Berlari Mencari Ampunan Allah

Berlari Mencari Ampunan | al-uyeah.blogspot.com
Ketika jiwa ammarah bis-su’ menguasai kalbu, berarti kalbu dalam bahaya yang sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya pengobatannya. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa pengobatannya dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara muhasabah dan mukhalafah.

Mukhalafah artinya menentang jiwa al-ammarah, tidak menuruti kemauannya. Adapun muhasabah artinya senantiasa mengintrospeksi diri.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kehancuran kalbu adalah dengan tidak melakukan muhasabah dan memperturutkan kemauannya.”

Dari sini, kita mengetahui betapa pentingnya peran muhasabah dalam mengobati jiwa. Tak heran apabila kita dapati para pendahulu kita sangat memerhatikan dan menganjurkannya. Umar ibnul Khaththab radiyallahu'anhu mengatakan,

Bermuhasabahlah kalian pada diri kalian sebelum amal kalian dihisab, timbanglah amal diri kalian sebelum kalian ditimbang. Sesungguhnya hal itu lebih ringan bagi kalian besok di akhirat dengan kalian hisab diri kalian pada hari ini….” (Ighatsatul Lahafan)

Abu Musa radiyallahu'anhu mengatakan,

“Bermuhasabahlah pada dirimu dalam keadaan lapang, sebelum hisab di saat yang susah.” (Ghidza’ul Albab, 2/350)

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Engkau tidak akan menjumpai seorang mukmin melainkan dia akan mengintrospeksi dirinya, ‘Wahai jiwaku, apa yang hendak kau lakukan?’ ‘Wahai jiwaku, apa yang hendak engkau makan, apa yang hendak engkau minum (haram atau halal –pen.)?’ Sementara itu, seorang pendosa akan berlalu saja tanpa mengintrospeksi dirinya.

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Sesungguhnya seorang hamba tetap dalam keadaan baik selama masih ada penasihat dari jiwanya dan muhasabah selalu menjadi pikirannya.”

Maimun bin Mihran rahimahullah mengatakan, “Seseorang tidak dikatakan bertakwa sampai dia menghisab dirinya melebihi seorang pengusaha mengoreksi teman serikat usahanya. Oleh karena itu, dikatakan, ‘Jiwa itu bagaikan teman serikat kerja yang pengkhianat. Kalau engkau tidak benar-benar mengawasinya, dia akan membawa pergi hartamu’.”

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa muhasabah ada dua macam: sebelum melakukan amalan dan setelah melakukannya.

1. Muhasabah sebelum beramal

Hendaknya seseorang berhenti sejenak di saat awal keinginannya, tidak segera beramal sampai jelas baginya kebaikan mengamalkannya daripada meninggalkannya.

Al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Semoga Allah Ta'ala merahmati seorang hamba yang berhenti sejenak (berpikir) saat ingin berbuat. Apabila amalnya ikhlas karena Allah Ta'ala, ia lanjutkan. Apabila bukan karena Allah Ta'ala, ia mengurungkannya.”

Sebagian ulama menerangkan maksud beliau bahwa ketika jiwa tergerak untuk mengamalkan sebuah amalan dan bertekad melakukannya, ia menahan diri dan berpikir: apakah amalan tersebut dalam batas kemampuannya atau tidak? Apabila ternyata di luar kemampuannya, ia tidak melanjutkannya.

Apabila masih dalam kemampuan, ia tetap menahan diri dan berpikir kembali: apakah melakukannya lebih baik dari meninggalkannya atau meninggalkannya lebih baik dari melakukannya? Apabila yang akan terjadi adalah yang kedua, ia tidak melanjutkannya.

Apabila yang akan terjadi adalah kemungkinan pertama, ia berhenti untuk ketiga kalinya dan berpikir lagi: apakah yang mendorong amalan tersebut adalah menginginkan wajah Allah Ta'ala dan pahala dari-Nya atau menginginkan kedudukan, pujian, dan berharap materi dari makhluk?

Apabila jawabannya adalah yang kedua, ia tidak melanjutkannya walaupun perbuatannya akan menyampaikan dirinya kepada keinginannya. Hal ini dilakukan agar jiwanya tidak terbiasa berbuat syirik dan merasa ringan untuk beramal karena selain Allah Ta'ala. Karena, seukuran dengan ringannya beramal untuk selain Allah Ta'ala, akan berat baginya untuk beramal karena Allah Ta'ala. Akhirnya, keikhlasan menjadi sesuatu yang paling berat baginya.

Apabila jawabannya adalah yang pertama, yakni karena ikhlas, ia berhenti lagi dan berpikir: apakah akan ada yang membantunya dan menolongnya apabila amalan itu membutuhkan bantuan, atau tidak? Apabila tidak ada yang membantunya, ia tidak melanjutkannya… Apabila ia mendapatkan penolong, ia melanjutkannya, dan tentu dia akan mendapat pertolongan.

Kesuksesan tidak akan luput kecuali apabila terlewatkan salah satu dari bagian-bagian (muhasabah) ini. Sebaliknya, dengan terpenuhinya tahapan-tahapan tersebut, tidak akan terlewatkan kesuksesannya.

2. Muhasabah setelah beramal

Muhasabah jenis ini ada ada tiga macam.

a. Muhasabah terhadap jiwa dalam hal ketaatan yang ia tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna terhadap hak Allah Ta'ala.

Hak Allah Ta'ala dalam hal amal ketaatan ada enam, yaitu (1) ikhlas dalam beramal, (2) berbuat yang terbaik untuk Allah Ta'ala, (3) mengikuti Rasul-Nya dalam ketaatan tersebut, (4) melaksanakan ihsan (betul-betul merasa diawasi oleh Allah Ta'ala), (5) merasakan karunia Allah Ta'ala terhadapnya, dan (6) merasakan kekurangannya dalam melaksanakannya.

b. Muhasabah terhadap dirinya atas segala amalan yang ditinggalkannya lebih baik daripada yang dikerjakannya.

c. Muhasabah terhadap amalan yang mubah atau terbiasa dilakukan, mengapa dia melakukannya?
Apakah ia meniatkannya karena Allah Ta'ala dan negeri akhirat sehingga mendapat keberuntungan, ataukah karena dunia sehingga ia merugi dan tidak mendapatkan keberuntungan?

Praktiknya, pertama, dia melakukan muhasabah terhadap dirinya dalam hal amal-amal yang wajib. Apabila dia ingat ada kekurangan padanya, segera dia susul dengan qadha atau dengan memperbaikinya.

Selanjutnya, ia melakukan muhasabah terhadap dirinya dalam hal larangan-larangan Allah Ta'ala. Apabila dia tahu bahwa dia telah melakukan sebagiannya, segera ia susul dengan bertaubat dan beristighfar, serta dengan amalan-amalan saleh yang dapat menghapusnya.

Berikutnya, dia melakukan muhasabah terhadap dirinya dalam hal kelalaiannya. Apabila dia telah lalai dari tujuan dia diciptakan (yakni ibadah), segera ia menyusulnya dengan berzikir dan menghadapkan dirinya kepada Allah Ta'ala.

Kemudian, ia melakukan muhasabah terhadap apa yang diucapkan (oleh mulutnya), langkah kedua kakinya, apa yang diperbuat dengan kedua tangannya, atau yang didengar oleh kedua telinganya. Ia meneliti, apa tujuannya, apa niatnya, dan bagaimana cara melakukannya.

Hendaknya dia mengetahui bahwa dalam setiap gerak dan ucapannya akan ada dua catatan. Yang pertama, untuk siapa engkau melakukannya? Yang kedua, bagaimana engkau melakukannya?

Yang pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasannya, sedangkan yang kedua adalah pertanyaan tentang ittiba’nya. Allah Ta'ala berfirman,

Maka demi Rabbmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (al-Hijr: 92—93)

Sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami), maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedangkan (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (al-A’raf: 6—7)

Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka dan Dia menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih.” (al-Ahzab: 8)

Apabila orang-orang yang jujur dan benar saja ditanya dan dihisab atas kejujurannya, lantas bagaimana dengan para pendusta?

Qatadah rahimahullah mengatakan, “Dua kalimat yang orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan akan ditanya tentangnya: Apa yang kalian ibadahi? Bagaimana kalian manyambut para rasul? Setiap orang akan ditanya tentang sesembahannya dan bagaimana ibadahnya.

Memetik Buah Muhasabah

Muhasabah, amal baik pengobat jiwa ini, tentu sangat bermanfaat buahnya. Muhasabah yang benar akan menghasilkan buah yang sangat dirasakan oleh jiwa yang baik. Di antara buahnya adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui cacat atau kekurangan jiwa

Barang siapa tidak mengetahui cacat dan kekurangan dirinya, ia tidak mungkin menghilangkannya. Apabila sebuah jiwa yang baik mengetahui aib dirinya, dia akan marah terhadap dirinya karena Allah Ta'ala.

Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Seseorang tidak akan menjadi faqih yang sebenar-benarnya hingga ia marah terhadap orang-orang karena Allah Ta'ala. Lantas ia kembali melihat dirinya, dan ternyata dia lebih marah terhadap dirinya.”

Bakr bin Abdillah al-Muzani rahimahullah mengatakan, “Ketika aku memandangi jamaah haji di Arafah, aku mengira mereka telah diberi ampunan kalau bukan karena aku di tengah-tengah mereka.”
Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah mengatakan, “Apabila disebutkan tentang orang-orang saleh, aku begitu jauh dari mereka.”

Muhammad bin Wasi’ rahimahullah mengatakan, “Andai dosa itu berbau, tidak ada seorang pun akan mampu duduk di sampingku.”

Marah terhadap diri sendiri karena Allah Ta'ala dan karena teringat aib-aibnya adalah sifat orang-orang yang jujur dalam hal beriman. Dengan itu, seorang hamba akan mendekat kepada Allah Ta'ala dalam sesaat berkali-kali lipat lebih jauh dari mendekatnya kepada Allah Ta'ala dengan amalan.

2. Mengetahui hak Allah Ta'ala

Adapun orang yang tidak mengetahui hak Allah Ta'ala atas dirinya, ibadahnya hampir-hampir tidak bermanfaat baginya. Ibadahnya sedikit sekali manfaatnya.

Di antara hal yang sangat bermanfaat untuk kalbu adalah melihat hak Allah Ta'ala atas hamba-Nya. Hal itu akan mewariskan kemarahan terhadap jiwanya sendiri dan merendahkannya, serta akan menyelamatkan dirinya dari sifat bangga diri dan merasa sudah berbuat (baik).

Selain itu juga akan membuka pintu ketundukan, kerendahan diri, dan penyesalan untuknya di hadapan Rabbnya, lalu akan putus asa dari dirinya. Sungguh, keselamatan tidak akan dia dapatkan selain dengan ampunan dari Allah Ta'ala, maghfirah, dan rahmat-Nya.

Sesungguhnya, di antara hak-Nya adalah Dia ditaati dan tidak dimaksiati, Dia diingat dan tidak dilupakan, serta Dia disyukuri dan tidak dikufuri.

Barang siapa melihat hak Rabbnya yang semacam ini atas dirinya, tentu dia mengetahui secara yakin bahwa dia belum menunaikan haknya sebagaimana mestinya. Ia juga akan mengetahui bahwa tiada peluang baginya selain (mencari) ampunan dan maaf-Nya. Ia akan mengetahui pula apabila dia diserahkan kepada amalnya sendiri, pasti dirinya akan hancur.

Inilah pusat renungan orang-orang yang mengenal Allah Ta'ala dan mengenal jiwanya. Inilah yang membuat mereka putus asa dari diri mereka, lantas menggantungkan seluruh harapannya kepada ampunan Allah Ta'ala dan rahmat-Nya.

Apabila Anda perhatikan keadaan mayoritas manusia, Anda akan dapati mereka berlawanan dengan hal itu. Mereka justru melihat hak mereka atas Allah Ta'ala, namun tidak melihat hak Allah Ta'ala atas mereka. Dari sinilah mereka terputus dari Allah Ta'ala. Kalbu mereka tertutup untuk mengenal Allah Ta'ala dan mencintai-Nya, merindukan perjumpaan dengan-Nya, dan merasa nikmat saat mengingat-Nya. Ini adalah puncak kebodohan manusia terhadap Rabbnya dan terhadap jiwanya.

Jadi, muhasabah terhadap jiwa, adalah—pertama—seorang hamba melihat hak Allah Ta'ala atas dirinya, lalu—kedua—apakah dirinya telah melakukannya sebagaimana mestinya? Sebaik-baik berpikir adalah berpikir dalam hal ini.

Dengan cara ini, kalbu akan berjalan menuju Allah Ta'ala lalu akan menjatuhkan dirinya di hadapan-Nya dalam keadaan terhina, tunduk, menyesal dengan penyesalan yang menjadi obat penyesalannya, dalam keadaan butuh dengan rasa butuh yang akan mencukupinya, dalam keadaan terhina dengan penghinaan yang menjadi tempat kemuliaannya, andai dia beramal dengan apa pun kiranya yang dia amalkan. Namun, apabila dia kehilangan hal itu, kebaikan yang terlewatkannya lebih baik daripada kebaikan yang dia lakukan. (diringkas dari Ighatsatul Lahafan)

"Mengobati Jiwa dengan Muhasabah"
ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
AsySyariah.com
Tulisan ini ditujukan untuk ana dan keluarga. Dibuat dengan cinta. Saran dan nasihat silakan tulis di kolom komentar.

Ada Pertanyaan?




Silakan antum tanyakan ke asatidzah dengan datang saja ke majelis ilmu terdekat, cek lokasinya kajian Info Kajian. Baarakallahu fiikum.
Previous
Next Post »
0 Komentar

Silakan tuliskan komentar, saran dan nasihat antum. Namun tidak semua akan tampilkan.