Sombong Itu... | al-uyeah.blogspot.com |
Kehinaan. Inilah yang akan dituai oleh orang yang sombong. Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia harapkan di dunia maupun di akhirat. Tapi apa dan bagaimana sombong itu? Simak bahasan berikut!
Masih berkaca pada untaian nasihat Luqman Al-Hakim kepada anaknya. Menjelang akhir nasihatnya, Luqman melarang sang anak dari sikap takabur dan memerintahkannya untuk merendahkan diri (tawadhu’). Luqman berkata kepada anaknya:
“Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang angkuh dan menyombongkan diri.” (Luqman: 18)
Demikian Luqman melarang untuk memalingkan wajah dan bermuka masam kepada orang lain karena sombong dan merasa dirinya besar, melarang dari berjalan dengan angkuh, sombong terhadap nikmat yang ada pada dirinya dan melupakan Dzat yang memberikan nikmat, serta kagum terhadap diri sendiri. Karena Allah tidak menyukai setiap orang yang menyombongkan diri dengan keadaannya dan bersikap angkuh dengan ucapannya. (Taisirul Karimir Rahman hal. 649)
Pada ayat yang lain Allah Ta'ala melarang pula:
“Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mencapai setinggi gunung.” (Al-Isra`: 37)
Demikianlah, seseorang dengan ketakaburannya tidak akan dapat mencapai semua itu. Bahkan ia akan menjadi seorang yang terhina di hadapan Allah 'Azza wa Jalla dan direndahkan di hadapan manusia, dibenci, dan dimurkai. Dia telah menjalani akhlak yang paling buruk dan paling rendah tanpa menggapai apa yang diinginkannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 458)
Kehinaan. Inilah yang akan dituai oleh orang yang sombong. Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia harapkan di dunia maupun di akhirat.
‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam:
“Orang-orang yang sombong dikumpulkan pada hari kiamat seperti semut-semut kecil dalam bentuk manusia, diliputi oleh kehinaan dari segala arah, digiring ke penjara di Jahannam yang disebut Bulas, dilalap oleh api dan diberi minuman dari perasan penduduk neraka, thinatul khabal.(1)” (HR. At-Tirmidzi, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 434)
Bahkan seorang yang sombong terancam dengan kemurkaan Allah Ta'ala. Demikian yang kita dapati dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang shahabat mulia, ‘Abdullah bin ‘Umar radiyallahu'anhum:
“Barangsiapa yang merasa sombong akan dirinya atau angkuh dalam berjalan, dia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan Allah murka terhadapnya.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 427)
Kesombongan (kibr) bukanlah pada orang yang senang dengan keindahan. Akan tetapi, kesombongan adalah menentang agama Allah Ta'ala dan merendahkan hamba-hamba Allah Ta'ala.
Demikian yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam tatkala beliau ditanya oleh ‘Abdullah bin ‘Umar radiyallahu'anhum, “Apakah sombong itu bila seseorang memiliki hullah(2) yang dikenakannya?”
Beliau Shallallahu'alaihiwasalam menjawab, “Tidak.”
“Apakah bila seseorang memiliki dua sandal yang bagus dengan tali sandalnya yang bagus?”
“Tidak.”
“Apakah bila seseorang memiliki binatang tunggangan yang dikendarainya?”
“Tidak.”
“Apakah bila seseorang memiliki teman-teman yang biasa duduk bersamanya?”
“Tidak.”
“Wahai Rasulullah, lalu apakah kesombongan itu?” Kemudian beliau r menjawab:
“Meremehkan kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 426)
Tak sedikit pun Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam membuka peluang bagi seseorang untuk bersikap sombong. Bahkan beliau Shallallahu'alaihiwasalam senantiasa memerintahkan untuk tawadhu’. ‘Iyadh bin Himar radiyallahu'anhu menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak seorang pun menyombongkan diri atas yang lain dan tak seorang pun berbuat melampaui batas terhadap yang lainnya.” (HR. Muslim no. 2865)
Berlawanan dengan orang yang sombong, orang yang berhias dengan tawadhu’ akan menggapai kemuliaan dari sisi Allah Ta'ala, sebagaimana yang disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah radiyallahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
“Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya.” (HR. Muslim no. 2588)
Tawadhu’ karena Allah 'Azza wa Jalla ada dua makna
Pertama, merendahkan diri terhadap agama Allah, sehingga tidak tinggi hati dan sombong terhadap agama ini maupun untuk menunaikan hukum-hukumnya.
Kedua, merendahkan diri terhadap hamba-hamba Allah Ta'ala karena Allah Ta'ala, bukan karena takut terhadap mereka, ataupun mengharap sesuatu yang ada pada mereka, namun semata-mata hanya karena Allah 'Azza wa Jalla. Kedua makna ini benar.
Apabila seseorang merendahkan diri karena Allah Ta'ala, maka Allah Ta'ala akan mengangkatnya di dunia dan di akhirat. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang merendahkan diri akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya, dan akan dicintai oleh manusia. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/365)
Tak hanya sebatas perintah semata, kisah-kisah dalam kehidupan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam banyak melukiskan ketawadhu’an beliau. Beliau Shallallahu'alaihiwasalam adalah seorang manusia yang paling mulia di hadapan Allah Ta'ala. Meski demikian, beliau menolak panggilan yang berlebihan bagi beliau. Begitulah yang dikisahkan oleh Anas bin Malik radiyallahu'anhu tatkala orang-orang berkata kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, “Wahai orang yang terbaik di antara kami, anak orang yang terbaik di antara kami! Wahai junjungan kami, anak junjungan kami!” Beliau Shallallahu'alaihiwasalam pun berkata:
“Wahai manusia, hati-hatilah dengan ucapan kalian, jangan sampai kalian dijerumuskan oleh syaitan. Sesungguhnya aku tidak ingin kalian mengangkatku di atas kedudukan yang diberikan oleh Allah ta’ala bagiku. Aku ini Muhammad bin ‘Abdillah, hamba-Nya dan utusan-Nya.” (HR. An-Nasa`i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 786: hadits shahih menurut syarat Muslim)
Anas bin Malik radiyallahu'anhu mengisahkan:
“Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam biasa mengunjungi orang-orang Anshar, lalu mengucapkan salam pada anak-anak mereka, mengusap kepala mereka dan mendoakannya.” (HR An. Nasa`i, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 796: hadits hasan)
Ketawadhu’an Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam ini menjadi gambaran nyata yang diteladani oleh para shahabat. Anas bin Malik radiyallahu'anhu pernah melewati anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam pada mereka. Beliau radiyallahu'anhu mengatakan:
“Nabi Shallallahu'alaihiwasalam biasa melakukan hal itu.” (HR. Al-Bukhari no. 6247 dan Muslim no. 2168)
Memberikan salam kepada anak-anak ini dilakukan oleh Nabi Shallallahu'alaihiwasalam dan diikuti pula oleh para shahabat beliau radiyallahu'anhum. Hal ini merupakan sikap tawadhu’ dan akhlak yang baik, serta termasuk pendidikan dan pengajaran yang baik, serta bimbingan dan pengarahan kepada anak-anak, karena anak-anak apabila diberi salam, mereka akan terbiasa dengan hal ini dan menjadi sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka.(Syarh Riyadhish Shalihin, 1/366-367)
Pernah pula Abu Rifa’ah Tamim bin Usaid zmenuturkan sebuah peristiwa yang memberikan gambaran ketawadhu’an Nabi r serta kasih sayang dan kecintaan beliau terhadap kaum muslimin:
“Aku pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam ketika beliau berkhutbah. Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, seorang yang asing datang padamu untuk bertanya tentang agamanya, dia tidak mengetahui tentang agamanya.’ Maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam pun mendatangiku, kemudian diambilkan sebuah kursi lalu beliau duduk di atasnya. Mulailah beliau mengajarkan padaku apa yang diajarkan oleh Allah. Kemudian beliau kembali melanjutkan khutbahnya hingga selesai.” (HR. Muslim no. 876)
Begitu banyak anjuran maupun kisah kehidupan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam yang melukiskan ketawadhu’an beliau. Demikian pula dari para shahabat radiyallahu'anhum. Tinggallah kembali pada diri ayah dan ibu. Jalan manakah kiranya yang hendak mereka pilihkan bagi buah hatinya? Mengajarkan kerendahan hati hingga mendapati kebahagiaan di dua negeri, ataukah menanamkan benih kesombongan hingga menuai kehinaan di dunia dan akhirat?
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
1 Thinatul khabal adalah keringat atau perasan dari penduduk neraka.
2 Hullah adalah pakaian yang terdiri dari dua potong baju.
"Menebar Keangkuhan Menuai Kehinaan"
ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran
AsySyariah.com
Masih berkaca pada untaian nasihat Luqman Al-Hakim kepada anaknya. Menjelang akhir nasihatnya, Luqman melarang sang anak dari sikap takabur dan memerintahkannya untuk merendahkan diri (tawadhu’). Luqman berkata kepada anaknya:
“Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang angkuh dan menyombongkan diri.” (Luqman: 18)
Demikian Luqman melarang untuk memalingkan wajah dan bermuka masam kepada orang lain karena sombong dan merasa dirinya besar, melarang dari berjalan dengan angkuh, sombong terhadap nikmat yang ada pada dirinya dan melupakan Dzat yang memberikan nikmat, serta kagum terhadap diri sendiri. Karena Allah tidak menyukai setiap orang yang menyombongkan diri dengan keadaannya dan bersikap angkuh dengan ucapannya. (Taisirul Karimir Rahman hal. 649)
Pada ayat yang lain Allah Ta'ala melarang pula:
“Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mencapai setinggi gunung.” (Al-Isra`: 37)
Demikianlah, seseorang dengan ketakaburannya tidak akan dapat mencapai semua itu. Bahkan ia akan menjadi seorang yang terhina di hadapan Allah 'Azza wa Jalla dan direndahkan di hadapan manusia, dibenci, dan dimurkai. Dia telah menjalani akhlak yang paling buruk dan paling rendah tanpa menggapai apa yang diinginkannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 458)
Kehinaan. Inilah yang akan dituai oleh orang yang sombong. Dia tidak akan mendapatkan apa yang dia harapkan di dunia maupun di akhirat.
‘Amr bin Syu’aib meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam:
“Orang-orang yang sombong dikumpulkan pada hari kiamat seperti semut-semut kecil dalam bentuk manusia, diliputi oleh kehinaan dari segala arah, digiring ke penjara di Jahannam yang disebut Bulas, dilalap oleh api dan diberi minuman dari perasan penduduk neraka, thinatul khabal.(1)” (HR. At-Tirmidzi, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 434)
Bahkan seorang yang sombong terancam dengan kemurkaan Allah Ta'ala. Demikian yang kita dapati dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang shahabat mulia, ‘Abdullah bin ‘Umar radiyallahu'anhum:
“Barangsiapa yang merasa sombong akan dirinya atau angkuh dalam berjalan, dia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan Allah murka terhadapnya.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 427)
Kesombongan (kibr) bukanlah pada orang yang senang dengan keindahan. Akan tetapi, kesombongan adalah menentang agama Allah Ta'ala dan merendahkan hamba-hamba Allah Ta'ala.
Demikian yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam tatkala beliau ditanya oleh ‘Abdullah bin ‘Umar radiyallahu'anhum, “Apakah sombong itu bila seseorang memiliki hullah(2) yang dikenakannya?”
Beliau Shallallahu'alaihiwasalam menjawab, “Tidak.”
“Apakah bila seseorang memiliki dua sandal yang bagus dengan tali sandalnya yang bagus?”
“Tidak.”
“Apakah bila seseorang memiliki binatang tunggangan yang dikendarainya?”
“Tidak.”
“Apakah bila seseorang memiliki teman-teman yang biasa duduk bersamanya?”
“Tidak.”
“Wahai Rasulullah, lalu apakah kesombongan itu?” Kemudian beliau r menjawab:
“Meremehkan kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 426)
Tak sedikit pun Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam membuka peluang bagi seseorang untuk bersikap sombong. Bahkan beliau Shallallahu'alaihiwasalam senantiasa memerintahkan untuk tawadhu’. ‘Iyadh bin Himar radiyallahu'anhu menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak seorang pun menyombongkan diri atas yang lain dan tak seorang pun berbuat melampaui batas terhadap yang lainnya.” (HR. Muslim no. 2865)
Berlawanan dengan orang yang sombong, orang yang berhias dengan tawadhu’ akan menggapai kemuliaan dari sisi Allah Ta'ala, sebagaimana yang disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah radiyallahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
“Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya.” (HR. Muslim no. 2588)
Tawadhu’ karena Allah 'Azza wa Jalla ada dua makna
Pertama, merendahkan diri terhadap agama Allah, sehingga tidak tinggi hati dan sombong terhadap agama ini maupun untuk menunaikan hukum-hukumnya.
Kedua, merendahkan diri terhadap hamba-hamba Allah Ta'ala karena Allah Ta'ala, bukan karena takut terhadap mereka, ataupun mengharap sesuatu yang ada pada mereka, namun semata-mata hanya karena Allah 'Azza wa Jalla. Kedua makna ini benar.
Apabila seseorang merendahkan diri karena Allah Ta'ala, maka Allah Ta'ala akan mengangkatnya di dunia dan di akhirat. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat disaksikan dalam kehidupan ini. Seseorang yang merendahkan diri akan menempati kedudukan yang tinggi di hadapan manusia, akan disebut-sebut kebaikannya, dan akan dicintai oleh manusia. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/365)
Tak hanya sebatas perintah semata, kisah-kisah dalam kehidupan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam banyak melukiskan ketawadhu’an beliau. Beliau Shallallahu'alaihiwasalam adalah seorang manusia yang paling mulia di hadapan Allah Ta'ala. Meski demikian, beliau menolak panggilan yang berlebihan bagi beliau. Begitulah yang dikisahkan oleh Anas bin Malik radiyallahu'anhu tatkala orang-orang berkata kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, “Wahai orang yang terbaik di antara kami, anak orang yang terbaik di antara kami! Wahai junjungan kami, anak junjungan kami!” Beliau Shallallahu'alaihiwasalam pun berkata:
“Wahai manusia, hati-hatilah dengan ucapan kalian, jangan sampai kalian dijerumuskan oleh syaitan. Sesungguhnya aku tidak ingin kalian mengangkatku di atas kedudukan yang diberikan oleh Allah ta’ala bagiku. Aku ini Muhammad bin ‘Abdillah, hamba-Nya dan utusan-Nya.” (HR. An-Nasa`i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 786: hadits shahih menurut syarat Muslim)
Anas bin Malik radiyallahu'anhu mengisahkan:
“Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam biasa mengunjungi orang-orang Anshar, lalu mengucapkan salam pada anak-anak mereka, mengusap kepala mereka dan mendoakannya.” (HR An. Nasa`i, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 796: hadits hasan)
Ketawadhu’an Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam ini menjadi gambaran nyata yang diteladani oleh para shahabat. Anas bin Malik radiyallahu'anhu pernah melewati anak-anak, lalu beliau mengucapkan salam pada mereka. Beliau radiyallahu'anhu mengatakan:
“Nabi Shallallahu'alaihiwasalam biasa melakukan hal itu.” (HR. Al-Bukhari no. 6247 dan Muslim no. 2168)
Memberikan salam kepada anak-anak ini dilakukan oleh Nabi Shallallahu'alaihiwasalam dan diikuti pula oleh para shahabat beliau radiyallahu'anhum. Hal ini merupakan sikap tawadhu’ dan akhlak yang baik, serta termasuk pendidikan dan pengajaran yang baik, serta bimbingan dan pengarahan kepada anak-anak, karena anak-anak apabila diberi salam, mereka akan terbiasa dengan hal ini dan menjadi sesuatu yang tertanam dalam jiwa mereka.(Syarh Riyadhish Shalihin, 1/366-367)
Pernah pula Abu Rifa’ah Tamim bin Usaid zmenuturkan sebuah peristiwa yang memberikan gambaran ketawadhu’an Nabi r serta kasih sayang dan kecintaan beliau terhadap kaum muslimin:
“Aku pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam ketika beliau berkhutbah. Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, seorang yang asing datang padamu untuk bertanya tentang agamanya, dia tidak mengetahui tentang agamanya.’ Maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam pun mendatangiku, kemudian diambilkan sebuah kursi lalu beliau duduk di atasnya. Mulailah beliau mengajarkan padaku apa yang diajarkan oleh Allah. Kemudian beliau kembali melanjutkan khutbahnya hingga selesai.” (HR. Muslim no. 876)
Begitu banyak anjuran maupun kisah kehidupan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam yang melukiskan ketawadhu’an beliau. Demikian pula dari para shahabat radiyallahu'anhum. Tinggallah kembali pada diri ayah dan ibu. Jalan manakah kiranya yang hendak mereka pilihkan bagi buah hatinya? Mengajarkan kerendahan hati hingga mendapati kebahagiaan di dua negeri, ataukah menanamkan benih kesombongan hingga menuai kehinaan di dunia dan akhirat?
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
1 Thinatul khabal adalah keringat atau perasan dari penduduk neraka.
2 Hullah adalah pakaian yang terdiri dari dua potong baju.
"Menebar Keangkuhan Menuai Kehinaan"
ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran
AsySyariah.com
0 Komentar
Silakan tuliskan komentar, saran dan nasihat antum. Namun tidak semua akan tampilkan.