Hukum Mengumandangkan Adzan di Telinga Bayi Saat Lahir | al-uyeah.blogspot.com |
Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhu berkisah,
“Aku menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan azan seperti azan untuk shalat di telinga al-Hasan bin Ali ketika dilahirkan Fathimah.”
Seputar Hadits
Hadits di atas dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad (6/9), Abu Dawud (5105), at-Tirmidzi, (1/286), al- Hakim (3/179), al-Baihaqi (9/305), dan Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir (1/121/2). Seluruh jalur riwayat, madar-nya (pusat perputaran hadits) kembali kepada jalur Sufyan dari ‘Ashim dari Ubaidullah dari Abu Rafi’. (Irwa’ul Ghalil, 1173)
Artinya, masing-masing ulama di atas meriwayatkan hadits Abu Rafi’ ini di dalam kitab-kitab mereka dengan jalur berbeda-beda. Akan tetapi, jalur periwayatan tersebut kembalinya kepada Sufyan juga.
Siapakah Sufyan yang dimaksud? Sufyan ats-Tsauri dan Sufyan bin ‘Uyainah sama-sama meriwayatkan hadits dari ‘Ashim bin Ubaidillah. Akan tetapi, di dalam sanad ini yang dimaksud adalah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri.
Seputar Perawi Hadits
Dengan demikian, sanad hadits di atas yang perlu dibahas lebih mendetail adalah jalur Sufyan dari ‘Ashim dari Ubaidullah dari Abu Rafi’.
Abu Rafi’, sahabat yang meriwayatkan hadits di atas. Nama beliau diperselisihkan oleh ulama hadits. Ada yang mengatakan nama beliau Ibrahim, Aslam, Tsabit, dan ada pula yang berpendapat namanya Hurmuz. Abu Rafi’ termasuk maula (budak yang dimerdekakan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ubaidullah adalah putra Abu Rafi’. Beliau terhitung tabi’in yang meriwayatkan hadits dari para sahabat, di antaranya adalah ayahnya, Abu Hurairah, dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhum. Bahkan, beliau termasuk juru tulis Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Beliau dinilai tsiqah oleh para ulama semisal Abu Hatim, al-Khathib, Ibnu Hibban, dan Ibnu Sa’d.
‘Ashim bin Ubaidullah bin ‘Ashim bin Umar bin Khaththab al-‘Adawi al- Madani. Sejumlah ulama menilai ‘Ashim sebagai perawi dha’if (lemah). Bahkan, al-Imam al-Bukhari dan Abu Hatim rahimahumallah menilai beliau munkarul hadits. Al-Imam an-Nasa’i rahimahullah mengatakan, ”Kami tidak mengetahui al-Imam Malik rahimahullah meriwayatkan hadits dari seorang perawi dha’if yang masyhur kedha’ifannya selain dari ‘Ashim bin Ubaidillah. Al-Imam Malik rahimahullah meriwayatkan satu buah hadits darinya.”
Sufyan bin Sa’id bin Masruq ats-Tsauri, Abu Abdillah al-Kufi. Beliau digelari Amirul Mukminin dalam bidang hadits. Sebuah gelar kelas tinggi yang menunjukkan derajat dan kedudukan beliau di kalangan ahli hadits. Gelar tersebut disematkan untuk beliau oleh sekian banyak ulama, semacam Syu’bah, Sufyan bin Uyainah, Abu ‘Ashim, Yahya bin Ma’in, dan beberapa yang lain. (Tahdzibut Tahdzib, pada biografi masing-masing)
Derajat Hadits Abu Rafi’
Al-Imam Tirmidzi rahimahullah setelah membawakan hadits Abu Rafi’ di atas mengatakan, ”Hadits ini hasan sahih.”
Asy-Syaikh al-Albani (Irwa’ul Ghalil 1173) berkomentar, “Demikianlah pendapat beliau. Padahal, para ulama sepakat menghukumi ‘Ashim bin Ubaidillah dha’if. Penilaian tertinggi untuk ‘Ashim adalah la ba’sa bihi (tidak mengapa). Itu pun yang mengucapkannya al-‘Ijli, sementara beliau termasuk ulama mutasahilin (mudah menilai tsiqah).”
Oleh sebab itu , al-Hafizh menegaskan di dalam at-Taqrib tentang kedha’ifan ‘Ashim ini. Adz-Dzahabi juga menyebutkan ‘Ashim di dalam adh-Dhu’afa. Beliau mengatakan, “Al- Imam Malik rahimahullah dan yang lainnya mendha’ifkannya.”
Adz-Dzahabi rahimahullah juga mengomentari penilaian al-Hakim terhadap hadits ini “Sanadnya sahih”, dengan mengatakan, “Ashim adalah perawi dha’if.”
Asy-Syaikh al-Albani sendiri semula menyatakan hadits Abu Rafi’ ini hasan (Irwa’ul Ghalil no. 1173). Akan tetapi, di kemudian hari beliau rujuk dan menyatakan hadits ini dha’if (Shahih al-Kalimit Thayyib hlm. 162 dan Silsilah Dha’ifah 6121)
Beliau mengatakan, “… Dahulu saya menyatakan hasan hadits Abu Rafi’ di dalam al-Irwa’ (4/400/1173). Sekarang—walhamdulillah—kitab as- Syu’ab karya al-Baihaqi telah dicetak. Di sana saya menemukan sanadnya dan telah jelas bagi saya kedudukannya yang sangat lemah. Oleh sebab itu, saya menyatakan rujuk dari menilai hadits tersebut hasan.
Hadits Abu Rafi’ pun kembali dha’if sebagaimana seharusnya dari sanad hadits. Hal ini hanyalah salah satu dari puluhan contoh yang membuat saya berpendapat bahwa ilmu itu tidak bersifat jumud (kaku). Saya akan tetap terus membahas dan melakukan penelitian sampai kematian mendatangi saya. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.”
Apakah sebelum asy-Syaikh al-Albani ada ulama hadits yang menyatakan hadits ini dha’if?
Ada. Al-Imam Ibnul Mulaqqin (al- Badrul Munir 9/348) menjelaskan, “Ibnu Hibban mengkritik ‘Ashim yang meriwayatkan hadits ini (hadits Abu Rafi’) dan hadits lainnya. Ibnul Qaththan juga menghukumi hadits ini mu’all (memiliki cacat) karena ‘Ashim. Bahkan, beliau mengatakan, ‘Sungguh, dia adalah dha’iful hadits, munkar, dan mudhtarib’.”
Hadits ini juga disebutkan oleh al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah sebagai salah satu hadits munkar yang diriwayatkan oleh ‘Ashim. (Mizanul I’tidal 4/274)
Wallahu a’lam, kesimpulannya, hadits Abu Rafi’ adalah dha’if.
Pendapat Ulama dalam Masalah Ini
Sebagian kaum muslimin memang melakukan amalan azan di telinga bayi saat baru dilahirkan. Bahkan, ada anggapan jika bayi tidak diazani, setan akan menjerumuskannya ke dalam kesesatan. Namun, seperti apakah pendapat para ulama dalam hal ini?
Fuqaha mazhab Syafi’i berpendapat bahwa dianjurkan azan di telinga bayi ketika lahir. Fuqaha mazhab Hanafi dan Hanbali juga berpendapat demikian.
Al-Imam Ibnu ‘Abidin rahimahullah (seorang ulama Hanafi) mengomentari pendapat al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Sebab, riwayat sahih (hadits Abu Rafi’) yang tidak bertabrakan dengan dalil lain menjadi sebuah mazhab bagi seorang mujtahid, meskipun ia sendiri tidak menyatakan dengan tegas.”
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah (seorang ulama Hanbali) mengatakan,
“Sebagian ulama mengatakan disunnahkan bagi orang tua untuk mengumandangkan azan di telinga anaknya ketika baru lahir.” Setelah itu Ibnu Qudamah membawakan hadits Abu Rafi’. (al-Mughni 13/401, Mausu’ah Kuwaitiyah 2/373)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah juga menyebutkan hadits Abu Rafi’ di atas di dalam kitab beliau al-Adzkar. Setelah itu beliau mengatakan, “Sejumlah ulama dari mazhab kami (Syafi’i) berpendapat disunnahkan azan di telinga kanan bayi dan iqamat di telinga kirinya.”
Hadits Abu Rafi’ di atas juga disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab al-Kalimuth Thayyib dan Ibnul Qayyim di dalam kitab Tuhfatul Maudud. Bahkan, Ibnul
Qayyim rahimahullah membuat judul untuk hadits ini, “Disunnahkan azan di telinga kanan bayi dan iqamat di telinga kirinya.”
Jika kita memerhatikan lebih cermat dan teliti, setiap ulama yang berpendapat azan di telinga bayi ketika lahir hukumnya sunnah pasti berdalil dan beralasan dengan hadits Abu Rafi’ di atas. Padahal, kita telah membaca bersama kesimpulan bahwa hadits Abu Rafi’ adalah hadits yang dha’if.
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad (Syarah Sunan Abi Dawud 5105) menyimpulkan, “Jika di dalam pembahasan atau bab ini (azan di telinga bayi) tidak ada hadits kecuali hadits Abu Rafi’ ini—sementara di dalam sanadnya terdapat seorang perawi dha’if yaitu ‘Ashim bin Ubaidillah—tidak ada satu pun dalil yang bisa digunakan sebagai hujah dalam masalah ini.”
Apakah beliau memiliki salaf dalam pendapat ini?
Al-Imam Malik rahimahullah berpendapat bahwa azan di telinga bayi ketika lahir hukumnya makruh. Bahkan, beliau menilainya sebagai perbuatan bid’ah. (Mausu’ah Kuwaitiyah 2/373)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (Liqa Bab Maftuh) juga menilai hadits Abu Rafi’ dhaif.
Mungkinkah Ulama Berpendapat dengan Hadits Dha’if?
Terkadang muncul pertanyaan, “Jika memang hadits Abu Rafi’ dha’if, mengapa bisa ulama sebanyak itu berpendapat sunnahnya azan di telinga bayi dan berhujah dengan hadits Abu Rafi’?”
Hal semacam ini sangat mungkin terjadi. Orang yang mempelajari dan mendalami disiplin ilmu fikih pasti sering menemukan contoh semacam ini. Terkadang seorang ulama memegang pendapat yang bertentangan dengan hadits sahih karena hadits sahih itu belum sampai kepadanya. Ada pula seorang ulama berpendapat dengan hadits dha’if disebabkan tidak mengetahui sisi dha’ifnya. Jelasnya, ilmu Allah radhiallahu ‘anhuma yang diwariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kita sangatlah luas, sementara yang kita ketahui hanya sedikit.
Setelah menjelaskan kelemahan hadits Abu Rafi’, al-Mubarakfuri (Tuhfatul Ahwadzi 1514) mengatakan, “Bagaimana mungkin amalan ulama berdasarkan hadits ini, sementara hadits ini dha’if? Saya menjawab, benar. Hadits ini memang dha’if. Akan tetapi, menjadi kuat dengan hadits al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la al-Maushili dan Ibnu as-Sunni.”
Barangkali, inilah sebabnya mengapa para ulama berdalil dengan hadits Abu Rafi’. Sebab, ada beberapa riwayat yang dianggap bisa mendukung dan memperkuat hadits Abu Rafi’.
Adakah Hadits Lain yang Menguatkan Hadits Abu Rafi’?
Sebagian ulama yang berhujah dengan hadits Abu Rafi’ menyebutkan dua hadits lain untuk menguatkan dan mendukung hadits Abu Rafi’. Bagaimanakah derajat kedua hadits tersebut?
Hadits al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma, dikeluarkan oleh Abu Ya’la di dalam al-Musnad (4/1602), Ibnus Sunni di dalam ‘Amalul Yaum (200/617), dan Ibnu ‘Asakir (16/182/2). Semuanya melalui jalur Yahya bin al-‘Ala ar-Razi, dari Marwan bin Salim, dari Thalhah bin Ubaidillah al-‘Uqaili, dari al-Husain bin Ali. Lafadz hadits al-Husain radhiallahu ‘anhu,
“Barang siapa lahir anaknya lalu ia mengumandangkan azan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri, Ummu as-Shibyan (setan) tidak akan memudaratkannya.”
Asy-Syaikh al-Albani menilai, “Sanad hadits ini maudhu’ (palsu). Yahya bin al-‘Ala dan Marwan bin Salim adalah pemalsu hadits.”
Hadits Ibnu Abbas, dikeluarkan oleh al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman (no. 8620) melalui jalur Muhammad bin Yunus, dari al-Hasan bin ‘Amr bin Saif as-Sadusi, dari al-Qasim bin Muthayyib, dari Manshur bin Shafiyyah, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan azan untuk al-Hasan bin Ali saat lahir. Beliau azan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.”
Akan tetapi, di dalam sanad hadits ini pun terdapat dua perawi pemalsu hadits, yaitu al-Hasan bin ‘Amr dan Muhammad bin Yunus. Jadi, hadits ini pun derajatnya maudhu’ (palsu). (Silsilah adh-Dha’ifah no. 312 dan 6121)
Jelaslah sudah bahwa hadits Abu Rafi’ tetap dihukumi dha’if. Sebab, dua hadits yang disebutkan sebagai penguat malah lebih parah lagi derajatnya. Kedua hadits tersebut sama-sama palsu.
Wallahu a’lam.
Bagaimanakah Seharusnya?
Sebagian kalangan bersikukuh melakukan amalan ini. Alasannya, setan akan lari terbirit-birit ketika mendengar azan. Memang benar, ada sebuah hadits yang menunjukkan hal itu (hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu riwayat al-Bukhari no. 608 dan Muslim no. 389). Hanya saja, azan yang dimaksud adalah azan syar’i yang berlandaskan hadits sahih. Padahal, kita telah membaca bersama bahwa hadits azan untuk bayi lahir adalah dha’if.
Ada juga yang beralasan ingin memperdengarkan kalimat-kalimat baik untuk pertama kali di pendengaran bayi. Hanya saja, Islam mendidik dan membimbing kita untuk beramal dan beribadah berdasarkan hujah dan dalil yang kuat. Adakah hujah yang kuat untuk mengumandangkan azan di telinga bayi? Lagi pula, apakah bayi tersebut memang benar-benar bisa mendengar azan?
Bahkan, ada yang beralasan dengan tindakan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah yang melakukan amalan ini. Jawabannya, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah (at-Talkhis al-Habir) menyatakan, “(Pertama) saya tidak melihatnya musnad (sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Kedua, seandainya pun benar Umar bin Abdul Aziz rahimahullah melakukannya, tidaklah bisa diterima sebagai hujah. Sebab, ibadah harus berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.”
Berdasarkan sedikit keterangan di atas, kita menyatakan bahwa azan di telinga bayi ketika lahir tidaklah dituntunkan oleh Islam. Sebab, tidak ditemukan dalil dan hujah yang bisa dijadikan sebagai landasan beramal.
Kita masih bisa memaklumi sebagian kaum muslimin yang masih melakukan amalan ini. Barangkali mereka belum mengetahui bahwa hadits yang dijadikan landasan adalah hadits lemah. Maka dari itu, tugas kita ialah menjelaskannya. Masalahnya, setelah seorang muslim mengetahui hadits dalam hal ini lemah, atas dasar apa ia tetap melakukannya?
Wallahul muwaffiq.
Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar ibnu Rifai, asysyariah.com
0 Komentar
Silakan tuliskan komentar, saran dan nasihat antum. Namun tidak semua akan tampilkan.