari banyak sisi:

1. Tawassul yang benar/ syar’i kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam setelah wafat beliau merupakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Dan bagaimana mereka akan pergi ke makam Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam lalu menjelaskan keadaan mereka dan meminta kepada beliau, agar beliau berdoa kepada Allah supaya dibebaskan dari bala` yang menimpa, sementara Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam telah menghadap Allah?

Karena memang tidak diperbolehkan itulah, sehingga ‘Umar bertawassul dengan doa paman Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, Al-‘Abbas. Bila hal itu diperbolehkan setelah wafat beliau dan ‘Umar meninggalkan hal demikian, berarti ‘Umar meninggalkan Sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Dan tidak mungkin hal itu terjadi pada diri orang terbaik umat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam setelah Abu Bakr radiyallahu'anhu.

2. Manusia dengan fitrah yang ada pada diri mereka, ketika ditimpa oleh malapetaka yang dahsyat, tentu akan mencari sebab yang lebih kuat untuk segera terselesaikan darinya, dan akan mencari wasilah yang lebih besar dan afdhal agar segera terbebaskan dari malapetaka tersebut. Dan jika tawassul dengan jah Nabi Shallallahu'alaihiwasalam diperbolehkan, kenapa ‘Umar harus mencari yang mafdhul (kurang afdhal) dan meninggalkan yang afdhal?

3. Taruhlah bahwa terbetik pada diri ‘Umar untuk bertawassul kepada Allah melalui Al-‘Abbas dengan tujuan untuk menjelaskan hukum fiqih yang mereka duga yaitu: “Menjelaskan tentang kebolehan bertawassul dengan yang mafdhul bersamaan dengan adanya yang afdhal,” apakah hal itu juga akan terbetik pada diri Mu’awiyah dan Ad-Dhahhak bin Qais di saat keduanya bertawassul dengan doa seorang tabi’in yang memiliki kemuliaan, Yazid bin Al-Aswad Al-Jurasyi, dan tidak mencukupkan dengan apa yang dilakukan oleh ‘Umar? Tentu ini adalah alasan yang berlebihan.

4.  Di dalam kisah ‘Umar tersebut ada sebuah rahasia yang mungkin perlu diperhatikan yaitu:

“Sesungguhnya ‘Umar bila terjadi musim kemarau, beliau melakukan istisqa’ dengan meminta Al-‘Abbas untuk berdoa.”

Ucapan ini menjelaskan bahwa ‘Umar sering melakukan yang serupa setiap kali terjadi musim kemarau yang panjang. Dan kalau untuk menjelaskan hukum fiqih di atas, niscaya ‘Umar tidak akan melakukannya berulang-ulang dan cukup melakukannya satu kali.

Catatan Kaki

1 Taqdiran (kemungkinan kata yang terbuang) yang pertama

2 Taqdiran kedua

Dikutip dari "Tawassul, Syubhat dan Bantahannya"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi
AsySyariah.com
Tulisan ini ditujukan untuk ana dan keluarga. Dibuat dengan cinta. Saran dan nasihat silakan tulis di kolom komentar.

Ada Pertanyaan?




Silakan antum tanyakan ke asatidzah dengan datang saja ke majelis ilmu terdekat, cek lokasinya kajian Info Kajian. Baarakallahu fiikum.
Previous
Next Post »
0 Komentar

Silakan tuliskan komentar, saran dan nasihat antum. Namun tidak semua akan tampilkan.