Let's Go Ngaji

Let's Go Ngaji | al-uyeah.blogspot.com
Marilah kita berupaya untuk selalu bertakwa kepada Allah Ta'ala dan bersungguh-sungguh dalam memahami agama-Nya dengan menuntut ilmu yang bermanfaat. Karena ilmu adalah cahaya dan petunjuk, sedangkan kebodohan adalah kegelapan dan kesesatan. Allah Ta'ala berfirman:

“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang memberikan keterangan yang sangat jelas. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang dari gelap-gulita kepada cahaya yang terang-benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Maidah:15-16)

Dengan menuntut ilmulah, seseorang akan mengenal Rabb-nya dan akan kokoh di atas agama yang mulia. Dengan menuntut ilmu, seseorang akan mengetahui bahwa Dialah Allah Ta'ala satu-satunya sesembahan yang benar, sedangkan selain-Nya adalah sesembahan yang batil. 

Dengan demikian, Allah Ta'ala akan selamatkan seseorang dengan sebab menuntut ilmu dari kegelapan syirik dan kemaksiatan serta kesesatan bid’ah dan kerancuan pemikiran. Begitu pula, Allah Ta'ala akan menyelamatkannya dari kegelapan dan kesulitan serta dijauhkan dari siksa-Nya di hari kebangkitan.

Menuntut ilmu adalah jalan untuk mendapatkan keridhaan Allah Ta'ala dan jalan menuju surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan. 

Nabi Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa berjalan dalam rangka menuntut ilmu maka akan dimudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa jalan yang pertama kali harus ditempuh untuk mencapai jannah (surga) tidak lain adalah dengan cara menuntut ilmu. Barangsiapa menempuh jalan lainnya, atau menyangka bahwa dirinya akan mendapatkan kenikmatan jannah meskipun tanpa menuntut ilmu, maka akan sia-sialah usahanya meskipun dengan susah-payah dia menjalaninya. 

Bahkan dia akan menjadi orang yang merugi karena sia-sia amalannya. Dirinya menyangka telah banyak beramal, padahal apa yang dilakukan adalah amalan bid’ah yang tidak akan diterima oleh Allah Ta'ala. Bahkan yang dilakukan adalah perbuatan syirik yang akan menjadi sebab gugurnya seluruh amal ibadah yang telah dilakukannya. Allah Ta'ala berfirman:

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia amalannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. (Al-Kahfi: 103-104)

Dengan demikian kita mengetahui bahwa kegiatan dan kesibukan seseorang dalam menuntut ilmu memiliki keutamaan yang sangat besar, dan orang yang melakukannya pada dasarnya sedang dalam perjalanan menuju jannah (surga). 

Oleh karena itu, para pendahulu kita dari kalangan salafush shalih adalah orang-orang yang sangat bersemangat dalam menuntut ilmu. Lihatlah bagaimana salah seorang sahabat, yaitu Abu Ayyub Al-Anshari radiyallahu'anhu, yang hanya karena ingin mendapatkan satu hadits, beliau harus melakukan perjalanan dari kota Madinah menuju Mesir untuk menemui sahabat lainnya yang meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam yang dia belum memilikinya. 

Begitu pula sahabat Jabir ibn ‘Abdillah radiyallahu'anhu, dan para pendahulu kita yang lain. Mereka siap melakukan perjalanan yang jauh untuk mendapatkan hadits Nabi Shallallahu'alaihiwasalam. Bahkan mereka pun tidak merasa direndahkan meskipun harus mengambilnya dari orang yang ilmu dan keutamaannya di bawah mereka.

Sesungguhnya cukup bagi seseorang untuk mengambil pelajaran yang menunjukkan betapa pentingnya menuntut ilmu dari kisah Nabiyullah Musa 'alaihisalam. Yaitu ketika beliau harus menempuh perjalanan yang jauh untuk menemui Nabiyullah Khidhir 'alaihisalam yang diberitakan oleh Allah Ta'ala bahwa beliau memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa 'alaihisalam. Allah Ta'ala berfirman:

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (Al-Kahfi: 60)

Allah Ta'ala kemudian menyebutkan ucapan Nabi Musa 'alaihisalam ketika telah bertemu dengannya di dalam firman-Nya:

Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (Al-Kahfi: 66)

Maka cukuplah kisah tersebut memberikan pelajaran bagi kita untuk bersemangat dalam menuntut ilmu karena sangat pentingnya dan sangat besar kebutuhan kita akan ilmu. Kalaulah ada seseorang yang dibolehkan merasa cukup dari ilmu sehingga tidak perlu untuk mencarinya apalagi harus dengan menempuh perjalanan jauh, maka Nabi Musa 'alaihisalam tentu yang paling pantas untuk merasa cukup. Karena beliau adalah orang yang telah dikaruniai ilmu yang banyak oleh Allah Ta'ala. Namun demikian, beliau tidak merasa cukup dengan ilmu yang telah dimilikinya. Hal ini menunjukkan betapa tinggi dan besarnya nilai sebuah ilmu.

Ketahuilah, bahwasanya disamping bersemangat, seseorang juga harus berhati-hati dalam menuntut ilmu. 

Karena ilmu itu tidaklah diambil kecuali dari ahlinya. Sehingga dikatakan oleh sebagian para ulama kita:

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ

“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”

Maka sudah semestinya bagi kaum muslimin untuk mempelajari agamanya dari para ulama. Karena mereka adalah orang-orang yang menempati kedudukan para nabi dalam menyampaikan agama. Maka sungguh merupakan suatu anggapan yang salah ketika seseorang merasa mampu untuk memahami agama ini tanpa bimbingan para ulama, dan merasa cukup dengan mempelajari sendiri dari kitab-kitab yang dimilikinya. 

Begitu pula merupakan suatu kesalahan yang besar ketika seseorang menganggap yang penting kembali kepada Al-Qur’an dan hadits (As-Sunnah) dengan mengambilnya sendiri dan tidak mengambilnya melalui para ulama.

Sungguh telah muncul orang-orang yang meremehkan kedudukan para ulama sehingga mengambil kesimpulan serta menetapkan hukum sendiri dari apa yang dia baca dari Al-Qur’an dan hadits. Padahal cara membacanya saja masih banyak yang salah, apalagi memahami kandungannya serta mengambil hukum dari apa yang dia baca. 

Maka yang demikian ini sungguh sangat berbahaya. Karena untuk melakukan itu dibutuhkan perangkat ilmu yang begitu banyak, dan hanya para ulama yang benar-benar kokoh ilmunya yang bisa melakukannya. Oleh karena itu, marilah kita berupaya sekuat kemampuan kita untuk senantiasa berhati-hati dan mengembalikan urusan agama kita kepada ahlinya.

Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Ta'ala dengan berpegang teguh dalam menjalankan agama-Nya. Yaitu diawali dengan bersemangat di dalam mempelajari agama Allah Ta'ala dengan mengambilnya dari ahlinya. 

Sungguh merupakan suatu amalan yang sangat besar ketika seseorang diberi kemudahan untuk bisa menghadiri majelis para ulama dan mengkhususkan waktunya untuk mengambil faedah dari mereka. Bahkan satu majelis ilmu yang didatangi oleh seseorang dan dia mendatanginya dengan ikhlas serta dalam rangka mencari kebenaran sehingga kemudian dia mengamalkannya serta mengajarkannya kepada yang lainnya, maka sungguh dia telah memperoleh kebaikan yang sangat besar. 

Karena dia akan mendapatkan pahala dari amalannya dan pahala dari orang-orang yang mengamalkan apa yang dia ajarkan kepadanya. Maka seseorang yang mengkhususkan dirinya untuk mempelajari agama Allah Ta'ala tentu lebih banyak lagi keutamaan yang akan diperolehnya.

Namun ketahuilah, hadirin yang semoga dirahmati Allah Ta'ala, bahwa ilmu yang diperintahkan kita untuk mencarinya adalah ilmu syar’i. 

Begitu pula orang-orang yang dipuji karena memiliki ilmu dan yang disebut sebagai ulama adalah orang-orang yang memiliki ilmu syar’i. Yaitu ilmu tentang syariat atau agama Allah Ta'ala yang dibawa oleh utusan-Nya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Abud Darda radiyallahu'anhu, bahwa Nabi Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan dinar, tidak pula mewariskan dirham. Akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mendapatkannya maka dia telah mendapatkan bagian yang sangat mencukupi.” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)

Adapun ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan teknologi, kedokteran, dan yang lainnya, meskipun hal itu memiliki manfaat, namun bukanlah ilmu yang disebutkan pujiannya di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Tanda yang menunjukkan bahwa seseorang diinginkan untuk mendapatkan kebaikan dari Allah Ta'ala dengan mendapatkan kenikmatan surga-Nya adalah pahamnya dia terhadap agama Allah Ta'ala. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:

مَنْ يُرِِِِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah inginkan terhadapnya kebaikan maka Allah akan pahamkan dia terhadap agamanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Sehingga ketidakpahaman seseorang terhadap agamanya menunjukkan bahwa dirinya bukan orang yang dikehendaki oleh Allah Ta'ala untuk mendapatkan kebaikan, meskipun dia ahli dalam masalah ekonomi, kesehatan, serta ilmu pengetahuan yang lainnya. 

Bahkan apabila ilmu pengetahuannya tentang dunia tersebut memalingkan dirinya dari mempelajari agama Allah Ta'ala sehingga tidak menerima ajaran yang ada di dalamnya, maka dirinya telah tertular sifat orang kafir yang disebutkan dalam firman Allah Ta'ala:

Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka lebih membanggakan pengetahuan yang ada pada mereka. Maka mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.” (Al-Mu’min: 83)

Akhirnya, mudah-mudahan Allah Ta'ala memberikan taufiq-Nya kepada kita semua sehingga menjadi orang-orang yang paham terhadap satu-satunya agama yang diridhai-Nya, yaitu agama Islam.

"Kewajiban Menuntut Ilmu"
ditulis oleh: Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc.
AsySyariah.com
Tulisan ini ditujukan untuk ana dan keluarga. Dibuat dengan cinta. Saran dan nasihat silakan tulis di kolom komentar.

Ada Pertanyaan?




Silakan antum tanyakan ke asatidzah dengan datang saja ke majelis ilmu terdekat, cek lokasinya kajian Info Kajian. Baarakallahu fiikum.
Previous
Next Post »