Antara Nasihat dan Cacian

Antara Nasihat dan Cacian | al-uyeah.blogspot.com
Cara penyampaian yang baik tidak berarti menghalalkan segala cara. Hikmah dalam dakwah tidak berarti boleh menggunakan hal-hal yang dilarang dalam agama sebagai sarana dakwah. 

Misalnya, dakwah melalui sistem demokrasi (partai), menggunakan musik, film, dan yang semisalnya. Begitu pula yang sekarang sedang diperjuangkan oleh sebagian orang atau kelompok untuk menjadikan budaya sebagai sarana dakwah secara mutlak. 

Apabila yang dimaksud adalah budaya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat, hal itu adalah sarana yang baik. Namun, jika budaya dipakai secara mutlak atau dengan istilah lain menggunakan “budaya timur”—dan demikian kenyataannya—sungguh tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi. 

Bukankah di sana ada budaya yang mempertontonkan aurat, berduaan laki-laki perempuan, atau bercampur antara mereka? Bahkan, bukankah ada budaya yang mengandung syirik? Juga khalwat (berduaan antara lawan jenis tanpa mahram), ikhtilath (bercampur baur lelaki dan perempuan), dan kemungkaran atau budaya yang bertentangan dengan syariat dan semisalnya?

Begitu pula, tidak termasuk hikmah dalam dakwah untuk menjadikan acara bid’ah sebagai sarana dakwah. Para ulama yang tergabung dalam al-Lajnah ad-Daimah ketika ditanya tentang hukum menyampaikan nasihat pada hari perayaan Maulid Nabi, setelah menyebutkan dalil-dalil tentang kewajiban dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, mereka menjawab, 

“Allah Ta'ala menyebutkan perintah (berdakwah) secara mutlak dan tidak mengkhususkan waktu tertentu, meskipun sangat ditekankan untuk memberikan nasihat dan petunjuk pada saat-saat yang menuntut untuk dilakukan, seperti pada khutbah Jum’at dan Ied, sebagaimana disebutkan dari Nabi Shallallahu'alaihiwaslaam tentang hal tersebut. Begitu pula ketika melihat kemungkaran, sebagaimana tersebut dalam hadits:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka ubahlah kemungkaran tersebut dengan tangannya. Apabila tidak mampu, ubahlah dengan lisannya. Apabila tidak mampu, ubahlah dengan hatinya, dan sesungguhnya hal itu (mengubah dengan hati) adalah selemah-lemah iman.”

Perayaan maulid Nabi tidak termasuk hari khusus yang dituntut dilakukannya ibadah tertentu, atau pemberian nasihat dan bimbingan, atau pembacaan sejarah kelahiran Nabi Shallallahu'alaihiwasalam, karena beliau Shallallahu'alaihiwasalam tidak pernah mengkhususkannya. 

Seandainya mengkhususkan hari tersebut untuk hal-hal di atas adalah suatu kebaikan, tentu beliau Shallallahu'alaihiwasalam adalah orang yang pertama kali melakukannya dan paling bersemangat menjalankannya. Namun, beliau Shallallahu'alaihiwasalam tidak melakukannya. 

Ini menunjukkan bahwa mengkhususkan hari tersebut untuk memberikan nasihat, membacakan sejarah kelahiran, atau bentuk ibadah lainnya termasuk perbuatan bid’ah….” (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 3/31—32)

Jadi, tidaklah termasuk hikmah dalam dakwah untuk menjadikan acara-acara bid’ah seperti peringatan Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, dan yang semisalnya, sebagai kesempatan untuk berdakwah. Sebagian dai mungkin menganggap hal ini sebagai upaya memperbaiki dari dalam atau bertahap dalam berdakwah.

Kita katakan, “Bukankah Anda tahu bahwa perayaan tersebut adalah bid’ah dan betapa besar dosa serta bahayanya? Bukankah jika Anda ikut di dalamnya, orang-orang akan menganggap bahwa hal tersebut diperbolehkan atau minimal menganggap bid’ah sebagai urusan yang ringan? Bukankah keadaan seperti ini akan mendorong orang-orang awam untuk memunculkan bid’ah-bid’ah lainnya?

Jika demikian, apakah hal ini merupakan perbaikan? Kalau Anda menganggap ini sebagai tahapan berdakwah, bagaimana jika Anda meninggal sebelum tahapan berikutnya? Bukankah masyarakat masih membenarkan perbuatan bid’ah tersebut dan akan memunculkan bid’ah lainnya? 

Tidakkah Anda takut menjadi salah satu penyebab tersebarnya bid’ah dan munculnya bid’ah-bid’ah baru di muka bumi ini? Bukankah akan lebih bermaslahat jika Anda menjelaskan kebid’ahannya? Atau jika Anda memandang belum saatnya disampaikan maka Anda tunda dulu penjelasannya, namun tanpa mengikuti atau memanfaatkannya untuk berdakwah?”

Lebih dari itu semua adalah, “Apakah Anda yakin bahwa agama Allah Ta'ala memerintahkan Anda untuk ikut serta dan memanfaatkan acara yang termasuk dosa besar sebagai sarana dakwah? Ataukah Anda telah diperintah oleh syahwat dan hawa nafsu untuk mendapatkan sesuatu dari dunia?”

Sungguh jika kita jujur menjalankan agama ini dan mengikuti bimbingan para ulama, dengan pertolongan Allah Ta'ala, akan menjadi jelas antara yang benar dan yang salah.

Hikmah dalam Dakwah Asalnya dengan Lemah Lembut

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz tmengatakan, “Sungguh Allah Ta'ala telah memuji Nabi Shallallahu'alaihiwasalam dalam menjalankan perintah berdakwah dalam firman-Nya:

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)

Nabi kita Shallallahu'alaihiwasalam adalah orang yang paling sempurna dalam berdakwah. Beliau Shallallahu'alaihiwasalam juga manusia yang paling sempurna keimanannya. Meskipun demikian, seandainya beliau bersikap keras dan berhati kasar maka manusia akan menjauh darinya. Bagaimana halnya dengan Anda? 

Oleh karena itu, Anda wajib bersabar, menahan diri, dan tidak terburu-buru melakukan cercaan, ucapan kotor, atau menggunakan kekerasan. Justru Anda wajib menggunakan kelembutan dan kasih sayang….

Seorang dai wajib menahan diri dan menggunakan cara yang baik serta lembut di dalam mendakwahi kaum muslimin dan orang-orang kafir secara keseluruhan. Dia hendaknya menggunakan kelemahlembutan terhadap kaum muslimin dan orang kafir serta para pemimpin. 

Terlebih terhadap pemerintah atau penguasa, mereka memerlukan kelembutan yang lebih banyak dari yang lainnya. Mereka lebih memerlukan cara yang lebih baik sehingga mau menerima kebenaran dan mendahulukan kebenaran di atas yang lainnya. 

Begitu pula kepada orang yang telah tertanam bid’ah atau maksiat pada dirinya dan sudah bersamanya selama bertahun-tahun. Butuh kesabaran hingga dia meninggalkan bid’ahnya. Hingga hilang syubhat dengan ditegakkannya dalil-dalil. Sampai jelas baginya bahaya dan akibat jeleknya kemaksiatan, sehingga ia akan menerima kebenaran dari Anda dan meninggalkan kemaksiatan.

Jadi, cara yang baik adalah sarana terbesar untuk diterimanya dakwah. Adapun cara yang jelek dan kasar adalah sarana paling berbahaya yang akan menyebabkan ditolaknya kebenaran, tidak diterimanya dakwah, selain juga memicu kekacauan, kezaliman, permusuhan, dan saling menyakiti. (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 6/524—525)

Asy-Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin rahimahullah menasihatkan, “Nasihatku kepada setiap dai, hendaknya ia senantiasa bersikap lemah-lembut dalam berdakwah mengajak kepada Allah Ta'ala. Hendaknya pula ia menjelaskan syariat dengan berupaya agar manusia merasa siap menerima dan senang terhadap penjelasan/ajakannya karena dia berdakwah semata-mata mengajak kepada Allah Ta'ala, bukan kepada dirinya. 

Begitu pula, dia tidak menjadikan dakwahnya sebagai pemadam api yang bergejolak di dalam hatinya ketika melihat suatu kesalahan. Namun, yang dia lakukan adalah memperbaiki keadaan, sehingga dia tentu akan mencari cara yang paling dekat dan paling mudah untuk meyakinkan serta menunjukkan kebenaran kepada orang-orang yang didakwahi.” (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin rahimahullah, 27/102)

Hikmah dalam Dakwah Tidak Berarti Selalu Lembut

Dalam kitabnya Sittu Durar, asy-Syaikh Abdul Malik Ramdhani menukil perkataan asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya yang menjelaskan, “Tidak diragukan lagi bahwa syariat Islam yang sempurna datang mengingatkan dari perbuatan berlebih-lebihan dalam beragama serta memerintahkan untuk berdakwah, mengajak kepada jalan yang benar dengan hikmah, mau’izhah hasanah, serta jidal dengan cara yang baik. Meskipun demikian, tidak berarti Islam melalaikan cara keras yang dilakukan pada tempatnya, ketika cara yang lembut dan debat dengan cara yang baik tidak lagi bermanfaat ….” (Lihat Sittu Durar hlm. 124)

Oleh karena itulah, sikap keras yang diarahkan kepada ahlul bid’ah dengan menjauhinya serta memperingatkan kaum muslimin agar berhati-hati dari perkataan dan tulisan mereka tidaklah bertentangan dengan hikmah dalam berdakwah. 

Bahkan, hal tersebut merupakan nasihat dan sikap keras yang pada tempatnya. Begitu pula, apa yang dilakukan oleh para ulama dengan membantah ahlul bid’ah dan orang-orang yang menyimpang adalah sikap yang tidak bertentangan dengan hikmah. 

Hanya saja, semuanya harus dilakukan dengan ilmu dan setelah benar-benar dipelajari permasalahannya serta dengan maksud untuk memperbaiki. Bukan hanya sebatas prasangka dan meluapkan emosi sehingga dipenuhi dengan caci-maki yang hanya menambah keruh dan memperlebar masalah. Maka dari itu, tidak ada yang boleh melakukannya melainkan orang-orang yang benar-benar mengetahui duduk permasalahannya.
Wallahu a’lamu bish-shawab.

dikutip dari "Bentuk Hikmah Dalam Dakwah"
ditulis oleh: Al-Ustadz Saifudin Zuhri Lc.
AsySyariah.com
Tulisan ini ditujukan untuk ana dan keluarga. Dibuat dengan cinta. Saran dan nasihat silakan tulis di kolom komentar.

Ada Pertanyaan?




Silakan antum tanyakan ke asatidzah dengan datang saja ke majelis ilmu terdekat, cek lokasinya kajian Info Kajian. Baarakallahu fiikum.
Previous
Next Post »
0 Komentar

Silakan tuliskan komentar, saran dan nasihat antum. Namun tidak semua akan tampilkan.