Jalan Salaf Jaminan Kebenaran | a;-uyeah.blogspot.com |
“Kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah” telah menjadi slogan umum. Namun memahami keduanya dan mengamalkan kandungannya, agar sesuai dengan yang dimaukan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, merupakan persoalan tersendiri. Kepada siapa kita harus merujuk?
Pada edisi sebelumnya telah dijelaskan, siapa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dan manhaj (jalan/metode) yang mereka tempuh. Mereka bukanlah manusia khusus yang diciptakan Allah Ta'ala untuk membawa amanat syariat-Nya. Juga bukan malaikat yang diutus Allah Ta'ala untuk mengajarkan manusia tentang agama-Nya. Mereka adalah kaum muslimin itu sendiri yang memahami agamanya dengan benar berdasarkan Al-Qur‘an dan As-Sunnah di atas pemahaman as-salafush shalih (pendahulu yang shalih).
Mereka (para shahabat radiyallahuanhum) adalah umat terbaik yang diciptakan untuk mendakwahkan kebenaran agama ini kepada seluruh umat. Mereka adalah generasi terbaik umat ini dari kalangan shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, serta orang-orang yang mengikuti mereka di atas kebenaran. Mereka adalah as-salafush shalih, al-firqatun najiyah (orang-orang yang selamat), ath-tha`ifah al-manshurah (orang-orang yang selalu ditolong), ahlul hadits, ahlul atsar, dan mereka adalah salafiyyun.
Mereka adalah pilihan Allah Ta'ala dari seluruh hamba-Nya yang akan menyuarakan kebenaran di mana dan kapan saja, bagaimanapun besar tantangan dan rintangan yang dihadapi. Slogan mereka adalah firman Allah Ta'ala:
“Kebenaran itu datang dari Rabbmu, maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147)
Juga sabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam : “Katakan yang benar walaupun pahit dan jangan kamu gentar cercaan orang yang mencerca.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari shahabat Abu Dzar z. Lihat Al-Misykat, 3/1365)
Dari sinilah nama as-salafush shalih diabadikan oleh sejarah. Ditulis dengan tinta emas, terus dikenang, serta menjadi rujukan generasi sesudahnya. Bukankah ini merupakan satu kemuliaan dari Allah Ta'ala karena apa yang telah mereka berikan untuk agama-Nya? Dan karena apa yang mereka tempuh ketika Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam masih hidup dan setelah wafat beliau?
Jawabannya adalah ya. Mereka mendapatkan yang demikian ini karena mereka berjalan di atas jalan Rasul-Nya. Abu Bakar radiyallahu'anhu, khalifah pertama yang menggantikan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sebagai pemimpin umat ini, telah mendapatkan jaminan masuk jannah (surga), padahal ketika itu beliau masih hidup. Bukankah ini kemuliaan bagi beliau? Apakah manhaj Abu Bakar radiyallahu'anhu sesuai manhaj Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam? Jawabannya tentu ya.
Begitu juga ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan para shahabat yang lain yang telah mendapatkan jaminan dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam untuk masuk jannah, padahal kaki-kaki mereka masih menapaki kehidupan. Merekalah yang juga disebutkan Allah Ta'ala di dalam Al-Qur`an:
“Merekalah orang-orang yang telah diberikan nikmat oleh Allah dari kalangan para nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih.” (An-Nisa`: 69)
Siapa lagi yang dimaksud dalam ayat ini setelah para nabi, kalau bukan orang-orang yang mengikuti mereka di atas manhaj Allah Ta'ala dari kalangan shahabat?
Mereka adalah generasi yang berusaha untuk mendapatkan dan mengambil warisan terbanyak dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Duduk dan keluar dari majelis Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam keadaan membawa kemurnian agama Islam yang malamnya seperti siangnya. Dan tidak ada seorangpun dari mereka yang menyimpang, melainkan akan binasa seumur hidup jika tidak segera bertaubat kepada Allah Ta'ala.
Manhaj salaf cerminan kemurnian Islam. Rentang waktu yang panjang sangat memungkinkan menyebabkan jauhnya umat dari kemurnian ajaran Islam. Apalagi, umat ini terus berganti generasi demi generasi. Hal ini telah dirasakan dan disaksikan oleh orang-orang yang diberikan bashirah (ilmu) oleh Allah Ta'ala. Banyak kita jumpai penampilan Islam yang berwarna-warni, baik dari amalan, ucapan, dan keyakinan.
“Warna-warni” inilah yang sering menimbulkan friksi di antara sesama muslim hingga berujung pada pudarnya persatuan dan kesatuan umat Islam. Walhasil, umat ini menjadi sangat lemah dan siap menjadi santapan musuh-musuhnya.
Munculnya kelompok-kelompok di dalam Islam, merupakan bukti konkrit adanya perbedaan yang besar dan warna-warninya penampilan Islam itu. Yang satu berpakaian serba merah dan mengangkat Islam sebagai simbol. Yang lain dengan warna hijau, hitam, kuning, putih, dan sebagainya. Masing-masing memiliki konsep, prinsip, jalan, dan tujuan yang berbeda dengan yang lainnya. Bahkan, karena perbedaan mendasar itu, ada yang siap menumpahkan darah yang lainnya. Apakah demikian Islam itu? Lalu manakah yang benar? Dan manakah yang harus diikuti?
Yang demikian ini, setelah berlalunya masa risalah (masa kenabian) dan pergantian generasi demi generasi, sangat terasa. Ironisnya, Islam dalam pandangan kaum muslimin saat ini hanya sebatas “yang penting Islam”, apapun alirannya, ajarannya, warnanya, jalannya, baunya, dan sebagainya. Padahal justru dengan sebab ini, hilanglah kemuliaan, kewibawaan, kejayaan, dan kekuatan umat Islam, serta menjadikan musuh-musuh Islam berani dan memiliki kewibawaan di mata kaum muslimin.
Kemurnian dan kesempurnaan Islam itu pun kian jauh panggang dari api. Yang satu ingin menambah dan yang lain ingin mengurangi, bahkan mempretelinya. Hanya dengan mencari sumber kemurniannya kepada orang yang telah dinobatkan oleh Allah Ta'ala sebagai penelusur jejak Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam -para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in- saja, niscaya kemurnian Islam itu akan diperoleh.
Manhaj salaf adalah ridha, cinta, dan ampunan Allah Ta'ala. Selain sebagai cermin kemurnian Islam, manhaj salaf juga merupakan perwujudan ridha Allah Ta'ala, cinta, dan ampunan-Nya. Allah Ta'ala berfirman tentang mereka yang berjalan di atas manhaj salaf ini:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Asy-Syaikh As-Sa’di1 rahimahullah dalam tafsir ayat ini mengatakan, mereka adalah orang-orang yang lebih dahulu masuk Islam dan yang terlebih dahulu dalam keimanan, hijrah, jihad, dan memperjuangkan agama Allah Ta'ala. Kaum Muhajirin adalah orang-orang yang dikeluarkan dari negeri mereka dan dipisahkan dari harta benda mereka, semata-mata hanya mencari keutamaan dari Allah Ta'ala dan keridhaan-Nya. Mereka membela agama Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, dan mereka adalah orang-orang yang jujur.
Sementara kaum Anshar adalah orang-orang yang menetap di kota Madinah, mencintai orang-orang yang berhijrah. Mereka tidak dihinggapi perasaan berat hati atas apa-apa yang mereka infakkan kepada kaum Muhajirin, serta lebih mengutamakan kaum Muhajirin meskipun mereka membutuhkannya.
Merekalah kaum yang mendapatkan keselamatan dari cercaan dan mendapatkan pujian dan keutamaan dari Allah Ta'ala. Allah Ta'ala meridhai mereka dan mereka ridha kepada Allah Ta'ala. Allah Ta'ala mempersiapkan bagi mereka jannah yang mengalir sungai-sungai di bawahnya dan kekal di dalamnya.
Allah Ta'ala di dalam Al Qur`an berfirman:
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: “Ayat ini merupakan tolok ukur cinta seseorang kepada Allah Ta'ala dengan sebenar-benarnya cinta atau hanya pura-pura mengaku cinta. Tanda cinta kepada Allah Ta'ala adalah ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, yang Allah Ta'ala telah menjadikan sikap ini (ittiba’) dan segala apa yang diserukan sebagai jalan untuk mendapatkan cinta dan ridha Allah Ta'ala.
Dan tidak akan didapati kecintaan dari Allah Ta'ala, ridha dan pahala-Nya, melainkan dengan cara membenarkan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sebagaimana yang ada di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, dengan cara melaksanakan apa yang dikandung keduanya dan menjauhi apa yang dilarangnya. Maka barangsiapa melakukan hal ini, sungguh ia telah dicintai oleh Allah Ta'ala, dia dibalas sebagaimana balasan terhadap kekasih Allah Ta'ala, diampuni dosanya, dan ditutupi segala aibnya. Maka (ayat ini) seakan-akan (menjelaskan) bagaimana hakekat mengikuti Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan bagaimana sifatnya.”
Simbol kemenangan dan kejayaan umat. Meskipun Islam semakin kabur, namun pewaris kemurnian Islam akan tetap ada sepanjang kehidupan manusia ini sampai hari kiamat. Mereka telah dipersiapkan Allah Ta'ala untuk meneruskan perjuangan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan generasi beliau yang terbaik. Merekalah yang akan terus menyuarakan kemurnian Islam. Dan bersama merekalah kemenangan dan kejayaannya. Itulah janji Allah Ta'ala yang tidak bisa dipungkiri.
Merekalah yang disebut Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sebagai generasi pejuang yang telah mengambil pedang perjuangan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam yang diwariskan setelah wafatnya, untuk membabat gerakan-gerakan penjegalan terhadap syariat Allah Ta'ala. Dan mereka pulalah yang dipersiapkan Allah Ta'ala sebagai perisai dan benteng terhadap kebenaran dalam pertarungan antara yang hak dan batil. Allah Ta'ala menjelaskan di dalam Al Qur`an:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin di dalam kitab Syarah Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 25) mengatakan, “Akan tetapi semua pujian bagi Allah Ta'ala semata. Tiadalah seseorang melakukan kebid’ahan, melainkan Allah Ta'ala membangkitkan –dengan nikmat dan karunia-Nya– orang-orang yang akan menjelaskan kebid’ahan tersebut dan yang akan melumatkannya dengan kebenaran. Dan ini termasuk makna yang terkandung dalam firman Allah Ta'ala (Al-Hijr: 9). Dan ini merupakan wujud nyata penjagaan Allah Ta'ala terhadap Adz-Dzikr (maksudnya Al-Qur`an, red.) dan ini juga merupakan konsekuensi hikmah Allah Ta'ala.”
Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari shahabat Mua’wiyah dan Mughirah bin Syu’bah radiyallahu'anhu, dan diriwayatkan Al-Imam Muslim dari shahabat Tsauban, Jabir bin Samurah, Jabir bin Abdillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radiyallahu'anhum:
“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang memperjuangkan kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang berusaha menghinakan mereka sampai datang keputusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan yang demikian itu.” (Shahih, HR. Muslim dengan lafadznya)
Siapakah yang dimaksud Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dengan “satu kelompok dari umatnya itu yang selalu memperjuangkan kebenaran dan selalu mendapatkan kemenangan”?
Al-Imam Ahmad mengatakan: “ Kalau bukan ahli hadits yang dimaksud, maka saya tidak mengetahui (lagi) siapa mereka.”
‘Umar bin Hafsh bin Ghiyats mengatakan: “Aku telah mendengar ayahku ketika ditanyakan kepadanya: ‘Tidakkah kamu melihat ahlul hadits dan apa-apa yang mereka berada di atasnya?’ Dia menjawab: ‘Mereka adalah sebaik-baik penduduk dunia’.”
Abu Bakar bin ‘Ayyash mengatakan, “Aku berharap bahwa ahlul hadits adalah sebaik-baik manusia.” (Lihat kitab Makanatu Ahlil Hadits, hal. 53-54)
Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda: “Tidak ada seorangpun dari nabi yang diutus sebelumku kepada suatu umat melainkan ada pada umatnya hawariyyun (para pembela) dan shahabatnya yang memegang sunnahnya dan yang mengikuti perintahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abdullah bin Mas’ud radiyallahu'anhu)
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah akan membangkitkan pada setiap awal seratus tahun orang-orang yang akan mengadakan pembaharuan terhadap agama umat ini.” (Shahih, HR. Abu Dawud dari shahabat Abu Hurairah radiyallahu'anhu dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 3656 dan di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 599 dan di dalam Shahih Jami’ush Shaghir no. 1874)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, sebagaimana dinukil Al-Imam Adz-Dzahabi dalam kitab As-Siyar (10/46): “Sesungguhnya Allah Ta'ala akan membangkitkan pada umat, di awal setiap seratus tahun, orang-orang yang akan mengajarkan mereka As Sunnah dan membungkam setiap kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Maka tatkala kami melihat dan memeriksa, ternyata pada awal seratus tahun pertama muncul ‘Umar bin Abdul ‘Aziz dan pada seratus tahun kedua Al-Imam Asy-Syafi’i.” (Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 2/148)
Manhaj salaf manhaj yang benar. Manhaj inilah yang mendapatkan pujian kebaikan dari lisan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berikut dengan orang-orang yang berjalan di atasnya, sebagaimana sabda beliau:
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang setelah mereka, dan kemudian orang-orang setelah mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat ‘Imran bin Hushain dan Abdullah bin Mas’ud radiyallahu'anhu)
Maka, para pengikut manhaj ini adalah generasi terbaik yang diridhai Allah Ta'ala. Di dalam kitab Manhajus Salaf Fit Ta’amul Ma’a Kutubi Ahlil Bida’i (hal. 3) karya Abu Ibrahim Muhammad bin Muhammad bin Abdillah bin Mani’ dikatakan: “Pujian kebaikan menunjukkan kebenaran akidah, mengikuti Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dengan benar. Maka para shahabat adalah orang yang paling baik keyakinannya, paling dekat dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, paling jauh dari kesyirikan, kebid’ahan, dan perpecahan. Para shahabat adalah orang yang paling baik dari sisi pemahaman dan ilmu. Maka barangsiapa yang tidak merasa cukup dengan para shahabat, maka Allah Ta'ala tidak akan mencukupkan mereka.” Wallahu a’lam.
Sumber Bacaan:
1. Al-Qur`an
2. Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi
3. Taisir Al-Karimir Rahman, Asy-Syaikh As-Sa’di
4. Syarah Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
5. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, Asy-Syaikh Al-Albani
6. Makanatu Ahlil Hadits, Asy-Syaikh Dr. Rabi’
7. Manhajus Salaf Fitta’amul Ma’a Kutubi Ahlil Bida’, Asy-Syaikh Muhammad bin Mani’
Catatn Kaki:
1 Nama beliau adalah Abu Abdillah Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah bin Nashir dari keluarga As-Sa’di dari suku Tamim. Beliau adalah ahli ilmu Al Qur`an dan tafsir pada pertengahan abad 14 H. Dilahirkan di ‘Unaizah, Arab Saudi, 12 Muharram 1307 H. Setelah 69 tahun mengorbankan umurnya untuk mengabdi kepada ilmu, beliau wafat tahun 1376 H di kota kelahirannya.
"Jalan Salaf Jaminan Kebenaran"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah
AsySyariah.com
Pada edisi sebelumnya telah dijelaskan, siapa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dan manhaj (jalan/metode) yang mereka tempuh. Mereka bukanlah manusia khusus yang diciptakan Allah Ta'ala untuk membawa amanat syariat-Nya. Juga bukan malaikat yang diutus Allah Ta'ala untuk mengajarkan manusia tentang agama-Nya. Mereka adalah kaum muslimin itu sendiri yang memahami agamanya dengan benar berdasarkan Al-Qur‘an dan As-Sunnah di atas pemahaman as-salafush shalih (pendahulu yang shalih).
Mereka (para shahabat radiyallahuanhum) adalah umat terbaik yang diciptakan untuk mendakwahkan kebenaran agama ini kepada seluruh umat. Mereka adalah generasi terbaik umat ini dari kalangan shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, serta orang-orang yang mengikuti mereka di atas kebenaran. Mereka adalah as-salafush shalih, al-firqatun najiyah (orang-orang yang selamat), ath-tha`ifah al-manshurah (orang-orang yang selalu ditolong), ahlul hadits, ahlul atsar, dan mereka adalah salafiyyun.
Mereka adalah pilihan Allah Ta'ala dari seluruh hamba-Nya yang akan menyuarakan kebenaran di mana dan kapan saja, bagaimanapun besar tantangan dan rintangan yang dihadapi. Slogan mereka adalah firman Allah Ta'ala:
“Kebenaran itu datang dari Rabbmu, maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147)
Juga sabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam : “Katakan yang benar walaupun pahit dan jangan kamu gentar cercaan orang yang mencerca.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari shahabat Abu Dzar z. Lihat Al-Misykat, 3/1365)
Dari sinilah nama as-salafush shalih diabadikan oleh sejarah. Ditulis dengan tinta emas, terus dikenang, serta menjadi rujukan generasi sesudahnya. Bukankah ini merupakan satu kemuliaan dari Allah Ta'ala karena apa yang telah mereka berikan untuk agama-Nya? Dan karena apa yang mereka tempuh ketika Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam masih hidup dan setelah wafat beliau?
Jawabannya adalah ya. Mereka mendapatkan yang demikian ini karena mereka berjalan di atas jalan Rasul-Nya. Abu Bakar radiyallahu'anhu, khalifah pertama yang menggantikan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sebagai pemimpin umat ini, telah mendapatkan jaminan masuk jannah (surga), padahal ketika itu beliau masih hidup. Bukankah ini kemuliaan bagi beliau? Apakah manhaj Abu Bakar radiyallahu'anhu sesuai manhaj Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam? Jawabannya tentu ya.
Begitu juga ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan para shahabat yang lain yang telah mendapatkan jaminan dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam untuk masuk jannah, padahal kaki-kaki mereka masih menapaki kehidupan. Merekalah yang juga disebutkan Allah Ta'ala di dalam Al-Qur`an:
“Merekalah orang-orang yang telah diberikan nikmat oleh Allah dari kalangan para nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih.” (An-Nisa`: 69)
Siapa lagi yang dimaksud dalam ayat ini setelah para nabi, kalau bukan orang-orang yang mengikuti mereka di atas manhaj Allah Ta'ala dari kalangan shahabat?
Mereka adalah generasi yang berusaha untuk mendapatkan dan mengambil warisan terbanyak dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Duduk dan keluar dari majelis Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam keadaan membawa kemurnian agama Islam yang malamnya seperti siangnya. Dan tidak ada seorangpun dari mereka yang menyimpang, melainkan akan binasa seumur hidup jika tidak segera bertaubat kepada Allah Ta'ala.
Manhaj salaf cerminan kemurnian Islam. Rentang waktu yang panjang sangat memungkinkan menyebabkan jauhnya umat dari kemurnian ajaran Islam. Apalagi, umat ini terus berganti generasi demi generasi. Hal ini telah dirasakan dan disaksikan oleh orang-orang yang diberikan bashirah (ilmu) oleh Allah Ta'ala. Banyak kita jumpai penampilan Islam yang berwarna-warni, baik dari amalan, ucapan, dan keyakinan.
“Warna-warni” inilah yang sering menimbulkan friksi di antara sesama muslim hingga berujung pada pudarnya persatuan dan kesatuan umat Islam. Walhasil, umat ini menjadi sangat lemah dan siap menjadi santapan musuh-musuhnya.
Munculnya kelompok-kelompok di dalam Islam, merupakan bukti konkrit adanya perbedaan yang besar dan warna-warninya penampilan Islam itu. Yang satu berpakaian serba merah dan mengangkat Islam sebagai simbol. Yang lain dengan warna hijau, hitam, kuning, putih, dan sebagainya. Masing-masing memiliki konsep, prinsip, jalan, dan tujuan yang berbeda dengan yang lainnya. Bahkan, karena perbedaan mendasar itu, ada yang siap menumpahkan darah yang lainnya. Apakah demikian Islam itu? Lalu manakah yang benar? Dan manakah yang harus diikuti?
Yang demikian ini, setelah berlalunya masa risalah (masa kenabian) dan pergantian generasi demi generasi, sangat terasa. Ironisnya, Islam dalam pandangan kaum muslimin saat ini hanya sebatas “yang penting Islam”, apapun alirannya, ajarannya, warnanya, jalannya, baunya, dan sebagainya. Padahal justru dengan sebab ini, hilanglah kemuliaan, kewibawaan, kejayaan, dan kekuatan umat Islam, serta menjadikan musuh-musuh Islam berani dan memiliki kewibawaan di mata kaum muslimin.
Kemurnian dan kesempurnaan Islam itu pun kian jauh panggang dari api. Yang satu ingin menambah dan yang lain ingin mengurangi, bahkan mempretelinya. Hanya dengan mencari sumber kemurniannya kepada orang yang telah dinobatkan oleh Allah Ta'ala sebagai penelusur jejak Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam -para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in- saja, niscaya kemurnian Islam itu akan diperoleh.
Manhaj salaf adalah ridha, cinta, dan ampunan Allah Ta'ala. Selain sebagai cermin kemurnian Islam, manhaj salaf juga merupakan perwujudan ridha Allah Ta'ala, cinta, dan ampunan-Nya. Allah Ta'ala berfirman tentang mereka yang berjalan di atas manhaj salaf ini:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Asy-Syaikh As-Sa’di1 rahimahullah dalam tafsir ayat ini mengatakan, mereka adalah orang-orang yang lebih dahulu masuk Islam dan yang terlebih dahulu dalam keimanan, hijrah, jihad, dan memperjuangkan agama Allah Ta'ala. Kaum Muhajirin adalah orang-orang yang dikeluarkan dari negeri mereka dan dipisahkan dari harta benda mereka, semata-mata hanya mencari keutamaan dari Allah Ta'ala dan keridhaan-Nya. Mereka membela agama Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, dan mereka adalah orang-orang yang jujur.
Sementara kaum Anshar adalah orang-orang yang menetap di kota Madinah, mencintai orang-orang yang berhijrah. Mereka tidak dihinggapi perasaan berat hati atas apa-apa yang mereka infakkan kepada kaum Muhajirin, serta lebih mengutamakan kaum Muhajirin meskipun mereka membutuhkannya.
Merekalah kaum yang mendapatkan keselamatan dari cercaan dan mendapatkan pujian dan keutamaan dari Allah Ta'ala. Allah Ta'ala meridhai mereka dan mereka ridha kepada Allah Ta'ala. Allah Ta'ala mempersiapkan bagi mereka jannah yang mengalir sungai-sungai di bawahnya dan kekal di dalamnya.
Allah Ta'ala di dalam Al Qur`an berfirman:
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: “Ayat ini merupakan tolok ukur cinta seseorang kepada Allah Ta'ala dengan sebenar-benarnya cinta atau hanya pura-pura mengaku cinta. Tanda cinta kepada Allah Ta'ala adalah ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, yang Allah Ta'ala telah menjadikan sikap ini (ittiba’) dan segala apa yang diserukan sebagai jalan untuk mendapatkan cinta dan ridha Allah Ta'ala.
Dan tidak akan didapati kecintaan dari Allah Ta'ala, ridha dan pahala-Nya, melainkan dengan cara membenarkan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sebagaimana yang ada di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, dengan cara melaksanakan apa yang dikandung keduanya dan menjauhi apa yang dilarangnya. Maka barangsiapa melakukan hal ini, sungguh ia telah dicintai oleh Allah Ta'ala, dia dibalas sebagaimana balasan terhadap kekasih Allah Ta'ala, diampuni dosanya, dan ditutupi segala aibnya. Maka (ayat ini) seakan-akan (menjelaskan) bagaimana hakekat mengikuti Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan bagaimana sifatnya.”
Simbol kemenangan dan kejayaan umat. Meskipun Islam semakin kabur, namun pewaris kemurnian Islam akan tetap ada sepanjang kehidupan manusia ini sampai hari kiamat. Mereka telah dipersiapkan Allah Ta'ala untuk meneruskan perjuangan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dan generasi beliau yang terbaik. Merekalah yang akan terus menyuarakan kemurnian Islam. Dan bersama merekalah kemenangan dan kejayaannya. Itulah janji Allah Ta'ala yang tidak bisa dipungkiri.
Merekalah yang disebut Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam sebagai generasi pejuang yang telah mengambil pedang perjuangan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam yang diwariskan setelah wafatnya, untuk membabat gerakan-gerakan penjegalan terhadap syariat Allah Ta'ala. Dan mereka pulalah yang dipersiapkan Allah Ta'ala sebagai perisai dan benteng terhadap kebenaran dalam pertarungan antara yang hak dan batil. Allah Ta'ala menjelaskan di dalam Al Qur`an:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin di dalam kitab Syarah Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 25) mengatakan, “Akan tetapi semua pujian bagi Allah Ta'ala semata. Tiadalah seseorang melakukan kebid’ahan, melainkan Allah Ta'ala membangkitkan –dengan nikmat dan karunia-Nya– orang-orang yang akan menjelaskan kebid’ahan tersebut dan yang akan melumatkannya dengan kebenaran. Dan ini termasuk makna yang terkandung dalam firman Allah Ta'ala (Al-Hijr: 9). Dan ini merupakan wujud nyata penjagaan Allah Ta'ala terhadap Adz-Dzikr (maksudnya Al-Qur`an, red.) dan ini juga merupakan konsekuensi hikmah Allah Ta'ala.”
Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari shahabat Mua’wiyah dan Mughirah bin Syu’bah radiyallahu'anhu, dan diriwayatkan Al-Imam Muslim dari shahabat Tsauban, Jabir bin Samurah, Jabir bin Abdillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radiyallahu'anhum:
“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang memperjuangkan kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang berusaha menghinakan mereka sampai datang keputusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan yang demikian itu.” (Shahih, HR. Muslim dengan lafadznya)
Siapakah yang dimaksud Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dengan “satu kelompok dari umatnya itu yang selalu memperjuangkan kebenaran dan selalu mendapatkan kemenangan”?
Al-Imam Ahmad mengatakan: “ Kalau bukan ahli hadits yang dimaksud, maka saya tidak mengetahui (lagi) siapa mereka.”
‘Umar bin Hafsh bin Ghiyats mengatakan: “Aku telah mendengar ayahku ketika ditanyakan kepadanya: ‘Tidakkah kamu melihat ahlul hadits dan apa-apa yang mereka berada di atasnya?’ Dia menjawab: ‘Mereka adalah sebaik-baik penduduk dunia’.”
Abu Bakar bin ‘Ayyash mengatakan, “Aku berharap bahwa ahlul hadits adalah sebaik-baik manusia.” (Lihat kitab Makanatu Ahlil Hadits, hal. 53-54)
Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda: “Tidak ada seorangpun dari nabi yang diutus sebelumku kepada suatu umat melainkan ada pada umatnya hawariyyun (para pembela) dan shahabatnya yang memegang sunnahnya dan yang mengikuti perintahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abdullah bin Mas’ud radiyallahu'anhu)
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah akan membangkitkan pada setiap awal seratus tahun orang-orang yang akan mengadakan pembaharuan terhadap agama umat ini.” (Shahih, HR. Abu Dawud dari shahabat Abu Hurairah radiyallahu'anhu dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 3656 dan di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 599 dan di dalam Shahih Jami’ush Shaghir no. 1874)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, sebagaimana dinukil Al-Imam Adz-Dzahabi dalam kitab As-Siyar (10/46): “Sesungguhnya Allah Ta'ala akan membangkitkan pada umat, di awal setiap seratus tahun, orang-orang yang akan mengajarkan mereka As Sunnah dan membungkam setiap kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Maka tatkala kami melihat dan memeriksa, ternyata pada awal seratus tahun pertama muncul ‘Umar bin Abdul ‘Aziz dan pada seratus tahun kedua Al-Imam Asy-Syafi’i.” (Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 2/148)
Manhaj salaf manhaj yang benar. Manhaj inilah yang mendapatkan pujian kebaikan dari lisan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berikut dengan orang-orang yang berjalan di atasnya, sebagaimana sabda beliau:
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang setelah mereka, dan kemudian orang-orang setelah mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat ‘Imran bin Hushain dan Abdullah bin Mas’ud radiyallahu'anhu)
Maka, para pengikut manhaj ini adalah generasi terbaik yang diridhai Allah Ta'ala. Di dalam kitab Manhajus Salaf Fit Ta’amul Ma’a Kutubi Ahlil Bida’i (hal. 3) karya Abu Ibrahim Muhammad bin Muhammad bin Abdillah bin Mani’ dikatakan: “Pujian kebaikan menunjukkan kebenaran akidah, mengikuti Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dengan benar. Maka para shahabat adalah orang yang paling baik keyakinannya, paling dekat dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, paling jauh dari kesyirikan, kebid’ahan, dan perpecahan. Para shahabat adalah orang yang paling baik dari sisi pemahaman dan ilmu. Maka barangsiapa yang tidak merasa cukup dengan para shahabat, maka Allah Ta'ala tidak akan mencukupkan mereka.” Wallahu a’lam.
Sumber Bacaan:
1. Al-Qur`an
2. Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi
3. Taisir Al-Karimir Rahman, Asy-Syaikh As-Sa’di
4. Syarah Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
5. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, Asy-Syaikh Al-Albani
6. Makanatu Ahlil Hadits, Asy-Syaikh Dr. Rabi’
7. Manhajus Salaf Fitta’amul Ma’a Kutubi Ahlil Bida’, Asy-Syaikh Muhammad bin Mani’
Catatn Kaki:
1 Nama beliau adalah Abu Abdillah Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah bin Nashir dari keluarga As-Sa’di dari suku Tamim. Beliau adalah ahli ilmu Al Qur`an dan tafsir pada pertengahan abad 14 H. Dilahirkan di ‘Unaizah, Arab Saudi, 12 Muharram 1307 H. Setelah 69 tahun mengorbankan umurnya untuk mengabdi kepada ilmu, beliau wafat tahun 1376 H di kota kelahirannya.
"Jalan Salaf Jaminan Kebenaran"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah
AsySyariah.com
0 Komentar
Silakan tuliskan komentar, saran dan nasihat antum. Namun tidak semua akan tampilkan.