Betapa Allah Mencintai Hamba-Nya

Betapa Allah Mencintai Hamba-Nya | al-uyeah.blogspot.com
Apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (asy-Syura: 30)

Para ulama ahli tafsir menyebutkan, ketika ayat ini turun, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah (musibah yang menimpa pada seorang hamba) berupa goresan kayu (yang melukai badan), salah urat, terkena batu, terkilir, melainkan karena dosa, dan apa yang Dia maafkan dari dosa itu lebih banyak.” Riwayat ini diriwayatkan oleh Hannad secara mursal pada kitab az-Zuhud melalui al-Hasan al-Bashri.

Riwayat ini dikuatkan oleh riwayat dari Abu Musa al-Asy’ari yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dengan lafadz, “Tidaklah suatu musibah berat atau ringan, menimpa seorang hamba melainkan karena dosa, dan yang Dia Ta'ala maafkan lebih banyak.”

Juga riwayat dari al-Bara’ bin Azib yang dikeluarkan oleh ath-Thabarani. Al-Imam as-Suyuthi rahimahullah dalam kitabnya ad-Durrul Mantsur menisbahkan riwayat tersebut dikeluarkan oleh Sa’id bin Manshur, Abd bin Humaid, Ibnul Mundzir, dan Abu Hatim.

Ibnu Sa’d meriwayatkan dari Abu Mulaikah, dari Asma’ bintu Abu Bakr ash-Shiddiq radiyallahu'anhu, beliau pernah pusing kemudian meletakkan tangannya di kepala seraya berkata, “Ini karena dosaku dan apa yang Allah Ta'ala ampuni lebih banyak.”

Penjelasan Ayat

Al-Imam ath-Thabari rahimahullah memaparkan ucapan Ibnu Abbas tentang tafsir ayat ini, “Allah Ta'ala menjadikan hukuman bagi orang-orang mukmin karena dosa-dosa mereka (di dunia) dan tidak akan menyiksa mereka di akhirat karena dosa.”

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan bahwa ayat ini diterapkan pada permasalahan hukum-hukum had (seperti qishash, rajam, dan yang lain, -pen.).

Al-Alusi rahimahullah mengatakan bahwa ayat ini tertuju secara khusus kepada para pelaku dosa dari kalangan kaum muslimin dan selain mereka. Hal ini karena orang yang tidak punya dosa, seperti para nabi, terkadang juga tertimpa musibah. Dalam hadits Nabi Shallallahu'alaihiwasalam:

أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ

“Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang yang semisalnya, kemudian orang yang semisalnya.” (HR. al-Imam al-Hakim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan yang lain)

Jadi, musibah yang menimpa mereka adalah untuk mengangkat derajat atau untuk hikmah lain yang tidak kita ketahui.

Anak-anak dan orang gila tidak masuk dalam pembicaraan ayat ini, karena ayat ini ditujukan bagi orang-orang yang mukallaf (dibebani hukum syariat). Anggaplah mereka termasuk dalam ayat ini, tetapi mereka bukanlah termasuk para pelaku dosa, sehingga musibah yang menimpa mereka memiliki hikmah tersendiri yang tidak diketahui, bukan karena dosa.

Ada yang berpendapat, musibah yang menimpa anak-anak adalah untuk mengangkat derajat mereka dan derajat kedua orang tuanya, atau orang yang memberi kasih sayang kepada mereka dengan kesabaran yang indah.

Musibah terkadang juga menjadi hukuman atas suatu dosa dan balasan atasnya, yang kelak di hari kiamat ia tidak akan disiksa.

Asy-Syaikh as-Sa’di berkata dalam Tafsir-nya, “Dalam ayat ini, Allah Ta'ala menyatakan bahwasanya musibah apa pun yang menimpa hamba (manusia) baik pada badan, harta, maupun anak-anak mereka terhadap apa saja yang mereka senangi yang mana hal itu merupakan perkara yang sangat mereka cintai, kecuali karena perbuatan tangan mereka sendiri berupa kesalahan/dosa dan yang Allah Ta'ala maafkan darinya (kesalahan dan dosa) lebih banyak, karena Allah Ta'ala tidak menganiaya hamba (manusia). Akan tetapi, mereka lah yang menganiaya diri mereka sendiri.” Allah Ta'ala berfirman:

“(Dan) kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi ini suatu makhluk yang melata pun (manusia)” (Fathir: 45).

Diakhirkannya hukuman oleh Allah Ta'ala itu tidak berarti mereka dibiarkan (tidak diazab kelak di hari kiamat). Tidak pula berarti bahwa Allah Ta'ala tidak mampu mengazabnya.

Di Antara Kisah Umat Terdahulu

Barang siapa yang membaca Al-Qur’an akan mendapati bahwa ia memuat janji dan ancaman (al-wa’du wal wa’id), penyemangat dan pemberi rasa takut (at-targhib wa tarhib), nasihat dan peringatan (mau’izhah wa tadzkir), kisah keadaan umat yang telah lalu beserta berbagai bencana dan azab yang menimpa mereka.

Semua itu bertujuan memperingatkan manusia tentang amal dan perbuatan mereka, supaya manusia menjauhi jalan yang mereka tempuh. Dengan demikian, manusia selamat dari sebab-sebab yang mengakibatkan kebinasaan dan kehancuran.

Al-Qur’an menyebutkan berbagai macam musibah, bencana, azab, dan sebab terjadinya. Di antara ayat yang paling rinci menyebutkan tentang gempa, baik dari sisi sebab kejadian, kekuatan, akibat yang ditimbulkan, maupun arah munculnya adalah firman Allah Ta'ala:

”Sesungguhnya orang-orang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari.” (an-Nahl: 26)

Di antara keajaiban surat an-Nahl adalah penyebutan gempa bumi secara detil. Manusia diancam dengan terjadinya gempa, jika mereka mengadakan makar yang jahat. Padahal, an-Nahl merupakan surat yang paling banyak menyebutan nikmat-nikmat Allah Ta'ala baik yang bersifat maknawi maupun hissi (fisik), berikut rincian manfaatnya.

Sampai-sampai, seorang ulama tabi’in yang mulia, Qatadah bin Di’amah as-Sadusi rahimahullah menamai dengan “Suratun Ni’am” (surat yang menyebutkan banyak kenikmatan) karena banyaknya ayat yang menyebutkan tentang kenikmatan.

Di antara nikmat yang bersifat maknawi dalam surat ini adalah wahyu, Al-Qur’an, adz-dzikr, tauhid, agama yang lurus, penjagaan dari setan, dan yang lainnya. Adapun nikmat yang bersifat hissi (yang tampak) antara lain penciptaan, rezeki, pendengaran, penglihatan, hati, makanan, minuman, pakaian, tunggangan, tempat tinggal, pernikahan, hewan ternak, matahari, rembulan, bintang, lautan, dan yang lain.

Karena itu, tidakkah manusia membayangkan bahwa surat yang dipenuhi dengan penyebutan nikmat Allah Ta'ala ini, enam ayat menyebutkan lafadz nikmat. Setelah penyebutannya, Allah Ta'ala berfirman:

“(Dan) jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (an-Nahl: 18)

Kemudian Allah Ta'ala menutup penyebutan berbagai nikmat-Nya ini dengan perintah untuk mensyukurinya. Allah Ta'ala berfirman:

“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan oleh Allah kepadamu, dan syukurilah nikmat Allah, jika hanya kepada-Nya kamu beribadah.” (an-Nahl: 114)

Allah Ta'ala kemudian menyebutkan sosok seseorang yang dapat mensyukuri nikmat Allah Ta'ala, yaitu Nabi Ibrahim 'alaihisalam supaya menjadi contoh teladan bagi yang lain. Allah Ta'ala berfirman:

”(Lagi) yang mensyukuri nikmat nikmat Allah.” (an-Nahl: 121)

Di dalam surat ini pula Allah Ta'ala menyebutkan golongan lain yang kehidupannya berlawanan. Mereka tidak mau mensyukuri nikmat Allah Ta'ala. Mereka disebutkan dalam tiga ayat, yaitu firman Allah Ta'ala:

“Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (an-Nahl: 71)

“Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (an-Nahl: 72)

“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang kafir.” (an-Nahl: 83)

Setelah itu, Allah Ta'ala memberi contoh suatu negeri yang penduduknya tidak mau mensyukuri nikmat. Allah Ta'ala berfirman:

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat nikmat Allah. Oleh karena itu, Allah merasakan atas mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (an-Nahl: 112)

Faedah yang dapat kita ambil dari pemaparan surat ini antara lain bahayanya mengkufuri nikmat Allah Ta'ala dan bahayanya melakukan sesuatu yang menjadi penyebab turunnya hukuman, siksaan, dan azab, yang kesalahan dan dosa merupakan sebab terjadinya gempa.

Pada surat ini, Allah Ta'ala mengaitkan terjadinya gempa dengan makar jahat yang dilakukan manusia. Makar jahat adalah melakukan tipu muslihat. Termasuk dalam hal ini adalah melakukan tipu muslihat terhadap syariat, yaitu upaya untuk meruntuhkan syariat, atau menghalalkan yang haram, atau memalingkan dalil-dalil Al-Qur’an dengan menafsirkan dan memaknai menurut selera manusia.

Pelajaran yang Bisa Diambil

a. Segala bentuk musibah yang menimpa manusia sebabnya adalah dosa.
b. Musibah itu bersifat umum, baik yang bersifat hissi maupun maknawi, yang berat maupun yang ringan, seperti tertusuk duri, pusing, dan yang semisalnya.
c. Allah Ta'ala memaafkan sebagian besar kesalahan manusia, dan tidak menyiksa atas semua kesalahan mereka.
d. Banyak kesalahan yang dimaafkan tidak berarti jaminan keselamatan atas hukuman/siksaan di hari kemudian. Bisa jadi, itu sebuah penundaan.
Firman Allah Ta'ala:
“Dan kalau Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi ini satu pun makhluk yang melata (manusia), akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu. Apabila datang ajal mereka, sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (Fathir: 45)
e. Allah Maha Pengampun, memaafkan banyak kesalahan dan dosa, akan tetapi siksaan-Nya sangat keras dan seringnya merata. Allah Ta'ala berfirman:
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (al-Anfal: 25)
Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber:
– al-Maktabah asy-Syamilah
– Tafsir as-Sa’di
– Risalah al-‘Uqubat ar-Rabbaniyyah

"Allah Memaafkan Hambanya Tapi Keras Siksaannya"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin
AsySyariah.com
Tulisan ini ditujukan untuk ana dan keluarga. Dibuat dengan cinta. Saran dan nasihat silakan tulis di kolom komentar.

Ada Pertanyaan?




Silakan antum tanyakan ke asatidzah dengan datang saja ke majelis ilmu terdekat, cek lokasinya kajian Info Kajian. Baarakallahu fiikum.
Previous
Next Post »
0 Komentar

Silakan tuliskan komentar, saran dan nasihat antum. Namun tidak semua akan tampilkan.