Syarat Ibadah

by admin aluyeah
Syarat Ibadah | al-uyeah.blogspot.com
Beramal shalih memang penting karena merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang. Namun yang tidak kalah penting adalah mengetahui persyaratan agar amal tersebut diterima di sisi Allah Ta'ala. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan justru membuat Allah Ta'ala murka karena tidak memenuhi syarat yang Allah Ta'ala dan Rasul-Nya tetapkan.

Dalam mengarungi lautan hidup ini banyak duri dan kerikil yang harus kita singkirkan satu demi satu. Demikianlah sunnatullah hidup bagi setiap orang. Di antara manusia ada yang berhasil menyingkirkan duri dan kerikil-kerikil itu sehingga selamat di dunia dan di akhirat. Namun di antara mereka ada yang tidak mampu menyingkirkannya sehingga harus terkapar dalam kubang kegagalan di dunia dan akhirat.

Kerikil dan duri-duri hidup itu demikian banyak dan untuk menyingkirkannya jelas membutuhkan waktu yang sangat panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Kita takut, jika seandainya kegagalan hidup itu berakhir dengan murka dan neraka Allah Ta'ala. Akankah kita bisa menyelamatkan diri lagi, sementara kesempatan sudah tidak ada? Dan akankah ada orang yang merasa kasihan kepada kita padahal setiap orang bernasib sama?

Maka sebelum semua itu terjadi, sekarang kesempatan bagi kita untuk menjawabnya dan berusaha untuk menyingkirkan duri dan kerikil hidup tersebut. Tidak ada cara yang terbaik kecuali harus kembali kepada agama kita dan menempuh bimbingan Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Allah Ta'ala telah menjelaskan di dalam Al-Qur’an bahwa satu-satunya jalan itu adalah dengan beriman dan beramal kebajikan. Allah Ta'ala berfirman:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, orang-orang yang saling nasihat-menasihati dalam kebaikan dan saling nasihat-menasihati dalam kesabaran.” (Al-’Ashr: 1-3)

Allah Ta'ala bersumpah dengan masa, menunjukkan waktu bagi manusia sangat berharga. Dengan waktu seseorang bisa memupuk iman dan memperkaya diri dengan amal shalih dan dengan waktu pula seseorang bisa terjerumus dalam perkara-perkara yang dimurkai Allah Ta'ala. Empat perkara yang disebutkan Allah Ta'ala di dalam ayat ini merupakan tanda kebahagiaan, kemenangan, dan keberhasilan seseorang di dunia dan di akhirat.

Keempat perkara inilah yang harus dimiliki dan diketahui setiap orang ketika harus bertarung dengan kuatnya badai kehidupan. Sebagaimana disebutkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab beliau Al-Ushul Ats-Tsalasah dan Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Zadul Ma’ad (3/10), keempat perkara tersebut merupakan kiat untuk menyelamatkan diri dan melawan hawa nafsu ketika dia memaksa agar kita terjerumus ke dalam kesesatan dan tersandung dengan batu dan duri-duri tersebut di tengah perjalanan.

Iman Adalah Ucapan dan Perbuatan

Mengucapkan “saya beriman”, memang sangat mudah dan ringan di mulut. Akan tetapi bukan hanya dengan itu kemudian seseorang menjadi sempurna imannya. Ketika seseorang memproklamirkan dirinya beriman, ia memiliki konsekuensi yang harus dijalankan dan ujian yang harus diterima. Demikianlah tuntutan dari iman tersebut. Artinya, mengikrarkan keimanan konsekuensinya adalah siap untuk melaksanakan segala apa yang diperintahkan oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya baik berat atau ringan, disukai ataupun tidak disukai.

Konsekuensi iman ini banyak macamnya. Kesiapan kita untuk menundukkan hawa nafsu dan mengekangnya untuk selalu berada di atas ridha Allah Ta'ala termasuk konsekuensi iman. Mengutamakan apa yang ada di sisi Allah Ta'ala dan menyingkirkan segala sesuatu yang akan menghalangi kita dari jalan Allah Ta'ala juga konsekuensi iman.

Menghamba di hadapan Allah Ta'ala dengan segala unsur pengagungan dan kecintaan itu adalah konsekuensi iman. Mengamalkan seluruh syariat Allah Ta'ala itu merupakan konsekuensi iman. Menerima apa yang diberitakan Allah Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam tentang perkara-perkara ghaib dan apa yang akan terjadi di umat beliau itu merupakan konsekuensi iman.

Meninggalkan segala apa yang di larang Allah Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam maka itu merupakan konsekuensi iman. Memuliakan orang-orang yang melaksanaan syariat Allah Ta'ala, mencintai serta membela mereka, merupakan konsekuensi iman. Dan kesiapan untuk menerima segala ujian dan cobaan dalam mewujudkan keimanan tersebut merupakan konsekuensi dari iman itu sendiri.

Allah Ta'ala berfirman di dalam Al-Qur’an:

“Alif lam mim. Apakah manusia itu menyangka bahwa mereka dibiarkan untuk mengatakan kami telah beriman lalu mereka tidak diuji. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Kami benar-benar mengetahui siapakah di antara mereka yang benar beriman dan agar Kami mengetahui siapakah di antara mereka yang berdusta.” (Al-’Ankabut: 1-3)

Al-Imam As-Sa’di dalam tafsir ayat ini mengatakan: “Allah Ta'ala telah memberitakan di dalam ayat ini tentang kesempurnaan hikmah-Nya. Termasuk dari hikmah-Nya bahwa setiap orang yang mengatakan “aku beriman” dan mengaku pada dirinya ada keimanan, tidak dibiarkan berada hanya dalam satu keadaan, selamat dari segala bentuk fitnah dan ujian dan tidak ada yang akan mengganggu keimanannya. Karena jika seandainya perkara keimanan itu demikian (tidak ada ujian dan gangguan dalam keimanannya) niscaya tidak akan bisa dibedakan mana yang benar-benar beriman dan siapa yang pura-pura beriman. Dan tidak akan bisa dibedakan antara yang benar dan yang salah.”

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

“Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.” (HR. Al-Imam At-Tirmidzi dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri dan Sa’ad bin Abi Waqqash radiyallahu'anhum)

Jelasnya, iman adalah ucapan dan perbuatan. Artinya, mengucapkan dengan lisan dan beramal dengan hati dan anggota badan. Dan memiliki konsekuensi yang harus diwujudkan dalam kehidupan di mana konsekuensinya itu adalah amal.

Amal

Amal merupakan konsekuensi iman dan memiliki nilai yang sangat positif dalam menghadapi tantangan hidup dan segala fitnah yang ada di dalamnya. Terlebih jika seseorang menginginkan kebahagiaan hidup yang hakiki. Allah Ta'ala telah menjelaskan yang demikian itu di dalam Al-Qur’an:

“Bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 133)

Al-Imam As-Sa’di mengatakan dalam tafsirnya halaman 115: “Kemudian Allah Ta'ala memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan-Nya dan menuju surga seluas langit dan bumi. Lalu bagaimana dengan panjangnya yang telah dijanjikan oleh Allah Ta'ala kepada orang-orang yang bertakwa, merekalah yang pantas menjadi penduduknya dan amalan ketakwaan itu akan menyampaikan kepada surga tersebut.”

Maka jelas melalui ayat ini Allah Ta'ala menyeru hamba-hamba-Nya agar bersegera menuju amal kebajikan dan bersegera untuk mendapatkan kedekatan di sisi Allah Ta'ala dan agar segera pula  berusaha untuk mendapatkan surga-Nya. (Lihat Bahjatun Nadzirin, 1/169)

Allah Ta'ala berfirman:

“Berlomba-lombalah kalian dalam kebajikan.” (Al-Baqarah: 148)

Al-Imam As-Sa’di dalam Tafsir-nya hal. 55 mengatakan: “Perintah berlomba-lomba dalam kebajikan merupakan perintah tambahan dalam melaksanakan kebajikan. Karena berlomba-lomba mencakup mengerjakan perintah tersebut sesempurna mungkin dan melaksanakannya dalam segala keadaan dan bersegera kepadanya. Maka barangsiapa berlomba-lomba dalam kebaikan di dunia maka dia akan menjadi orang pertama yang masuk ke dalam surga kelak pada hari kiamat dan merekalah orang yang paling tinggi kedudukannya.”

Dalam ayat ini, jelas sekali Allah Ta'ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk segera dan berlomba-lomba dalam amal shalih. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

“Bersegeralah kalian menuju amal shalih karena akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan gelapnya malam, di mana seorang mukmin bila berada di waktu pagi dalam keadaan beriman maka di sore harinya menjadi kafir. Dan jika di sore hari dia beriman maka di pagi harinya dia menjadi kafir dan dia melelang agamanya dengan harta benda dunia.” (Shahih, HR Muslim no.117 dan At-Tirmidzi)

Dalam hadits ini terdapat banyak pelajaran, di antaranya wajibnya kita berpegang dengan agama Allah Ta'ala dan bersegera untuk beramal shalih sebelum datang perkara-perkara yang akan menghalanginya. Fitnah di akhir jaman akan datang silih berganti  dan ketika berakhir satu fitnah, akan muncul lagi fitnah yang lain. (Lihat Bahjatun Nadzirin, 1/170)

Karena kedudukan amal dalam kehidupan begitu besar dan mulia maka Allah Ta'ala memerintahkan kita untuk meminta segala apa yang kita butuhkan dengan amal shalih. Allah Ta'ala berfirman di dalam Al-Qur’an:

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah tolong (kepada Allah) dengan penuh kesabaran dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Al-Baqarah: 153)

Kalau kita telah beramal dengan penuh keuletan dan kesabaran, apakah amal kita pasti diterima?

Syarat Diterimanya Amal

Amal yang akan diterima Allah Ta'ala memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Hal yang demikian itu telah disebutkan Allah Ta'ala sendiri di dalam Kitab-Nya dan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam di dalam haditsnya. Syarat amal itu adalah sebagai berikut:

Pertama, amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata mencari ridha Allah Ta'ala.

Allah Ta'ala berfirman:

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

“Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari kedua dalil ini sangat jelas bagi kita bahwa dasar dan syarat pertama diterimanya amal adalah ikhlas, yaitu semata-mata mencari wajah Allah Ta'ala. Amal tanpa disertai dengan keikhlasan maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah Ta'ala.

Kedua, amal tersebut sesuai dengan Sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. 

Beliau Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

“Dan barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radiyallahu'anha)

Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Allah Ta'ala adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Kalau salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah Ta'ala.

Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “Yang penting kan niatnya”. Tidak demikian, harus ada kecocokan amal itu dengan ajaran Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Kalau istilah “yang penting niat” adalah benar niscaya kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat kepada Allah Ta'ala dengan dalil yang penting niatnya.

Kita akan mengatakan para pencuri, penzina, pemabuk, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid’ah (perkara-perkara yang diadakan dalam agama yang tidak ada contohnya dari Rasululah Shallallahu'alaihiwasalam) dan bahkan kesyirikan tidak bisa kita salahkan, karena kita tidak mengetahui bagaimana niatnya.

Hal ini akan mengundang banyak pertanyaan, di antaranya apabila seseorang mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan istrinya, apakah perbuatannya bisa dibenarkan? Apakah seseorang melakukan bid’ah dengan niat beribadah kepada Allah Ta'ala adalah benar? Apakah orang yang meminta kepada makam wali dengan niat memuliakan wali itu adalah benar? Tentu jawabannya adalah tidak.

Dari pembahasan di atas sangat jelas kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai penentu diterimanya amalan itu. Oleh karena itulah sebelum melangkah untuk beramal hendaklah bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya? Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.

Masalahnya bukanlah sekedar memperbanyak amal, akan tetapi adalah benar atau tidakkah amal tersebut. Allah Ta'ala berfirman:

“Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup agar menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al-Mulk: 2)

Muhammad bin ‘Ajlan berkata: “Allah Ta'ala tidak mengatakan yang paling banyak amalnya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/396)

Allah Ta'ala mengatakan yang paling baik amalnya dan tidak mengatakan yang paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, sebagaimana yang telah diucapkan Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri.

Kedua syarat di atas merupakan makna dari kalimat “Laa ilaaha illallah – Muhammadar rasulullah.” Wallahu a’lam.

"Akankah Amalku Diterima?"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman
AsySyariah.com

Hukum Rokok

by admin aluyeah
Mau Impoten Go Ahead | al-uyeah.blogspot.com
Banyak orang yang tidak mengetahui atau tidak mau tahu tentang apa itu hukum dari rokok, sehingga banyak dari kita yang terjerumus ke dalamnya dan tanpa merasa malu lagi untuk menghisap rokok ini di depan umum.

Sesungguhnya apa hukum rokok itu?

Sesungguhnya Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk memakan dengan makanan yang halal dari rizki yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah berikan kepada hamba-Nya, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaithon itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-Baqarah:168)

Dan juga Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman pada ayat yang lain.

Artinya:
“Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu” (Al-Ayah)

Maka jelaslah 2 ayat di atas tersebut perintah dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala- kepada hamba-Nya untuk makan makanan yang halal juga yang baik yang tidak ada kemudharatan atau bahaya bagi badan atau menyakiti tetangga atau menyia-nyiakan harta karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan segala sesuatu yang buruk yang dapat mendatangkan kemudharatan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

“Dan Rasul menghalalkan yang baik bagi mereka dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk“. (QS. Al-A’raf:157)

Diantara kemudharatan pada zaman sekarang ini yang banyak dari kaum muslimin lalai dari padanya, baik dari kalangan pemuda ataupun yang dewasa yang kebanyakan dari mereka tidak mengetahui keburukan-keburukannya adalah apa yang terdapat pada rokok.

Sehingga tidak sedikit dari meteka yang secara terang-terangan merokok di depan orang banyak tanpa mengenal rasa malu, mereka tidak menjaga kehormatan-kehormatan orang-orang yang berada di sekelilingnya, sehingga mereka menganggap ini merupakan suatu hal yang biasa. 

Padahal sudah jelas bahwasanya rokok merupakan sesuatu yang haram dan juga merupakan sesuatu yang buruk yang dapat mendatangkan bahaya bagi diri dia sendiri dan bagi orang lain. Dari Sa’id Al-Khudriy Radliallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda

Artinya:
“Tidak boleh memberi mudharat (kepada orang lain) dan tidak boleh saling menimpakan mudharat satu sama lain” (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruqutni dll dan hadits hasan)

Keburukan-Keburukan Rokok

1. Rokok dapat membunuh secara perlahan-lahan

Ketahuilah wahai saudaraku bahwa Allah – Subhanahu wa Ta’ala – melarang hamba-Nya untuk membunuh dirinya sendiri, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:

ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An-Nisaa:29)

Tidak dapat kita ingkari bahwasanya rokok dapat membunuh secara perlahan-lahan dan dapat mengakibatkan penyakit yang membinasakan seperti kanker paru-paru dan lain sebagainya, karena di dalam rokok terdapat racun (nikotin) yang dapat membunuh siapa saja yang menghisapnya.

Dari Abu Hurairah Radliallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Artinya:
“Barangsiapa yang menghirup racun hingga mati, maka dia akan menghirup racun itu selama-lamanya di neraka jahannam” (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

2. Rokok tidak dapat menghilangkan lapar dan dahaga

Allah – Subhanahu wa Ta’ala – berfirman tentang makanan-makanan penghuni neraka yang artinya:

“Mereka tidak memperoleh makanan selain dari pohon berduri. Yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar” (QS. Al- Ghasyiyah:6-7)

Dan rokok tidak menggemukkan dan tidak bisa menghilangkan rasa lapar seperti makanan-makanan penghuni neraka.

3. Menyia-nyiakan harta

Orang yang berakal dia mengetahui bagaimana dia hidup dan bermuamalah. Rizki yang Allah telah berikan niscaya tidak akan dihambur-hamburkan pada sesuatu yang haram tidak ada gunanya, menghambur-hamburkan merupakan perbuatan syaitan dan Allah Subhanahu wa Ta’ala :

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ

“Sesungguhnya pemborosan-pemborosan itu adalah saudara-saudara syaitan, dan syaitan itu adalah sangat ingkar terhadap Rabbnya” (QS. Al- Isra’:27)

Rasulullah – Shallallhu ‘Alaihi wa Sallam – bersabda:

Artinya:
“Sesungguhnya Allah membenci padamu 3(tiga) perkara, dan beliau berkata: perbuatan menyia-nyiakan harta dan banyak bertanya” (HR. Al-Bukhari)

Rokok adalah perbuatan pemborosan dan menyia-nyiakan harta yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala

4. Rokok terdapat bau busuk yang bisa menyakiti (mengganggu) tetangganya (sekitarnya)

Kita ketahui bahwa bawang merah dan bawang putih adalah makanan yang mubah tetapi keduanya mempunyai bau yang tidak sedap. Dengan sebab bau yang tidak sedap Rasulullah – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – melarang orang yang makan bawang merah dan bawang putih untuk masuk masjid sampai hilang baunya.

Dari Jabir bin Abdillah Radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Artinya:
“Barangsiapa yang makan bawang putih dan bawang merah, hendaklah ia menjauhkan diri dari masjid kami” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Apabila orang yang makan bawang merah dan bawang putih dilarang oleh Rasulullah – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – untuk masuk masjid, maka bagaimana dengan sesuatu yang haram dengan bau yang sangat busuk dan dapat menyakiti (mengganggu) orang yang di sekitarnya???

5. Merokok merupakan sebab-sebab tidak dikabulkannya do’a

Dari Abu Hurairah Radliallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah itu Baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin apa yang telah diperintahkannya kepada para Rasul. Allah telah berfirman: ‘Hai para Rasul! Makanlah olehmu makanan yang baik-baik dan beramallah kamu dengan amalan yang sholeh’ dan Allah berfirman: ‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah olehmu diantara rizki yang baik-baik, yang Kami berikan kepadamu’. Kemudian Beliau menceritakan seorang laki-laki yang menempuh perjalanan jauh, berambut kusut penuh dengan debu, dia menadahkan kedua tangannya ke langit, sambil berdo’a: Ya Rabbi… Ya Rabbi.. padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan dengan barang yang haram, maka bagaimana do’anya akan dikabul” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Di dalam hadits ini bahwa laki-laki yang diceritakan Rasulullah – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – telah mendatangkan empat perkara yang semestinya do’anya dikabulkan. Yaitu:

Pertama: Safar dengan perjalanan yang jauh.

Dari Anas bin Malik – Radliallahu ‘anhu – dia berkata bahwasanya Rasulullah – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – bersabda:

Artinya:
“Tiga do’a yang tidak tertolak: Do’anya orang tua terhadap anaknya, do’anya orang yang sedang berpuasa, dan do’anya seorang musafir (yang sedang dalam perjalanan)” (HR. Al-Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam silsilah shahihah no. 1797)

Kedua: Pakaian dan keadaan yang mencerminkan kesederhanaan. Dari Abu Hurairah Radliallahu ‘anhu bahwasanya Rsulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Artinya:
“Banyak orang yang berambut kusut dan berdebu, bahkan bertolak dari semua pintu, tetapi apabila dia bersungguh-sungguh meinta kepada Allah, niscaya Allah akan menerimanya” (HR. Muslim)

Ketiga: Menengadahkan tangan ke langit.

Dari Salman Al-Farisi Radliallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Artinya:
“Sesungguhnya Rabb kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia, Dia malu dari hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya (meminta-Nya) dikembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapat apa-apa” (HR. Abu Dawud)

Keempat: Merengek (meminta) dengan mengulang nama Allah (wahai Rabb-ku)

Namun semua itu tidak mempengaruhi terkabulnya do’a, karena makanan yang dia makan, minuman yang dia minum semuanya merupakan dari hasil yang haram dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Bagaimana do’anya akan terkabulkan?“.

Berkata Ibnu Rajab: “Makanan haram, minuman haram, pakaian haram, dan dikenyangkan dengan barang yang haram merupakan sebab-sebab tidak dikabulkannya do’a” (Jaami’aluumi wal ahkam:92)

Ketahuilah bahwasanya seseorang itu akan dibangkitkan oleh Allah Ta’ala dari kuburnya dalam keadaan sebagaimana dia mati.

Dari Jabir Radliallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Artinya:
Setiap hamba itu akan dibangkitkan dari kuburnya ketika dia mati“. (HR. Muslim)

Maka bagaimana keadaan perokok apabila dia mati dalam keadaan sedang merokok dan dia dibangkitkan dalam keadaan bermaksiat kepada Allah Ta’ala??

Nasehat Untuk Para Penjual Rokok

Apabila telah jelas bahwasanya merokok itu adalah haram dengan dalil-dalil yang telah diterangkan di atas, maka sesungguhnya menjualnya juga haram, karena jika Allah mengharamkan sesuatu, maka haram juga harganya (penjualannya), karena penjualannya merupakan saling membantu dalam perbuatan dosa. Allah Ta;ala berfirman :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran” (QS. Al-Ma’idah:2)

Ketahuilah bahwasanya harta yang halal walaupun sedikit itu lebih baik daripada harta yang banyak tetapi didapat dengan cara yang haram (spt menjual rokok). Allah Ta’ala berfirman :

قُل لَّا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ ۚ

“Katakanlah: tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu“. (QS. Al-Maidah:100)

Fatwa Syaikh Bin Bazz Rahimahullah Tentang Hukum Rokok dan Hukum Penjualan-nya

Pertanyaan:
Hukum merokok apakah haram atau makruh? Dan bagaimana hukum penjualan-nya?

Jawaban:
Rokok haram, karena rokok sesuatu yang buruk yang mengandung bahaya-bahaya yang banyak sekali, dan sesungguhnya Allah Ta’ala memubahkan untuk hamba-Nya sesuatu yang baik-baik dari makanan dan minuman-minuman dan yang lainnya, dan mengharamkan kepada mereka yang buruk-buruk, Allah Ta’ala berfirman :

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ ۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۙ

“Mereka menanyakan kepadamu apa yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah: dihalalkan bagi kalian yang baik-baik“. (QS. Al-Maidah:4)

Dan Allah Ta’ala berfirman tentang sifat Nabi-Nya Muhammad – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – di dalam surat Al-A’raaf :

يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

“Yang memerintahkan mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk“. (QS. Al-A’raaf:157)

Dan rokok juga yang sejenisnya semuanya bukan dari yang baik-baik, bahkan merupakan yang buruk-buruk, dan semua yang memabukan dari yang buruk-buruk.

Dan rokok tidak boleh menghisapnya dan menjualnya juga perdagangannya, karena terdapat bahaya-bahaya yang besar dan hukuman-hukuman yang berat.

Wajib bagi perokok atau pedagangnya untuk segera bertaubat dan kembali kepada Allah Ta’ala dan menyesali perbuatannya yang lalu, dan berniat dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya lagi, dan barang siapa yang bertaubat dengan kejujuran maka Allah akan menerima taubatnya, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung“. (QS. An-Nur:31)

Dan firman Allah Ta’ala yang artinya:

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal sholeh kemudian tetap di jalan yang benar“. (QS. Thaha:82)

Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Taubat dapat meruntuhkan (dosa) yang sebelumnya”

Dan bersabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti tidak mempunyai dosa“.

Kami meminta kepada Allah Ta’ala untuk memperbaiki keadaan-keadaan kaum muslimin dan menjaga mereka dari setiap yang menyelisihi syari’at-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan (do’a hamba-Nya).

(Dari Fatwa Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bib Bazz – Rahimahullah Ta’ala – ).

"Hukum Rokok Dalam Pandangan Islam"
Salafy.or.id

Tidak Takluk Kepada Bayangan Buruk

by admin aluyeah
Berbaik Sangka Kepada Allah | al-uyeah.blogspot.com
Jangan Mudah Terguncang Oleh Bayangan Buruk. Di antara terapi yang paling hebat untuk penyakit syaraf hati, bahkan juga penyakit tubuh, adalah ketahanan dan kekuatan hati serta tidak mudah terguncang atau larut oleh bayang-bayang atau khayalan-khayalan buruk yang dipengaruhi oleh pikiran buruk.

Karena, bila mana manusia takluk kepada khayalan-khayalan buruk dan hatinya mudah larut oleh pengaruh-pengaruh emosional yang berupa: rasa takut akan teridapnya penyakit atau semacamnya, mudah marah ataupun terganggunya pikiran oleh hal-hal yang memedihkan perasaaannya, dan membayangkan akan terjadinya bencana ataupun akan hilangnya segala yang disenanginya, kegundahan, penyakit dalam maupun luar dan rusaknya syaraf, yang hal itu mempunyai berbagai efek buruk, yang semua orang menyaksikan sendiri bahayanya yang banyak. 

Percaya Penuh Kepada Allah, Tidak Takluk Kepada Bayangan Buruk

Jika hati seseorang bersandar dan bertawakal kepada Allah, tidak takluk kepada bayang-bayang buruk dan tidak pula dikuasai oleh khayalan-khayalan buruk, sedang ia percaya penuh kepada Allah dan mendambakan karuniaNya, maka dengan itu segala kegelisahan dan kegundahan akan tertangkis, sejumlah penyakit luar maupun dalam dalam akan hilang darinya, dan akan tercipta di hatinya kekuatan, kelapangan dan kegembiraan yang tak mungkin terungkapkan olah kata.

Berapa banyak rumah sakit dipenuhi oleh penderita akibat bayang-bayang dan khayalan-khayalan rusak. Berapa banyak hal ini meninggalkan efek buruk di hati kebanyakan orang yang kuat, lebih-lebih yang lemah. Berapa banyak ia mengakibatkan kedunguan dan sakit jiwa.

Orang yang sejahtera lahir dan batin adalah orang yang dapat disejahterakan dan dikarunia tau q oleh Allah untuk dapat menekan jiwanya dalam rangka meraih sarana-sarana yang bermanfaat lagi mampu mengukuhkan hatinya dan mengusir keguncangan. Allah ber rman,

"Artinya : Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah yang mencukupinya" [Ath-Thalaq : 3]

Yakni mencukupi segala yang dibutuhkannya baik dalam kehidupan religinya ataupun urusan duniawinya. Maka orang yang bertawakal kepada Allah, ia berhati kuat, tidak terpengaruh oleh bayang-bayang buruk dan tidak pula terguncang oleh peristiwa-peristiwa pahit. Karena, ia mengetahui bahwa yang demikian itu adalah tanda kelemahan

Percaya Penuh Kepada Allah ...

Jiwa dan kekalahan serta ketakutan yang tidak ada wujudnya yang nyata. Ia mengetahui, di samping itu, bahwa Allah telah menjamin orang yang bertawakal kepadaNya untuk dicukupiNya dengan sempurna. Maka, iapun percaya penuh kepada Allah, tenteram dan yakin dengan janjiNya. Dengan itu, sirnalah kegelisahan dan keguncangannya. Kesulitan yang dihadapinya berganti menjadi kemudahan, kesedihan berganti menjadi kegembiraan, dan rasa takut serta kekhawatirannya berganti menjadi rasa aman dan tenteram.

Kita memohon kepada Allah, semoga Dia mengaruniai kita kesejahteraan, kekuatan dan keteguhan hati, dengan lantaran tawakal sepenuhnya kepadaNya, yang dengan itu Allah menjamin bagi orang-orang yang bertawakal segala kebaikan dan menangkis segala cobaan maupun marabahaya.

Penulis : Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'ady
Judul Asli : 23 Kiat Hidup Bahagia

Tawakal Itu Adalah

by admin aluyeah
Tawakal | al-uyeah.blogspot.com
Setiap langkah dari kehidupan kita tentu tidaklah lepas dari pengawasan dan pengetahuan sang Maha Melihat dan Maha Mengetahui Allah subhanahu wa ta'ala. "Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS Al Mujaadilah: 7).

Amatlah pantas bagi kita dan seluruh manusia sebagai makhlukNya untuk senantiasa memohon, mengharap, serta bertawakkal padaNya, sebuah tanda konsekwensi ibadah dan bukti keimanan yang hakiki terhadapNya. Allah berfirman, "Dan bertawakallah kepada (Allah) yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, yang melihat kamu ketika kamu berdiri dan melihat pula perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud." (QS Asy Syu'ara: 217-219). 

Allah juga berfirman, "Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS Al Maidah: 23). Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah, "Ini menunjukkan akan lenyapnya iman ketika lenyapnya tawakkal, barangsiapa yang tidak memiliki tawakkal berarti ia tidak memiliki iman." (Lihat Madaarijus Saalikin).

Pengertian Tawakkal

Tawakkal secara bahasa berarti penyerahan, dan di dalam "Mukhtaarush Shihaah" hal: 786, tawakkal ialah menampakkan kelemahan dan bersandar kepada yang lain. Sedangkan menurut istilah: bersandarnya hati dengan benar kepada Allah dalam mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudharatan dengan mengambil sebab yang diperbolehkan secara syari'at." 

Imam Ahmad mengatakan, "Tawakkal adalah ibadah hati." Bila demikian maka tentu tawakkal dalam diri manusia bertingkat-tingkat, dimana ia (tawakkal) akan menguat dalam diri seseorang sejalan dengan bertambahnya iman pada dirinya dan sebaliknya ia akan melemah dengan berkurangnya keimanan dalam dirinya. 

Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhannyalah mereka bertawakkal." (QS Al Anfal: 2).

Hakikat Tawakkal

Pembaca -semoga dirahmati Allah- tawakkal adalah bagian dari ibadah, dalil yang menunjukkan hal ini di antaranya firman Allah subhanahu wa ta'ala di atas dalam Al Qur'an surat Al Maaidah ayat 23. Sisi pendalilan dari ayat itu: pertama, Allah memerintahkan kita agar bertawakkal di mana ini menunjukkan bahwa ia sebagai ibadah. Kedua: Allah menjadikan tawakkal dalam ayat itu sebagai syarat dari keimanan.

Kemudian dalil lainnya, firman Allah, "Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya)." (QS Ath Thalaq: 3). 

Pada ayat ini Allah menjanjikan atas siapa saja yang bertawakkal padanya dengan diberikan balasan berupa kecukupan, balasan yang besar ini tentu tidak akan tercapai kecuali dengan ibadah yang besar pula, pendek kata tawakkal adalah ibadah yang agung, yang dengannya seorang hamba mendekatkan diri kepada sang Penciptanya.

Hal yang mendorong seorang hamba untuk bertawakkal kepada Allah, menyandarkan hati padaNya ialah hendaknya mengetahui bahwa bukanlah hak makhluk memberikan kemanfaatan dan kemudharatan, hidayah dan kesesatan, meninggikan dan merendahkan, serta memuliakan dan menghinakan. Tetapi Dialah Rabbnya yang telah menciptakannya, memberi rizkinya, memberi petunjuk padanya, serta menganugerahkan segala nikmat untuknya. 

Manusia dalam hal bertawakkal kepada Allah terbagi tiga golongan, 

Pertama: orang-orang yang meniadakan sebab / usaha dalam rangka menjaga keutuhan tawakkal, mereka mengira bahwa tawakkal tidak akan sempurna kecuali dengan meninggalkan sebab. 

Kedua: orang-orang yang meninggalkan tawakkal dan bertumpu pada sebab / usaha. 

Ketiga: orang-orang yang mengetahui bahwa tawakkal tidak akan sempurna kecuali dengan melakukan sebab, golongan ketiga inilah yang benar sedangkan yang sebelumnya mereka berada di atas kebodohan dan kesesatan. 

Mengambil sebab yang disyariatkan adalah dalil akan kebenaran tawakkal dan kejujuran orang yang bertawakkal, ingatlah tatkala Nabi Musa 'alaihis salam meminta air untuk kaumnya, maka Allah memerintahkan agar memukul batu dengan tongkatnya. "Dan ingatlah ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, 'Pukullah batu itu dengan tongkatmu.' Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air..." (QS Al Baqarah: 60). 

Juga Allah berfirman kepada Maryam, "Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu." (QS Maryam: 25). 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Meninggalkan sebab berarti celaan terhadap syariat dan akal, sedangkan bersandar pada sebab (tanpa tawakkal, -pent.) adalah kesyirikan." (Majmu'ul Fatawa: 8/175-176). 

Berkata Ibnul Qoyyim, "Telah menjadi kesepakatan bahwa tawakkal tidaklah menafikan untuk mendatangkan sebab / usaha. Tidak sah tawakkal kecuali dengan itu, jika tidak maka hal itu adalah kebatilan dan tawakkal yang rusak." 

Suhail bin Abdillah berkata, "Barangsiapa mencela usaha / sebab, berarti ia telah mencela sunnah, barangsiapa mencela tawakkal berarti ia telah mencela iman, maka bertawakkal adalah keadaan nabi sedangkan usaha adalah sunnahnya. Siapa saja yang beramal dengan keadaannya, janganlah meninggalkan sunnahnya." (Lihat Madaarijus Saalikin: 2/116). 

Jadi pelanggaran yang terbesar terhadap syariat ialah meninggalkan sebab, karena beranggapan bahwa hal itu sebagai kesempurnaan tauhid, Allah berfirman, "Siapa yang tidak diberikan cahaya oleh Allah, maka ia tidak mempunyai cahaya."

Pembaca, jika tawakkal sebagai ibadah, maka tidak boleh memalingkannya kepada selain Allah -dalam perkara yang tidak dimampui kecuali olehNya- sebab hal itu adalah bentuk kesyirikan, karenanya Allah berfirman, "Dan bertawakkallah kepada yang hidup yang tidak akan mati." Begitu pula dalam hal mengambil sebab, tidak dibolehkan mengambil sebab, kecuali yang diperkenankan menurut syariat.

Ditulis oleh Al Ustadz Abu Hamzah Al Atsary.

Ancaman Duduk Di Atas Kuburan

by admin aluyeah
Duduk di Atas Kuburan | al-uyeah.blogspot.com
Ancaman Duduk Di Atas Kuburan. Dalam riwayat Muslim dari Jabir radhiyallaahu anhu : "Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melarang kuburan dari  dikapur, diduduki di atasnya, dan dibangun atasnya".

Penjelasan :

Hadits ini menunjukkan larangan memperlakukan kubur secara ifrath (berlebihan/ melampaui batas) maupun tafrith (meremehkan/ menghinakan). Bentuk perlakuan yang berlebihan adalah dikapur dan dibangun bangunan di atasnya. Sedangkan bentuk sikap meremehkannya adalah duduk di atas kubur.

Dalam sebagian lafadz hadits juga terdapat larangan menginjak kubur.

Kubur tidak boleh dikapur atau disemen (syarh Sunan Abi Dawud li Abdil Muhsin al-Abbad (17/126)).

Kubur tidak boleh diduduki di atasnya. Bahkan termasuk dosa besar.

لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ

"Seandainya seseorang duduk di atas bara api sehingga membakar pakaiannya sampai kulitnya, itu lebih baik baginya dibandingkan duduk di atas kubur" (H.R Muslim no 1612).

Larangan duduk di atas kubur juga mencakup larangan berdiri di atas kubur (syarh Sunan Abi Dawud li Abdil Muhsin al-Abbad (17/131)).

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan: Aku melihat para pemimpin di Makkah memerintahkan penghancuran bangunan-bangunan (di kuburan), dan aku tidak melihat para fuqohaa’ (ahli fiqh) mencela yang demikian (al-Haawi fii fiqhisy Syafi’i karya al-Mawardi (3/27)).

Al-Imam asy-Syaukany rahimahullah menyatakan:

Di antara perbuatan yang pertama kali masuk (larangannya) dalam hadits adalah membangun kubah-kubah dan cungkup-cungkup di atas kubur. Lagipula yang demikian itu termasuk menjadikan kubur sebagai masjid, padahal Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam telah mengutuk orang yang melakukan itu.

Banyak sudah kerusakan yang ditangisi Islam (kaum muslimin,pent) akibat dari pendirian bangunan-bangunan di atas kubur dan tindakan memperindahnya. Di antara kerusakan-kerusakan itu adalah kepercayaan orang-orang bodoh terhadap kubur seperti kepercayaan orang-orang kafir terhadap berhala.

Dan semakin menjadi-jadi sehingga mereka menganggap bahwa kubur tersebut mampu mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan. Lalu mereka menjadikan kubur-kubur itu sebagai tempat tujuan untuk mencari hal-hal yang dapat menutupi kebutuhan mereka dan untuk keberhasilan maksud-maksud mereka. Mereka meminta kepada kubur-kubur itu apa yang diminta oleh hamba kepada Tuhannya.

Mereka bersusah payah melakukan perjalanan ke kubur-kubur tersebut lalu mengusap-usapnya serta meminta tolong agar terhindar dari bahaya. Walhasil, mereka tidak meninggalkan satupun dari apa yang dilakukan orang-orang Jahiliyyah terhadap berhala, melainkan pasti mereka kerjakan juga. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’un.

Tetapi meski ada kemungkaran yang keji dan kekufuran yang nyata ini, kami tidak menemukan seorangpun yang marah karena Allah dan tersinggung demi menjaga agama Allah yang lurus. Baik ia Ulama’, pelajar, gubernur, Menteri, ataupun raja. Padahal telah sampai kepada kita berita-berita yang tidak diragukan lagi kebenarannya bahwa para penyembah kubur itu atau sebagian besarnya, apabila diminta bersumpah atas nama Allah oleh pihak lawannya, mereka akan bersumpah palsu atas nama-Nya. Tetapi kalau sesudah itu mereka diminta bersumpah atas nama syekhnya atau wali fulan yang diyakininya, mereka menjadi bimbang dan menolak bersumpah lalu mengakui kesalahannya.

Demikian ini merupakan bukti yang paling jelas yang menunjukkan bahwa kesyirikan mereka telah melampaui kesyirikan orang yang mengatakan Allah itu oknum kedua atau ketiga dari tiga tuhan (Nashrani, pent).

Hai Ulama Islam dan para penguasa muslim, bencana apakah yang lebih berbahaya dari kekufuran?! Cobaan manakah yang lebih menimbulkan mudharat (bahaya/kerugian) terhadap agama daripada penyembahan kepada selain Allah. Musibah macam manakah yang menimpa kaum muslimin yang dapat menyamai musibah ini, dan kemungkaran yang bagaimana yang wajib ditentang jika kesyirikan yang nyata ini tidak wajib diingkari?! (Nailul Authar karya asy-Syaukany (4/131)).

Judul Utama : "Syarh Kitab al-Janaiz Min Bulughil Maram (Bag ke-8)"
Subjudul : "Larangan Mengapur, Menduduki, dan Membangun Pada Kuburan"
Salafy.or.id

Sholat Itu Kewajiban

by admin aluyeah
Sholat Itu Kewajiban | al-uyeah.blogspot.com
Telah kita ketahui kesepakatan ulama tentang kafirnya orang yang menentang kewajiban shalat. Namun, bagi yang meninggalkannya karena malas, terlebih lagi ia masih mengimani bahwa shalat itu amalan yang disyariatkan, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, antara yang mengkafirkan dengan yang tidak mengkafirkan dan apakah ia dibunuh(1) atau tidak.

Masalah hukum orang yang meninggalkan shalat ini memang merupakan masalah khilafiyyah sejak zaman dahulu di kalangan salaful ummah, dan perselisihannya teranggap (mu’tabar). Oleh karena itu, janganlah kita gegabah menuduh orang yang menyelisihi pendapat kita dalam hal ini, semisal kita mengatakannya Murji` (pengikut pemahaman Murji`ah, karena tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat) atau menvonisnya dengan Khariji (pengikut pemahaman Khawarij, karena mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat).

Hukum asal dalam hal khilaf yang mu’tabar adalah seseorang tidak boleh mengingkari pendapat orang lain dan mencelanya. Mencela seseorang karena mengikuti pendapat ulama dari kalangan salaf (para imam yang dikenal) sama dengan mencela ulama salaf tersebut. Karena itu sekali lagi kita tegaskan, janganlah kita memboikot dan mencela saudara kita dalam permasalahan-permasalahan yang kita dapati para ulama kita juga berbeda pendapat di dalamnya.

Memang masalah fiqih yang seperti ini, kita dapati para ulama sering berbeda pendapat, dan mereka pun melapangkan bagi saudaranya selama permasalahan itu memang dibolehkan/ dilapangkan untuk berijtihad.

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa permasalahan meninggalkan shalat ini termasuk permasalahan yang sangat besar yang pada hari ini banyak orang terjatuh di dalamnya (ditimpa musibah dengan tidak menunaikannya). Dan ulama beserta para imam dari kalangan umat ini, yang dahulu maupun sekarang, berselisih pendapat tentang hukumnya. (Mukaddimah kitab Hukmu Tarikish Shalah hal. 3)

Orang yang meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja berarti ia telah melakukan dosa yang teramat besar. Dosanya di sisi Allah Ta'ala lebih besar daripada dosa membunuh jiwa yang tidak halal untuk dibunuh, atau dosa mengambil harta orang lain secara batil, atau dosa zina, mencuri dan minum khamr.

Meninggalkan shalat berarti menghadapkan diri kepada hukuman Allah 'Azza wa Jalla dan kemurkaan-Nya. Ia akan dihinakan oleh Allah 'Azza wa Jalla baik di dunia maupun di akhiratnya. (Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim t, hal. 7)

Tentang hukuman di akhirat bagi orang yang menyia-nyiakan shalat dinyatakan Allah 'Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

“Apakah yang memasukkan kalian ke dalam neraka Saqar?” Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat….” (Al-Muddatstsir: 42-43)

“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari mengerjakan shalatnya….” (Al-Ma’un: 4-5)

“Maka datanglah setelah mereka, pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kerugian(2).” (Maryam: 59)

Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama

1. Abdullah bin Mubarak, Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Hubaib dari kalangan Malikiyyah berpendapat kafir(3) orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja walaupun ia tidak menentang kewajiban shalat.

Pendapat ini dihikayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan Al-Hakam bin ‘Uyainah radiyallahu'anhum. Sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah juga berpendapat demikian4. (Al-Majmu’ 3/19, Al-Minhaj 2/257, Nailul Authar, 2/403)

Mereka berargumen dengan firman Allah Ta'ala:

“Apabila telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian jumpai mereka dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Apabila mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 5)

Dalam ayat di atas Allah Ta'ala menetapkan harus terpenuhinya tiga syarat barulah seorang yang tadinya musyrik dibebaskan dari hukuman bunuh sebagai orang kafir yaitu bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Bila tiga syarat ini terpenuhi berarti ia telah menjadi seorang muslim yang terpelihara darahnya. Namun bila tidak, ia bukanlah seorang muslim. Dengan demikian, barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak mau menunaikannya, berarti tidak memenuhi syarat untuk dibiarkan berjalan, yang berarti ia boleh dibunuh(5).

Argumen mereka dari hadits adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah radiyallahu'anhu, ia berkata, “Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 242)

Demikian pula hadits Buraidah ibnul Hushaib radiyallahu'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti ia kafir.” (HR. Ahmad 5/346, At-Tirmidzi no. 2621, Ibnu Majah no. 1079 dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 574 dan juga dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib hal. 299) [Lihat Tharhut Tatsrib, 1/323]

Dalam dua hadits di atas dinyatakan secara umum “meninggalkan shalat” tanpa ada penyebutan “meninggalkan karena menentang kewajibannya”. Berarti ancaman dalam hadits diberlakukan secara umum, baik bagi orang yang meninggalkan shalat karena menentang kewajibannya atau pun tidak.

Seorang tabi’in bernama Abdullah bin Syaqiq rahimahullah berkata:

“Adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam tidak memandang adanya sesuatu dari amalan-amalan yang bila ditinggalkan dapat mengkafirkan pelakunya kecuali amalan shalat.” (HR. At-Tirmidzi no. 2622, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, demikian pula dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 562)

Abdullah menyebutkan bahwa para sahabat sepakat ‘orang yang meninggalkan shalat itu kafir’ dan mereka tidak mensyaratkan ‘harus disertai dengan pengingkaran akan kewajibannya’ atau ‘menentang kewajiban shalat’. Karena yang mengatakan shalat itu tidak wajib, jelas sekali kekafirannya bagi semua orang. (Al-Majmu’ 3/19, Al-Minhaj 2/257, Tharhut Tatsrib 1/323, Nailul Authar 2/403)

2. Sementara itu, dinukilkan pula pendapat mayoritas ulama yang memandang tidak atau belum kafirnya orang yang meninggalkan shalat secara sengaja.

Al-Imam Abdul Haq Al-Isybili rahimahullah dalam kitabnya Ash Shalah wat Tahajjud (hal. 96) menyatakan, “Seluruh kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah, baik ahli haditsnya maupun selain mereka, berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja dalam keadaan ia mengimani kewajiban shalat dan mengakui/menetapkannya, tidaklah dikafirkan.

Namun dia telah melakukan suatu perbuatan dosa yang amat besar. Adapun hadits Nabi Shallallahu'alaihiwasala yang secara zhahir menyebutkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat, demikian pula ucapan ‘Umar radiyallahu'anhu dan selainnya, mereka takwil sebagaimana mereka mentakwil sabda Nabi Shallallahu'alaihiwasalam:

“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman saat melakukan perbuatan zina tersebut.”(6)

Demikian pula hadits-hadits lain yang senada dengan ini. Adapun ahlul ilmi yang berpendapat dibunuhnya orang yang meninggalkan shalat, hanyalah memaksudkan ia dibunuh sebagai hukum had, bukan karena ia kafir. Demikian pendapat ini dipegangi oleh Al-Imam Malik, Asy Syafi’i, dan selain keduanya.”

Al-Hafizh Al-‘Iraqi rahimahullah berkata, “Jumhur ahlul ilmi berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat bila memang ia tidak menentang kewajibannya. Ini merupakan pendapat para imam: Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad bin Hambal. Terhadap hadits-hadits yang shahih dalam masalah hukum meninggalkan shalat ini(7), mereka menjawab dengan beberapa jawaban, di antaranya:

Pertama: Makna dari hadits-hadits tersebut adalah orang yang meninggalkan shalat pantas mendapatkan hukuman yang diberikan kepada orang kafir yaitu dibunuh.

Kedua: Vonis kafir yang ada dalam hadits-hadits tersebut diberlakukan kepada orang yang menganggap halal meninggalkan shalat tanpa udzur.

Ketiga: Meninggalkan shalat terkadang dapat mengantarkan pelakunya kepada kekafiran, sebagaimana dinyatakan bahwa ‘perbuatan maksiat adalah pos kekafiran’.

Keempat: Perbuatan meninggalkan shalat adalah perbuatan orang-orang kafir.” (Tharhut Tatsrib, 1/324-325)

Dalil yang dipakai oleh jumhur ulama adalah firman Allah Ta'ala:

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa menyekutukan-Nya dengan sesuatu8 (syirik) dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa`: 48)

Sementara tidak mengerjakan shalat bukan perbuatan syirik, namun salah satu perbuatan dosa besar yang Allah Ta'ala janjikan untuk diberikan pengampunan bagi siapa yang Allah Ta'ala kehendaki.

Juga hadits-hadits yang banyak, di antaranya hadits ‘Ubadah ibnush Shamit radiyallahu'anhu dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasala:

“Shalat lima waktu Allah wajibkan atas hamba-hamba-Nya. Siapa yang mengerjakannya tanpa menyia-nyiakan di antara kelima shalat tersebut karena meremehkan keberadaannya maka ia mendapatkan janji dari sisi Allah untuk Allah masukkan ke surga. Namun siapa yang tidak mengerjakannya maka tidak ada baginya janji dari sisi Allah, jika Allah menghendaki Allah akan mengadzabnya, dan jika Allah menghendaki maka Allah akan mengampuninya.” (HR. Abu Dawud no. 1420 dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)

Hadits Abu Hurairah radiyallahu'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam:

“Amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba nanti pada hari kiamat adalah shalat wajib. Jika ia sempurnakan shalat yang wajib tersebut maka sempurna amalannya, namun jika tidak dikatakanlah, ‘Lihatlah, apakah orang ini memiliki amalan tathawwu’ (shalat sunnah)?’ Bila ia memiliki amalan tathawwu’, disempurnakanlah shalat wajib yang dikerjakannya dengan shalat sunnahnya. Kemudian seluruh amalan yang difardhukan juga diperbuat semisal itu.” (HR. Ibnu Majah no. 1425 dan lainnya, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Ibni Majah dan Al-Misykat no. 1330-1331)

Demikian pula hadits dalam Ash-Shahihain yang dibawakan oleh ‘Ubadah ibnush Shamit radiyallahu'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam, beliau bersabda:

Siapa yang mengucapkan, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, ‘Isa adalah hamba Allah, putra dari hamba perempuan Allah, kalimat-Nya yang Dia lontarkan kepada Maryam dan ruh ciptaan-Nya, dan surga itu benar adanya, neraka pun adanya’, maka orang yang bersaksi seperti ini akan Allah masukkan ke dalam surga apa pun amalannya.” (HR. Al-Bukhari no. 3435 dan Muslim no. 139)

Dalam satu riwayat Al-Imam Muslim (no. 141) dibawakan sabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam:

“Siapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya Allah saja dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah, maka Allah haramkan neraka baginya.”

Selain itu, banyak didapatkan dalil yang menunjukkan tidak kekalnya seorang muslim yang masih memiliki iman walau sedikit di dalam neraka, bila ia telah mengucapkan syahadatain, seperti hadits Anas bin Malik radiyallahu'anhu berikut ini. Anas berkata, “Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

“Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan (iman) seberat sya’ir (satu jenis gandum). Kemudian akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan seberat burrah (satu jenis gandum juga). Kemudian akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan seberat semut yang sangat kecil.” (HR. Al-Bukhari no. 44 dan Muslim no. 477)

Ulama yang berpandangan tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat tidaklah kemudian membebaskan pelakunya dari hukuman atau meringan-ringankan hukumannya. Bahkan sebaliknya, hukuman berat dijatuhkan sebagaimana yang akan kita baca dalam keterangan berikut ini.

Ibnu Syihab Az-Zuhri, Sa’id ibnul Musayyab, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Abu Hanifah, Dawud bin ‘Ali dan Al-Muzani berpendapat, orang yang meninggalkan shalat karena malas, tidaklah divonis kafir, namun fasik. Ia harus ditahan atau dipenjara oleh pemerintah muslimin(9) dan dipukul dengan pukulan yang keras sampai darahnya bercucuran.

Hukuman ini terus ditimpakan padanya sampai ia mau bertaubat dan mengerjakan shalat atau sampai mati dalam penjara(10). Hukuman bunuh tidak sampai dijatuhkan padanya kecuali bila ia menentang kewajiban shalat, karena ada hadits Ibnu Mas’ud radiyallahu'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam berikut ini:

“Tidak halal ditumpahkan darah seseorang yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah saja dan ia bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah, kecuali salah satu dari tiga golongan, yaitu seseorang yang sudah/pernah menikah melakukan perbuatan zina, karena jiwa dibalas jiwa (seseorang membunuh orang lain maka balasannya ia diqishash/dibunuh juga), dan orang yang meninggalkan agamanya, berpisah dengan jamaahnya kaum muslimin.” (HR. Al-Bukhari no. 6878 dan Muslim no. 4351) [Al-Majmu’ 3/19, Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, hal. 7-8]

Dalam hadits di atas tidak disebutkan hukum bunuh untuk orang yang meninggalkan shalat. (Al-Minhaj, 2/257)

Madzhab Malikiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat tanpa ada udzur, ia diminta bertaubat dari perbuatannya. Bila tidak mau bertaubat maka dibunuh(11) dengan cara dipenggal dengan pedang menurut pendapat jumhur(12). Namun hukuman bunuh ini dijatuhkan sebagai hukum had baginya bukan dibunuh karena kafir. Setelah meninggal, ia dikafani, dishalati, dan dikuburkan di pemakaman muslimin. (Al-Majmu’ 3/17, Al-Minhaj 2/257, Nailul Authar, 2/403)

Dari keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa (22/40-53) sehubungan dengan perkara shalat ini, tampak bahwa beliau membagi manusia menjadi empat macam:

Orang yang menolak untuk mengerjakan shalat sampai ia dibunuh, sementara di hatinya sama sekali tidak ada pengakuan akan kewajiban shalat dan tidak ada keinginan untuk mengerjakannya. Orang ini kafir menurut kesepakatan kaum muslimin.

Orang yang terus-menerus meninggalkan shalat sampai meninggalnya, sama sekali ia tidak pernah sujud kepada Allah Ta'ala. Ia pun tidak mengakui kewajibannya maka orang ini pun kafir.

Orang yang tidak menjaga shalat lima waktu, ini adalah keadaan kebanyakan manusia. Sekali waktu ia mengerjakan shalat, pada kali lain ia meninggalkannya. Orang yang keadaannya seperti ini berada di bawah kehendak Allah Ta'ala. Jika Allah Ta'ala menghendaki akan diadzab, kalau tidak maka Allah Ta'ala akan mengampuninya. Dalilnya adalah hadits ‘Ubadah ibnush Shamit radiyallahu'anhu yang telah disebutkan di atas.

Kaum mukminin yang menjaga shalat mereka. Inilah yang mendapat janji untuk masuk surga Allah Ta'ala.

Dari perbedaan pendapat yang ada, penulis sendiri lebih condong pada pendapat yang menyatakan tidak kafir. Dan inilah pendapat yang menenangkan hati kami, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika menguatkan pendapat ini, “Terus-menerus kaum muslimin saling mewarisi dengan orang yang meninggalkan shalat (dari kalangan kerabat mereka).

Seandainya orang yang meninggalkan shalat itu kafir dan tidak akan diampuni dosanya, tentu tidak boleh mewarisi dan tidak mewariskan harta kepada kerabatnya. Adapun jawaban argumen yang dibawakan oleh yang berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan hadits Jabir, hadits Buraidah dan riwayat Abdullah ibnu Syaqiq, adalah bahwa hadits-hadits tersebut dibawa maknanya kepada orang yang meninggalkan shalat akan menjadi serikat bagi orang kafir dalam sebagian hukum yang diberlakukan kepadanya, yaitu ia wajib/harus dibunuh. Dengan takwil ini terkumpullah nash-nash syariat dan kaidah-kaidah yang telah disebutkan.” (Al-Majmu’, 3/19)

Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan, “Aku berpandangan bahwa yang benar adalah pendapat jumhur. Adapun riwayat yang datang dari sahabat bukanlah nash yang memastikan bahwa yang mereka maksudkan dengan kufur adalah kufur yang membuat pelakunya kekal di dalam neraka(13)….” (Ash-Shahihah, 1/174)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri, Abu ‘Amr Al-Auza’i, Abdullah ibnul Mubarak, Hammad bin Zaid, Waki’ ibnul Jarrah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahuyah, dan murid/ pengikut mereka berpandangan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh. Kemudian mereka berbeda pendapat, apakah dibunuh sebagai seorang muslim yang menjalani hukum had sebagaimana dibunuhnya zina muhshan (orang yang sudah/pernah menikah lalu berzina), ataukah dibunuh karena kafir sebagaimana dibunuhnya orang yang murtad dan zindiq. (Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, hal. 7 dan 20)
2  فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas dengan kerugian. Qatadah berkata, “(Kelak mereka akan menjumpai) kejelekan.” Ibnu Mas’ud menafsirkannya dengan sebuah lembah di neraka Jahannam yang sangat dalam lagi sangat buruk makanannya. Adapula yang menafsirkannya dengan sebuah lembah di Jahannam yang berisi darah dan nanah. (Al-Mishbahul Munir fit Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 830-831)
3 Bila sampai vonis kafir dijatuhkan berarti diberlakukan padanya hukum-hukum orang kafir/murtad. Seperti tidak memperoleh warisan dari kerabatnya yang meninggal, bila sudah beristri (dan istrinya seorang muslimah) maka ia harus menceraikan istrinya, bila belum maka tidak boleh dinikahkan dengan wanita muslimah. Bila ia meninggal dunia, jenazahnya tidak boleh dimakamkan di pekuburan muslimin dan seterusnya.
4 Dan pendapat ini pula yang dipegangi oleh sebagian besar imam dakwah pada hari ini. Di antaranya Samahatusy Syaikh Ibn Baz, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan guru kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahumullah.
5 Ada dua riwayat dari Al-Imam Ahmad dalam masalah membunuh orang yang meninggalkan shalat ini.
Pertama: Ia dibunuh sebagaimana dibunuhnya orang yang murtad. Demikian pendapat ini dipegangi oleh Sa’id bin Jubair, Amir Asy-Sya’bi, Ibrahim An-Nakha’i, Abu ‘Amr Al-Auza’i, Ayyub As-Sikhtiyani, Abdullah ibnul Mubarak, Ishaq bin Rahuyah, Abdul Malik bin Hubaib dari kalangan Malikiyyah, satu sisi dalam madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, Ath-Thahawi menghikayatkan dari Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri dan Abu Muhammad ibnu Hazm menghikayatkannya dari ‘Umar ibnul Khaththab, Mu’adz bin Jabal, Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah dan selain mereka dari kalangan sahabat.
Kedua: Dibunuh sebagai hukum had, bukan karena kafir. Demikian pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan Abu Abdillah ibnu Baththah memilih riwayat ini. (Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, hal. 20)
6 Yakni si pezina tidak mungkin melakukan perbuatan zina di kala imannya sempurna. Hanyalah ia jatuh ke dalam perbuatan nista tersebut karena imannya sedang lemah. Dengan demikian hadits ini bukanlah menunjukkan bahwa pezina itu tidak punya iman dalam arti keluar dari iman dan masuk ke dalam kekafiran, namun si pezina tetap seorang muslim dengan keimanan yang sekadar mensahkan keislamannya.
7 Seperti hadits Jabir dan hadits Buraidah.
8 Apabila si hamba meninggal dalam keadaan membawa dosa syirik, tidak sempat bertaubat dari kesyirikan. Adapun bila bertaubat dari dosa-dosanya maka:“Sesungguhnya Allah mengampuni seluruh dosa.” (Az-Zumar: 53)
9 Yang harus selalu diingat, hukum had bukanlah ditegakkan oleh orang per orang atau suatu perkumpulan/organisasi perorangan, namun yang berwenang dalam penegakannya adalah wulatul umur, yaitu pemerintah kaum muslimin.
10 Dan ia mati tentunya bukan sebagai orang kafir tapi sebagai orang fasik, seorang mukmin yang mengerjakan dosa besar. Sehingga pengurusan jenazahnya tetap diselenggarakan oleh kaum muslimin sebagaimana penyelenggaraan jenazah orang Islam; ia dimandikan, dikafani, dishalati dan dikuburkan di pemakaman muslimin.
11 Berargumen dengan ayat:
“Apabila telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian jumpai mereka dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Apabila mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 5)
12 Berdalil dengan hadits:
“Sesungguhnya Allah menetapkan untuk berbuat ihsan (berbuat baik) dalam segala sesuatu, maka kalau kalian membunuh baikkanlah dalam cara membunuh.” (HR. Muslim no. 1955)
Sementara membunuh dengan memukulkan pedang ke leher (memenggal) merupakan sebaik-baik cara membunuh dan lebih cepat menghilangkan nyawa, sehingga tidak menyakitkan dan menyiksa orang yang dibunuh.
13 Karena ada yang namanya kufrun duna kufrin, yaitu amalnya merupakan amalan kekafiran namun pelakunya belum tentu dikafirkan.

"Hukum Meninggalkan Shalat"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
AsySyariah.com

Musibah Itu Enggak Meleset

by admin aluyeah
Musibah Itu Enggak Meleser | al-uyeah.blogspot.com
Setiap orang yang hidup di dunia ini tentu akan melewati beragam peristiwa. Perubahan keadaan adalah suatu kepastian karena dunia hanya persinggahan sementara. Hakikat ini harus kita pahami agar kita tidak lupa diri kala memperoleh kenikmatan duniawi dan tidak pula berlarut-larut dalam kesedihan atas materi yang luput kita dapatkan. Allah Ta'ala berfirman:

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (al-Hadid: 22—23)

Sungguh, berhadapan dengan kenyataan yang pahit dan berbagai problem yang mengimpit dirasa berat oleh jiwa. Manusia pun berbeda-beda dalam menyikapinya. Seorang mukmin sejati akan menghadapinya dengan penuh keteguhan hati, sedangkan orang kafir atau yang lemah imannya—karena tidak memiliki pegangan keyakinan yang kuat—akan terombang-ambing dan salah jalan. Di antara mereka ada yang bunuh diri atau mendatangi dukun dan paranormal. Ada pula yang menempuh cara-cara sadis seperti membunuh, memukul, dan merampok.

Peristiwa Dahsyat Menyingkap Jatidiri

Dalam kondisi biasa dan tidak ada masalah, kepribadian seseorang terkadang sulit untuk diketahui. Dalam keadaan yang serba sulit akan muncullah jatidirinya yang sesungguhnya. Allah Ta'ala berfirman:

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabut: 2—3)

Dalam surat al-Baqarah, Allah Ta'ala menyebutkan tekad dan semangat para pembesar Bani Israil untuk memerangi musuh mereka yang jahat, yaitu Raja Jalut dan pasukannya. Mereka meminta kepada nabi mereka setelah wafatnya Nabi Musa 'alaihisalam agar diangkat seorang raja yang akan memimpin mereka berperang.

Permintaan mereka dikabulkan dan diangkatlah Thalut sebagai raja mereka. Ketika mereka berangkat berperang, di tengah perjalanan kesabaran mereka mulai melemah. Puncaknya adalah ketika mereka berhadapan langsung dengan pasukan musuh. Semangat yang tadinya membara kini tinggal cerita. Kebanyakan mereka mundur. Hanya sedikit yang teguh menghadapi musuh. (lihat pada al-Baqarah ayat 246—249)

Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam melarang umatnya mengharap-harap datangnya musuh dan bala’ (bencana). Beliau Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

لَا تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ وَإذَا لَقِيْتُمُوْهُمْ فَاصْبِرُوْا

Jangan kamu mengharap-harap bertemu dengan musuh. (Akan tetapi,) bila kamu bertemu dengan mereka maka bersabarlah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Al-Munawi rahimahullah menerangkan, “Berjumpa dengan musuh adalah urusan terberat yang dirasakan oleh jiwa. Urusan yang belum tampak tidak seperti yang sudah terlihat nyata. Ketika yang dinanti-nanti menjadi kenyataan, tidak mustahil yang terjadi adalah kebalikan dari yang diharapkan. (Faidhul Qadir 6/504)

dikutip dari "Kemudahan Setelah Kesulitan"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc.
AsySyariah.com

Jerat-Jerat Setan

by admin aluyeah
Jerat-Jerat Setan | al-uyeah.blogspot.com
Seorang muslim jangan pernah merasa aman dari penyimpangan dalam hidupnya. Seorang muslim harus senantiasa introspeksi diri serta menimbang setiap amal dan perbuatannya dengan syariat Allah Ta'ala. Jangan sampai dia teperdaya serta terlena dengan makar dan tipu daya Iblis la’natullah ‘alaih.

Iblis adalah makhluk Allah Ta'ala yang terlaknat dan terkutuk. Permusuhannya kepada bani Adam sangatlah besar. Sehingga Allah Ta'ala memerintahkan kita untuk menjadikan Iblis sebagai musuh disertai minta perlindungan kepada Allah Ta'ala dari setan yang terkutuk.

Allah Ta'ala berfirman menegaskan terkutuknya Iblis:

“Maka keluarlah kamu dari surga. Sesungguhnya kamu makhluk yang terkutuk. Sesungguhnya laknat-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan.” (Shad: 77-78)

Allah Ta'ala telah mengabarkan kepada kita bagaimana besarnya upaya Iblis untuk menyesatkan manusia dari agama Allah Ta'ala:

Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menetapkan aku tersesat, maka aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raf: 16-17)

Qatadah rahimahullah mengatakan: “Setan mendatangimu, wahai bani Adam, dari segala penjuru kecuali dari atasmu, karena dia tidak bisa menghalangi kamu dari rahmat Allah Ta'ala.”

Ibnul Qayim rahimahullah menerangkan, “Ayat ini menjelaskan dengan rinci apa yang disebutkan secara global dalam firman Allah Ta'ala:

“Iblis menjawab: ‘Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya’.” (Shad: 82)

Juga firman-Nya:

Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala (yang dinamai dengan nama perempuan), mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka yang dilaknati Allah dan setan itu mengatakan: “Aku benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untukku). Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, membangkitkan angan-angan kosong kepada mereka, dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak). Lalu mereka benar-benar memotongnya dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah Ta'ala), lalu benar-benar mereka mengubahnya.” Barangsiapa menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah Ta'ala, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong kepada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. (An-Nisa’: 117-120)

Demikianlah gambaran dahsyatnya permusuhan Iblis kepada seorang muslim.

Makar dan tipu daya Iblis

Ketahuilah, Iblis melakukan berbagai makar, tipu muslihat serta memasang jeratnya untuk menyesatkan bani Adam dan menjauhkan mereka dari agama Allah Ta'ala. Banyak orang terlena dan tertipu merasa yakin sedang mengamalkan kebaikan, padahal dia sedang terjerumus tipu daya dan jerat-jerat setan.

Di antara sekian perbuatan sebagian kaum muslimin yang menyelisihi aqidah Islam adalah melakukan hilah untuk menghalalkan yang haram dan membenarkan kebatilan. Ini merupakan perbuatan orang Yahudi, orang munafik, dan termasuk bentuk tipu daya setan kepada bani Adam.

Ibnul Qayim rahimahullah menegaskan, “Di antara tipu muslihat Iblis untuk menipu Islam dan kaum muslimin adalah hilah, makar, dan penipuan yang mengandung penghalalan apa yang Allah Ta'ala haramkan dan pengguguran apa yang Allah Ta'ala wajibkan, perintah dan larangan-Nya. (Ighatsatul Lahafan, 1/338)

Makna Hilah

Hilah sama dengan mukhada’ah, yakni cara (tujuan) atau trik yang halus dan samar yang dilakukan seseorang untuk meraih tujuannya, tidak akan disadari kecuali dengan kecerdasan dan kejeniusan. (Lihat I’lamul Muwaqqi’in)

Bentuk Hilah yang Haram

Ibnul Qayim rahimahullah menjelaskan: “Macam yang kedua adalah (hilah) yang dilakukan untuk meninggalkan (tidak mengamalkan) kewajiban, menghalalkan yang haram, membalikkan yang terzalimi menjadi seorang yang zalim, seorang yang zalim menjadi pihak terzalimi, kebenaran menjadi kebatilan, yang batil menjadi kebenaran. Macam hilah yang kedua ini telah disepakati salafus shalih sebagai perbuatan yang tercela.” (Ighatsatul Lahafan, hal. 339)

Dalil-dalil tentang haramnya Hilah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menyebutkan beberapa dalil dan sisi yang menunjukkan haramnya hilah. Di antaranya:

1. Firman Allah Ta'ala:

Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 8)

2. Firman Allah Ta'ala:

Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari. Dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin).

Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Rabbmu ketika mereka sedang tidur. Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. Lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari. “Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.”

Maka pergilah mereka saling berbisik-bisik. “Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan). Bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya).” (Al-Qalam: 17-27)

Dalam ayat ini Allah Ta'ala menghukum orang-orang yang melakukan hilah dalam rangka menggugurkan hak orang miskin.

3. Allah Ta'ala mengabarkan tentang orang Yahudi yang melanggar larangan berburu (mengambil ikan) di hari Sabtu. Mereka diubah oleh Allah Ta'ala menjadi kera, karena melakukan hilah untuk menghalalkan apa yang Allah Ta'ala haramkan yakni berburu (mengambil ikan) di hari Sabtu. Maka mereka (melakukan hilah) meletakkan jaring di hari Jum’at. Bila ada yang terjerat jaringnya mereka ambil di hari Ahad. Allah Ta'ala berfirman:

Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. 

Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik. Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabbmu, dan supaya mereka bertakwa.” 

Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. 

Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu kera yang hina. Dan (ingatlah), ketika Rabbmu memberitahukan bahwa sesungguhnya Dia akan mengirim kepada mereka (orang-orang Yahudi) sampai hari kiamat orang-orang yang akan menimpakan kepada mereka azab yang seburuk-buruknya. Sesungguhnya Rabbmu amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang. (Al-A’raf: 163-167)

4. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berkata:

“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya…”

Ibnul Qayim rahimahullah menyatakan: “Ini adalah dalil pokok untuk membatilkan hilah.”

5. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berkata:

“Penjual dan pembeli dalam masa khiyar selama belum berpisah… Tidak boleh salah satunya meninggalkan yang lain karena takut tidak jadinya akad.” (HR. Abu Dawud dan lainnya)

Ibnul Qayim rahimahullah berkata: “Al-Imam Ahmad rahimahullah berdalil dengan hadits ini dan berkata bahwa hadits ini menunjukkan batilnya hilah.”

6. Bab hilah yang diharamkan, yang asalnya adalah menamakan sesuatu tidak dengan nama aslinya, mengubah bentuk sesuatu dalam keadaan masih ada hakikatnya. Misalnya memberi nama-nama lain untuk riba, khamr. (Lihat Ighasatul Lahafan)

Hilah adalah perbuatan orang-orang Yahudi dan orang-orang kafir lainnya

Di antara hilah yang dilakukan Yahudi:

1. Dalam firman Allah Ta'ala:

Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): “Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran).” (Ali ‘Imran: 72)

2. Kisah orang yang melanggar larangan hari Sabtu (telah kami sebutkan di pembahasan di atas)

3. Dalam hadits Jabir radiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berkata:

قَاتَلَ اللهُ الْيَهُودَ، إِنَّ اللهَ لَـمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ

“Allah memerangi Yahudi, sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas mereka lemak bangkai, namun mereka cairkan lalu mereka jual dan mereka memakan hasil penjualannya.” (HR. Al-Bukhari no. 2236 dan Muslim no. 1581)

Hilah yang sering dilakukan di masa kini

Ketahuilah, banyak tersebar di masyarakat kita praktik hilah, baik dilakukan oleh satu lembaga, kelompok, atau individu tertentu. Melakukan tipu muslihat untuk menghalalkan yang haram yang tujuannya adalah mengeruk dunia semata. Di antara perkara tersebut adalah:

1. Nikah tahlil

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berkata:

لَعَنَ اللهُ الْـمُحَلِّلَ وَالْـمُحَلَّلَ لَهُ

“Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu.”

Gambarannya, ada seseorang (yang diistilahkan muhallil lahu) mentalak istrinya dengan talak tiga dan ingin kembali ke mantan istrinya tersebut. Maka dia mencari seseorang (disebut muhallil) dan melakukan kesepakatan agar menikahi mantan istrinya untuk kemudian menceraikannya, dalam rangka memberikan jalan baginya untuk kembali menikahinya.

2. ‘Inah

Gambarannya, ada seseorang datang ke tempat orang yang melakukan praktik ribawi untuk meminjam uang. Rentenir ini berkata: “Begini saja, kamu ambil motorku ini dengan harga sepuluh juta, utang.” Kemudian dia berkata: “Sekarang aku beli motor tersebut dari kamu lima juta, kontan.” Sehingga dia mempunyai utang sepuluh juta, namun hanya mendapatkan uang tunai lima juta.

Keterangan: Ini adalah bentuk hilah dalam riba, yang hakikatnya sama dengan seseorang pinjam Rp 5.000.000,00 tapi harus membayar ganti Rp 10.000.000,00.

3. Judi dinamakan dengan sumbangan dana sosial berhadiah (SDSB, dahulu), dan sebagainya.

4. Khamr

Mereka menamai khamr dengan nama-nama lainnya.

5. Memberi nama lembaga-lembaga ribawi dengan label Islam.

6. Menamakan transaksi riba dengan jual beli atau mudharabah (kerjasama). Juga menamakan riba dengan bunga/jasa/diskonto/margin atau pendapatan bagi hasil.

Akibat dan balasan bagi orang yang berbuat Hilah

Ibnul Qayim rahimahullah berkata:

“Barangsiapa mencermati syariat ini dan dikaruniai pemahaman, niscaya dia akan melihat bahwa syariat ini telah menggugurkan keinginan orang-orang yang hendak berbuat hilah dan membalas mereka dengan kebalikan apa yang mereka maukan, serta menutup segala pintu yang mereka buka untuk melakukan hilah.” (Ighatsatul Lahafan)

Di antaranya, Allah Ta'ala tidak memberi bagian waris yang melakukan hilah dengan membunuh orang yang akan memberinya waris atau memberinya wasiat.

Penutup
Setelah kita tahu bahwa hilah adalah perbuatan Iblis, Yahudi, dan orang kafir lainnya, maka hendaknya kita semua tidak melakukan perbuatan tersebut. Ingatlah bahwa Allah Ta'ala Maha melihat dan Maha Tahu apa yang kita lakukan. Ingatlah pula bahwa azab Allah Ta'ala sangatlah dahsyat. Janganlah karena ingin menuai keuntungan yang sedikit, namun menyebabkan terancam azab. Mudah-mudahan Allah Ta'ala memberi taufiq kepada kita untuk menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Walhamdulillah.

"Membungkus Keharaman Membenarkan Kebatilan"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak
AsySyariah.com

Apa Itu Ghibah

by admin aluyeah
Apa Itu Ghibah? | al-uyeah.blogspot.com
Ghibah atau menggunjing atau membicarakan aib orang lain (bisa juga diistilahkan dengan ngerumpi) adalah aktivitas yang ‘mengasyikkan’. Tak sedikit orang, yang secara sadar atau tidak, terjatuh dalam perbuatan ini. Karena memang setan telah menghiasi perbuatan ini sehingga tampak indah dan menyenangkan. Tahukah Anda bahwa Allah Ta'ala mengibaratkan ghibah dengan perbuatan memakan daging saudara kita yang telah mati?

Bani Adam adalah makhluk yang lemah, serba kekurangan, dan menjadi tempat kesalahan. Demikianlah fakta yang akan dijumpai bila setiap orang jujur akan hakikat dirinya. Ia lemah dari segala sisi: tubuhnya, semangatnya, keinginannya, imannya, dan lemah kesabarannya. Dengan keadaan seperti ini, Allah Ta'ala dengan kemahabijaksanaan-Nya memberikan beban syariat sesuai dengan kesanggupannya. Demikian yang dikatakan asy-Syaikh Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya.

Terkadang kelemahan ini menyebabkan seseorang terjatuh ke dalam perbuatan dosa dan maksiat. Menzalimi diri sendiri, orang lain, bahkan menzalimi Allah Ta'ala. Keadaan demikian banyak terjadi pada manusia khususnya yang tidak mendapat hidayah dan rahmat dari Allah Ta'ala. Allah Ta'ala berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)

Banyak sekali faktor yang mendorong manusia untuk berbuat kesalahan atau kemaksiatan. Terkadang dorongan itu datang dari dalam diri sendiri dan terkadang dari luar. Berbahagialah orang yang mengerti kelemahan dirinya.

Abu ad-Darda radiyallahu'anhu berkata, “Termasuk wujud ilmunya seorang hamba adalah dia mengetahui imannya bertambah atau berkurang, dan termasuk dari berkah ilmunya seorang hamba adalah dia mengetahui dari mana setan akan menggelincirkannya.” (Asbab Ziyadatil Iman, hlm. 10)

Salah satu bagian tubuh yang paling mudah menjerumuskan manusia ke dalam kemaksiatan adalah lisan. Sungguh betapa ringan lisan ini digerakkan untuk bermaksiat kepada Allah Ta'ala. Serta betapa berat untuk diajak berzikir kepada Allah Ta'ala.

Demikan hakikat lisan sebagaimana ucapan Abu Hatim rahimahullah, “Lisan memiliki peraba tersendiri yang tidak hanya digunakan untuk mengetahui asin atau tidaknya makanan dan minuman, panas dan dingin, atau manis dan pahit. Lisan sangat tanggap apabila telinga mendengar sebuah berita, baik atau buruk, benar atau salah. Sangat tanggap pula bila mata melihat suatu kejadian, baik atau buruk. Lisan dengan mudahnya bercerita dengan mengumbar apa saja yang menyentuhnya. Ingatlah, lidah itu tak bertulang.”

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah radiyallahu'anhu)

Namun bukan berarti engkau diam dari suatu kemungkaran dan diam untuk mengucapkan kebenaran. “Setan bisu”, itulah gelar dan panggilan seseorang yang diam dari kemungkaran dan tidak mau menyuarakan kebenaran.

Makna Ghibah

Tidak ada penafsiran terbaik tentang makna ghibah selain penafsiran Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam hadits beliau. Bila ada penafsiran para ulama tentang ghibah maka tidak akan terlepas dari penafsiran beliau meski dengan ungkapan yang berbeda. Rasulullah Shallallahu'alaihiwaslaam menjelaskan makna ghibah ini dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radiyallahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda,

“Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan ghibah?” Mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda: “Kamu menceritakan tentang saudaramu apa yang tidak dia sukai.” Dikatakan kepada beliau, “Bagaimana pendapatmu bila apa yang aku katakan ada pada saudaraku itu?” Beliau menjawab, “Jika apa yang kamu katakan ada pada saudaramu maka kamu telah mengghibahinya, dan jika apa yang kamu katakan tidak ada pada dirinya, maka kamu telah berdusta.” (Sahih, HR. Muslim no. 2589, Abu Dawud no. 4874, dan at-Tirmidzi no. 1435)

Ghibah adalah Dosa Besar

Dari keterangan di atas, diambil kesimpulan bahwa makna ghibah adalah menceritakan seseorang kepada orang lain dan orang yang dijadikan obyek pembicaraan tidak menyukai apa yang dibicarakan. Bila apa yang diceritakan tidak ada pada orang tersebut, ini merupakan dusta atas namanya dan tentu saja dosanya lebih besar dari yang pertama.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ghibah adalah haram secara ijma’ dan tidak dikecualikan (boleh dilakukan) melainkan (dalam hal yang) maslahatnya lebih kuat, seperti dalam jarh dan ta’dil (menerangkan perawi hadits) dan nasihat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam ketika seseorang yang jahat meminta izin kepada beliau untuk bertemu beliau, maka beliau berkata, ‘Izinkan dia, sesungguhnya dia adalah orang yang paling jelek di kaumnya.’

Juga seperti sabda beliau kepada Fathimah binti Qais saat dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm. (Rasulullah Shallallahu'alaihiwaslam mengabarkan) bahwa Mu’awiyah adalah orang yang sangat miskin dan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/215)

Ghibah jelas perbuatan terlarang, bahkan termasuk perbuatan dosa besar. Allah Ta'ala berfirman:

“Janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (al-Hujurat: 12)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwaslaam bersabda:

“Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah haram seperti haramnya hari kalian ini, bulan kalian ini, dan negeri kalian ini.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Bakrah radiyallahu'anhu)

Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

“Ketika aku dibawa naik, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga yang dengannya mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka. Aku bertanya, ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah kaum yang telah memakan daging orang lain dan menginjak-injak kehormatan mereka’.” (HR. Abu Dawud no. 4878 dari sahabat Anas bin Malik z dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 4082 dan dalam ash-Shahihah no. 533)

Masih banyak dalil yang menjelaskan tentang keharaman ghibah dan bahwa ghibah termasuk dosa besar.

Kapan Boleh Mengghibah?

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Ghibah dibolehkan dengan tujuan syariat yang tidak mungkin mencapai tujuan tersebut melainkan dengannya.”

Dibolehkan ghibah pada enam perkara:
1. Ketika terzalimi.
2. Meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran.
3. Meminta fatwa.
4. Memperingatkan kaum muslimin dari sebuah kejahatan atau untuk menasihati mereka.
5. Ketika seseorang menampakkan kefasikannya.
6. Memanggil seseorang yang dia terkenal dengan nama itu.

(Riyadhus Shalihin, bab “Apa-apa yang Diperbolehkan untuk Ghibah”)

Cara Bertaubat dari Ghibah

Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, orang yang telah berbuat ghibah tidak harus mengumumkan taubatnya. Cukup baginya memintakan ampun bagi orang yang dighibahi dan menyebutkan segala kebaikannya di tempat-tempat mana dia mengghibahinya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ummu Abdillah al-Wadi’iyyah dalam kitabnya Nashihati lin Nisa’ (hlm. 31).

Haruskah Meminta Maaf kepada Orang yang Dighibahi?

Dalam permasalahan ini, perlu dirinci:

Pertama, bila orang tersebut mendengar ghibahnya, maka dia harus datang kepada orang tersebut meminta kehalalannya (minta maaf).

Kedua, jika orang tersebut tidak mendengar ghibahnya maka cukup baginya menyebutkan kebaikan-kebaikannya dan mencabut diri darinya di tempat ia berbuat ghibah.

Al-Qahthani rahimahullah dalam kitab Nuniyyah beliau (hlm. 39) menasihati kita, “Janganlah kamu sibuk dengan aib saudaramu dan lalai dari aib dirimu, sesungguhnya yang demikian itu adalah dua keaiban.”

Wallahu a’lam.

"Kekejian Berupa Memakan Bangkai Saudara Sendiri"
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah
AsySyariah.com