Hanya Bergantung Kepada Allah | al-uyeah.blogspot.com |
Rumah tangga yang bergelimang materi bukanlah jaminan kebahagiaan. Betapa sempit pandangan seseorang ketika mengukur kebahagiaan dengan serpihan dunia. Penilaian kebahagiaan itu sesungguhnya terletak pada dekat atau jauhnya sebuah rumah tangga dengan ajaran agama yang mulia ini.
Dengan demikian, rumah tangga yang bahagia adalah yang berjalan di atas tuntunan syariat, diterapkan di dalamnya tarbiyah usrah (pendidikan keluarga) yang islami kepada anggota-anggotanya, baik untuk ayah, ibu, maupun anak-anak. Dengan tarbiyah tersebut, diharapkan anggota-anggota keluarga memiliki suluk yang islami dan akhlak karimah.
Seorang ayah, sebagai qawwam (pemimpin) dalam keluarganya, bertanggung jawab untuk memberikan tarbiyah ini secara langsung kepada istri dan anak-anaknya. Dia bertindak sebagai ‘guru’ bagi mereka, tentunya jika dia memiliki ilmunya. Bisa jadi, dia memberi tarbiyah secara tidak langsung, misalnya dengan menyiapkan sarana tarbiyah untuk mereka. Seperti mencarikan ‘guru ngaji atau guru agama’ untuk keluarganya atau mengantarkan keluarganya ke tempat tarbiyah diniyah, majelis taklim misalnya.
Suami sebagai kepala keluarga tentu tidak boleh melalaikan dirinya sendiri dalam hal mencari ilmu din sehingga ia punya bekal untuk membawa dan membimbing keluarganya kepada kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Jangan sampai ia menyuruh anak istrinya belajar agama namun ia sendiri melalaikan dirinya, sibuk mengejar serpihan dunia. Alangkah indahnya gambaran sebuah keluarga yang ayah, ibu, dan anak-anaknya, semua bersemangat mempelajari agama Allah Ta'ala. Tentu tarbiyah diniyah dalam keluarga tersebut berjalan seperti yang diharapkan.
Di antara materi tarbiyah yang penting dan tak boleh terlewatkan untuk ditanamkan dalam benak setiap individu dalam keluarga adalah perasaan butuh kepada Allah Ta'ala. Mengapa masalah ini penting untuk diingatkan? Karena semua hamba bergantung kepada Allah Ta'ala dalam seluruh keadaan mereka dan butuh bantuan-Nya dalam seluruh urusan mereka.
Dia lah yang mengadakan mereka dari semula tidak ada. Dia yang memelihara mereka dengan nikmat-nikmat-Nya. Dia yang menunjukkan mereka hal-hal yang memberi manfaat bagi kehidupan, sebagaimana Dia palingkan mereka dari perkara yang membahayakan mereka. Kira-kira bagaimana jadinya makhluk jika tanpa Sang Pencipta?
Setiap keluarga muslim hendaklah mengetahui bahwa Al-Qur’an yang mulia banyak memuat ayat-ayat yang menunjukkan ‘butuhnya hamba kepada Allah Ta'ala’. Hendaknya mereka mentadabburi apa yang mereka baca dan dengar dari Kalamullah sehingga mereka tahu hakikat kefakiran mereka kepada Allah Ta'ala.
Hendaknya pula mereka sadar, betapa banyak anugerah dan keutamaan Allahlyang terlimpah kepada mereka. Diharapkan, semua itu menggiring mereka untuk mengagungkan-Nya, bersyukur kepada-Nya, dan beribadah dengan baik kepada-Nya.
Seorang suami atau ayah, seorang istri atau ibu, dan anak-anak yang tumbuh di tengah keduanya, serta kita semua, hendaknya menyadari bahwa kita adalah hamba-hamba Allah Ta'ala yang tidak bisa lepas dari-Nya. Senantiasa kita menadahkan tangan meminta kepada-Nya dengan lisanul maqal atau lisanul hal dan Dia terus memberi dengan kemurahan-Nya.
Tak sekedip mata pun kita dapat lepas dari membutuhkan-Nya, di tempat mana pun dan di waktu kapan pun. Walau bagaimana pun besarnya kekuatan kita dan tingginya kedudukan kita, namun kita adalah fuqara (orang-orang fakir) di hadapan-Nya, dan sedikit pun Dia tidak membutuhkan kita.
Hendaknya kita, sebagai bagian dari anggota keluarga muslim, melihat sisi-sisi berikut sebagai penggambaran betapa kita membutuhkan-Nya.
1. Dialah yang menciptakan kita dan tidak membutuhkan kita.
Tidaklah Dia menciptakan kita karena ingin memperbanyak apa yang ada di sisi-Nya yang semula sedikit. Tidak pula untuk menambah kekuatan-Nya yang semula lemah. Dengan demikian, kita diciptakan-Nya semata-mata karena keutamaan dari-Nya.
“Dia menciptakan kalian dalam perut ibu kalian kejadian demi kejadian (dari satu ciptaan ke ciptaan yang berikutnya) dalam tiga kegelapan. (Kegelapan dalam perut, kegelapan rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutupi janin).” (az-Zumar: 6)
Telah lewat masa yang panjang sebelum kita diciptakan di muka bumi ini dan ketika itu kita belum menjadi sesuatu yang bisa disebut. Allah Ta'ala berfirman:
“Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu sedangkan sebelumnya ia tidak ada sama sekali?” (Maryam: 67)
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedangkan dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (al-Insan: 1)
Dengan keutamaan dari Allah 'Azza wa Jalla, Dia menciptakan bapak moyang manusia, Adam 'alaihisalam. Dari Adam, Dia menciptakan anak keturunannya yang banyak hingga memenuhi bumi.
Tatkala Nabi Zakariya 'alaihisalam diberi kabar gembira akan beroleh anak setelah sekian lama beliau mengharapkannya, beliau merasa heran. Bagaimana mungkin beliau punya anak dalam keadaan usia beliau telah lanjut sementara itu istri beliau sendiri mandul? Sebagai jawabannya, Allah Ta'ala menyatakan dalam Al-Qur’an:
Berfirmanlah Rabbmu, “Hal itu mudah bagi-Ku dan sungguh Aku telah menciptakanmu sebelum itu padahal kamu sebelumnya tidak ada sama sekali.” (Maryam: 9)
2. Setelah kita butuh kepada Allah Ta'ala dalam hal penciptaan kita sebagai manusia, kita butuh pula kepada-Nya dalam hal menjaga keberadaan kita di muka bumi.
Allah Mahamampu membinasakan kita jika Dia menghendaki dan menggantikan kita dengan makhluk-Nya yang lain yang mau beribadah kepada-Nya serta sama sekali tidak bermaksiat kepada-Nya. Hal ini dinyatakan Al-Qur’an dalam banyak ayat, di antaranya:
“Dan Rabbmu Mahakaya lagi memiliki rahmat. Jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kalian dan menggantikan kalian dengan siapa yang dikehendaki-Nya setelah kalian musnah, sebagaimana Dia telah menjadikan kalian dari keturunan orang-orang yang lain (yang datang sebelum kalian).” (al-An’am: 133)
“Jika Allah menghendaki niscaya Dia memusnahkan kalian wahai manusia dan Dia datangkan umat yang lain (sebagai pengganti kalian). Dan adalah Allah Mahakuasa berbuat demikian.” (an-Nisa: 133)
“Wahai manusia, kalianlah yang butuh kepada Allah padahal Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kalian dan mendatangkan makhluk yang baru untuk menggantikan kalian. Dan yang demikian itu sama sekali tidak sulit bagi Allah.” (Fathir: 15—17)
3. Kita butuh kepada Allah Ta'ala untuk memberikan hidayah dan menjaga keislaman serta keimanan kita.
Kita pun butuh bantuan-Nya untuk bisa beribadah kepada-Nya. Seandainya bukan karena Allah Ta'ala, niscaya kita tidak bisa berislam, tidak pula beriman, tidak bisa mengerjakan shalat, puasa, dan amalan saleh lainnya. Bahkan, kita pun tidak mampu menjauhi perkara-perkara yang haram. Akan tetapi, Allahllah semata yang melimpahkan anugerah berupa hidayah-Nya kepada kita, sebagaimana firman-Nya:
Mereka merasa telah memberikan nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kalian merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislaman kalian. Sebenarnya Allah lah yang melimpahkan nikmat kepada kalian dengan menunjuki kalian kepada keimanan jika kalian adalah orang-orang yang benar.” (al-Hujurat: 17)
Dalam hadits qudsi, Allah Ta'ala berfirman:
Sangat pantas tentunya kita memuji dan membesarkan-Nya dengan nikmat hidayah ini sebagaimana datang perintah untuk mensyukuri dan mengingat nikmat hidayah dalam ayat-ayat yang berbicara tentang manasik haji:
“Dan ingatlah kepada-Nya sebagaimana Dia telah memberikan hidayah-Nya kepada kalian dan sungguh sebelum itu kalian benar-benar termasuk orang-orang yang sesat (tidak mengerti petunjuk).” (al-Baqarah: 198)
Juga dalam ayat-ayat puasa:
“Dan hendaklah kalian membesarkan (mengagungkan) Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, mudah-mudahan kalian mau bersyukur.” (al-Baqarah: 185)
Betapa banyak orang yang sesat jalannya, tidak sampai kepada keimanan karena tidak ada yang memberinya petunjuk. Adapun kita dipilih-Nya menjadi orang-orang yang beriman, sementara sedikit hamba-hamba-Nya yang beriman. Lantas, apakah yang demikian ini bukan kenikmatan?
Jika Dia telah menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya, tidak ada seorang pun yang sanggup memberinya petunjuk, sebagaimana firman-Nya:
“Barang siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada seorang pun yang bisa memberi petunjuk kepadanya. Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.” (al-A’raf: 186)
Allah Mahamampu untuk memberikan hidayah kepada seluruh manusia, namun hikmah-Nya menolak hal tersebut karena mereka harus diuji. Tentang hal ini, Allahlberfirman:
“Dan jikalau Rabbmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi ini. Maka dari itu, apakah kamu hendak memaksa manusia agar menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Tidak ada seorang pun yang dapat beriman melainkan dengan izin Allah….” (Yunus: 99—100)
4. Kita terus butuh kepada Allahluntuk tetap di atas keimanan dan kokoh di atas Islam
Kita tidak bisa tsabat (tetap kokoh) di atas Islam melainkan dengan pertolongan dan taufik dari-Nya. Oleh sebab itu, di antara doa yang dipanjatkan orang-orang yang mendalam ilmunya adalah seperti yang Dialsebutkan dalam Al-Qur’an:
Mereka berdoa, “Wahai Rabb kami! Janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk kepada kami….” (Ali Imran: 8)
Orang yang shalat dalam setiap rakaat pastilah membaca doa yang diberkahi yang terangkum dalam surat al-Fatihah.
“Berikanlah kami petunjuk kepada jalan yang lurus!” (al-Fatihah: 6)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
"Kita Selalu Butuh Kepada Nya"
ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
AsySyariah.com
Dengan demikian, rumah tangga yang bahagia adalah yang berjalan di atas tuntunan syariat, diterapkan di dalamnya tarbiyah usrah (pendidikan keluarga) yang islami kepada anggota-anggotanya, baik untuk ayah, ibu, maupun anak-anak. Dengan tarbiyah tersebut, diharapkan anggota-anggota keluarga memiliki suluk yang islami dan akhlak karimah.
Seorang ayah, sebagai qawwam (pemimpin) dalam keluarganya, bertanggung jawab untuk memberikan tarbiyah ini secara langsung kepada istri dan anak-anaknya. Dia bertindak sebagai ‘guru’ bagi mereka, tentunya jika dia memiliki ilmunya. Bisa jadi, dia memberi tarbiyah secara tidak langsung, misalnya dengan menyiapkan sarana tarbiyah untuk mereka. Seperti mencarikan ‘guru ngaji atau guru agama’ untuk keluarganya atau mengantarkan keluarganya ke tempat tarbiyah diniyah, majelis taklim misalnya.
Suami sebagai kepala keluarga tentu tidak boleh melalaikan dirinya sendiri dalam hal mencari ilmu din sehingga ia punya bekal untuk membawa dan membimbing keluarganya kepada kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Jangan sampai ia menyuruh anak istrinya belajar agama namun ia sendiri melalaikan dirinya, sibuk mengejar serpihan dunia. Alangkah indahnya gambaran sebuah keluarga yang ayah, ibu, dan anak-anaknya, semua bersemangat mempelajari agama Allah Ta'ala. Tentu tarbiyah diniyah dalam keluarga tersebut berjalan seperti yang diharapkan.
Di antara materi tarbiyah yang penting dan tak boleh terlewatkan untuk ditanamkan dalam benak setiap individu dalam keluarga adalah perasaan butuh kepada Allah Ta'ala. Mengapa masalah ini penting untuk diingatkan? Karena semua hamba bergantung kepada Allah Ta'ala dalam seluruh keadaan mereka dan butuh bantuan-Nya dalam seluruh urusan mereka.
Dia lah yang mengadakan mereka dari semula tidak ada. Dia yang memelihara mereka dengan nikmat-nikmat-Nya. Dia yang menunjukkan mereka hal-hal yang memberi manfaat bagi kehidupan, sebagaimana Dia palingkan mereka dari perkara yang membahayakan mereka. Kira-kira bagaimana jadinya makhluk jika tanpa Sang Pencipta?
Setiap keluarga muslim hendaklah mengetahui bahwa Al-Qur’an yang mulia banyak memuat ayat-ayat yang menunjukkan ‘butuhnya hamba kepada Allah Ta'ala’. Hendaknya mereka mentadabburi apa yang mereka baca dan dengar dari Kalamullah sehingga mereka tahu hakikat kefakiran mereka kepada Allah Ta'ala.
Hendaknya pula mereka sadar, betapa banyak anugerah dan keutamaan Allahlyang terlimpah kepada mereka. Diharapkan, semua itu menggiring mereka untuk mengagungkan-Nya, bersyukur kepada-Nya, dan beribadah dengan baik kepada-Nya.
Seorang suami atau ayah, seorang istri atau ibu, dan anak-anak yang tumbuh di tengah keduanya, serta kita semua, hendaknya menyadari bahwa kita adalah hamba-hamba Allah Ta'ala yang tidak bisa lepas dari-Nya. Senantiasa kita menadahkan tangan meminta kepada-Nya dengan lisanul maqal atau lisanul hal dan Dia terus memberi dengan kemurahan-Nya.
Tak sekedip mata pun kita dapat lepas dari membutuhkan-Nya, di tempat mana pun dan di waktu kapan pun. Walau bagaimana pun besarnya kekuatan kita dan tingginya kedudukan kita, namun kita adalah fuqara (orang-orang fakir) di hadapan-Nya, dan sedikit pun Dia tidak membutuhkan kita.
Hendaknya kita, sebagai bagian dari anggota keluarga muslim, melihat sisi-sisi berikut sebagai penggambaran betapa kita membutuhkan-Nya.
1. Dialah yang menciptakan kita dan tidak membutuhkan kita.
Tidaklah Dia menciptakan kita karena ingin memperbanyak apa yang ada di sisi-Nya yang semula sedikit. Tidak pula untuk menambah kekuatan-Nya yang semula lemah. Dengan demikian, kita diciptakan-Nya semata-mata karena keutamaan dari-Nya.
“Dia menciptakan kalian dalam perut ibu kalian kejadian demi kejadian (dari satu ciptaan ke ciptaan yang berikutnya) dalam tiga kegelapan. (Kegelapan dalam perut, kegelapan rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutupi janin).” (az-Zumar: 6)
Telah lewat masa yang panjang sebelum kita diciptakan di muka bumi ini dan ketika itu kita belum menjadi sesuatu yang bisa disebut. Allah Ta'ala berfirman:
“Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu sedangkan sebelumnya ia tidak ada sama sekali?” (Maryam: 67)
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedangkan dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (al-Insan: 1)
Dengan keutamaan dari Allah 'Azza wa Jalla, Dia menciptakan bapak moyang manusia, Adam 'alaihisalam. Dari Adam, Dia menciptakan anak keturunannya yang banyak hingga memenuhi bumi.
Tatkala Nabi Zakariya 'alaihisalam diberi kabar gembira akan beroleh anak setelah sekian lama beliau mengharapkannya, beliau merasa heran. Bagaimana mungkin beliau punya anak dalam keadaan usia beliau telah lanjut sementara itu istri beliau sendiri mandul? Sebagai jawabannya, Allah Ta'ala menyatakan dalam Al-Qur’an:
Berfirmanlah Rabbmu, “Hal itu mudah bagi-Ku dan sungguh Aku telah menciptakanmu sebelum itu padahal kamu sebelumnya tidak ada sama sekali.” (Maryam: 9)
2. Setelah kita butuh kepada Allah Ta'ala dalam hal penciptaan kita sebagai manusia, kita butuh pula kepada-Nya dalam hal menjaga keberadaan kita di muka bumi.
Allah Mahamampu membinasakan kita jika Dia menghendaki dan menggantikan kita dengan makhluk-Nya yang lain yang mau beribadah kepada-Nya serta sama sekali tidak bermaksiat kepada-Nya. Hal ini dinyatakan Al-Qur’an dalam banyak ayat, di antaranya:
“Dan Rabbmu Mahakaya lagi memiliki rahmat. Jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kalian dan menggantikan kalian dengan siapa yang dikehendaki-Nya setelah kalian musnah, sebagaimana Dia telah menjadikan kalian dari keturunan orang-orang yang lain (yang datang sebelum kalian).” (al-An’am: 133)
“Jika Allah menghendaki niscaya Dia memusnahkan kalian wahai manusia dan Dia datangkan umat yang lain (sebagai pengganti kalian). Dan adalah Allah Mahakuasa berbuat demikian.” (an-Nisa: 133)
“Wahai manusia, kalianlah yang butuh kepada Allah padahal Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kalian dan mendatangkan makhluk yang baru untuk menggantikan kalian. Dan yang demikian itu sama sekali tidak sulit bagi Allah.” (Fathir: 15—17)
3. Kita butuh kepada Allah Ta'ala untuk memberikan hidayah dan menjaga keislaman serta keimanan kita.
Kita pun butuh bantuan-Nya untuk bisa beribadah kepada-Nya. Seandainya bukan karena Allah Ta'ala, niscaya kita tidak bisa berislam, tidak pula beriman, tidak bisa mengerjakan shalat, puasa, dan amalan saleh lainnya. Bahkan, kita pun tidak mampu menjauhi perkara-perkara yang haram. Akan tetapi, Allahllah semata yang melimpahkan anugerah berupa hidayah-Nya kepada kita, sebagaimana firman-Nya:
Mereka merasa telah memberikan nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kalian merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislaman kalian. Sebenarnya Allah lah yang melimpahkan nikmat kepada kalian dengan menunjuki kalian kepada keimanan jika kalian adalah orang-orang yang benar.” (al-Hujurat: 17)
Dalam hadits qudsi, Allah Ta'ala berfirman:
يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُوْنِي أَهْدِكُمْ
“Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua sesat kecuali orang yang Aku beri hidayah/petunjuk. Oleh karena itu, mintalah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku berikan kepada kalian.”Sangat pantas tentunya kita memuji dan membesarkan-Nya dengan nikmat hidayah ini sebagaimana datang perintah untuk mensyukuri dan mengingat nikmat hidayah dalam ayat-ayat yang berbicara tentang manasik haji:
“Dan ingatlah kepada-Nya sebagaimana Dia telah memberikan hidayah-Nya kepada kalian dan sungguh sebelum itu kalian benar-benar termasuk orang-orang yang sesat (tidak mengerti petunjuk).” (al-Baqarah: 198)
Juga dalam ayat-ayat puasa:
“Dan hendaklah kalian membesarkan (mengagungkan) Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, mudah-mudahan kalian mau bersyukur.” (al-Baqarah: 185)
Betapa banyak orang yang sesat jalannya, tidak sampai kepada keimanan karena tidak ada yang memberinya petunjuk. Adapun kita dipilih-Nya menjadi orang-orang yang beriman, sementara sedikit hamba-hamba-Nya yang beriman. Lantas, apakah yang demikian ini bukan kenikmatan?
Jika Dia telah menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya, tidak ada seorang pun yang sanggup memberinya petunjuk, sebagaimana firman-Nya:
“Barang siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada seorang pun yang bisa memberi petunjuk kepadanya. Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.” (al-A’raf: 186)
Allah Mahamampu untuk memberikan hidayah kepada seluruh manusia, namun hikmah-Nya menolak hal tersebut karena mereka harus diuji. Tentang hal ini, Allahlberfirman:
“Dan jikalau Rabbmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi ini. Maka dari itu, apakah kamu hendak memaksa manusia agar menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Tidak ada seorang pun yang dapat beriman melainkan dengan izin Allah….” (Yunus: 99—100)
4. Kita terus butuh kepada Allahluntuk tetap di atas keimanan dan kokoh di atas Islam
Kita tidak bisa tsabat (tetap kokoh) di atas Islam melainkan dengan pertolongan dan taufik dari-Nya. Oleh sebab itu, di antara doa yang dipanjatkan orang-orang yang mendalam ilmunya adalah seperti yang Dialsebutkan dalam Al-Qur’an:
Mereka berdoa, “Wahai Rabb kami! Janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk kepada kami….” (Ali Imran: 8)
Orang yang shalat dalam setiap rakaat pastilah membaca doa yang diberkahi yang terangkum dalam surat al-Fatihah.
“Berikanlah kami petunjuk kepada jalan yang lurus!” (al-Fatihah: 6)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
"Kita Selalu Butuh Kepada Nya"
ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
AsySyariah.com
0 Komentar
Silakan tuliskan komentar, saran dan nasihat antum. Namun tidak semua akan tampilkan.