Kebenaran Hanya Datang Dari Allah |
“Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah, Rabb kamu yang sebenarnya. Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (Yunus: 32)
Penjelasan Mufradat Ayat
“Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah, Rabb kamu yang sebenarnya”
Ayat ini menyebutkan tiga dari nama Allah Subhanahuwata’ala, yaitu (nama) Allah yang mengandung sifat uluhiyyah bagi-Nya, Ar-Rabb yang mengandung sifat Rububiyyah baginya, dan Al-Haq yang mengandung sifat kebenaran tentang wujud-Nya, kebenaran tentang firman-Nya, syariat-Nya, dan seluruh janji-Nya. Allah telah memberi nama dirinya dengan “Al-Haq” dalam berbagai tempat dalam Al Qur`an, seperti firman-Nya:
“Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Haj: 6)
“Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang haq; tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” (Al-Mukminun: 116)
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari hadits Abdullah bin Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Engkau adalah Al-Haq dan perkataan-Mu haq.”
Al-’Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Rahimahullah memasukkan Al-Haq di antara nama-nama Allah. (lihat Al-Qawa’idul Mutsla: 21)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di Rahimahullah berkata: “Al-Haq pada dzat dan sifat-Nya. Sehingga Dia adalah wajibul wujud (keberadaan-Nya adalah wajib), sempurna sifat-Nya, wujud-Nya adalah kelaziman dzat-Nya, dan tidak terwujud segala sesuatu kecuali dengan-Nya. Dialah yang senantiasa memiliki sifat keagungan, keindahan, kesempurnaan, dan senantiasa berbuat kebaikan. Firman-Nya adalah haq, perbuatannya haq, pertemuan dengan-Nya adalah haq, para Rasul-Nya adalah haq, kitab-kitab-Nya adalah haq, agamanya haq, beribadah hanya kepadanya adalah haq, dan segala sesuatu yang dinisbahkan kepadanya adalah haq.” (lihat Shifatullah, tulisan As-Saqqaf hal. 120)
Kata Adh-Dhalal atau Adh-Dhalalah maknanya adalah lawan dari Al-Huda (petunjuk). (Al-Qamus hal. 1024)
Al-Imam Al-Qurthubi Rahimahullah berkata: “Adh-Dhalal (kesesatan) hakekatnya adalah menjauh dari kebenaran. Ibnu ‘Arafah berkata: Adh-Dhalalah (kesesatan) di kalangan Arab maknanya adalah menempuh selain jalan yang lurus.” (Tafsir Al-Qurthubi secara ringkas, 8/337)
Terkadang Adh-Dhalal juga diungkapkan atas seseorang yang tidak mengenal Allah Subhanahuwata’ala yang disertai kelalaian, walaupun keadaan orang tersebut tidak diliputi kejahilan atau keraguan. Atas penafsiran ini, sebagian para ulama memahami firman Allah Subhanahuwata’ala:
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang lalai, lalu Dia memberikan petunjuk.” (Adh-Dhuha: 7)
Yaitu “lalai” menurut salah satu penafsiran (yaitu dengan makna tidak mengenal Allah Subhanahuwata’ala, red). Dan ini dikuatkan dengan firman-Nya:
“Dahulu engkau tidak mengetahui apa itu kitab dan apa itu iman.” (Asy-Syura: 52)
Termasuk pula dalam pengertian ini apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abdil Hakam dan Asyhab dari Al-Imam Malik Rahimahullah tentang ayat ini, di mana beliau mengatakan: “Bermain catur dan dadu termasuk dari Adh-Dhalal (kelalaian).” (Tafsir Al-Qurthubi, 8/337)
Penjelasan Makna Ayat
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di Rahimahullah berkata: “Maka itulah Rabbmu, yaitu yang diibadahi, yang disembah, yang dipuji, yang mendidik seluruh makhluk dengan berbagai kenikmatan-Nya. Dialah Al-Haq, maka tidak ada lagi setelah Al-Haq melainkan kesesatan. Karena Dia-lah yang bersendiri dalam mencipta, mengurusi segala sesuatu. Tidak seorang hamba pun yang merasakan satu kenikmatan melainkan berasal dari-Nya, dan tidak ada yang mendatangkan kebaikan melainkan Dia, tidak ada yang menolak kejelekan kecuali Dia.
Dia memiliki Asma`ul Husna dan sifat-sifat yang maha sempurna yang agung, penuh kemuliaan dan kesempurnaan. Lalu mengapa kalian berpaling dari beribadah kepada yang demikian sifat-sifat-Nya (yakni berpaling dari Allah)? Lalu menyembah sesuatu yang wujudnya akan sirna, tidak mampu mendatangkan manfaat dan mudharat serta tidak pula mampu mendatangkan kematian, kehidupan, dan kebangkitan? Dia tidak memiliki kekuasaan sedikitpun dan tidak ada sekutu bagi Allah dalam hal apapun. Tidak ada yang berhak memberi syafaat di sisi Allah Subhanahuwata’ala melainkan dengan izin-Nya. Maka celakalah bagi yang menyekutukan-Nya dan binasalah bagi yang kafir terhadap-Nya. Telah hilang akal mereka setelah hilangnya agama mereka, bahkan mereka telah kehilangan dunia dan akhirat. Oleh karena hal itu Allah Subhanahuwata’ala berfirman tentang mereka:
‘Demikianlah telah tetap hukuman Rabbmu terhadap orang-orang yang fasiq, karena sesungguhnya mereka tidak beriman.’ (Yunus: 33).” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 363)
Kebenaran Hanyalah Satu dan Tidak Berbilang
Ayat Allah Subhanahuwata’ala yang mulia ini menjelaskan kepada kita bahwa jalan kebenaran hanyalah satu dan tidak ada lagi selain dari jalan tersebut melainkan kesesatan dan penyimpangan dari Al-Haq. Al-Imam Al-Qurthubi Rahimahullah berkata: “Ayat ini memberikan hukum bahwa tidak terdapat kedudukan yang ketiga antara Al-Haq dan bathil dalam masalah ini yaitu dalam mentauhidkan Allah Subhanahuwata’ala. Demikian pula dalam perkara-perkara yang serupa dengannya, yaitu masalah ushul (prinsip-prinsip agama, red.) yang mana kebenaran hanya ada di satu pihak.” (Tafsir Al-Qurthubi, 8/336)
Jika demikian keadaannya, maka hendaklah seorang muslim selalu berusaha untuk mencari jalan keselamatan tersebut yang jumlahnya hanya satu. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam dalam beberapa haditsnya. Di antaranya adalah yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahuanhu, ia berkata:
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam membuat sebuah garis di hadapan kami satu garis lalu berkata: “Ini adalah jalan Allah.” Lalu beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan sebelah kiri garis tadi lalu berkata: “Ini adalah jalan-jalan. Di atas setiap jalan itu terdapat setan yang menyeru kepadanya.” Lalu beliau membaca firman Allah: “Dan sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah. Dan janganlah mengikuti jalan-jalan (sesat) hingga akan terpisah kalian dari jalan-Nya. [1] ”
(HR. Al-Imam Ahmad, 1/435 dan 465, An-Nasa`i dalam Al-Kubra, 6/11174, Ad-Darimi no. 202, Ath-Thayalisi no. 244, Sa’id bin Manshur, 5/935, Ibnu Hibban, 1/180/6, dan Al-Hakim, 2/348, seluruhnya dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahuanhu. Al-Hakim berkata: “Hadits ini sanadnya shahih.” Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam tahqiq Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 525)
Dalam hadits ini, ketika menyebutkan jalan Allah, Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam menyebutkan dengan lafadz mufrad (tunggal). Namun ketika menyebutkan kesesatan, beliau menyebutkannya dalam bentuk jamak, yang menunjukkan banyaknya jalan-jalan kesesatan dan banyaknya jumlah para pengikut setan yang menghalangi manusia untuk berjalan di atas jalan Allah Subhanahuwata’ala. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al-An’am: 116)
Demikian pula yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash Radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“…Umatku akan berpecah menjadi 73 golongan, semuanya dalam neraka kecuali satu golongan.” Beliau ditanya: “Siapakah yang satu itu?” Beliau menjawab: “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya.” (HR. At-Tirmidzi, 5/2641, Al-Hakim, 1/218. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah dalam Shahih At-Tirmidzi)
Hadits tentang perpecahan ini telah diriwayatkan dari beberapa shahabat Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam dalam kitab-kitab sunnah, di antaranya Anas bin Malik, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzani radhiyallahuanhuma.
Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa 72 yang masuk jannah (surga) dan satunya masuk an-naar (neraka) adalah hadits yang palsu. (lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, Al-Albani Rahimahullah, 3/1035). Namun anehnya riwayat ini justru dishahihkan oleh ahlul ahwa` (orang yang mengikuti hawa nafsu, red.) yang tidak mengerti tentang ilmu hadits dari dasarnya. Di antaranya adalah seorang tokoh Syi’ah Rafidhah, Jalaluddin Rahmat, sebagaimana yang ditulisnya dalam kitab sesatnya Islam Aktual.
Banyak Jalan Menuju Keselamatan
Mungkin di antara kita ada yang mempertanyakan tentang firman Allah Subhanahuwata’ala:
“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan keselamatan. Dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Maidah: 16)
Ayat ini menyebutkan subulus salaam yang berarti jalan-jalan keselamatan. Ayat yang mulia ini sama sekali tidak bertentangan dengan ayat dan hadits yang telah kita sebutkan yang menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu. Sebab ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa di dalam Ash-Shirathul Mustaqim tersebut banyak jalan kecil yang semuanya menuju ke arah satu jalan utama yang besar yaitu jannah Allah Subhanahuwata’ala. Al-Imam Al-Qurthubi berkata dalam menafsirkan ayat ini: “Subulus salaam yaitu jalan-jalan keselamatan yang menuju kepada Darus Salaam yang bersih dari setiap celaan, aman dari segala yang dikhawatirkan, yaitu jannah.” (Tafsir Al-Qurthubi, 6/118)
Di antara yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahuanhu, bahwa Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Iman itu 70 cabang lebih, yang tertinggi adalah ucapan La ilaaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan. Dan malu adalah salah satu cabang dari keimanan.” (HR. Muslim, Abu Dawud, An-Nasa`i, Ibnu Majah)
Demikian pula hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah Radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Setiap persendian dari manusia wajib atasnya sedekah setiap hari tatkala terbitnya matahari. Engkau berbuat adil dalam menghukumi antara dua orang adalah sedekah, dan engkau menolong orang untuk menaiki kendaraannya atau engkau membantu mengangkat barangnya di atas kendaraannya adalah sedekah, kalimat yang baik adalah sedekah, dan setiap langkah yang engkau berjalan dengannya menuju shalat adalah sedekah, dan engkau menyingkirkan duri dari jalanan adalah sedekah.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dan masih banyak hadits-hadits yang menjelaskan tentang banyaknya jalan menuju kebaikan tersebut. Oleh karena itu, Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah membuat satu bab di dalam kitabnya Riyadhush Shalihin dengan judul Bab: Penjelasan tentang Banyaknya Jalan Kebaikan.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah berkata dalam menjelaskan banyaknya jalan-jalan kebaikan: “Dan yang menunjukkan kepada apa yang kami katakan bahwa di kalangan manusia ada yang engkau dapati senang mengerjakan shalat sehingga dia memperbanyak ibadah shalatnya. Dan di antara mereka ada pula yang senang membaca Al Qur`an sehingga engkau dapati dia banyak membaca Al Qur`an. Dan di antara mereka ada yang senang berdzikir, bertasbih, bertahmid, dan semisalnya, lalu engkau dapati dia banyak berdzikir; dan di antara mereka ada yang dermawan yang senang menginfakkan hartanya sehingga engkau dapati dia selalu bersedekah berinfak kepada keluarganya dan memberikan keleluasaan kepada mereka tanpa melampaui batas. Dan di antara mereka ada yang senang dengan ilmu dan menuntut ilmu, yang mana di masa kita merupakan amalan jasmani yang paling mulia. Sebab, manusia di masa kita sekarang ini sangat membutuhkan ilmu syar’i karena banyaknya kejahilan dan merebaknya orang-orang yang sok alim yang mengklaim bahwa mereka adalah ulama padahal mereka tidak memiliki ilmu melainkan sangat sedikit.
Maka kita sangat membutuhkan ilmu yakni ilmu yang mapan, kokoh, yang dibangun di atas Al-Kitab dan As Sunnah, agar mampu membantah berbagai kekeliruan yang tersebar di berbagai kampung dan negara, di mana setiap orang yang baru menghafal satu atau dua hadits dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam lalu berani berfatwa dan bermudah-mudah dengannya, seakan-akan dia adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Al-Imam Ahmad, Al-Imam Asy-Syafi’i, atau para imam yang lainnya rahimahumullah. Ini sangat berbahaya, jika Allah Subhanahuwata’ala tidak merahmati umat ini dengan adanya para ulama yang mapan, memiliki ilmu dan hujjah yang kuat.” (Syarah Riyadhish Shalihin, 1/444)
Namun perlu menjadi perhatian di sini bahwa jalan-jalan kebaikan tersebut tidak keluar dari jalur Ash-Shirathul Mustaqim yang dijalani Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Dan bukan yang dimaksud di sini adalah mengamalkan agama dengan cara-cara bid’ah yang sesat. Sebab, kebenaran hanyalah apa yang dari Allah Subhanahuwata’ala. Maka batil-lah sebuah pernyataan yang diserukan oleh Hasan Al-Banna beserta para muqallid (orang-orang yang taqlid kepada)-nya: “Kita saling tolong menolong terhadap apa yang kita sepakati dan saling memberikan udzur terhadap apa yang kita berbeda.”
Wallahul hadi ilaa sabiil ar-rasyad.
Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi
Catatan Kaki:
[1] Surat Al-An’am ayat 153, red.
0 Komentar
Silakan tuliskan komentar, saran dan nasihat antum. Namun tidak semua akan tampilkan.