Kewajiban Taat Kepada Pemerintah

Kewajiban Taat Kepada Pemerintah | al-uyeah.blogspot.com
Kewajiban taat kepada pemerintah merupakan salah satu prinsip Islam yang agung. Namun di tengah karut-marutnya kehidupan politik di negeri-negeri muslim, prinsip ini menjadi bias dan sering dituding sebagai bagian dari gerakan pro status quo. Padahal, agama yang sempurna ini telah mengatur bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap pemerintahnya, baik yang adil maupun yang zalim.

KKN, represivitas penguasa, kedekatan pemerintah dengan Barat (baca: kaum kafir), seringkali menjadi isu yang diangkat sekaligus dijadikan pembenaran untuk melawan pemerintah. Dari yang ‘sekadar’ demonstrasi, hingga yang berujud pemberontakan fisik.

Meski terkadang isu-isu itu benar, namun sesungguhnya syariat yang mulia ini telah mengatur bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap kepada pemerintahnya, sehingga diharapkan tidak timbul kerusakan yang jauh lebih besar.

Yang menyedihkan, Islam atau jihad justru yang paling laris dijadikan tameng untuk melegalkan gerakan-gerakan perlawanan ini. Di antara mereka bahkan ada yang menjadikan tegaknya khilafah Islamiyah sebagai harga mati dari tujuan dakwahnya. Mereka pun berangan-angan, seandainya kejayaan Islam di masa khalifah Abu Bakr dan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu'anhu dapat tegak kembali di masa kini.

Jika diibaratkan, apa yang dilakukan kelompok-kelompok Islam ini seperti “menunggu hujan yang turun, air di bejana ditumpahkan”. Mereka sangat berharap akan tegaknya khilafah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu'anhu namun kewajiban yang Allah Subhanhuwata'ala perintahkan kepada mereka terhadap penguasa yang ada di hadapan mereka, justru dilupakan. Padahal dengan itu, Allah Ta'ala akan mengabulkan harapan mereka dan harapan seluruh kaum muslimin.

Wajibnya Taat kepada Penguasa Muslim

Allah 'Azzawajalla telah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk taat kepada penguasanya betapa pun jelek dan zalimnya mereka. Tentunya dengan syarat, selama para penguasa tersebut tidak menampakkan kekafiran yang nyata. Allah 'Azzawajalla juga memerintahkan agar kita bersabar menghadapi kezaliman mereka dan tetap berjalan di atas As-Sunnah.

Karena barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah dan memberontak kepada penguasanya maka matinya mati jahiliah. Yakni mati dalam keadaan bermaksiat kepada Allah Subhanahuwata'ala seperti keadaan orang-orang jahiliah. [1] (Lihat ucapan al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim)

Dari Ibnu Abbas radiyallahu'anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ

Barang siapa melihat sesuatu yang tidak dia sukai dari penguasanya, maka bersabarlah! Karena barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, maka ia akan mati dalam keadaan mati jahiliah.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan dari Junadah bin Abu Umayyah rahimahullah, dia berkata, “Kami masuk ke rumah Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu'anhu ketika beliau dalam keadaan sakit dan kami berkata kepadanya, ‘Sampaikanlah hadits kepada kami—aslahakallah (semoga Allah Subhanahuwata'ala memperbaiki keadaanmu)—dengan hadits yang kau dengar dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam yang dengannya Allah Subhanahuwata'ala akan memberikan manfaat bagi kami!’ Maka ia pun berkata,

دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ  فَبَايَعَنَاَ، فَكَاَنَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطاَّعَةِ، فِيْ مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ، قَالَ: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرَا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ

“Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam memanggil kami kemudian membai’at kami. Dan di antara bai’atnya adalah agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami diperlakukan secara tidak adil. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari orang yang berhak—beliau berkata—kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah Subhanahuwata'ala.” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya juz 13 hlm.192, cet. Maktabatur Riyadh al-Haditsah, Riyadh. HR. Muslim dalam Shahih-nya, 3/1470, cet. Daru Ihya’ut Turats al-Arabi, Beirut, cet. 1)

Wajib Taat Walaupun Jahat dan Zalim

Kewajiban taat kepada pemerintah ini, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, adalah terhadap setiap penguasa, meskipun jahat, zalim, atau melakukan banyak kejelekan dan kemaksiatan. Kita tetap bersabar mengharapkan pahala dari Allah Subhanahuwata'ala dengan memberikan hak mereka, yaitu ketaatan walaupun mereka tidak memberikan hak kita.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu'anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

إِنَّهَا سَتَكُونُ بَعْدِي أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تَأْمُرُنَا؟

Akan muncul setelahku atsarah (orang-orang yang mengutamakan diri mereka sendiri dan tidak memberikan hak kepada orang yang berhak, red.) dan perkara-perkara yang kalian ingkari.” Mereka (para sahabat, red.) bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu'alaihiwasalam berkata,

تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ

Tunaikanlah kewajiban kalian kepada mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)

Diriwayatkan pula dari ‘Adi bin Hatim radhiyallahu'anhu, dia berkata, “Kami mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang-orang yang takwa, tetapi orang yang berbuat begini dan begitu… (disebutkan kejelekan-kejelekan).’ Maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:

وَاتَّقُوا اللهََ وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا

‘Bertakwalah kepada Allah! Dengar dan taatlah!’.” (Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah dan lain-lain. Lihat al-Wardul Maqthuf, hlm. 32)

Ibnu Taimiyah rahimahullah‎ berkata, “Bahwasanya termasuk ilmu dan keadilan yang diperintahkan adalah sabar terhadap kezaliman para penguasa dan kejahatan mereka, sebagaimana ini merupakan prinsip dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam dalam hadits yang masyhur.” (Majmu’ Fatawa juz 28, hlm. 179, cet. Maktabah Ibnu Taimiyah Mesir)

Sedangkan menurut al-Imam an-Nawawi rahimahullah‎, “Kesimpulannya adalah sabar terhadap kezaliman penguasa dan bahwasanya tidak gugur ketaatan dengan kezaliman mereka.” (Syarah Shahih Muslim, 12/222, cet. Darul Fikr Beirut)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Wajib berpegang dengan jamaah muslimin dan penguasa-penguasa mereka walaupun mereka bermaksiat.” (Fathul Bari Bi Syarhi Shahihil Bukhari)

Tetap Taat Walaupun Cacat

Meskipun penguasa tersebut cacat secara fisik, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam tetap memerintahkan kita untuk tetap mendengar dan taat. Walaupun hukum asal dalam memilih pemimpin adalah laki-laki, dari Quraisy, berilmu, tidak cacat, dan seterusnya. Namun jika seseorang yang tidak memenuhi kriteria tersebut telah berkuasa—baik dengan pemilihan, kekuatan (kudeta), dan peperangan—maka ia adalah penguasa yang wajib ditaati dan dilarang memberontak kepadanya. Kecuali, jika mereka memerintahkan kepada kemaksiatan dan kesesatan, maka tidak perlu menaatinya (pada perkara tersebut, red.) dengan tidak melepaskan diri dari jamaah.

Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu'anhu bahwa dia berkata:

إِنَّ خَلِيْلِيْ أَوْصَانِي أَنْ أَسْمَعَ وَ أَطِيْعَ، وَإِنْ كَانَ عَبْدًا مُجَدَّعَ الْأَطْرَافِ

“Telah mewasiatkan kepadaku kekasihku agar aku mendengar dan taat walaupun yang berkuasa adalah bekas budak yang terpotong hidungnya (cacat). [2]” (Sahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 3/467, cet. Daru Ihya’ut Turats al-Arabi, Beirut. HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, hlm. 54)

Juga diriwayatkan dari Suwaid bin Ghafalah rahimahullah, dia berkata, “Berkata kepadaku ‘Umar radhiyallahu'anhu, ‘Wahai Abu Umayyah, aku tidak tahu apakah aku akan bertemu engkau lagi setelah tahun ini… Jika dijadikan amir (pemimpin) atas kalian seorang hamba dari Habasyah, terpotong hidungnya maka dengarlah dan taatlah! Jika dia memukulmu, sabarlah! Jika mengharamkan untukmu hakmu, sabarlah! Jika ingin sesuatu yang mengurangi agamamu, maka katakanlah aku mendengar dan taat pada darahku bukan pada agamaku, dan tetaplah kamu jangan memisahkan diri dari jamaah!”

Wallahu a’lam.

Al-Ustadz Muhammad Umar as-Sewed hafizhahullah

Catatan Kaki:

1.  Maksudnya seperti keadaan matinya orang-orang jahiliah yaitu di atas kesesatan dan tidak memiliki pemimpin yang ditaati karena mereka dahulu tidak mengetahui hal itu. (Fathul Bari, 7/13, dinukil dari Mu’amalatul Hukkam hlm. 166, red.)

2.  Kalimat mujadda’ bermakna terpotong anggota badannya atau cacat, seperti terpotong telinga, hidung, tangan, atau kakinya. Namun sering kalimat mujadda’ dipakai dengan maksud terpotong hidungnya. Sedangkan mujadda’ul athraf, Ibnu Atsir rahimahullah‎ dalam an-Nihayah berkata, “Maknanya adalah terpotong-potong anggota badannya, ditasydidkan huruf ‘dal’-nya untuk menunjukkan banyak.” (pen.)
Tulisan ini ditujukan untuk ana dan keluarga. Dibuat dengan cinta. Saran dan nasihat silakan tulis di kolom komentar.

Ada Pertanyaan?




Silakan antum tanyakan ke asatidzah dengan datang saja ke majelis ilmu terdekat, cek lokasinya kajian Info Kajian. Baarakallahu fiikum.
Previous
Next Post »
0 Komentar

Silakan tuliskan komentar, saran dan nasihat antum. Namun tidak semua akan tampilkan.